Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Senin, 06 Juni 2011

Soulmate (Chapter 1)



Ketika kami pertama kali bertemu, aku tahu, aku akan membuat kesalahan pada hal paling penting dalam hidupku. Gadis ini tidak secantik gadis yang diidamkan pria pada umumnya. Tapi, ia sungguh cerdas, mandiri, dan tidak seperti gadis lain yang aku kenal. Gadis ini mempunyai sesuatu yang luar biasa, yang tidak dimiliki para wanita lain. Entah apa, tapi ada sesuatu yang istimewa.

“Makan, ya?” aku menawarinya untuk kesekian kali.

“Aku sudah makan.” Kim So Eun, begitu nama gadis ini, menolak lagi.

“Kau diet, ya?” aku meledeknya.

Kim So Eun cuma tertawa, sambil mencubit pelan lenganku. Dia mencubitku karena malu, bukan karena genit.

“Kalau begitu, aku antar kau pulang sekarang. Aku harus ke....”

“Aku tahu.”

Kim So Eun tersenyum tipis. Aku selalu tidak sengaja menyakiti hatinya. Kim So Eun masuk ke mobilku dan duduk dengan manis, tanpa menyentuh apa pun. Aku menjalankan mobil perlahan, sambil meliriknya. Ia tersenyum. Aku tahu, seperti apa perasaannya, setiap kali aku mengatakan kalimat seperti tadi. Ini malam Minggu, dan aku hanya punya waktu bersama Kim So Eun sampai pukul tujuh malam.

”Terima kasih sudah mengantarku,” Kim So Eun mengucapkan dengan sangat sopan.

Aku hanya mengangguk. Kim So Eun melangkah masuk pagar kompleks kos yang sederhana.

”Kim So Eun.” Panggilanku menghentikan langkahnya.

Kim So Eun berbalik cepat.

”Hampir lupa, aku membeli ini ketika pulang kerja tadi. Manis sekali.” Aku mengeluarkan keranjang besar Jeruk.

”Kau membelinya untukku?” Kim So Eun mendekat, tanpa mengu¬lurkan tangannya.

Aku mengangguk. Padahal, sebenarnya, aku membeli oleh-oleh itu untuk Yoon Eun Hye, tunanganku.

”Kim Bum, terima kasih. Kau baik sekali. Tapi, ini terlalu banyak.”

”Kau bisa berbagi dengan teman kosmu, ’kan?

Kim So Eun mengangguk, lalu menerimanya. ”Kau hati-hati, ya.”

Aku mengangguk. Sebenarnya, aku ingin sekali memeluknya untuk meminta maaf atas sedikit waktu yang aku sediakan untuknya. ”Jangan tidur terlalu malam, ya.”

Kim So Eun tersenyum, lalu mundur sedikit untuk menjaga jarak dengan mobilku. Ia melambaikan tangan dan aku meninggalkannya.

Yoon Eun Hye sudah menungguku. Cantik. Nyaris sempurna. Aku menciumnya sekilas, lalu mengeluarkan kotak kue yang aku beli setelah mengantar Kim So Eun. Selalu seperti itu. Oleh-oleh yang aku siapkan untuk Yoon Eun Hye, selalu saja akhirnya aku berikan pada Kim So Eun.

”Ayah sudah menunggu untuk membicarakan soal gedung.”

”Ya. Maaf, aku terlambat. Banyak pekerjaan.”

”Tidak apa-apa.”

Yoon Eun Hye menggandengku masuk ke rumah mewahnya. Tapi, tiba-tiba saja bayangan wajah Kim So Eun membuat perutku seperti kram. Tempat kos biasa dengan kamar-kamar kecil dan penghuninya yang sederhana. Alangkah bedanya.

Satu jam ke depan, aku hanya bisa melihat Yoon Eun Hye begitu semangat membicarakan tentang pernikahanku dengannya. Lima bulan yang lalu, aku juga sesemangat itu. Tapi, pertemuanku dengan Kim So Eun sudah membawaku pada kekeliruan yang aku ciptakan sendiri.

”Kau ini buta atau bodoh?” Gadis itu berkacak pinggang di depan mobilku, setelah bangun dari depan kap mobilku. Aku baru saja menabraknya. ”Kalau mau balapan, jangan di jalan raya!”

”Maaf, saya buru-buru dan....”

“Kau bodoh sekali. Kau tahu lampu merah untuk apa?”

“Nona, saya sudah bilang, saya....”

”Kau menabrakku!” Gadis itu makin keras berteriak dan orang-orang mulai berdatangan menonton, tanpa ada yang menolong.

”Saya minta maaf. Saya akan bawa Nona ke rumah sakit dan....”

”Kau pikir, dengan begitu aku... astaga....” Gadis itu memegang pelipisnya. Darah menempel di jari-jarinya dan mulai mengalir di pipinya. ”Minggir!”

Aku ikut panik, tapi lebih panik melihat kemarahannya. Seperti orang bingung, aku membiarkan gadis itu masuk dan duduk di belakang setir. ”Cepat masuk!”

Aku betul-betul terkesiap. Lalu, aku mengambil tasnya dan memasukkan isinya yang jatuh berantakan, duduk di sebelahnya.

”Nona, tenang, biar.....”

”Diam! Aku tidak mau mati di jalanan.” Gadis ini dengan sigap melarikan mobilku, kencang sekali, sambil berteriak, ”Pasang sabuk pengamanmu!”

”Nona, minggir, biar saya yang bawa, dan....”

“Diam! Kau akan lebih repot kalau aku mati di mobilmu.” Gadis ini membentakku dan terus memakiku sepanjang jalan, sambil tak henti-hentinya menyalip kiri-kanan dengan membunyikan klakson. Tidak sampai lima menit, gadis ini membawa mobilku ke sebuah rumah sakit yang seharusnya ditempuh dalam waktu lebih dari 15 menit. Dia turun dan berlari sendiri ke ruang UGD rumah sakit, sambil mengeluarkan kartu kreditnya.

”Kau memang gila. Namaku Kim So Eun. Siapa tahu diperlukan, kalau aku sampai mati di sini. Aduh, kepalaku sakit sekali,” gadis itu memberikan kartunya padaku, meraba kepalanya. Darah begitu banyak di tangannya. Ia berteriak, ”Kepalaku...!” Dan, dia pingsan.

”Saya betul-betul minta maaf.” Aku duduk di ruang perawatan setelah gadis bernama Kim So Eun ini siuman. Kim So Eun memandangku, tidak ada lagi kemarahan di matanya. Dan, aku tersihir dari cara dia memandangku. Matanya teduh sekali.

”Aku... saya....” Aku tergagap, saat matanya menatapku bingung.

”Sudah berapa lama aku di sini?” Kim So Eun memandang sekitarnya.

”Semalam.” Aku memberikan air putih.

Gadis itu duduk perlahan.

”Astaga, aku bisa dipecat kalau hari ini tidak masuk.”

”Ini sudah pukul sembilan pagi. Aku sudah menelepon kantormu.” Untung ada ID card perusahaan tempatnya bekerja. Karena, di dompetnya hanya ada KTP dan beberapa lembar uang sepuluh ribuan.

”Ruang perawatan kelas berapa ini?” Kim So Eun menatapku lagi.

”Kelas utama.” Aku memberikan teh manis hangat.

”Kau gila.” Kim So Eun membaringkan kepalanya perlahan di bantal yang diaturnya tinggi. ”Kau pikir, perusahaanku mau membayar ini. Jatahku hanya di kelas dua.”

”Saya yang akan membayar.” Aku memandang gadis itu. ”Sungguh, saya tidak bermaksud sombong atau apa. Anggap saja ini permintaan maaf saya atas kejadian kemarin.”

”Aku harus pulang sekarang.”

”Dokter akan melakukan scan kepala. Kau harus tetap di sini dulu.” Aku menyentuh lengannya untuk menenangkannya.

”Kau mampu membayar semua perawatanku?” Kim So Eun memandangku lugu.

“Maksimal sepuluh hari ke depan, aku masih mampu.”

”Terima kasih untuk semuanya.” Kim So Eun mengangkat punggung telapaknya. Jarum infus itu membuatnya sedikit kesakitan. ”Aku benci sekali dengan infus,” Kim So Eun menggumam, lalu tersenyum lucu, sambil melihat pakaiannya. ”Perawat yang memandikanku, ’kan?”

”Ya. Aku minta kau dimandikan tadi pagi dan diganti semua pakaianmu, termasuk pakaian dalammu.” Aku merasa lebih relaks melihat senyumnya.

”Siapa yang membelikan pakaian dalamku?”

”Aku.”

”Aduh! Kau tahu artinya jika pria tak dikenal membelikan pakai¬an dalam. Itu pertanda sial jodoh,” Kim So Eun mengumpat pelan. ”Aku mau gosok gigi.”

”Akan kubantu,” aku memapahnya ke kamar mandi, menyiapkan sikat dan pasta gigi, membantunya menyikat giginya.

Aku membantunya berbaring. Kim So Eun meraba kepala dan pelipisnya. ”Siapa yang memotong rambutku?”

”Perawat. Untuk memudahkan mengobati kepalamu. Ada beberapa jahitan di atas pelipismu. Jadi....”

“Kau hutang banyak sekali padaku,” Kim So Eun menggumam.

”Aku tahu. Kalau ada keluargamu, aku bisa memberi....”

”Tidak perlu,” Kim So Eun menyahut cepat. ”Aku hanya ingin keluar dari rumah sakit.”

”Aku akan bicara dengan dokter. Kalau-kalau kau boleh berobat jalan.”

”Terima kasih,” Kim So Eun menatapku agak ragu. ”Kau terus di sini sejak kemarin?”

”Ya.” Aku melihat pakaianku. Lusuh dan tidak wangi.

”Sebaiknya kau pulang saja,” Kim So Eun mengernyitkan dahi. ”Di mana tasku?”

Aku mengambil tasnya dari dalam lemari.

”Boleh tolong ambilkan ponselku?”

”Mati. Pecah. Maaf. Akan kuganti nanti.”

”Yang sama persis. Itu hadiah dari mantan kekasihku.” Kim So Eun tertawa kecil, lalu meringis, merasakan sakit di pelipisnya. Aku ikut tertawa. Entah kenapa, aku malah berniat membelikan ponsel yang jauh lebih bagus lagi.

”Kau bisa pakai telepon ruangan ini,” aku menunjuk meja kecil di pojok.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...