Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Sabtu, 25 Juni 2011
Love Story In Beautiful World (Chapter 8)
Ada perasaan takut dalam hati Kim Bum manakala dia memikirkan Park Ji Yeon. Makanya dia berusaha untuk tidak bertemu dengan gadis itu. Membayangkan Park Ji Yeon, sama halnya membayangkan seorang istri yang berani menyuruh suaminya mengurus rumah. Begitu selalu yang membayangi pikiran Kim Bum. Boleh jadi ini berlebihan. Tetapi, sungguh hal ini membuatnya takut pada gadis itu.
Dia tak bisa menentukan kapan image Park Ji Yeon berubah seperti itu. Dulu, Park Ji Yeon baginya adalah gadis yang lembut, perasa, dan melankolis. Tetapi, sekarang dia telah menjadi perongrong. Kesetiaannya adalah bentuk kesetiaan primitif. Mengikat. Ulur-mengulur yang sangat indah dalam suatu percintaan bagai tak dimilikinya lagi. Nampaknya, cinta baginya hanya semacam sarana untuk mencapai perkawinan. Perkawinan menjadi tujuan, dan cintalah sarana untuk mencapainya. Padahal bagi Kim Bum justru cintalah yang menjadi tujuan, dan perkawinan hanya sebagai sarana.
Serupakah pacaran dengan cinta? Dan, haruskah menuju perkawinan? Kim Bum kian takut pada perkawinan. Apalagi perkawinan yang terlalu diagung-agungkan, yang menyebabkan manusia harus terikat pada lembaga yang bernama perkawinan itu. Tak peduli bagaimana kualitas perkawinan, tetapi kedua pihak dipaksa untuk memeliharanya. Sekalipun untuk itu harus mengorbankan nilai pribadi masing-masing. Lalu, biasanya, karena saling tak mau dirugikan nilai mereka, masing-masing berusaha menguasai lawan. Jika berhasil, salah satu pihak akan kehilangan nilainya dan jatuh dalam penguasaan pihak lain. Dalam bentuk penguasaan ini, perkawinan akan terjaga. Tetapi, tidak berarti ada cinta di dalamnya. Dalam hubungan yang bersifat penguasaan, cinta akan kehilangan hakikatnya. Cinta hanyalah pemulas.
Cinta hanya ada pada dua kutub yang setaraf. Dua kutub yang sama-sama sadar akan nilai pihaknya dan nilai pihak pasangannya. Bukan dua kutub yang ingin saling memiliki. Sebab, pemilikan akan hakekat sama halnya penguasaan!
Jadi, Kim Bum tidak ingin memiliki Park Ji Yeon sebagaimana dia tidak ingin dimiliki gadis itu. Oleh karena itu, sebelum terbenam lebih dalam, Kim Bum ingin keluar dari gambaran cinta primitif Park Ji Yeon. Dia ingin saling mengerti dengan Park Ji Yeon. Saling memahami nilai tiap-tiap individu. Menyadari bahwa setiap pihak memiliki nilai yang khas, maka pengabungan akan menyebabkan suatu kehidupan yang menyempurnakan keduanya.
Boleh jadi nilai itu ada pada Park Ji Yeon. Ya, boleh jadi. Tetapi, melihat kenyataan yang ada, ternyata pribadi gadis itu sangat rapuh. Hanya, sering terjadi pribadi semacam itu berbalik dalam kompensasi ingin menguasai pasangannya. Sebenarnya, pilihan untuk Park Ji Yeon adalah lelaki yang mau menguasainya, atau bersedia dikuasai! Dan, Kim Bum tidak menyukai kedua macam keadaan itu.
ltulah sebabnya maka dia menyalangkan mata memperhatikan gadis-gadis lain. Dia ingin melepaskan diri dari libatan Park Ji Yeon. Libatan penguasaan gadis itu membuat napasnya sesak. Dia ingin berpacaran dengan gadis sebanyak mungkin, dan bercinta sepuas mungkin.
Lebih-Iebih selama menunggu ujian dari Mrs. Son Ye Jin. Dia tidak ingin menyusahkan diri memikirkan itu lagi. Dia berusaha menjadi sepraktis-praktisnya. Oleh karena tak ada yang bisa dilakukannya, dia punya banyak waktu untuk memikirkan gadis-gadis. Shinhwa University menyimpan ratusan gadis cantik. Bahkan ribuan. Tetapi, Kim Bum lebih teringat pada gadis berbaju merah yang pernah menantangnya di aula perpustakaan tempo hari. Matanya yang galak ternyata bisa juga malu-malu. Cukup menarik untuk dikenang. Di mana kuliahnya? Tentu lebih gampang kalau diintai dari perpustakaan. Tetapi, di sini ada bahayanya. Siapa tahu bertemu dengan Park Ji Yeon. Kalau tak salah, gadis itu tinggal di Edelweiss Avenue. Cuma, di bagian mana? Oh, ya. Kim Bum teringat punya teman kuliah tinggal di Edelweiss Avenue. Bisa ditanyakan lewat temannya ini.
"Ya? Bagaimana cirri-cirinya?" tanya Lee Hong Ki.
"Wajah cantik, senyum mempesona, mata yang indah."
"Uf, sulit. Di sekitar sini banyak gadis secantik itu."
“Iya, tapi ini punya kelebihan."
"Dadanya Iebih?"
"Dadanya biasa saja. Matanya. Siapa gadis di sini yang bermata galak?"
"Wah, gadis-gadis di sini sopan-sopan semua."
"Ini serius, Lee Hong Ki."
"Ya. Aku juga serius. Bagaimana aku bisa tahu gadis yang kau maksud? Hampir semua penduduk di daerah ini, aku kenal. Tapi, untuk mencari gadis yang kau maksudkan itu, maaf saja. Lebih gampang mencari gadis berwajah jelek daripada gadis cantik di kawasan ini."
Kim Bum terdiam.
"Park Ji Yeon bagaimana?" tanya Lee Hong Ki kemudian.
"Biasa.”
"Tapi, aku agak curiga. Kenapa kau tanya-tanya gadis lain?"
"Apa salahnya?" Kim Bum pura-pura memperhatikan daun pohon mahoni yang diterbangkan angin. Teras tempat meraka duduk dinaungi pohon mahoni dari pinggir jalan.
"Betul-betul namanya sama sekali tidak kau ketahui?" Lee Hong Ki mengusik.
"Waktu itu aku mendengar temannya menyebutkannya, tapi waktu itu aku tidak begitu menghiraukannya."
"Lalu, kenapa sekarang kau ingin tahu?"
"Aku juga tidak tahu kenapa."
"Andaikan kau tahu di mana kuliahnya."
“Ya, andai saja," kata Kim Bum.
Beberapa saat teras itu sepi. Keduanya menatap beberapa gadis yang lewat di jalan.
"Nah, itulah gadis-gadis kampung sini. Cantik-cantik, 'kan?" kata Lee Hong Ki.
Kim Bum tak menjawab. Dia meneliti gadis-gadis itu satu persatu. Mereka melambai ke arah Lee Hong Ki. Tak terdapat gadis yang dicari Kim Bum.
"Tapi, tunggu dulu!" kata Lee Hong Ki. "Aku punya foto-foto mahasiswa yang tinggal di sekitar sini." Lee Hong Ki masuk ke kamarnya. Tak lama kemudian keluar lagi dengan membawa album. "Kami pemah mengadakan pesta. Mungkin dia ada di antaranya," katanya.
"Ada foto telanjang?" tanya Kim Bum.
"Itu album foto baik-baik."
Kim Bum membuka album lembar demi lembar, dan memperhatikan orang-orang dalam foto.
"Nah, ini dia!" Hampir berteriak dia menunjuk. Lee Hong Ki mendekatkan album itu ke matanya.
"Wah, gawat," katanya.
"Apanya yang gawat"?"
"Dia memang ratu di sini."
"Nah, kalau begitu mataku masih cukup sehat. Siapa namanya?"
"Kim So Eun."
"Hmmm, nama yang bagus. Tanggal lahirnya?"
"Bagaimana aku tahu?"
"Apa ia tidak pernah membuat pesta ulang tahun?"
"Ya, pernah. Tapi, bagaimana aku ingat? Ulang tahun pacarku pun aku sering lupa."
"Kita harus tahu tanggal lahirnya, biar tahu apa bintangnya."
"Ah, astrologi omong kosong!"
"Bukan among kosong. Aku menggabungkan analisa psikologi dengan ramalan astrologi." Kim Bum membuka terus halaman album itu untuk mencari foto-foto lain gadis itu. "Bukan main! Dia memang pandai berpose. Dia bisa menandingi model-model kelas dunia."
Lee Hong Ki hanya mengawasi.
Tanpa mengalihkan matanya dari album, Kim Bum bertanya, "Sudah punya pacar?"
“Bukan Cuma pacar.”
"Maksudnya?"
"Dia sudah bertunangan. Aku malah hadir waktu pesta peresmiannya," ujar Lee Hong Ki.
Kim Bum menutup album itu.
"Mahasiswa mana tunangannya?"
"Dulu kos di rumahnya. Lulus Fakultas Tehnik. Sekarang di Jerman."
"Wah."
"Memang 'wah'," kata Lee Hong Ki sambil senyum.
Kim Bum pun tersenyum, tetapi sumbang. "Sudah berapa lama dia ditinggal?"
"Entah berapa lama. Pokoknya lamaaa sekali."
"Baguslah. Kalau begitu, dia sedang kesepian."
“Kau mau menerobos?”
"Apa salahnya?"
"Tentu saja salah. Jahat namanya kalau kau sudah tahu dia punya tunangan, tapi masih kau ganggu.”
"Kenapa jahat? Itu malah perlu sebagai penguji mental gadis itu. Apa betul dia mencintai tunangannya.”
"Kalau betul-betul cinta?"
"Tentu saja aku tersingkir."
"Kalau kau diterima?"
“Go ahead.”
"Kau serius?"
Kim Bum mengangguk.
"Kalau aku jadi kau," kata Lee Hong Ki, "kenyataan bagaimanapun akan tidak menyenangkan bagiku. Kalau keras cintanya pada tunangannya, aku akan kecewa. Kalau dia menerima cintaku, aku pun kecewa sebab mendapat gadis yang sebenarnya berhati lemah."
"Logikamu asal." Kim Bum mengangkat bahu. "Sekarang, antar aku ke rumahnya," lanjutnya tak acuh.
"Ya, ampun. Jangan aku."
"Kenapa ?"
"Kalau pertunangan mereka putus karena kau, bagaimana pertanggungjawabanku kepada tunangannya, Jang Geun Suk? Sebelum berangkat dulu, dia titip pesan padaku agar aku melihat-lihat Kim So Eun."
"Ha, kalau begitu, kau optimis aku akan mendapatkan gadis itu. Siapa nama tunangannya? Jang Geun Suk? Ha, Jang Geun Suk. Bagus. Tentunya temperamennya berbeda denganku. Apa bintangnya?"
"Entahlah," kata Lee Hong Ki lesu.
"Ayolah, sore ini juga kita harus mengunjunginya. Orang bijak pernah bilang, serangan yang cemerlang biasanya dilakukan dengan mendadak."
"Maaf, Kim Bum. Aku tidak mau terlibat."
"Alaaa, gampang. Nanti aku buatkan surat, yang isinya bahwa kau tidak terlibat peristiwa ini."
"Aku serius, Kim Bum, aku dulu sempat berjanji pada tunangannya untuk melihat-lihat."
"Melihat-lihat, apa beratnya? Nanti pun kau bisa melihat dia. Lihat bagaimana sikapnya di depanku. Bandingkan keadaannya dengan sewaktu di depan tunangannya dulu."
"Aku merasa berdosa kalau membawa seseorang yang akan mengganggu pertunangan mereka.”
"Wah, sucinya kau ini. "
Lee Hong Ki tak menjawab. "Jadi kau tidak mau membantuku?"
"Mintalah yang lain, Kim Bum. Jangan soal yang menyangkut gadis itu. Ibu Kim So Eun tahu pesan Jang Geun Suk tempo hari. Apa dia bilang kalau melihatku membawamu kesana?"
"Kau kan bias mengarang cerita. Aku teman kuliah anaknya. Datang untuk pinjam buku, mengerjakan tugas. Pokoknya banyak alasan. Toh kau sudah berpengalaman mengakali ibu-ibu asrama selama ini."
"Iya, tapi bagaimana kalau hubungannya dengan Jang Geun Suk sampai putus?"
Kim Bum bersiul.
"Kalau begitu, kau sudah melihat rapuhnya hubungan mereka. Lalu, kenapa kau begitu takut kalau aku datang lantas hubungan mereka akan terganggu?"
"Siapa tahu, Kim Bum. Siapa tahu? Minimalnya aku tidak mau dianggap membantumu. Soalnya, tunangannya itu baik sekali. Sopan sekali. Tidak ada alasan untuk tidak menyenanginya. Ibu Kim So Eun sangat sayang padanya. Jang Geun Suk sudah dianggap anaknya. Dan, Kim So Eun pun senang padanya. Mereka bertunangan. Semua orang mengharapkan kebahagiaan mereka."
"Pokoknya dia anak yang baik," kata Kim Bum. "Anak yang sayang ibu. Tapi, apakah kau mengira bahwa lelaki-lelaki yang baik, kesayangan ibu, sopan, dan segala macam embel-embel yang bagus itu akan menjamin dia sebagai kekasih yang patut dicintai? Ada penyelidikan psikologis yang bilang: bahwa lelaki-lelaki yang asalnya dari anak-anak manis dan gampang menimbulkan simpati ibu-ibu, lebih banyak yang gagal sebagai kekasih atau suami."
"Mungkin kau benar," kata Lee Hong Ki.
"Itu bukan pendapatku. Itu hasil penelitian. Kalau teruji secara universal, bisa jadi teori."
"Ya, ya, ya, tapi untuk lelaki yang satu ini aku berharap janganlah kita berbuat dosa."
"Dosa hanya kesalahan dalam hubungan kita dengan Tuhan."
"Ya, ya, ya. Apa pun katamu, Kim Bum, aku tidak berani mengantarmu."
"Ah, itu tidak punya solidaritas namanya."
"Kalau kau kenal lelaki itu, Kim Bum, kau akan mengerti sikapku ini. Dia teramat baik. Setahuku dia tidak pernah menyakiti hati siapa pun. Bahkan hati kucing pun kukira tidak. Bayangkan, dia tidur sebelum jam sebelas, bangun setiap jam enam. Kalau tidak kuliah, dia di rumah saja membaca buku-buku tekniknya. Malam Minggu dia hanya keluar kalau diajak Kim So Eun, dan mereka pulang sebelum jam sepuluh. Dia tidak mengetahui dunia lain kecuali bidang studinya. Demonstrasi, protes, atau semacamnya, tidak pernah dikenalnya. Cobalah pikir, apakah dia tidak patut mendapat kasih sayang dari seorang ibu atau kekasih?"
Kim Bum berdecak dan menggeleng-geleng.
"Bukan main, bukan main. Aku tidak bisa membayangkan ada lelaki sedingin itu dunianya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana seorang perempuan tahan berdampingan dengan robot seperti itu.”
"Robot atau apa pun namanya, sekarang kuharap kau bisa mengerti perasaanku. Dia tetanggaku. Sebagai tetangga yang baik, aku tidak akan menggunting dalam lipatan."
"Baiklah," kata Kim Bum dalam senyum yang samar. "Aku tidak akan memaksa. Aku hanya akan menanyakan beberapa hal. Sekadar informasi yang sifatnya umum, aku pikir itu bukan suatu pengkhianatan. kan?"
Lee Hong Ki mengangguk.
"Di mana rumahnya?"
"Nomor tiga pada deretan jalan ini."
"Astaga! Begitu dekat? Di mana kuliahnya? Tingkat berapa?"
"Farmasi, tingkat dua."
"Apa hobinya?"
“Tidak tahu. Mungkin membaca. Dia sering membeli novel."
"Good. Aktivitas kesenian apa yang diikutinya?"
"Menari. Dia latihan balet dan tarian tradisional Korea."
"Hebat. Musik jenis apa yang disukainya?"
"Klasik. Lagu-lagu itu banyak di rumahnya."
"Bintang film kesayangannya?"
"Itu aku tidak tahu. Tapi, dia senang film Twilight dan 17 Again. Tidak suka film-film Korea."
"Dia suka mode?"
"Mode? Tunggu dulu," kata Lee Hong Ki seraya memikirkan sesuatu.
"Apa yang kau pikirkan ?"
"Pakaiannya, ya cukup up to date. Tapi, tidak pernah terseret mode gila-gilaan."
"Bukan main, bukan main! Dia sempurna sebagai perempuan!"
"Puas?" kata Lee Hong Ki.
"Untuk sementara cukup."
“Lalu, apa rencanamu?”
"Ke rumahnya," kata Kim Bum. "Sekarang. Now or never ." Masih senyum-senyum Kim Bum berdiri.
"Jangan bilang-bilang bahwa informasi tentang dia kau peroleh dariku," kata Lee Hong Ki.
"Beres."
"Sebenarnya informasi yang kau peroleh itu bisa dijual untuk majalah."
"Itulah yang kupikirkan sekarang."
"Maksudmu?" Mata Lee Hong Ki terketap-ketip menyelidik.
"Tenang-tenang sajalah. Dalam tempo dekat ini, kau akan kukabari."
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar