Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Selasa, 07 Juni 2011

Magic Girl (Chapter 9)



"Kim So Eun Tunggu! “Kim So Eun menghentikan ayunan kakinya, menoleh ke belakang dan mendengus kesal tatkala melihat sosok yang mendekatinya. Si cantik, berhidung mancung, bergigi mutiara. Si cantik dengan segala kesempurnaan yang diimpikan para gadis remaja. Cantik, menarik, lincah. Cuih. Tapi toh bibir Kim So Eun tetap berusaha mengukir sebuah senyum.

"Aku mau menagih janji," ujar Jung So Min, seperti biasa sambil memamerkan sederetan mutiara kecil di balik bibirnya yang ranum dan merah alami. Berkilat dipoles olesan lipgloss.

"Janji apa?" sahut Kim So Eun acuh tak acuh.

"Katanya mau mengajariku mengarang.... Begini, Kim So Eun, rencananya untuk mengisi liburan, aku ingin belajar menulis. Siapa tahu berhasil dimuat di majalah kan lumayan honornya...." Jung So Min nampak antusias.

"O..."

"Bagaimana, Kim So Eun? Kapan?" desak Jung So Min.

"Kapan ya?" Kim So Eun balik bertanya dengan malas-malasan. Mengajari Jung So Min? Saingannya sendiri? Rasanya ia bukan manusia normal kalau punya hati sebaik dan setulus itu pada orang yang dianggapnya telah menghancurkan persahabatannya dengan Kim Bum.

"Aku bersedia datang ke rumahmu...."

"Ke rumahku? Hmm..." Kim So Eun melirik ke arah perpustakaan berusaha menghindari percakapan lebih jauh. Ia khawatir Jung So Min terus mendesak hingga akhirnya ia terpaksa mengiyakan.

"Kapan?" desak Jung So Min lagi.

"Nanti saja kuputuskan pulang sekolah. Sekarang aku harus ke perpustakaan dulu, ada yang harus kupinjam." Kim So Eun melambai dan berlalu tanpa menunggu jawaban Jung So Min lagi. Huh. Selamatlah aku.

Kim So Eun menghela napas lega begitu tiba di gerbang perpustakaan. Sesaat Kim So Eun bersandar di lekukan dinding yang tak terlihat dari luar. Sebetulnya ia tak ada keperluan apa-apa di perpustakaan. Dari jauh diintainya Jung So Min, jika anak itu sudah lenyap ke dalam kelas, baru ia keluar dari persembunyiannya.

"Hei, Kim So Eun...," tegur Go Ah Ra ramah. Go Ah Ra adalah salah satu kawanan cewek gangster yang dipimpin Moon Geun Young. Tapi sejak kekalahan Moon Geun Young dua kali berturut-turut tempo hari, mereka mulai menghormati Kim So Eun. Bahkan kelihatan seperti menawarkan persahabatan.

"Hai..."

"Menunggu Kim Bum?" Kim So Eun diam dan akhirnya mengangguk asal saja. Ia toh tak punya alasan lain. Apakah ia harus bilang bahwa ia menyembunyikan diri di sini untuk menghindari Jung So Min? Oho... tentu tidak.

"Itu Kim Bum...." Go Ah Ra menunjuk ke arah jalan setapak.

Kelihatan Kim Bum tengah berjalan di samping Jung So Min sambil menggiring sepedanya. Sesekali Jung So Min menepuk bahu Kim Bum dengan bukunya. Manja dan akrab.

Rahang Kim So Eun mengeras, seluruh urat sarafnya tegang. Jantungnya berdebar menahan perasaan aneh yang bermain bagai angin ribut di dadanya. Entah iri, entah cemburu. Seharusnya dialah yang berjalan bersama Kim Bum, setiap pagi, seperti kebiasaan mereka. Dulu. Sebelum perselisihan demi perselisihan muncul di antara dia dan Kim Bum.

"Sepertinya Kim Bum lupa akan janjinya," pancing Go Ah Ra lagi.

"Diam kau..." Go Ah Ra mengangkat bahunya dan berlalu.

"Aku hanya memberitahu, Kim So Eun, kalau aku jadi kau, akan kususul mereka dan kugandeng Kim Bum agar Jung So Min mengerti. Kaulah yang pantas untuk Kim Bum," ujarnya sebelum meninggalkan Kim So Eun dalam kesendirian yang hening.

Tiba-tiba saja Kim So Eun ingin membuat Kim Bum malu di hadapan Jung So Min... Ah... tidak, tidak... Kim So Eun cepat meralat keinginannya. Ia tak sampai hati melakukannya pada Kim Bum. Mengapa bukan Jung So Min saja? Ya... tentu akan lucu dan memalukan bila tiba-tiba...

Kim So Eun ingat apa saja isi tas Jung So Min, gadis tergenit di sekolah ini. Kim Bum pasti tak suka melihat perlengkapan Jung So Min yang mirip salon kecantikan keliling itu.

"Oh... oh... ooohh..," terdengar teriakan panik Jung So Min memunguti barang-barang yang mendadak berjatuhan dari tasnya. Kim Bum tertegun sesaat. Dari kejauhan Kim So Eun mengamati. Lipstick, sisir, bedak, parfum dalam botol kecil, tissue, menthol pengharum hawa napas... apa lagi? Cermin kecil... ha., ha... ha...

Tapi tawa Kim So Eun harus terhenti waktu dilihatnya Kim Bum ikut membantu Jung So Min membenahi barang-barangnya yang berserakan.

"Oh... terima kasih, Kim Bum... Aku tidak tahu kalau tasku sudah demikian lapuk hingga jebol begini," keluh Jung So Min kebingungan campur malu.

"Tidak apa.... Ngomong-ngomong kau salesgirl kosmetik, ya?" tukas Kim Bum sambil mengedipkan mata separuh menyindir. Satu hal yang kurang disukainya dari Jung So Min memang dalam soal gejala "over centil" gadis satu ini. Kecentilan yang dimusuhinya itu ada dalam diri semua gadis.

Ya... semua gadis ingin punya kelebihan, ingin menarik perhatian lawan jenis dengan menonjolkan kecantikannya saja. Cuma satu gadis yang kukenal, yang punya kecantikan lahiriah yang memancar dari dalam. Kepandaian. Sayang... agaknya kesahajaan itu mulai lenyap dari diri Kim So Eun, pikir Kim Bum sedih....

Kim So Eun menggigit bibirnya. Kim Bum dan Jung So Min masih berjalan beriringan hingga berpisah di ujung koridor. Kim Bum ke kelasnya dan Jung So Min terus ke arah kamar kecil. Tentu membetulkan tataan rambutnya atau menambah bedaknya.

Bel berbunyi tiga kali. Dengan malas Kim So Eun berjalan menuju kelas. Hatinya resah.

Rasa kehilangan membuat hari berjalan lambat dan menjemukan. Adakah Kim Bum merasakannya juga?

***

Suasana kantin kini bukan lagi hal yang asing bagi Kim So Eun. Ya, sejak Kim Bum mengajarnya untuk tidak menutup diri. Untuk membaur agar bisa diterima oleh lingkungan. Untuk tidak memiliki prasangka pada lingkungan.

Ah... Kim Bum, Kim Bum, batin Kim So Eun agak sedih. Dari hari ke hari rasa kehilangan itu bukannya memudar, akan tetapi justru kian melekat. Mengerat lubang yang kian dalam. Lubang kekosongan. Di sudut ini, di meja kayu bercat biru muda inilah biasanya aku dan Kim Bum duduk bersama. Menikmati hotdog, siomay, atau sekadar minum orange jus.

Kini... meja ini bukan lagi tempat yang menjanjikan keceriaan atau persahabatan atau semangat. Meja ini tak lebih dari meja-meja lainnya. Tak ada kesan.

Kim So Eun menatap gelas orange jus agak lama. Sang gelas pun lantas bergerak mendekat seolah tahu bahwa Kim So Eun sedang haus tapi malas bergerak meraihnya. Kekuatan formula itu masih ada, pikir Kim So Eun. Tapi itu tak lagi berarti.

"Aduh... Kim Bum... sakit," terdengar pekik suara genit di sela ketawa-ketiwi dua insan.

Kim So Eun mendengus membuang muka melihat Jung So Min dan Kim Bum melintas di hadapannya. Kim Bum pun seolah tak mengacuhkannya. Terus saja melanjutkan acara canda rianya dengan Jung So Min. Menarik-narik kuncir kuda gadis centil itu. Cuih...

"Memangnya aku kuda... ditarik-tarik begitu. Sudah ah...!!" rengek Jung So Min.

"Yiihhaa!" teriak Kim Bum konyol sambil bergaya ala cowboy Texas yang mengendalikan kudanya.

"Kim Bum..."

"Kadang-kadang kau seperti kuda juga, Jung So Min, kalau kebanyakan nyengir.... Nyengir kuda seperti itu," goda Kim Bum lagi seraya mengerling ke arah Kim So Eun.

Di saat yang sama, ternyata Kim So Eun juga sedang mencuri pandang ke arah mereka berdua. Tatapan mata mereka bersirobok, berbenturan sesaat. Satu detik, dua, tiga, lima, sepuluh...

Kim So Eun segera menundukkan kepalanya dengan rasa jengah. Kim Bum pun mengambil sikap sama, mengalihkan matanya pada Jung So Min kembali. Tak ada yang tahu, kejadian itu begitu singkat, tapi cukup mengobati rindu yang tersirat dalam bola mata masing-masing.

Kata orang mata adalah jendela jiwa. Sayang belum ada kamus khusus tentang mata. Jika ada, tentu Kim Bum mengetahui betapa Kim So Eun sangat merindukan kebersamaan seperti dulu lagi. Dan sebaliknya Kim So Eun pun dapat mengerti bahwa hati Kim Bum masih tertinggal padanya, bukan beralih pada Jung So Min seperti kelihatannya.

"Kim Bum, kita duduk bersama Kim So Eun saja ya," ajak Jung So Min setengah berbisik.

"Pasti seru, dia sedang melamun, kita kagetkan dari belakang," usul Jung So Min nakal.

Kim Bum menggeleng.

"Ahh... ayo..."

Melihat Kim Bum tak bereaksi. Jung So Min dengan gayanya melenggang menghampiri Kim So Eun dari arah belakang. Mengendap-endap, bersiap mengageti. Dan...

"Aaawwww..." lengkingan panjang terdengar. Bukan suara Kim So Eun melainkan suara Jung So Min.

Kim So Eun tersenyum dan tertawa dalam hati. Rasakan... gadis nakal dan centil. Kaupikir aku sedang melamun? Huh. Justru aku sedang memikirkan cara untuk mengusik kebahagiaanmu dan Kim Bum! Dan rencanaku sukses besar... gumam Kim So Eun dalam hati.

"Kenapa kau. Jung So Min?" tanya Kim So Eun berlagak terkejut dan agak panik. Kim Bum pun menghampiri, ikut membantu Jung So Min yang terjatuh karena kakinya tersandung kursi.

"Hati hati, lain kali," gerutu Kim Bum.

Belakangan ini ada saja hal-hal aneh yang terjadi atas diri Jung So Min. Yang tasnya jebol, yang alat kosmetiknya berserakan-lah, yang tersandung kursi-lah. Huh. “Kursi di depan mata kenapa tidak kelihatan?

"Tadi rasanya tidak ada kursi...."

"Ah, masa? Mungkin eye shadow-mu terlalu tebal hingga mengganggu penglihatanmu," tukas Kim So Eun dingin sambil berlalu dari situ.

***

"Apa sebenarnya yang tengah terjadi pada dirimu, Kim So Eun?" tanya Kim Bum dengan kepala tertunduk dan tangan tenggelam di saku jeansnya.

"Tidak ada apa-apa," sahut Kim So Eun acuh.

"Jangan membohongi dirimu sendiri. Kim So Eun... aku merasakannya. Aku..."

"Apa yang kaurasakan?" tanya Kim So Eun setengah menantang.

"Aku kehilangan Kim So Eun-ku, sahabatku," desis Kim Bum sejujurnya.

Kim So Eun menelan ludahnya. Dicobanya untuk menutupi rasa haru yang bermain di dadanya. Dicegahnya kepalanya yang seolah ingin mengayun menyatakan bahwa ia pun merasakan hal itu.

"Kau kehilangan aku? Justru kau yang seperti selalu menghindariku, Kim Bum... seperti bocah yang bosan dengan mainan lamanya dan menemukan mainan baru... yang lebih cantik," ujar Kim So Eun membayangkan sosok Jung So Min.

"Kim So Eun, kau tidak mengerti... bukan itu maksudku."

"Oh, aku mengerti... aku mengerti kalau aku tidak punya kelebihan apa pun dibanding gadis-gadis lain yang cantik, pesolek, dan hafal betul merek kosmetik modern zaman sekarang. Sedangkan aku? Aku hanya tahu rumus-rumus, judul-judul buku sastra, dan..."

"Justru itu kelebihanmu," sela Kim Bum sambil menatap mata Kim So Eun dalam dan tajam. Kim So Eun ternganga tak mengerti.

"Jung So Min tak sesempurna dugaanmu, Kim So Eun, tapi belakangan ini kau seperti berubah. Aku kehilangan Kim So Eun bukan dalam arti sebenarnya. Aku kehilangan Kim So Eun-ku dengan segala sifat-sifat lucu dan uniknya," desah Kim Bum.

Kim So Eun tertegun.

"Mengertikah kau, Kim So Eun?"

"Dan karena itu kau lantas mengakrabi Jung So Min?" tanya Kim So Eun.

"Bukan karena itu, tapi..."

"Karena apa?" potong Kim So Eun penasaran.

Kim Bum terdiam. Sulit untuk mengakui bahwa sebenarnya memang ia sengaja membuat Kim So Eun cemburu. Membuat Kim So Eun merenungi dirinya sendiri. Lantas menyadari bahwa ada yang hilang dari dalam dirinya. Kepribadiannya. Kerendahhatian dan kelembutannya. Keluguan dan kepolosannya. Semua telah berganti kepongahan setelan bisa mengalahkan Moon Geun Young. Kim So Eun menjadi gadis yang cenderung sirik dan suka menertawakan kesusahan orang lain.

“Ah... aku mengerti, tentu karena memang Jung So Min lebih baik daripada aku. Bagaimanapun juga, tentu penampilan fisik lebih menentukan, bukan?" tuding Kim So Eun lantaran Kim Bum tak memberi argumen.

“Tidak, Kim So Eun... aku..."

"Kalau cuma untuk itu kau datang kemari, lebih baik tidak usah dan jangan pernah lagi!" Kim So Eun bangkit dari kursinya, meninggalkan Kim Bum sendiri di serambi rumahnya dan membanting pintu agak keras.

Senja memerah di ufuk barat. Kim Bum meninggalkan halaman rumah Kim So Eun dengan langkah perlahan dan kepala tertunduk menatap langkah demi langkahnya yang lesu. Niat baiknya kandas sudah, dan kelihatannya justru memperburuk keadaan. Peristiwa siang tadi di kantin membuat Kim Bum tak bisa menahan keinginannya untuk berjumpa dengan Kim So Eun. Kerinduan yang ditekannya seperti tergelitik waktu tatapan mereka bertemu di kantin. Tapi nyatanya, hati Kim So Eun tetap sekeras batu, Kim So Eun telah banyak berubah...

Apakah aku harus menyerah? pikir Kim Bum lelah. Jika kita menyayangi seseorang, apakah kita akan membiarkannya kehujanan atau tersesat di rimba tak bertuan? Tidak, geleng Kim Bum menjawab pertanyaan itu sendiri. Aku harus menggamit lengannya, membawakan lentera baginya, menuntunnya kembali. Tapi bagaimana caranya? Kim Bum mengangkat kedua bahunya. Pasrah.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...