Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Selasa, 07 Juni 2011

Magic Girl (Chapter 6)



"Anneyong Haseyo... susu...!"

Kim So Eun menggeliat Hari Minggu pagi yang cerah, mentari menyembulkan sinarnya dari celah-celah tirai jendela yang terkuak sedikit. Siapa pula yang merusak keheningan pagi dengan teriakan-teriakan yang memekakkan telinga seperti itu?

Perlahan Kim So Eun bangkit dan menyeret langkahnya menuju jendela. Dilihatnya Paman Park Shin Yang, tukang susu langganan mereka, tengah mengetuk-ngetuk pintu sambil memeriksa catatannya. Tentu ia mau menagih hari ini.

"Anneyong Haseyo... susu! Hoi!!! Apa tidak ada orang di rumah ini?" gedor Paman Park Shin Yang lagi.

"Kim So Eun!! Tolong bukakan pintu untuk Paman Park Shin Yang!" teriak Ibu dari bawah.

Kim So Eun segera ingat bahwa kaki Ibu keseleo tadi malam, tentu pagi ini sedang bengkak-bengkaknya dan sudah pasti tidak bisa dipergunakan untuk berjalan.

"Ya, Bu...," sahut Kim So Eun sambil menyambar sweater-nya dan mengenakan sandalnya. Setelah itu langsung menuju ke pintu depan, menyambut Paman Park Shin Yang yang tak sabaran itu.

"Anneyong Hase..."

"...yo...!" sambung Kim So Eun kesal.

Pintu terbuka, teriakan Paman Park Shin Yang terhenti, disambung teriakan Kim So Eun yang tak kalah kerasnya hingga Paman Park Shin Yang terpaksa menutup telinganya dengan buku catatannya.

"Huh, membuat kaget saja! Anak nakal!" umpatnya. Paman Park Shin Yang memang tak akrab dengan anak-anak. Terutama Kim So Eun yang juga tak pernah berusaha mengakrabi Paman Park Shin Yang. Orang tua ini sama sekali tak punya rasa humor. Tak pernah tersenyum selama menjalankan tugasnya. Mungkin ia tipe pekerja yang baik, tapi yang jelas ia bukan tipe masyarakat yang baik.

"Ada apa, Paman... kenapa teriak-teriak sepagi ini?"

"Pagi? Pukul setengah delapan kaubilang pagi?" cibir Paman Park Shin Yang.

Kim So Eun balas mencibir. Tentu saja waktu Paman Park Shin Yang tak melihatnya, sebab tentu tak sopan bila mencibiri orang yang lebih tua.

"Ini... tagihan susu minggu ini. Harap dilunasi, hari ini juga. Saya tunggu," pesan Paman Park Shin Yang seraya menyobek nota pembelian dan menyerahkannya pada Kim So Eun. Kim So Eun mengambilnya lantas segera meminta uang pada Ibunya. Beberapa menit kemudian ia sudah kembali dan menyerahkan uang pembayaran pada Paman Park Shin Yang.

"Hm... dua puluh tujuh ribu rupiah... pas... tak lebih maka tak ada kembali," ujar Paman Park Shin Yang seperti kesal karena tak diberi tip.

"Ya... selamat siang. Paman...!" Kim So Eun menutup pintu. Dari jendela diintipnya kelakuan Paman Park Shin Yang yang memasukkan uang pembayaran ke dalam sakunya sambil bersungut-sungut. Sudah seenaknya membangunkan orang, teriak-teriak, menagih tanpa basa-basi tanpa senyum eh... masih pula menggerutu. Ck... ck... ck... Kim So Eun menggelengkan kepalanya. Dia pikir cuma dia manusia yang berhak kesal di dunia ini? pikir Kim So Eun. Aku juga bisa kesal, pikir Kim So Eun sambil membayangkan, betapa asyiknya bila punya kesempatan mengguyur kepala Paman Park Shin Yang dengan air dingin.

"Brrr... ups,.. eh... hati-hati kalau menyiram!" teriak Paman Park Shin Yang gelagapan.

"Aduh, maaf. Paman Park Shin Yang, Saya tidak sengaja...," ujar pembantu tetangga sebelah dengan sangat menyesal dan ikut terkejut. Entah mengapa selang air yang diarahkannya pada tanamannya, mendadak berputar sendiri dan di luar kekuasaannya mengarah pada Paman Park Shin Yang yang sedang memasuki pekarangan rumahnya untuk mengantarkan susu dan menagih.

"Enak saja... brrr...," Paman Park Shin Yang menggerutu sambil menggigil kedinginan.

Kim So Eun ternganga lantas tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan adegan barusan. Ia baru ingat bahwa kini ia memiliki sebuah kemampuan yang menjurus pada keajaiban. Kekuatan baru yang bisa menjadi hiburan bagi dirinya sendiri. Dan pagi ini korban pertama adalah Paman Park Shin Yang. Untung hanya air dingin....

"Kim So Eun... sudah kauberikan uangnya?" panggil Ibu dari kamarnya.

"Eh... sudah, Bu," sahut Kim So Eun menghentikan tawanya.

Hari ini tentu ia harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang biasanya dilakukan oleh Ibu. Di hari Minggu biasanya Ibu pergi berbelanja ke supermarket untuk membeli kebutuhan-kebutuhan untuk satu minggu penuh. Dan dengan kaki terkilir tentu Ibu tak bisa mengemudi mobil dan pergi ke supermarket, dan itu berarti tugas Ibu beralih jadi tugas Kim So Eun. Dan peralihan tugas pagi ini diawali dengan menyiapkan sarapan pada nampan dan membawakannya ke kamar Ibu.

Dengan cekatan Kim So Eun mengeluarkan mentega, selai strawberry, dan coklat dari lemari pendingin. Disiapkannya alat pemanggang dan dimasukkannya beberapa helai roti tawar ke dalam panggangan yang dalam beberapa detik mengubah roti lunak menjadi garing kecoklatan. Susu dari botol pun harus dipindahkan ke dalam gelas khusus milik Ibu. Nah, selesai sudah.

Kim So Eun membawanya ke kamar Ibu.

"Sarapan siap," ujarnya seperti seorang juru rawat Ibu tersenyum.

"Tak disangka, ternyata anak Ibu tahu juga cara mengerjakan pekerjaan rumah tangga,” ujar Ibu kagum sedikit terharu. Kim So Eun hanya tersenyum.

"Dari mana kaupelajari semua ini?" tanya Ibu, menyadari bahwa ia tak pernah mengajari Kim So Eun hal-hal seperti ini. Bahwa yang diperkenankan untuk Kim So Eun hanyalah hal-hal yang berkaitan dengan pelajaran sekolah belaka. Titik

"Dari... apakah Ibu marah kalau Aku katakan yang sebenarnya?" tanya Kim So Eun ragu sebelum menjawab. Dilihatnya Ibu menggeleng sambil tersenyum lembut. "... dari majalah-majalah dan dari film-film televisi... juga dari khayalan-khayalanku sendiri...."

Ibu meraih kepala Kim So Eun ke dalam pelukannya. Ada rasa haru merambat di hatinya. Ternyata ia telah terlalu ketat membatasi gerak Kim So Eun selama ini. Bahkan untuk hal-hal yang seharusnya diperoleh Kim So Eun dari seorang ibu, ia tak sempat mengajarkannya.

Ia terlalu khawatir dituduh tak mampu mendidik anak oleh orang-orang. Sepeninggal almarhum Ayah, Ibu memang menerima amanat untuk mendidik dan membesarkan Kim So Eun hingga berhasil menjadi dokter seperti almarhum Ayah. Dan amanat Ayah berubah menjadi beban dan bumerang bagi Ibu. Kelembutan seorang ibu ditukarnya dengan tangan besi dan kekerasan seorang laki-laki. Dididiknya Kim So Eun dengan pendidikan ala militer.

Ibu lupa bahwa Kim So Eun adalah anak gadisnya yang terus tumbuh dan akan menjadi wanita. Dan hari ini, karena keseleo dan tak berdaya, Kim So Eun telah melakukan pekerjaan rumah tangga yang tak pernah diajarkan oleh Ibu. Anak gadisnya, mencari pengetahuan tentang rumah tangga dari majalah, bukan dari ibunya... ironis sekali, batin Ibu sedih.

"Enak tidak, Bu?" tanya Kim So Eun waktu Ibu mengunyah roti bakar berlapis selai.

"Mh... enak sekali," sahut Ibu cepat. Dua, tiga, empat helai roti bakar tandas diiringi penyesalan demi penyesalan di hati Ibu.

"Kim So Eun, coba buka laci meja rias Ibu," ujar Ibu. Kim So Eun menurut. Dibukanya hati-hati... dan ia terkesiap melihat radio kesayangannya ada di sana.

"Jangan ragu, Kim So Eun... ambil saja," ujar Ibu lembut. "Itu milikmu...."

Kim So Eun menatap Ibunya dengan rasa tak percaya. Benarkah kata-kata itu keluar dari mulut Ibu? Tanpa berani menyentuh radio di dalam laci, Kim So Eun terus menatap Ibu. Dan ketika dilihatnya perlahan kepala Ibu mengayun mengangguk, mempersilakannya mengambil miliknya... barulah Kim So Eun berani menggerakkan tangan mengeluarkan radio kecilnya dari laci, lantas mendekapnya erat di dada.

“Ah... terima kasih. Ibu," ucapnya bergetar sambil mencium pipi Ibu berulang-ulang.

"Hei... hei... hati-hati," Ibu kewalahan." Nanti kau terpaksa menyiapkan sarapan dua kali untuk Ibu kalau semuanya tumpah."

"Seribu kali pun Kim So Eun tak keberatan, Bu!" seru Kim So Eun riang.

Dan Ibu semakin sadar bahwa anak gadisnya telah berubah... telah tumbuh. Bukan lagi gadis kecil, melainkan seorang remaja yang tengah menuju ke kedewasaan. Yang butuh bimbingan, bukan larangan-larangan. Yang butuh kebebasan dan pergaulan luas, bukan belenggu.
Kring... kriing...!

Minggu siang yang tenang dan paling membahagiakan bagi Kim So Eun. Telepon berdering Kim So Eun melangkah malas menuju meja tempat pesawat telepon.

"Ya, halo...," sapa Kim So Eun. "Akhirnya..."

"Kim Bum?" tanya Kim So Eun tak percaya.

"Yap. Sedang apa kau?" tanya Kim Bum Jenaka. "Susah sekali menghubungimu lewat telepon."

"Lewat apa pun akan sama sulitnya," gumam Kim So Eun.

"Ah... yang penting sekarang aku bisa mengobrol denganmu. Eh... apa kabar jatah makanku? Masih ada atau sudah kau berikan pada kucing?"

"Makananmu?"

"Ya... percobaan masakmu dan janjimu Sabtu sore kemarin," Kim Bum mengingatkan.

"Oh, ya...," desis Kim So Eun, teringat kembali pada ajakan yang ditolak kemarin.

"Aku tidak sabar menunggu sampai besok. Kim So Eun, boleh tidak kuambil sekarang?"

"Sekarang?"

"Iya."

"Maksudmu, kau mau ke rumahku?" seru Kim So Eun tak yakin akan pikirannya.

"Tidak boleh? Ya sudah kalau begitu...," Kim Bum sok merajuk.

"Memangnya, siapa yang bilang tidak boleh? Kalau kau mau... silahkan saja. Lagi pula mungkin kalau menunggu besok makanan itu keburu dimakan kucing," ujar Kim So Eun riang.

"Dimakan kucing atau dimakan Kim So Eun?" goda Kim Bum.

Pipi Kim So Eun bersemburat merah jambu. Ia bersyukur karena Kim Bum tak dapat melihatnya. Kegembiraan itu tak mampu disembunyikannya lagi. Ia tak lagi ingat untuk mengontrol irama suaranya yang barangkali kedengaran terlalu bernada sukacita di telinga Kim Bum. Barangkali terlalu jelas mengekspresikan perasaannya.

"Baiklah, nanti sore aku ke rumahmu," janji Kim Bum mengakhiri percakapan.

"Betul?"

"Ya."

"Baiklah. Bye," seru Kim So Eun. Diletakkannya gagang telepon dan dirabanya dadanya yang berdetak tak keruan. Dentuman-dentuman menyanyikan irama ceria. Didatangi Kim Bum? Ah... rasanya tolakan kemarin terbayar berlipat ganda hari ini. Mudah-mudahan tak timbul masalah dengan Ibu, doa Kim So Eun dalam hati, penuh khayalan berbunga-bunga.

Kim So Eun berbaring menengadah menghadap langit-langit dengan mata terpejam. Kakinya menyilang dengan telapak kaki yang tak henti bergoyang-goyang tanda belum tertidur. Tanda pikirannya masih di awang-awang. Tanda pejamannya semu. Peristiwa sore tadi di serambi rumahnya adalah peristiwa pertamanya yang sangat berkesan, berduaan dengan makhluk yang bernama laki-laki. Kim Bum pula! Bukan sembarang laki-laki, tapi laki-laki yang menjadi idaman hampir setiap gadis di sekolah.

Dan sore tadi, semua berjalan begitu sempurna. Bahkan langit yang sudah gelap pun mendukung suksesnya acara. Tak ada hujan setetes pun meski awan hitam menggantung sore tadi. Spaghetti masakan Kim So Eun juga sukses berat. Tidak lengket atau kebanyakan saus tomat seperti biasanya. Dan yang paling membahagiakan adalah, sikap Ibu yang bersahabat pada Kim Bum. Bahkan Ibu seperti telah lama mengenal Kim Bum.

"Sepertinya Bibi sudah mengenalmu...,” ujar Ibu waktu berkenalan dengan Kim Bum sore tadi.

"Kenal di mana, bu?"

"Di... aduh, Ibu lupa." Ibu mengerutkan kening, tak berhasil mengingat-ingat di mana atau segi apa yang dihafalnya dari Kim Bum.

"Mungkin Bibi pernah melihat saya di album sekolah Kim So Eun," kata Kim Bum membantu mengingat-ingat.

"Bukan... mh... suaramu itu, Kim Bum, seperti sering Bibi dengar... tapi di mana, ya? Dan kapan?"

Percakapan akrab dan bersahabat itu masih terngiang-ngiang di telinga Kim So Eun. Ya... rasanya ucapan dan perasaan Ibu ada benarnya juga, pikir Kim So Eun. Sejak awal ia pun telah merasakan hal itu. Rasanya ada sesuatu dalam diri Kim Bum yang membuatnya merasa sudah lama akrab dan tak memerlukan waktu lama untuk penyesuaian. Tapi apa? Suaranya? Kapan dan di mana, ya?

Kim So Eun terus mengingat-ingat dengan mata terpejam. Sambil mendekap boneka panda coklatnya dan telinga bersumpal headphone Kim So Eun memonitor gelombang FM stereo kesayangannya yang sebentar lagi akan mengudarakan acara Mister DJ.

Super Junior - Bonamana


"Yap... itulah tadi, para pendengar setia, satu irama Up Beat dari Super Junior dengan judul Bonamana. Sebuah nomor yang lain dari biasanya. Bahkan mungkin terlalu lincah untuk suasana menjelang tidur...."

Kim So Eun mendekap panda-nya makin erat Suara itu... oh... ia menyimak dengan lebih sungguh-sungguh.

"...sore tadi saya mengalami peristiwa yang sangat berkesan dan tak terlupakan. Baiklah... teriring salam untuk Kim So Eun yang cantik di rumahnya, dengan ucapan selamat tidur dan semoga cepat sembuh untuk Ibu...."

Kim Bum! Kim So Eun menggigit bibirnya, seketika matanya terbelalak. Ya! Tak salah lagi, suara itu jelas suara Kim Bum! Jadi dugaan Ibu tak salah, suara itu telah menjadi sesuatu yang akrab di telinga penghuni rumah ini. Di telinga Kim So Eun yang setengah mati tergila-gila, dan di telinga Ibu yang sering penasaran ingin tahu kenapa anaknya bisa sampai tergila-gila pada radio.

Jadi setiap malam... ah... Kim So Eun tersenyum geli. Hari ini terlalu banyak hadiah yang diberikan Tuhan untuknya. Apakah ini karena keajaiban aneh yang kumiliki? Rasanya tidak. Pertama-tama memang ya, waktu Ibu mendadak keseleo. Tapi seterusnya, waktu Ibu mengembalikan radio kecilnya waktu Kim Bum menelepon dan bertandang ke rumahnya, waktu Ibu bersikap ramah ada Kim Bum dan waktu diketahuinya bahwa Kim Bum tak lain adalah si Mister DJ yang dikaguminya barusan, rasanya semua bukan hanya mimpi… bahkan bisa dibilang ini sebuah keajaiban. Sebab semua itu merupakan kejutan bagi dirinya, dan tak pernah sekali pun terlintas dalam benaknya…

Terima kasih. Tuhan, bisik Kim So Eun sebelum akhirnya terlelap dengan headphone masih menggantung di kepala dan boneka panda coklat dalam dekapan yang mengendur. Semoga esok masih ada hadiah-hadiah lain yang tak kalah indah...

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...