Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 04 Juni 2011

Biarlah Rahasia (Chapter 8)



Sudah berminggu-minggu Kim So Eun mencari Kim Tae Hee. Ia sudah menghubungi teman-teman ibunya, sanak saudara yang biasa didatangi ibunya, bahkan sampai ke rumah sakit. Kekhawatiran Kim So Eun makin menjadi ketika membaca satu kalimat di koran harian: Ditemukan mayat tanpa busana di semak-semak. Ciri yang digambarkan sama persis dengan kondisi ibunya. Usia sekitar 45 tahun, berambut lurus panjang, kulit putih, dan tinggi kira-kira 165 cm.

Detak jantungnya hampir saja berhenti, ketika ia melihat lang¬sung mayat yang terbujur kaku di kamar mayat sebuah rumah sakit di Seoul. Wajahnya hampir sama dengan ibunya. Tapi, bukan, itu bukan ibunya.

Kim So Eun kebingungan, mau mencari ibunya ke mana lagi. Semua tempat sudah ditelusuri. Ia juga sudah melaporkan kasus kehilangan ini ke kepolisian. Tapi, hasilnya nihil.

Apakah Ibu menyimpan dendam padaku dan sudah tidak lagi menganggap aku sebagai anaknya? Mengapa ia tidak mau pulang?

Di tengah kebingungan, Kim So Eun teringat akan Bibi Lee Yo Won, kakak ibunya, yang tinggal di Incheon. Mungkinkah Ibu sekarang berada di Incheon? Tapi, mungkinkah ia pergi sejauh itu? Tapi, siapa tahu….

“Selamat malam, Bibi Lee Yo Won. Ini Kim So Eun. Apa kabar, Bibi?” tanya Kim So Eun.

”Oh, kau. Ada apa kau telepon kemari?” kata Lee Yo Won, dingin.

“Bibi, apakah Ibu di sana?” suara Kim So Eun tersendat, sedikit takut.

“Kalau ada, kenapa?” ujar Lee Yo Won, tetap dingin.

“Aku mau menjemput Ibu!”

“Menjemput? Tidak bisa! Bibi tidak mengizinkan kau menjemput Ibumu sebelum kau minta maaf padanya. Bagaimana kau tega membiarkan Ibumu pergi dari rumah? Kau tidak tahu kan apa yang terjadi selanjutnya?”

“Selanjutnya? Maksud Bibi?”

“Ibumu mengalami kecelakaan ketika baru tiba di Incheon. Ia ditabrak mobil yang melaju kencang. Sialnya, si pengendara kabur. Untunglah, di dompetnya ada nomor telepon Bibi. Ibumu sempat koma.”

”Mengapa Bibi tidak memberitahukanku?”

“Apa perlunya? Setelah siuman, Ibumu berpesan agar tidak menghubungimu. Karena, ia tidak mau disakiti lagi olehmu!” ujar Lee Yo Won, tegas.

Kim So Eun menarik napas panjang. “Jadi, bagaimana keadaan Ibu sekarang?”

Desah napas Lee Yo Won terdengar berat, seperti ada beban yang menghimpit dan sulit dikatakan.

“Ibumu…,” Lee Yo Won tak melanjutkan kata-katanya.

“Bibi, ada apa dengan Ibu? Bibi, aku memang salah. Aku memvonis Ibu bersalah, tanpa mau mendengarkan alasan apa pun. Saat itu, Aku kalut dan bingung. Semua media massa memojokkanku. Mereka tidak mempedulikan kondisiku sama sekali. Bibi, izinkan aku bertemu dan memohon ampun pada Ibu,” pinta Kim So Eun.

“Saat ini kesehatan Ibumu sudah pulih, meski kadang-kadang Bibi sering mendapati ia menangis dan memanggil-manggil namamu. Tapi, akibat kecelakaan itu, kaki kanannya diamputasi. Inilah yang sempat membuatnya depresi. Dan, ia sempat nekat ingin bunuh diri!”

Rumah di Technical Street 86, Taekgoo, Incheon, terlihat lengang. Sebuah taksi berhenti tepat di depan gerbang berwarna cokelat perak.

“Terima kasih, Tuan! Kembaliannya ambil saja!”

“Sebanyak ini?” tanya sopir taksi, kaget. Selama menjadi sopir taksi, ia belum pernah mendapat tip sebesar itu. Penumpangnya mengangguk.

Seorang pria tampan turun dari taksi dan masuk ke rumah itu.

“Ibu! Ibu!” ia memanggil ibunya dari depan pintu gerbang.

Tak ada tanda-tanda pintu gerbang akan dibuka, ia berteriak lagi. Namun, beberapa menit menunggu, tak juga ada yang muncul. Ia lalu mencoba menghubungi ponsel ibunya. Setelah beberapa kali dering, barulah diangkat.

“Kenapa, baru diangkat teleponnya, Bu!”

“Hei, Kim Bum. Maaf, Ibu agak tidak enak badan. Setelah minum obat baru bisa tidur.”

”Bu, Aku ada di luar. Dari tadi sudah teriak-teriak panggil Ibu, tapi tidak ada yang membukakan pintu.”

Han Ga In mengintip jendela ruang tamu. Setelah melihat siapa yang berdiri di balik pagar, ia bergegas menuju pintu gerbang.

“Kenapa tidak bilang kalau mau pulang?” kata Han Ga In, sambil menggandeng Kim Bum masuk ke rumah. Ia ambilkan minuman dingin, lalu duduk di sebelah Kim Bum, yang sedang beristirahat di ruang keluarga.

”Kau sehat, Kim Bum? Waduh… anak Ibu semakin tampan saja. Hmm… jangan-jangan di sana sudah punya kekasih,” kata Han Ga In.

“Memang sudah!” jawab Kim Bum, mantap. ”Tapi, dia orang Seoul. Dia cantik dan pintar. Pokoknya, Ibu pasti akan bangga punya menantu seperti dia,” kata Kim Bum, bangga.

“Ibu jadi penasaran. Ada fotonya tidak?”

“Ibu lebih baik langsung berkenalan dengan orangnya. Ia baik sekali. Rencananya, minggu ini aku akan ke Seoul untuk melamarnya.”

“Hebat, datang-datang memberikan kejutan. Tapi, Ibu juga punya kabar gembira untukmu!”

“Kabar gembira? Tanah Ibu sudah terjual?” Kim Bum menerka.

“Bukan itu. Ini tentang sakit hati Ibu yang sudah sembuh! Perasaan benci, dendam, dan sakit hati Ibu pada Kim Tae Hee sudah terbalas.”

“Kim Tae Hee? Kim Tae Hee siapa, Bu?” tanya Kim Bum, bingung.

“Mantan istri Song Seung Hun, ayah tirimu. Masih ingat?”

“Ya, ingat. Tapi, ada apa dengannya?”

“Kau ingat tidak, gara-gara dia, Ibumu masuk penjara!”

“Tapi, semua itu kan karena ulah Ibu juga. Mengapa Ibu berencana membunuhnya? Padahal, Paman Song Seung Hun sudah meninggalkannya,” ujar Kim Bum, seakan membela Kim Tae Hee.

“Kau, kenapa malah membela dia! Dengar ya Kim Bum, Ibu tidak mau ditinggalkan untuk kedua kalinya oleh pria yang Ibu cintai. Kau tentu masih ingat tingkah laku ayahmu. Katanya, ia sudah meninggalkan perempuan selingkuhannya itu. Sampai ia bersumpah untuk tidak mengulangi lagi. Nyatanya, ia masih bersama perempuan itu dan akhirnya lebih memilihnya daripada Ibu. Kau ingat, betapa Ibu menderita karena ulahnya!”

Ya, Kim Bum ingat. Masa lalu kembali membayang di pelupuk matanya. Ibunya seperti orang hilang ingatan ketika harus berpisah dari orang yang dicintainya. Ibunya secara tiba-tiba sering menangis, berteriak, tertawa, bahkan memukul-mukul tanpa sebab. Untunglah, adik ibunya dengan cepat membawa ibunya untuk menjalani perawatan.
“Ibu tidak ingin Song Seung Hun kembali lagi padanya!” lanjut Han Ga In berapi-api.

“Tapi, bukankah ketika itu Paman Song Seung Hun mengatakan bahwa ia sudah menceraikan istrinya?”

“Katanya, begitu. Tapi, kenyataannya, setiap kali Ibu ingin melihat bukti surat cerainya, ia tidak pernah bisa memberikan. Perasaan takut kehilangan orang yang Ibu cintai semakin menghantui. Apalagi, Ibu dengar, saat itu Kim Tae Hee sedang berbadan dua. Ibu tidak mau Song Seung Hun berpaling dan meninggalkan Ibu. Jadi, lebih baik dilenyapkan saja!” suara Han Ga In terdengar ringan, tanpa beban.

“Apa? Dia sedang hamil? Ibu benar-benar kejam! Apakah Ibu tidak merasa berdosa ikut membunuh janin yang dikandungnya?” tanya Kim Bum, yang tidak pernah mengi¬kuti perkembangan kasus ibunya. Karena, pada saat ibunya memutuskan untuk berumah tangga dengan Song Seung Hun, ia sudah berada di Paris untuk menuntut ilmu. Keluarga dari pihak ayahnya banyak yang bermukim di sana dan ingin menyekolahkannya.

“Sayangnya, Kim Tae Hee dan anak itu masih diizinkan meng¬hirup udara dunia. Tapi, Jae Hee malah mati terbunuh. Itulah yang membuat Ibu semakin membenci perempuan itu. Karena, sebelum mati, Jae Hee buka mulut bahwa dalang pembunuhan itu adalah Ibu. Kim Bum, kau boleh marah atau protes. Tapi, dendam ini sudah bertahun-tahun Ibu pendam. Akhirnya, Ibu mendapatkan saat yang tepat untuk membalasnya. Putri Kim Tae Hee sekarang sudah tumbuh menjadi gadis cantik dan menarik. Kariernya semakin berkibar di dunia hiburan. Ibu sengaja membeberkan masa lalu ibunya pada media. Hasilnya, karier putrinya itu hancur,” kata Han Ga In, sambil tertawa.

“Bu, Ibu sadar atau tidak bahwa perbuatan Ibu itu menghancurkan kehidupan mereka. Apa salah mereka, Bu?” tanya Kim Bum, terheran-heran. Ia tidak menyangka ibunya sanggup melakukan semua itu

“Sangat, sangat sadar, Kim Bum. Ibu puas! Mereka semua hancur. Bicara tentang kesalahan, Ibu tidak tahu siapa yang salah dalam hal ini. Tapi, gara-gara Kim Tae Hee, harga diri Ibu hancur. Coba kau bayangkan, semua koran memuat berita tentang seorang pengusaha cantik yang masuk penjara. Betapa malunya Ibu saat itu. Sekarang, kondisi yang sama pun dirasakan oleh Kim Tae Hee dan anaknya. Media massa menyorot sisi kelam kehidupan Kim Tae Hee. Satu sama, ’kan?” ucap Han Ga In, tersenyum puas.

Kim Bum tidak bisa berkata-kata lagi. Suasana siang itu jadi terasa hampa.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...