Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Selasa, 28 Juni 2011
True Love (Chapter 2)
Chapter 2
Pelaminan Pertama
“Kau serius, Kim Bum?” Jung Yong Hwa hampir saja tersedak.
“Serius…” jawab Kim Bum santai sambil memotong daging steak di piringnya. Mereka sedang makan siang bersama di sebuah restoran.
“Tapi,” Jung Yong Hwa memajukan badan dan berbisik, “Kim So Eun sekarang gemuk….”
Trang…! Kim Bum membanting pisaunya ke piring. Ia menatap Jung Yong Hwa kesal.
“Memangnya kenapa?”
“Kim Bum, kau tampan, sudah S2 dan minggu besok sudah akan bekerja di perusahaan internasional, menempati posisi penting pula,” Jung Yong Hwa berargumen, “Aku heran. Kenapa kau masih bisa mencintai Kim So Eun sedemikian rupa. Dia gadis gagal, Kim Bum… kehidupan orang tuanya kacau, karirnya kacau, hanya penulis tanpa nama. Dan ia sudah tidak cantik, sudah gemuk, berjerawat, tidak….”
“Cukup!” Kim Bum berdiri, mendorong kursinya ke belakang. “Kim So Eun yang sekarang memang bukan Kim So Eun empat tahun yang lalu. Tapi aku masih mencintainya.” Tegas Kim Bum. Ia pun pergi meninggalkan Jung Yong Hwa yang mulai menenggak orange juicenya kembali.
Kim Bum berjalan gagah menuju tempat parkir lalu masuk ke dalam mobilnya. Ia belum menyalakan mesin, hatinya gelisah sendiri. Merenungi perkataan Jung Yong Hwa.
Jung Yong Hwa benar, apakah aku benar-benar serius ingin menikah dengan Kim So Eun? Kim So Eun yang berbeda dengan empat tahun yang lalu? Kim So Eun yang kucintai, berwajah tirus, bertubuh langsing, energik, ramah sekaligus pemalu. Tapi sekarang? Tak lebih dari gadis suram yang sedang menanti keajaiban.
Kim Bum menghempaskan tubuhnya di punggung kursi mobil. Mengigiti jemarinya, resah. Empat tahun aku berkutat dengan kuliah, tak sempat aku pulang ke Korea. Tahun-tahun terakhir aku bagai diperbudak oleh tesis dan segala macam penelitian. Aku sudah jelaskan semua pada Kim So Eun. Tapi apakah aku yakin pada keputusanku? Apakah gadis bertubuh subur… Kim So Eun yang sekarang, mampu untuk aku cintai apa adanya?
Kim Bum menyalakan mesin mobil. Ia memutar kemudi dan keluar arena parkir.
Sebuah papan nama besar di depan sebuah ruko, bertuliskan New Moon Event Organizer, makes your dream come true. Kim Bum mendongak membaca kalimat itu dan menimbang-nimbang sejenak.
Apakah ia akan masuk untuk meminta jasa mereka? Menurut beberapa orang teman yang sudah menikah New Moon EO juga menyediakan jasa pesta pernikahan. Kim Bum memantapkan hati lalu masuk ke dalam ruko yang didesain artistik dan berubah fungsi menjadi sebuah kantor yang elit.
Ia disambut oleh seorang resepsionis yang cantik dan modis. Kim Bum dibawa menuju sebuah ruangan. Di depan pintu ruangan tersebut tertulis Public Relation, New Moon Entertainment. Resepsionis mengetuk pintu pelan, terdengar sahutan dari dalam. Ia mempersilahkan Kim Bum untuk masuk terlebih dahulu. Setelah mengantar tamunya di depan leader PR, sang resepsionis bergegas keluar, melanjutkan tugas-tugasnya.
“Perkenalkan, saya Jung So Min, leader public relation New Moon Entertainment. Ada yang bisa saya bantu?” sapa sang leader. Tubuh rampingnya dibalut oleh blazer ungu dan dasi slayer berwarna senada. Kemejanya ketat dan menampakkan lekukan tubuh. Ia menyodorkan tangan. Kim Bum menyambut.
“Saya Kim Bum,” jawab Kim Bum.
Jung So Min masih berdiri di depan jendela, tatapannya memandang lepas keluar, menatap mobil lalu lalang dan padatnya orang-orang berdesakan. Ia berdehem, membetulkan letak slayernya lalu mempersilahkan Kim Bum untuk duduk di sofa tamu agar terkesan lebih santai dalam menghadapi klien. Kim Bum berjalan cepat dan menghempaskan pantatnya di sofa empuk. Sementara Jung So Min berjalan agak tertatih, menahan perih di kaki kanannya. Kim Bum sedikit heran namun ia tak berniat untuk tahu lebih jauh.
“Baiklah… Tn. Kim Bum,” Jung So Min duduk di samping Kim Bum dalam sofa yang sama dengan jarak yang cukup dekat. Menciptakan keakraban di antara mereka.
“Saya ingin membuat pesta pernikahan yang romantis, di sebuah taman….”
Dan Jung So Min mengangguk. Mendengarkan permintaan Kim Bum satu demi satu sebelum akhirnya ia menawarkan sebuah konsep acara.
* * *
Kim So Eun menggendong keponakannya dengan gemas. Ia timang-timang balita berusia lima tahun itu. Kim Yoo Bin, menggeliat, memberontak lalu turun dari gendongan Kim So Eun. Ibunya tertawa melihat tingkah anak keduanya yang selalu bergerak aktif.
“Tidak dimakan kuenya, Kim So Eun? Biasanya kau suka kalau aku membuat blackforest,” ujar Yoon Eun Hye sambil menuangkan teh hangat ke dalam cangkir.
“Aku sedang bingung, Eonni,” Kim So Eun membungkuk, hanya memandangi jejeran kue hitam penuh gula cokelat di depannya. “Kim Bum sudah pulang. Kemarin ia seperti tak mengenaliku sama sekali. Dengan tubuh berlemak ini…” Kim So Eun mencubit perutnya.
“Wajar kan! Sudah empat tahun kalian tidak bertemu. Memangnya kau masih pacaran dengannya?” Yoon Eun Hye menyeruput tehnya, “bukankah hubungan kalian hilang selama satu tahun? Jangan-jangan dia punya pacar lagi….”
Kim So Eun tersenyum bangga. “Empat tahun dan badan gemuk ini tidak membuat cinta Kim Bum padaku memudar, Eonni. Selama setahun menghilang dia bilang sedang sibuk mengurusi tesis.” Kim So Eun mendekat ke arah Yoon Eun Hye dan menggamit lengan kakak keduanya itu hingga Yoon Eun Hye urung menenggak kembali daun-daun teh hijaunya. Kim So Eun menyandarkan kepalanya ke bahu Yoon Eun Hye. “Dia bilang… dia masih mencintaiku apa adanya, Eonni…meski aku seperti ini!”
Yoon Eun Hye meletakkan cangkir tehnya di atas meja. Ia menatap Kim So Eun lembut.
“Aku sudah menyangka kalau Kim Bum memang lelaki langka di bumi ini,” Yoon Eun Hye mencubit pipi Kim So Eun yang tembem, “lantas apa yang membuatmu bingung?”
Kim So Eun menegakkan badan.
“Nanti malam… Kim Bum mengajakku kencan. Dinner romantis di Strawberry resto.” Ia berdiri dan berputar di depan Yoon Eun Hye, seolah memamerkan seluruh tubuhnya, “aku bingung… mau pakai gaun apa, Eonni….”
Yoon Eun Hye tertawa keras. Kedua anaknya yang sedang asyik bermain bola karet menjadi terusik. Mereka beringsut menuju pelukan sang bunda.
“Ibu kenapa?” tanya Park Ji Bin, anak pertamanya.
Yoon Eun Hye menggeleng dan memegang kedua pipi Kim So Eun dengan kedua telapak tangannya. “Ayo, sekarang kita ke butik! Cari gaun dengan ukuran paling besar… untukmu…” Yoon Eun Hye mengerling kecil. Menggoda. Kim So Eun tersipu malu, wajahnya merona. Seperti delima.
Strawberry Resto. Dengan seluruh dinding didominasi warna pink. Puluhan vas bunga berisi bunga anggrek segar menghiasi setiap sudut ruangan. Pada setiap meja terdapat satu tangkai bunga mawar merah. Lilin-lilin kecil menyala, menyebarkan sinar temaram. Dentingan suara piano menghantarkan nada-nada cinta Mozart pada malam yang sunyi. Sesekali pelayan restoran menawarkan kembali, apakah ada yang kurang?
Kim So Eun duduk di kursi paling pojok. Dekat dengan layar tiga dimensi yang menampakkan suasana air terjun di tengah hutan. Lagi-lagi gambar kupu-kupu tiga dimensi bergerak ke sana kemari, mencari bunga warna-warni.
Kim So Eun tersenyum malu, mengingat dahulu. Ketika sepasang kupu-kupu membuatnya mencintai Kim Bum dan menerima pria itu setulus hati. Ia menghela napas. Senang dengan gaun nyaman yang dipilih oleh Yoon Eun Hye. Meski bukan sebuah gaun mewah dan glamour, setidaknya gaun itu cukup untuk digunakan saat kencan bersama sang pujaan hati.
Suara piano berhenti berdenting. Layar air terjun tiga dimensi mati. Lampu restoran dengan cahaya keemasannya pun padam. Pudar sudah keharmonisan yang sedari tadi dinikmati oleh Kim So Eun. Lilin-lilin di meja pengunjung lain pun tak menampakkan setitik cahaya. Hanya lilin di mejanya saja yang tetap menyinari gadis itu dari kegelapan.
“Maaf? Apakah di sini mati lampu?” tanya Kim So Eun yang mulai disergap ketakutan. Mengapa semua tiba-tiba menjadi hening dan sunyi?
Sepasang tangan merambat di lehernya. Kim So Eun tercekat, menahan napas. Apakah aku akan dicekik? Ia mulai gemetar. Tangan itu mulai memasangkan sesuatu di leher besar itu. Sebuah kilauan emas putih bercampur dengan cahaya lilin kecil. Kim So Eun menyadari sebuah kejanggalan.
Ia mengumpulkan keberanian dan menangkap sepasang tangan yang merambati lehernya. Ia cengkram, ia cakar dalam-dalam.
“Jangan coba-coba berbuat jahat padaku!” geram Kim So Eun.
Suara tawa Kim Bum pecah. Kim So Eun mengendurkan cakarnya.
Kim Bum segera mengambil rangkaian bunga besar dan sebuah gaun pengantin cantik bewarna putih.
“Aku mencintaimu…” ujarnya lantang. Tepuk tangan mulai riuh terdengar. Disambut dengan suara denting piano mengalunkan lagu Janji Suci dari Yovie & Nuno. Lampu mulai dinyalakan. Blazt… layar tiga dimensi kembali menyuguhkan alam terjunnya dan sepasang kupu-kupu menari mencari sari bunga. Lilin-lilin di meja pengunjung yang lain mulai menyala. Tepuk tangan tak hentinya menggema.
Kim Bum menjulurkan gaun satin putih untuk sang pengantin ke depan wajah Kim So Eun yang memerah padam. “Maukah kau menikah denganku? Kim So Eun?”
“Jawab… jawab… jawab!” seru para pengunjung yang lain.
Kim So Eun menutup mulutnya lalu membiarkan matanya terpejam untuk beberapa saat. Ia tak kuasa menahan haru. Saat ia membuka matanya, dilihatnya tangan Kim Bum sudah menggamit jemarinya. Ia memperlihatkan sebuah cincin pertunangan yang sangat indah.
“Jika kau bersedia, akan kupasangkan cincin abadi ini di tanganmu.”
Kim So Eun mengangguk malu. Kim Bum memasukkan cincin itu ke dalam jari manis kanan Kim So Eun. Didorong lebih keras lagi. Namun payah… cincin itu tak benar-benar masuk melingkari jari Kim So Eun. Hanya mampu bertahan di tengah jari. Kim Bum merutuk dirinya sendiri. Tak menyadari berapa besar jemari gadis itu telah bertumbuh.
“Maaf sayang, maaf….”
Hampir semua pengunjung menahan tawa. Kim So Eun pun malu hati tak tertahankan. Tapi pelukan hangat Kim Bum seolah melindunginya. Seakan berkata… tak pentinglah arti sebuah cincin malam ini. Yang paling utama bagiku adalah cintamu dan cintaku bersatu dalam maghligai keluarga yang harmonis.
Kim So Eun membalas dekapan Kim Bum. Dengan tertawa kecil, menyembunyikan air matanya di balik selaput cinta. Sudah letih selama satu tahun ini ia menguras tangis. Dalam bahagia ini tak ingin kunodai dengan isak.
* * *
Pagi yang cerah ditenggarai cicit burung nuri yang duduk tenang di sangkar balkon apartemen Jung So Min. Gadis itu duduk di depan pagar balkon dengan anggun sambil meletakkan secangkir cappucinonya di atas meja kecil. Ia menikmati hamparan rumah dan gedung di Seoul yang menjulang. Awan yang berarak putih kini dilukis abu-abu oleh debu kendaraan bermotor atau asap pabrik yang membumbung tinggi.
Jung So Min menyesap kopinya dalam-dalam.
Seseorang mengetuk pintu kaca di belakang Jung So Min, ia menoleh dan memberi isyarat agar tamunya itu menghampiri. Terdengar suara gesekan pintu kaca dan tubuh semampai keluar dari dalam apartemen.
“Hai, Jung So Min… sedang apa? Tumben pagi-pagi duduk di balkon,” Park Shin Hye, sahabat Jung So Min, duduk di kursi kayu tepat di samping Jung So Min yang tak melepaskan pandangan dari pemandangan di depannya.
“Aku memikirkan seorang klien,” Jung So Min menarik napas dalam, “seperti ada getaran yang membuatku tak tenang, Park Shin Hye.”
Park Shin Hye menoleh dan mengernyitkan dahi, “Klien? Klien yang mana?”
“Kim Bum,” Jung So Min menatap Park Shin Hye dengan berbinar, “ia menikah hari ini.”
Sahabat gadis itu mendekap mulut lalu terdengar gumaman kecil tanda tawa yang menguap pelan-pelan. “Jung So Min… kalau hari ini dia menikah untuk apa kau pikirkan? Memangnya dia belum bayar fee EO New Moon?”
“Bukan itu… aku merasakan getaran aneh. Sejak pertama kali dia datang, kami berhubungan lewat telepon, bertemu untuk membahas pernikahannya dan sejak itu pula aku merasakan sesuatu yang membuatku berdebar….”
“Jangan-jangan itu jatuh cinta!” tegas Park Shin Hye.
Jung So Min menggeleng. “Aku rasa bukan… ah… sudahlah.”
“Apa karena getaran aneh itu maka kau tidak datang ke pernikahannya? Biasanya, kau kan selalu datang ke pernikahan klien untuk mengevaluasi pesta yang telah dirancang oleh New Moon,” Park Shin Hye menyilangkan kakinya.
“Hari ini mereka menikah di rumah, di depan keluarga. Pestanya tiga hari lagi di taman Century.” Jung So Min berdiri dan merenggangkan badan, ia hembuskan udara kuat-kuat. “Hff… aku harus mandi dan melihat-lihat dekorasi.”
Jung So Min berbalik badan, membuka pintu kaca lalu masuk ke dalam apartemen. Park Shin Hye memandang sahabatnya itu dengan senyum nakal lalu menghempaskan bahunya di punggung kursi kayu. Menengadahkan wajahnya menghadap angkasa. Menghirup udara kota Seoul. Pagi.
* * *
Pendeta mengakhiri prosesi pernikahan. Suara bersyukur menggema di seluruh ruangan. Kim So Eun masih berdiri di samping Kim Bum dengan wajah tertunduk tersipu malu. Tubuh besarnya tak mengurangi keanggunan dan kecantikan gaun putih panjangnya. Ia menitikkan sedikit air mata tatkala Kim Bum menjulurkan tangan ke depan wajah Kim So Eun yang tersapu make up, Mengangkat dagu Kim So Eun dan mencium bibirnya lembut.
Bukan Kim So Eun saja yang merasakan haru, semua yang hadir pun larut dalam bahagia. Ibunda Kim So Eun berjalan pelan dan merengkuh kedua mempelai itu penuh syukur. Kedua orang tua Kim Bum tersenyum pelan. Menatap anaknya yang semakin tumbuh dengan bangga. Yoon Eun Hye dan Song Hye Gyo bergantian menyalami Kim Bum dan Kim So Eun. Menciumi pipi adik bungsunya itu dan tertawa kecil.
“Hei gadis gemuk… hebat juga kau ini, bisa mendapatkan pemuda tampan seperti Kim Bum,” Song Hye Gyo meledek dan diiringi gelak tawa suaminya dan beberapa orang yang ada di sana. Kim So Eun mencubit pinggang kakak pertamanya itu.
Kim Bum merangkul pinggang Kim So Eun.
“Walaupun gemuk,” Kim Bum menarik kepala Kim So Eun agar tidur di dadanya yang bidang, “Kim So Eun adalah istriku yang paling cantik dan paling aku cintai!” kelakar Kim Bum dengan suara lantang.
Pekik riuh terdengar. Jung Yong Hwa berdiri. “Kim Bum dan Kim So Eun!”
Suara tepuk tangan pun menggema. Tawa canda pun saling terlontar mencairkan kekakuan yang tadi sempat menyergap mereka saat prosesi pernikahan dilaksanakan.
Kim Bum merangkul Kim So Eun keras-keras seolah tak ingin kehilangan bidadarinya itu. Melindungi kekasih hatinya dengan segenap jiwa. Menerima cinta apa adanya.
Kim Bum menghentikan mobil BMW Putih-nya di depan sebuah rumah mungil dengan gaya minimalis. Ia keluar dari dalam mobil lalu berputar menuju pintu depan di sebelah sopir. Dibukanya pintu itu dengan setengah membungkuk.
“Silakan keluar putri cantikku,” bisik Kim Bum sambil mengerling genit.
Gadis itu mencoba keluar, agak kesulitan dengan gaun putih yang menyesakkan dan ekor gaun yang menjuntai panjang.
Kim Bum membantu sebisa mungkin karena ia belum kuat untuk bisa membopong gadis itu memasuki istana kecil mereka.
Kim So Eun menggandeng tangan Kim Bum dan mereka beriringan jalan pelan-pelan. Menyusuri jalan setapak yang ditata apik di depan istana mungil itu. Kim Bum sengaja menanam pohon-pohon berbunga segar di kanan kiri jalan masuk. Kim So Eun menghirup wanginya dengan syahdu. Kim Bum membukakan pintu depan, sekonyong-konyong semerbak harum lavender menyapa kedua hidung mereka. Kim Bum menghadapkan wajah Kim So Eun tepat di depan wajahnya.
“Sayang… di tempat inilah kita akan merajut malam pertama kita yang indah. Malam selaksa surga dan hanya milik kita berdua.” Kim Bum memeluk Kim So Eun erat.
“Kim Bum… mulai detik ini aku berjanji akan menjadi istri yang paling istimewa untuk dirimu.” ujar Kim So Eun pelan. “
Kim Bum melepaskan rengkuhannya. Ia menarik tangan Kim So Eun, bergegas mengajaknya mengitari bagian dalam rumah. Memperlihatkan satu per satu perabotan yang sengaja ia beli dari Amerika untuk menghiasi istana mereka. Kim Bum mempersilahkan Kim So Eun duduk di kursi meja makan yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran eksotik. Ia membuat orange juice di bar kecil yang ia ciptakan sendiri. Dan menuliskan ‘jus cinta sejati’ di gelas itu. Ia dan Kim So Eun pun meminumnya berdua dengan sedotan berbentuk hati berwarna merah jambu.
Senyum tak henti-hentinya mengembang di antara mereka.
Obrolan hangat mengalir deras. Seakan ingin mengganti waktu yang hilang setelah empat tahun berpisah.
Setelah lelah berbincang melepas cinta. Mereka saling menatap dalam. Penuh kelembutan, mencoba tenggelam dalam samudera setia dan kasih sayang di antara mereka. Lama mereka saling melempar pandangan hingga saatnya tiba mereka lepaskan malam kesendirian mereka dan meleburkan cinta.
* * *
“Bagaimana Jung So Min, apakah semua persiapan sudah beres?”
Kim Bum berdiri di samping Jung So Min. Gadis itu sedang berdiri memperhatikan para pekerja dekorasi. Ia mengangguk pelan.
“Sore ini pesta sudah bisa dimulai!” serunya riang. Kim Bum menatap matanya dan sebuah getaran mengetuk pintu hatinya. Jung So Min memalingkan wajah. Ia mencoba mengabaikan getaran aneh yang bisa menganggu kinerjanya.
Dekorasi pelaminan sudah rampung hanya perlu ditata sedikit lagi, memberikan sentuhan-sentuhan terakhir agar lebih terlihat glamour. Waktu merangkak pelan-pelan meninggalkan siang yang terik. Taman Century sudah mulai ditutup untuk umum. Pengunjung yang penasaran hanya melihat di balik pagar depan taman. Mengagumi keartistikan pelaminan dan arena pesta yang membuat siapa saja berdecak kagum.
Sementara itu di ruang ganti yang dibangun khusus di pojok taman, Kim So Eun sedang mengeluh kesah seorang diri. Meski ia telah melepaskan segenap jiwanya pada Kim Bum namun gadis itu masih tak percaya diri tatkala harus berdiri di depan tamu undangan dengan gaun pengantin yang berukuran sangat besar. Ia masih memegang gaun itu di tangannya. Belum ada keberanian untuk memakainya.
Song Hye Gyo masuk ke dalam tenda ruang ganti dan mendapati keresahan di wajah Kim So Eun. Ia merebut gaun dari tangan adiknya itu dan mengelusnya lembut.
“Gaun ini cantik sekali, Kim So Eun… Kim Bum memang pintar dalam segala hal.” Song Hye Gyo menatap Kim So Eun, “ia pasti sangat berharap kau memakai gaun ini.”
“Ta… tapi, Eonni… aku terlalu…” Kim So Eun menunduk, “… gemuk….” Desisnya.
“Apakah Kim Bum mengomentari tubuhmu saat kalian melewati malam bersama? Tidak, kan!?” Song Hye Gyo mulai kesal.
“Iya… tidak, dia memperlakukanku dengan sangat baik.”
“Kim So Eun,” ditatapnya gadis itu dalam-dalam, “Kalau Kim Bum tidak menerima kau apa adanya tak akan pernah ada pernikahan dan tak ada pesta besar seperti ini. Percayalah… kalau cinta tak harus memandang fisik semata. Gaun ini menjadi saksi bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan yang terbaik.” Song Hye Gyo mendekapkan gaun itu ke dada Kim So Eun, “pakailah gaun ini. Dengan penuh rasa cinta pada Kim Bum. Tak akan ada yang melihat kelebihan di badanmu tapi mereka melihat kelebihan dari pribadimu, Kim So Eun.”
Song Hye Gyo keluar dari tenda. Kim So Eun merenungi kalimat kakaknya tadi. Ia kembali menghadap cermin dan membuang jauh-jauh segala pikiran negatif yang menjaringnya dalam kebimbangan. Dikenakannya gaun itu pelan dan hati-hati. Ia tahu ada cinta Kim Bum di dalam gaun itu dan ia akan memakai cinta itu untuk menebarkan kasih sayang. Wajahnya sudah dipulas cantik oleh tata rias, rambutnya pun sudah dibentuk sedemikian rupa. Kini ia hanya memasang hiasan-hiasan di sekitar rambutnya dan memakai topi tudung kecil. Kim So Eun tersenyum puas sampai seseorang masuk ke dalam tenda.
“Sudah siap?” tanya Jung So Min dengan tatapan dingin. “Mempelai wanita ditunggu di tenda keluarga,” lanjutnya. Kim So Eun mengangguk dan keluar dari tenda ruang ganti perlahan-lahan.
Jung So Min memandangi sosok itu hingga menjauh. Datar. Tajam. Memicing. Seandainya… aku yang terlebih dahulu bertemu Kim Bum. Mengapa harus gadis itu?
“Hore… hore! Hidup Kim So Eun! Hidup Kim Bum!” teriak Jung Yong Hwa yang selalu menjadi si tuan pemeriah acara. Resepsi yang formal sudah mereka lewatkan dan Kim So Eun berhasil membuang semua bayang-bayang sinis para tamu undangan yang melihat ia bersanding dengan Kim Bum. Malam semakin beranjak gelap. Lampu-lampu taman bersinar dengan cahaya keperakan, sementara bintang yang berkelip hanya sesekali muncul dengan malu-malu.
Suara gelak tawa terdengar ramai. Kim Bum dan Kim So Eun turun dari pelaminan.
“Ayo bopong dia…!” Jung Yong Hwa kembali memanasi suasana.
Kim So Eun menahan napas kaget. Ia berharap itu hanyalah lelucon yang akan dilupakan begitu saja. Nyatanya suara-suara lain yang meminta hal sama juga berdatangan. “Ayo, Kim Bum, gendong Kim So Eun, bopong sampai ke dalam mobil!” seru yang lain bersahutan.
Kim Bum dan Kim So Eun berjalan menuruni tangga batu yang sengaja disusun, di kanan kiri mereka terdapat taman kecil buatan dengan pot-pot besar. Seluruh keluarga dan teman dekat mulai bertepuk tangan mendesak Kim Bum segera membopong Kim So Eun. Rasa kesal dan malu menjalari tubuh Kim So Eun. Ia tahu Kim Bum tak akan kuat membopong tubuhnya yang dua kali lebih berat dari suaminya itu. Ia ingin menarik tangan Kim Bum agar segera pergi meninggalkan keriuhan keluarga.
Sayangnya, Kim Bum menarik tangan Kim So Eun dan mengenggamnya erat. Ia menempelkan jari telunjuknya di bibir Kim So Eun yang hendak berkomentar. Kim Bum mulai memegang pantat Kim So Eun dan menaikkan tubuh gadis itu ke udara. Sekuat tenaga ia menahan seluruh beban pada lututnya. Semua orang tercengang melihat Kim Bum mulai membopong Kim So Eun. Gadis itu melingkarkan kedua tangannya di leher Kim Bum. Suaminya berjalan pelan-pelan menuruni tangga.
Ketahanan Kim Bum tiba-tiba luluh, kakinya salah melangkah dan meruntuhkan tumpuan, lututnya bergetar dan ia terjatuh, lututnya menabrak tangga dengan keras dan posisi bersimpuh. Kim So Eun memekik ketakutan. Semua berusaha menolong Kim Bum dan naik ke atas tangga, namun terlambat, Kim Bum menahan tubuh Kim So Eun agar tidak jatuh, ia berusaha agar bidadari tercintanya itu tetap dalam pelukannya. Tubuh Kim Bum terjengkang ke samping, kepalanya terantuk bibir pot besar yang terbuat dari batu kali. Semua berteriak panik, Jung Yong Hwa sudah sampai di samping Kim Bum yang pingsan dengan tiba-tiba. Suami Song Hye Gyo dan suami Yoon Eun Hye menahan tubuh Kim So Eun yang masih dalam pelukan Kim Bum, tangan lelaki itu lunglai dan pelukannya mengendur. Suami Song Hye Gyo berusaha menurunkan Kim So Eun agar turun dari pelukan Kim Bum dan berdiri dengan normal.
Dilihatnya darah mulai berceceran di lutut dan kepala Kim Bum. Tangis meledak. Kim So Eun terguncang. Yoon Eun Hye memeluk Adiknya itu. Ibu Kim So Eun berusaha menenangkan dan membawanya menjauh dari lokasi. Jung Yong Hwa dan beberapa teman laki-laki lainnya segera mengangkat Kim Bum dan membawanya menuju mobil BMW Putih-nya lelaki itu. Keadaan mencekam. Terlihat beberapa orang panik dan hilir mudik. Kim So Eun ikut masuk ke dalam mobil dan menangis terisak di depan Kim Bum yang terbujur kaku.
Sorot mata sedih dan gelisah juga terpancar di sudut pelaminan tatkala mobil-mobil itu pergi meninggalkan tempat resepsi dengan perasaan kacau. Jung So Min meremas kedua tangannya. Getaran di dadanya semakin membuncah, serasa ingin meledak dan berhamburan keluar.
“Kim Bum… bodoh…” gumamnya sambil berlalu meninggalkan taman.
Para pekerja mulai berdatangan. Membenahi pelaminan yang sudah ditinggalkan kedua mempelai.
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar