Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 25 Juni 2011

Love Story In Beautiful World (Chapter 7)



"Begini, Kim Bum. Mrs. Son Ye Jin tadi meminta dewan dosen bersidang untuk membicarakan tentang dirimu. Katanya kau menghinanya. Aku ingin mendengar keteranganmu sendiri."

Kim Bum terperanjat di dalam kursi empuk yang didudukinya, dan matanya tak berkedip mengawasi dekan fakultasnya. Lelaki berkaca mata putih itu juga mengawasinya.

"Sampai seperti itu?" kata Kim Bum terbata-bata.

"Ya. Mrs. Son Ye Jin ingin agar masalah ini dimasukkan ke dalam agenda rapat bulanan dewan dosen. Nampaknya dia sangat tersinggung. Kalau saya tidak salah tangkap, dia mengajukan alternative… kau dikeluarkan, atau dia yang keluar."

"Ah, sampai bagitu?" ulang Kim Bum.

"Ya, begitu," kata dekan itu. "Dan, seperti kau ketahui, dalam alternatif semacam itu, belum pernah ada kejadian dosen yang keluar. Kau mengerti maksud saya?"

"Ya, saya mengerti," desah Kim Bum.

"Sekarang, ceritakanlah seluruh persoalannya. Saya sangat menyukaimu, Kim Bum. Saya tidak ingin kau mengalami kesulitan di fakultas kita."

Kim Bum masih termangu-mangu.

"Ceritakanlah dari awal seluruh persoalan yang menyebabkan konflikmu dengan Mrs. Son Ye Jin," kata dekan itu lunak.

"Saya sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan ini. Saya tidak pernah merasa menyinggung perasaan Mrs. Son Ye Jin. Jadi, kalau faktor perasaan yang dijadikan pertimbangan, saya agak heran."

“Jadi, persoalannya?”

"Gelap. Saya tidak mengerti apa yang menyebabkan saya tidak bisa lulus dari Mata Kuliahnya."

"Kau sudah berusaha?"

"Saya kira ya."

"Jangan kira-kira. Apakah kau merasa hasil-hasil ujianmu bagus?"

"Saya tidak berani memastikan. Tetapi, Anda kan bisa membandingkan dengan Mata Kuliah-Mata Kuliah yang lain. Untuk Mata Kuliah yang Anda pegang misalnya. Apakah saya tergolong mahasiswa yang bodoh?"

Dekan itu mengelus-elus dagunya.

"Dan, dari Mata Kuliah dosen yang lain saya mendapat nilai yang memuaskan. Bahkan dari Mr. Han Jung Soo, Mr. Jang Hyuk, Mr. Ji Sung, saya mendapat nilai tinggi. Beberapa paper saya ada yang mendapat pujian, dan disingkat untuk dimuat dalam majalah ilmiah fakultas. Walau bukan untuk bersombong, apakah ini tidak bisa dijadikan bukti kualitas saya?"

Dekan itu tambah kuat mengelus dagunya, merasakan jenggotnya yang kurang bersih tercukur.

"Lantas, kenapa kau tak lulus dari Mata Kuliahnya?" ujarnya.

"ltulah sebabnya saya minta saksi-saksi untuk ujian saya!"

"Di situlah kesulitannya. Kalangan dosen biasanya saling tenggang rasa, tidak mau menyinggung perasaan koleganya."

"Kenapa harus mempersoalkan tenggang rasa kalau ukuran-ukuran penilaian adalah standard ilmu?"

"Ada banyak faktor lain yang harus diperhitungkan, Kim Bum. Faktor psikologis, kebiasaan, dan sebagainya. Itu semua mempengaruhi tindakan seseorang.”

"Tapi kita berada di dunia ilmu."

"Ilmu cuma alat, sedang pelaksananya adalah manusia. Manusia yang tidak lepas dari segala macam faktor yang saya katakana tadi."

"Lalu, apakah Anda membiarkan cara-cara yang non-ilmiah begitu di fakultas kita?"

"Tentu saja tidak. Tapi, kau harus mengerti posisi saya, Kim Bum. Selama ini kau banyak membantu di fakultas kita. Sekarang pun saya harap begitu. Saya ingin kau tidak menambah keruwetan persoalan ini.”

"Maksud Anda?"

"Jangan mendesak dosenmu. Sebab, bagaimanapun juga mereka punya rasa se-korps."

"Apakah itu berarti saya harus menerima keadaan saya?"

"Tentu saja tidak. Saya harap kau menunggu redanya suasana. Nanti pelan-pelan dijernihkan persoalannya."

"Saya sudah dua tahun terlambat di Mata Kuliah Mrs. Son Ye Jin. Beberapa lama lagi saya harus bersabar?"

"Daripada sama sekali out?"

"Apakah Anda mentolerir tindakan-tindakan semacam itu? Kalau begitu, apakah gunanya prinsip-prinsip kebenaran, prinsip-prinsip ilmiah yang kita agung-agungkan selama ini?" Kim Bum terengah menahan perasaannya yang bergejolak. Putus asa mengharu-biru.

"Saya tidak mentolerir tindakan-tindakan yang melanggar prinsip-prinsip kebenaran ilmiah. Tapi, persoalannya tidak sesederhana menegakkan kebenaran itu. Kita menghadapi realita yang kompleks. Dan, yang terpenting, saya tidak menghendaki stabilitas di fakultas kita terganggu, selama saya menjadi dekan," kata dekan itu.

Kim Bum tertunduk.

"Walaupun untuk itu harus melanggar prinsip-prinsip kebenaran ?" ujarnya pelan.

"Ah, berpikirlah sedikit pragmatis*), Kim Bum. Jangan tuntut yang berlebihan pada masa sekarang. Dalam keadaan yang ada, kita cuma mengusahakan stabilitas agar tercipta iklim kerja yang baik. Itu saja."

*) Pragmatis
(1) bersifat praktis dan berguna bagi umum; bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan); mengenai atau bersangkutan dng nilai-nilai praktis;
(2) mengenai atau bersangkutan dng pragmatisme

Tangan Kim Bum menggigil ketika menyalakan rokoknya yang padam beberapa saat tadi.

"Ya, harus pragmatis." Suaranya tersekap. Dekan itu melihat kepahitan yang menyaputi wajah lelaki muda di depannya.

"Lalu, apa yang harus saya lakukan?" tanya Kim Bum lesu.

"Tidak ada."

Kim Bum mengerutkan kening.

"Maksud saya, kau harus tidak melakukan apa- apa. Usahakan meng-clear-kan persoalanmu ini. Dan, saya akan mengusahakan agar persoalan ini tidak meluas ke rapat dewan dosen," kata dekan itu.

"Berapa lama saya harus menunggu?"

"Tergantung pendekatan psikologismu pada Mrs. Son Ye Jin. Sampai dia menetralisir kemarahannya dan kau bisa ujian secara wajar."

"Kalau dia tetap menjatuhkan saya?"

“Usahakan terus. Usahakan terus."

"Sampai kapan ?"

"Sampai dia meluluskanmu."

"Yang benar saja."

"Kenapa? Saya akan bantu melunakkan hatinya. Tapi, tentunya harus pelan-pelan. Maklumlah menghadapi perempuan."

"Tapi, barangkali saya tidak bisa memperoleh kesempatan itu."

"Tidak akan lama lagi, Kim Bum. Perasaan perempuan begitu gampang dipengaruhi rasa marah, begitu gampang pula berubah. Kau harus sabar."

"Bukan sekedar soal kesabaran, Mr. Bae Yong Jun. Ini persoalan waktu. Kita terikat pada ruang dan waktu yang terbatas. Dan, untuk jangka waktu studi saya, hanya terbatas pada enam bulan mendatang. Setelah itu, selesai atau tidak, saya harus mencari nafkah sendiri."

Dekan itu terpaku.

"Kalau tidak ada hambatan dari Mrs. Son Ye Jin, setahun yang lalu saya sudah menyelesaikan skripsi saya," kata Kim Bum.

Dekan itu tidak bersuara. Dia sedang mengenang masa kuliahnya dulu. Dia terkenang ancaman biaya studi yang terbatas dari orang tuanya. Orang tuanya mengejar terus dengan pertanyaan, "Kapan, kapan selesai? Adik-adikmu juga ingin bersekolah. Biaya untuk meraka juga harus dipikirkan."

Sekelebatan bayangan Mrs. Son Ye Jin menyelip. Ketika Mrs. Son Ye Jin kuliah, dekan itu sudah menjadi dosen di situ. Mrs. Son Ye Jin adalah bunga yang dipuja oleh siapa saja. Tetapi, dia tidak pernah peduli. Dia berjalan begaikan merak dalam pakaian indahnya. Kenapa dia harus memalingkan kepala ke arah mahasiswa-mahasiswa yang memujanya, sedangkan wajahnya yang cantik dan otaknya yang brilian tidak memerlukan bantuan siapa pun. Ayahnya seorang dokter dan kiriman lewat bank setiap bulannya tentunya melebih gaji dosen. Dia punya buku-buku lengkap, dan dibacanya hanya untuk mencibir dalam menghadapi kebodohan rekan-rekannya.

Dekan itu tetap merasa dadanya sesak ketika Kim Bum bersiap keluar dari ruangan itu. Hati dekan itu rusuh melihat kepahitan pada lekukan bibir lelaki muda itu. Sebab, dia merasa bahwa dirinya ikut menghancurkan kepercayaan mahasiswa itu.

Di pintu, dekan itu berkata, " Apa pun yang terjadi, Kim Bum, percayalah bahwa bukan prinsip-prinsip kebenaran itu yang lenyap, melainkan keadaanlah yang memaksa kita harus bertindak lain."

"Ya, Mr. Bae Yong Jun," kata Kim Bum tanpa semangat.

"Jangan sampai kehilangan kepercayaan pada prinsip-prinsip kebenaran."

"Ya, saya akan tetap menghormati prinsip-prinsip kebenaran. Hanya saja, saya sadar bahwa tempatnya bukan di dunia ini sekarang. Dia hanya bisa berada di masa lalu dan masa akan datang."

Kerongkongan dekan yang mengajarkan Filsafat Psikologi itu tersekat.

"Saya akan berpikir sepraktis-praktisnya. Saya akan pragmatis dalam segala hal. Idealisme dalam soal apa pun cuma menyusahkan saja." Mata lelaki muda itu buram dalam keremangan senja.

Dekan itu tercenung di mulut pintu. Dia bahkan tidak bisa bersuara ketika Kim Bum mengucap, "Terima kasih, Mr. Bae Yong Jun. Selamat sore."

Apakah yang diterimakasihkannya? Apakah yang telah kuberikan kepadanya? Apakah yang kuajarkan selama ini? Dusta, kebohongan, atau cuma mimpi-mimpi? Sementara itu, dalam realita, aku mengajarkan sesuatu yang sama sekali mengesampingkan ajaran-ajaran di mimbar kuliah.

Dekan itu mengerjap-ngerjapkan matanya, memaksakan diri agar bisa menatap kepergian lelaki muda itu. Tetapi, Kim Bum kian lenyap ditelan kelamnya malam yang menggeser senja.

Bibit yang unggul telah hilang, pikir dekan itu. Jika seorang muda telah kehilangan kepercayaan pada kebenaran, siapa lagi yang bisa di harapkan memelihara prinsip-prinsip suci itu?

Dan, dekan itu masih lama termangu menatap ke jalan raya yang melintang di depan rumahnya.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...