Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Selasa, 14 Juni 2011

Cinta Yang Terpilih (Chapter 5)



Hari Keempat

“Berbahagialah orang yang bisa menangis, karena sesungguhnya dia telah berhasil melakukan satu pelepasan,” kata Kim Bum, sembari menaburkan merica pada telur dadar sosis-nya.

Ini sarapan mereka yang terakhir di atas kapal. Sore nanti kapal akan berlabuh di Breakdawn.

Kim So Eun mengangkat alis, “Kau menyindirku?”

“Mungkin.” Kim Bum tersenyum lebar. “Nice crying!”

“Terima kasih, kau menertawakan kesedihanku.”

“Sedih? Hei, lihatlah dirimu!” Kim Bum menepuk jemari Kim So Eun, seakan menyadarkannya dari sesuatu. “Semalam memang kau menangis, tapi pagi ini kesedihan itu sungguh tidak tersisa, bahkan bekasnya pun tidak ada. Bercerminlah, dan lihat betapa cerahnya kau hari ini! Matamu begitu bercahaya, yang bahkan tidak pernah kulihat sejak hari pertama kita bertemu.”

“Kau sedang berusaha menghiburku?” Kim So Eun berucap dingin.

“Tidak,” Kim Bum menggeleng jujur. “Sungguh, aku melihatmu sebagai sosok yang baru hari ini!”

“Benarkah?” Kim So Eun melunak.

“Itu pendapatku. Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu semalam, dan bukan hakku untuk tahu lebih jauh. Aku bukan wartawan infotainment dan kau juga bukan selebriti. Tapi, kurasa kau mengalami sesuatu yang luar biasa, semacam pelepasan seperti yang kukatakan tadi, dan itu membuatmu menjadi seseorang yang baru hari ini.”

Kim So Eun menghela napas panjang. Analisis yang sangat tepat. Sedemikian mudahkah dirinya terbaca? Tapi baiklah, memang tidak ada yang perlu disembunyikan lagi di hadapan Kim Bum.

“Semalam aku telah mengambil keputusan,” katanya kemudian. Ia telah mengambil keputusan itu, bahwa ia ingin bersikap jujur, apa adanya. Juga terhadap Kim Bum.

“Tentang apa?” Kim Bum menunggu.

“Lee Min Ho. Aku ingin hubungan kami berakhir.”

Kim Bum terkejut. Gerakannya mengunyah terhenti. Dia tak menyangka Kim So Eun akan berkata selugas itu.

“Bagaimanapun, aku merasa kehilangan. Dia…,” Kim So Eun berpaling, menyembunyikan bening di ujung matanya yang datang tiba-tiba.

“Kau mencintainya,” lanjut Kim Bum.

“Ya, tapi sesudah pelepasan itu aku seperti terbebas dari sesuatu. Hatiku terasa ringan.”

“Lee Min Ho setuju?”

“Entahlah. Ini baru keputusan sepihak.”

“Bagaimana bila dia tidak mau melepaskanmu?”

“Kita akan segera mengetahuinya. Untuk itu, aku memerlukan bantuanmu.”

“Apa?”

“Siang ini juga aku harus menemui Lee Min Ho, karena itu pastikan kau bisa membebaskannya dari Park Min Young.”

“Oh, berapa lama?”

“Kira-kira satu jam. Apakah itu cukup bagimu?”

“Baiklah, di mana kau akan menemui Lee Min Ho?”

“Café Lavender, dek 8.”

“Jangan khawatir, akan kuusahakan Park Min Young ‘sibuk’ di perpustakaan, atau paling tidak, di taman bermain anak yang berada di dek 10 dan 12. Nah, cukup jauh bukan dari kalian?”

“Baguslah! Kau berbakat juga menjadi pemandu,” Kim So Eun berusaha tersenyum. Dia merasa berterima kasih pada Kim Bum.

Di ujung meja, Kim So Eun berdiam diri. Dia mencoba mempersiapkan hatinya. Betapapun keteguhan telah dimilikinya, tak bisa disangkal, pada sisi hatinya yang lain telah terjadi keguncangan yang tak terhindarkan. Sungguh bukan suatu hal yang mudah untuk mengambil keputusan itu! Berpisah dari Lee Min Ho? Hah!

Beberapa menit kemudian, pintu sorong terbuka.

Lee Min Ho berdiri di ambang pintu. Sejenak keraguan tampak menguasainya. Tersirat jelas, betapa pria itu canggung dan gugup.

“Kata Kim Bum, kau mencariku?” terlihat jelas Lee Min Ho menekan kegugupannya.

“Ya.” Kim So Eun mengangguk dingin. Dan, Kim So Eun terkejut mendengar suaranya sendiri. Begitu dingin suara itu, nyaris sedingin es. Ah, mengapa jadi begini? Mengapa mereka begitu kaku satu sama lain? Kemana perginya hari-hari berlumur madu yang mereka reguk selama ini?

“Soal semalam, maaf, aku…,” Lee Min Ho terdiam, kehilangan kata-kata.

“Sudahlah, Lee Min Ho. It’s okay. Aku tidak apa-apa,” kata Kim So Eun, tenang.

“Aku sedemikian gugup sehingga meninggalkanmu begitu saja,” Lee Min Ho memaparkan pembelaan diri. “Yang terpikirkan olehku, Park Min Young tidak bisa berenang dan dia….”

Sedang mengandung, sambung Kim So Eun dalam hati. Dan, kau tak punya waktu untuk mengetahui bahwa aku juga tak bisa berenang!

“Sudah sepatutnya kau melakukan itu,” kata Kim So Eun dengan tenang. “Tidak usah menyesali dirimu, kau telah mengambil keputusan yang tepat.”

“Tapi, aku meninggalkanmu…,” kata Lee Min Ho, menyesal.

“Manusia memiliki keterbatasan, kau tidak mungkin mendapatkan semua yang kau inginkan, Lee Min Ho.”

“Tapi, aku menginginkanmu lebih dari semuanya.” Lee Min Ho meraih jemari Kim So Eun dan mengecupnya lembut.

Kim So Eun menahan diri. Disadarinya bahwa jurang menganga lebar di depannya. Sekali ia salah melangkah, habislah sudah! Kecupan itu, meski lembut menyentuh hati, bisa saja menjadi pendorong ke dalam jurang maut.

“Jangan lakukan itu.” Kim So Eun berusaha melepaskan jemarinya.

“Kenapa?” Lee Min Ho menahan jemari itu dalam genggamannya.

“Maksudku… kita sudah selesai. Hubungan kita cukup sampai di sini saja, Lee Min Ho!”

“Tidak!” Lee Min Ho tampak jelas tidak setuju. Tanpa sadar ia mencengkeram jemari Kim So Eun dengan kuat sehingga gadis itu meringis kesakitan.

“Oh, maaf Kim So Eun. Aku tidak bermaksud menyakitimu,” kata Lee Min Ho, melepaskan genggamannya. “Aku tahu, kau berhak marah atas sikapku semalam. Tapi, itu tidak cukup menjadi alasan untuk menghentikan hubungan kita. Aku mencintaimu dan karenanya aku tidak akan melepaskanmu dengan alasan apa pun!” lanjut Lee Min Ho tegas.

“Tapi, aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi,” Kim So Eun bersikeras.

“Kenapa?”

“Aku punya keinginan lain, tidak sekadar menjadi ‘kekasih gelap’-mu!”

“Baik. Aku akan menikahimu, Kim So Eun.”

“Tidak! Bukan itu yang kuinginkan!”

“Lalu, apa?” nada suara Lee Min Ho menjadi tak sabar.

“Cinta….”

“Sudah berapa kali kukatakan, aku mencintaimu, Kim So Eun!”

Kim So Eun menggeleng perlahan. “Yang kau punya adalah cinta yang terbelah. Dan, itu tidak cukup untukku. Kupastikan, Park Min Young pun demikian.”

“Kau ingin aku menceraikan Park Min Young?”

“Tidak, karena itu pun belum cukup untukku!”

“Jadi, apa maumu sebenarnya?” Lee Min Ho nyaris kehilangan kesabaran.

“Sebenarnya adalah karena aku telah melihat dirimu dan diriku yang sesungguhnya,” kata Kim So Eun, tetap dengan penuh ketenangan. Emosinya tampak betul-betul terkendali.

“Menurutmu, kau mencintaiku, tapi sesungguhnya aku hanyalah sekadar ‘tamu’ di teras hatimu. Sebagai tamu, tentulah kau perlakukan aku dengan istimewa. Dan sebagai tamu, kubawa sesuatu yang indah bagimu, sebagai variasi penyegar hidupmu. Tapi, seorang tamu tetaplah tamu. Waktuku hanya sesaat, hakku sangat terbatas. Begitu kuambil lebih dari yang sepatutnya, maka jadilah aku sebagai duri dalam daging dalam hidupmu!”

“Tidak Kim So Eun, tidak seperti itu!” bantah Lee Min Ho. Ia tampak mulai gusar.

“Lihatlah dirimu sendiri,” sambung Kim So Eun, tak peduli. “Tidakkah kau sadari bahwa sesungguhnya kau mencintai Park Min Young? Aku telah melihatnya semalam. Ketika nalurimu memilih untuk menyelamatkan Park Min Young, sementara aku ada di sisimu. Itu sesungguhnya karena cinta pada alam bawah sadarmu yang menggerakkannya. Park Min Young yang ada di hatimu, bukan aku….”

“Maafkan aku, Kim So Eun. Hal itu…, ” Lee Min Ho ragu untuk meneruskan kalimatnya.

“Jangan, kau tidak perlu minta maaf untuk kejujuran yang telah kau lakukan. Karena sesungguhnya, itulah keutamaan yang harus kita punya. Kejujuranmu telah menuntunku untuk tahu dimana aku seharusnya menempatkan diri.”

“Jangan terburu-buru mengambil keputusan, Kim So Eun. Kau sedang emosi. Aku paham, kau tentu kecewa atas sikapku semalam.”

“Sungguh tidak, Lee Min Ho. Aku justru sangat rasional saat ini.”

“Kim So Eun, aku mohon, dengarkan aku…,” Lee Min Ho memohon penuh harap.

Kim So Eun menggeleng. Sekuat tenaga ia mengeraskan hati. “Bukan hal yang mudah memang untuk melupakan kebersamaan kita,” katanya, mempertahankan diri. “Tapi, bila diteruskan, kita akan terluka lebih dalam lagi. Dan akhirnya, akan jatuh salah satu korban.”

“Aku tidak akan mampu melakukan ini….”

“Mungkin tidak sekarang, tapi waktu akan membantumu. Apalagi nanti, sesudah anakmu lahir, dia tentu membawa kehidupan baru bagimu dan Park Min Young. Dan setelah itu, baru kau sadari, aku telah menjadi sekadar kenang-kenangan belaka bagimu.”

“Tidak akan!” Lee Min Ho bersikeras. “Aku tidak mungkin melupakanmu!”

Kim So Eun menghela napas panjang. Ditepuknya lembut jemari Lee Min Ho di atas meja. Gerakannya lebih mirip seperti seorang ibu yang menenangkan anaknya. “Terserah apa katamu. Lihat saja bagaimana waktu akan mengubahmu!”

“Aku akan tetap mencintaimu.”

“Terima kasih, tapi maaf, aku tidak bisa menyimpan cinta itu lebih lama lagi.” Kim So Eun memandang arlojinya. Batas waktu yang ditetapkan Kim Bum hampir berakhir.

“Waktumu sudah habis,” katanya, mengingatkan. “Aku meminta Kim Bum untuk menemani Park Min Young selama satu jam, jadi sekarang tentu dia sudah mulai gelisah mencarimu.”

“Tidak, Kim So Eun. Keputusan itu tidak datang dari hatimu!” tolak Lee Min Ho, bertahan.

“Bukankah kau pernah mengatakan akan melakukan apa pun yang kuinginkan?” tantang Kim So Eun. “Nah, sekarang, aku memintamu untuk pergi. Pergilah….”

Tatap mata mereka bertemu. Lama. Bagai saling mempertahankan keinginan diri. Masing-masing mengeraskan hati. Beberapa detik berlalu. Pada detik berikutnya, Lee Min Ho menyerah. Dia menyadari, Kim So Eun kukuh pada keputusannya itu. Sinar mata Kim So Eun menampakkan tekad yang tak tergoyahkan. Dan, mau tidak mau, Lee Min Ho harus menghargai keputusan itu.

“Baiklah, aku pergi,” kata Lee Min Ho kemudian, nyaris tak terdengar. Perlahan dia beranjak. Di ambang pintu langkahnya terhenti. “Bolehkah aku memelukmu, Kim So Eun?” tanyanya, tercekat.

Kim So Eun berpaling, menyembunyikan matanya yang membasah. Tidak, jangan lakukan itu, pintanya dalam hati. Atau langkahmu akan tertunda selamanya.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...