Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Selasa, 28 Juni 2011

True Love (Chapter 1)



Chapter 1
Cinta Tak Hanya Sekedar...

Lelaki itu tahu betapa cintanya pada Kim So Eun lebih dari sekedar cinta semata. Ia menyelami kepribadian gadis itu dengan begitu dalam hingga ia hampir tenggelam dalam kepatahatian. Wajahnya yang putih, bersih, mulus, senyumnya yang menenangkan jiwa dan lekuk tubuh yang langsing membuat semua lelaki memandangnya dengan decak kagum.

“Kim Bum, sudah saatnya kau melupakan Kim So Eun,” ujar Jung Yong Hwa, sahabat lelaki itu, “dua minggu lagi kan, kau sudah berangkat ke Amerika untuk kuliah S2 di sana. Tak usahlah memikirkan dia lagi.”

“Tidak semudah itu, Jung Yong Hwa. Aku mencintainya sudah sangat lama. Aku sangat mencintainya…” Kim Bum, lelaki itu, menundukkan kepala, menahan tangisnya yang menggumpal begitu lama. Tapi ia masih memegang doktrin dari kedua orang tuanya bahwa lelaki jantan tak pantas mengeluarkan air mata.

Lalu bagaimana aku harus melesakkan gundah yang empat tahun belakangan ini membunuhku pelan-pelan hingga aku hampir mati rasa. Kim Bum membatin. Lagu jazz mengalun lembut di lobi kafé. Membuat Kim Bum mengetuk-ngetukkan jemarinya pelan, berusaha menikmati suasana dan tak terbawa perasaan sensitifnya.

“Kim Bum, Kim So Eun tidak mencintaimu… dia terlalu cantik.”

“Apa aku tidak cukup tampan untuk bisa bersanding dengannya?”

Kim Bum menggugat.

“Justru karena kau tampan dan jadi idola di kampus ini, jadi… lupakan Kim So Eun!” Jung Yong Hwa gemas melihat tingkah sahabatnya itu.

“Tidak… sebelum aku pergi ke Amerika aku berjanji dia akan menjadi milikku,” Kim Bum mengepalkan tangan, “Aku tidak akan menyerah!” Kim Bum berdiri dan menyambar jaket yang ia sandarkan di sofa. “Aku akan melamarnya… aku ingin dia menjadi istriku.”

Kim Bum berpamitan pada Jung Yong Hwa yang masih menikmati soft drink-nya.

Jung Yong Hwa mengendikkan bahu, bersandar pada sofa dan memandangi punggung Kim Bum yang semakin menjauh. Ia tersenyum simpul.

“Semoga kau bisa mendapatkan cintamu itu, Kim Bum…” gumamnya.

* * *

Lagu cinta semakin memabukkan hati Kim Bum. Ia memetikkan gitarnya di kursi taman yang dipenuhi bunga-bunga cantik yang khusus ia pesan untuk Kim So Eun. Sementara gadis itu terduduk manis di depan Kim Bum, tersenyum lebar sambil sesekali ikut bersenandung.

Mata Kim Bum menebarkan jaring-jaring, ia lebarkan hingga memerangkap pandangan Kim So Eun. Membuat gadis itu tak bisa menoleh kepada hal lain. Hanya Kim Bum yang ada di hadapannya. Kim So Eun tertawa kecil, berusaha menenangkan hatinya yang berdebar. Suasana taman Century lengang sudah. Hampir semua pengunjung di sana enggan mendekati tempat seorang pemuda yang sedang berjuang mendapatkan cintanya. Semalaman Kim Bum menata bunga-bunga di tengah taman, menyiapkan set meja makan dan kursi untuk lunch romantis berdua dengan pujaan hati.

Kim Bum mengenggam tangan gadis itu erat, “Kim So Eun, ini pengakuan cintaku yang keempat kalinya dan aku berharap inilah terakhir kali aku harus memohon agar kau mau menjadi istriku….”

Mata jernih milik Kim So Eun membesar. Ia tak menyangka Kim Bum akan berkata sejauh itu. Bukan memintanya untuk menjadi pacar tetapi istri.

“Me… me… menikah?” gemetar bibir Kim So Eun bertanya.

Kim Bum menggeleng pelan, “maaf… iya maksudku…” gugup menyergap, “aku memang ingin kau jadi istriku… aku.” Kim Bum menarik napas mengatur nada suara dan kalimatnya. “Aku… aku akan pergi ke Amerika untuk meneruskan kuliah. Hanya empat tahun dan aku berharap kau mau menungguku Kim So Eun.”

Kim So Eun memalingkan wajah dari binar mata Kim Bum yang membuat hatinya mengangkasa jauh sekali. Ia resapi warna-warna bunga-bunga di taman dan mendapati sepasang kupu-kupu cantik sedang bercengkrama, terbang, membagi sari bunga, meliuk-liuk seolah menari merayakan cinta yang bersemi.

“Kim So Eun bicaralah,” harapan lelaki itu membuncah.

Kupu-kupu terbang mencari bunga lain. Beriringan ditimpa cahaya matahari siang. Meski panas menyengat, keteduhan pohon rindang di atas mereka mampu membuat hati sepasang manusia itu tersiram embun-embun kasih. Kim So Eun mengangguk pelan dan malu.

“Aku harap, kau mau menerimaku apa adanya,” ujarnya sambil meremas kembali tangan Kim Bum yang masih mengenggam jemarinya.

“Ya!” jawab Kim Bum mantap, “aku akan menerimamu apa adanya. Karena cintaku dari hati Kim So Eun… dari hati, kau bisa merasakannya.” Kim Bum membawa tangan putih itu menyentuh dadanya yang tak henti berdegup kencang. Seolah kuda yang sedang berpacu cepat menuju garis finish.

Kim So Eun mengembangkan pelangi terbaiknya dari bibir mungil. Sesungguhnya ia hanya ragu selama ini. Meragukan cinta Kim Bum yang tulus. Meragukan dirinya sendiri, apakah patut ia dicintai? Kim So Eun tak pernah merasakan cantik meski anugerah itu telah dimilikinya sejak lahir. Kim Bum meletakkan gitar di pangkuannya seraya memohon untuk memeluk gadis impiannya itu. Kim So Eun tak menjawab, ia diam namun matanya melukiskan beribu kebahagiaan. Kim Bum melampiaskan rindunya. Rindu untuk bisa mencintai gadis itu dengan utuh.

“Aku berjanji… akan menunggumu, Kim Bum,” bisik Kim So Eun.

“Aku berjanji melebihi janji apapun… sepulang dari Amerika aku akan segera melamarmu,” Kim Bum melepaskan pelukannya dan mengangkat dagu Kim So Eun. “Aku tak akan mencari mutiara lain selain dirimu….”

Taman Century semakin redup oleh awan yang berarak pelan, mengantarkan waktu menunaikan tugas menggulirkan senja satu-satu, membentangkan jingga di angkasa.

* * *

Pesawat dari bandara Eclipse berdengung kencang, mendarat mulus di landasan bandara Twilight. Di lobi kedatangan, Kim So Eun bergerak resah. Sesekali ia mengelap peluh. Langkahnya terasa berat. Matanya menggerayangi setiap bayangan orang yang baru turun dari pesawat dan masuk ke lobi kedatangan. Ia gugup… menyambut kedatangan Kim Bum. Pulang kembali ke kota Seoul, tempat mereka kelak akan merajut mimpi. Membangun istana hati berdua. Senyum Kim So Eun mengembang tatkala dilihatnya sosok tercinta itu berjalan ke arahnya. Dengan setelan kemeja dan jas rapi, layaknya eksekutif muda.

Bunga cinta Kim So Eun mengembang, semerbak wanginya membuat ia terlena. Direntangkan kedua tangannya, hendak merengkuh tubuh yang begitu lama meninggalkannya dalam kerinduan. Sosok tercintanya semakin mendekat.

“Kim Bum…” suara Kim So Eun riang.

“Kim Bum!” Dan lelaki itu berlalu begitu saja. Meninggalkan Kim So Eun yang berdiri terpaku. Tak sedikit pun ia menoleh sekadar menyapa mata yang begitu lama melekati dirinya.

“Kim Bum!” teriak Kim So Eun. Kim Bum tak sedikit pun menoleh, bahkan sosok lelaki itu semakin jauh meninggalkan Kim So Eun. Ia yakin ia telah berteriak begitu keras.

Tapi kenapa Kim Bum tak mendengarku? Apakah Kim Bum sudah tak mencintaiku? Apakah dia sudah tak mencintaiku?! Pekik hatinya tertahan.

“Kim Bummm!” sekuat tenaga ia keluarkan isi pita suaranya.

Kim So Eun terengah, matanya terbelalak lebar dan menyapu seluruh ruangan. Sayup-sayup ia mendengar deru napasnya yang tak teratur, suara jangkrik yang setia bernyanyi meski malam semakin hitam, dan detak jarum jam yang menari melingkari angka. Kim So Eun terbangun dari tidur panjangnya. Ia tuntaskan mimpi yang tak pernah selesai itu.

Sudah empat hari belakangan ini Kim So Eun senantiasa bermimpi hal yang sama. Kim Bum turun dari pesawat, masuk ke dalam terminal kedatangan, Kim So Eun merentangkan kedua tangannya, Kim Bum menepis begitu saja lalu pergi. Meski ia memanggil berkali-kali Kim Bum tak kunjung berbalik badan. Kim So Eun mengelap peluh, rambut panjangnya terurai, basah oleh keringat. Ia menyingkapkan selimut lalu turun dari kasur. Berdiri di depan cermin seraya memandangi bayangan dirinya. Kim So Eun mulai ketakutan.

Jangan-jangan ini pertanda, kalau-kalau Kim Bum sudah melupakan janji untuk melamarnya, kalau-kalau Kim Bum bertemu dengan tambatan hati lain lalu meninggalkan Kim So Eun begitu saja. Ia menekan-nekan keningnya yang mulai pening. Matanya memicing, merunut kejadian demi kejadian setahun belakangan ini.

Dimulai dari masalah senioritas di kantornya, sebagai pribadi yang kritis, Kim So Eun tak pernah membiarkan ada penyelewengan di kantor. Sebuah kantor surat kabar nasional yang notabene berisi orang-orang yang berpikiran luas namun ternyata mempunyai karyawan berhati sempit. Korupsi sudah menjamah dunia pers, Kim So Eun berteriak lantang, menentang.

Dan senior-senior yang merasa di ambang masalah mulai menekan Kim So Eun. Membuat rencana-rencana jahat hingga gadis itu mengalami banyak kesalahan bekerja. Puncaknya ia dipecat dengan tidak hormat. Kim So Eun stress. Pikirannya kacau, ia tidak terima kehilangan sebuah pekerjaan yang sudah ia impikan sejak kecil. Yang ia raih dengan meniti anak tangga yang panjang dan seolah tanpa ujung. Kim So Eun membutuhkan pundak seseorang untuk mencurahkan kebingungan hatinya. Namun yang ia dapati hanyalah kehancuran.

Kedua orang tuanya yang sudah menikah selama 30 tahun harus menandaskan jalan perkawinan mereka lewat perceraian. Kim So Eun tak habis pikir kalau ternyata ayahnya menikah lagi dengan seorang janda muda.

Ibunya yang sudah mulai tua selalu menangis menyesali keadaan. Ia tak kuat dimadu, Ayahnya terlalu pilih kasih dan cenderung melupakan hak dan kewajibannya sebagai seorang suami. Kim So Eun ikut terguncang meski kedua kakaknya masih mau merawat dan memberikan support besar kepada Ibu.

Keadaan ekonomi mereka mulai berguncang. Ayah lebih sering mengurus istri mudanya sementara kedua kakaknya yang sudah menikah tak sanggup terus menerus membiayai Ibu. Kebutuhan hidup semakin menghimpit dan menyesakkan dada. Beruntung Ibu masih mempunyai rumah warisan di St.Vyest, Gwangju. Berbekal uang patungan anak-anak mereka, Ibu membeli sebidang tanah dan memilih berkebun. Menghabiskan sisa masa tuanya. Kakak pertama Kim So Eun, Song Hye Gyo, sering menjenguk Ibu. Bahkan dua bulan yang lalu ia dan suami beserta kedua anaknya hijrah ke kota Gwangju setelah diangkat menjadi pimpinan perusahaannya bekerja.

Kim So Eun mengalami depresi, ia hampir putus asa menghadapi hidup. Kehilangan sosok ayah yang selalu memanjakannya dengan segudang materi. Ayah pula yang seringkali mengajarkan dirinya tentang cinta dan kesetiaan. Tapi semua itu bagaikan dongeng yang tak indah bagi Kim So Eun. Ia benci sosok Ayahnya… ia benar-benar butuh sandaran. Tapi sahabat-sahabatnya sibuk dengan pernikahan mereka masing-masing. Usia Kim So Eun semakin menanjak naik. Dua puluh enam tahun dan ia belum menikah. Ia sosok wanita yang setia, menunggu Kim Bum kembali ke Korea membawa gelar S2-nya.

Kegalauan memerangi setianya. Sejak Kim So Eun dipecat dari pekerjaannya, sejak itu pula intensitas Kim Bum menghubunginya berkurang. Tak pernah menelepon dan hanya sesekali mengirimkan e-mail. Pesan terakhir yang ia terima hanyalah kalimat. “Kim So Eun apa kabar?” tak lebih. Tak ada kata cinta ataupun rindu. Terlebih setelah sang Ayah menikah lagi, Kim Bum bagaikan lenyap ditelan bumi. Nomor HP-nya tak aktif, e-mail dari Kim So Eun tak pernah dibalas. Gadis itu kesal, gundah, gulana. Ia pun memilih mencintai yang lain. Makanan. Ya, makanan. Sosok yang ia cintai hingga kini.

Kim So Eun tak tahu harus kemana lagi ia labuhkan sedih. Ia makan apa saja yang ada. Ia lahap apapun yang tersedia. Ia menangis dalam sepi sambil menuliskan roman-roman penuh air mata. Dan bulan lalu novelnya baru saja diterbitkan sebuah penerbit besar. Ia pun menikmati karirnya sebagai penulis dan mulai menerima keadaan bahwa berat badannya naik 15 kilogram. Dengan tinggi 163 cm tentu membuat ia terlihat lebih tambun dan besar. Apalagi makanan selalu menemaninya kala berkarya di depan layar komputer.

Kini Kim So Eun melenguh. Nanar ia tatap bayangan tubuhnya di cermin. Perut yang penuh lemak bergelambir, pipinya yang membulat. Tak ada lagi lekuk tubuh yang membuat kaum Adam tergila-gila, tak ada lagi kaki panjang jenjang yang berjalan anggun di tengah kota. Kim So Eun terisak, pelan-pelan ia nikmati pedih itu. Mengukir malam yang mulai merangkak pergi dengan air mata.

Kemana Kim Bum? Kemana Kim Bum? Batinnya bertanya. Apakah ia akan tetap mencintaiku? Kalau ia tetap mencintaiku, kemana saja ia selama ini? Satu tahun tanpa kabar… apa ia masih hidup? Apa ia masih mau melamarku? Menjadikanku istrinya? Ribuan pertanyaan seperti menusuk syaraf-syaraf otak Kim So Eun. Kadang kala ia tak mampu lagi bermain metafora dengan kata. Ia terlampau bimbang… terlampau rindu….

Ia berbalik badan, berjalan menuju meja kerjanya dan menyalakan komputer pemberian kakak keduanya, Yoon Eun Hye. Memulai sepertiga malam terakhir itu dengan meramu cerita. Menjahitnya pelan-pelan hingga membentuk kisah. Yang pedih, yang sedih, yang menyayat hati. Menyanyikan kerinduan yang mendalam. Berharap pada kupu-kupu yang tengah terbang di negeri matahari, menjadi bunga dalam semalam, menunggu mekar dan sarinya terbawa angin.

Kim So Eun bisu… hanya ditemani suara ketukan tuts keyboard yang bernyanyi dalam nada kosong.

* * *

“Nn. Jung So Min?” tanya seorang perawat yang menata meja di samping tempat tidur pasien. Ia kerap dipanggil Suster Yoona. Wanita yang dipanggil Jung So Min, sedang duduk di pinggir tempat tidur seraya menatap ke luar jendela. Ia menoleh ke arah suster, “anda sudah boleh keluar dari rumah sakit, kan?”

“Iya,” Jung So Min tersenyum, “seharusnya sudah keluar dari tadi pagi. Semua administrasi sudah saya selesaikan. Maaf kalau saya masih duduk di sini, sekedar melihat pemandangan di taman rumah sakit, boleh, kan?”

Suster Yoona tertawa kecil. Ia meletakkan bunga segar ke dalam vas kosong.

“Boleh saja, memang rata-rata pasien yang menginap di kamar satu kosong empat ini senang melihat taman.”

Suster Yoona menghampiri jendela dan melihat pemandangan taman. Sebuah tempat teduh, dimana para pasien yang sedang direhabilitasi mencoba untuk sembuh. Dimana banyak pepohonan rindang nan menyejukkan udara dan mata yang melihat. Tak ketinggalan juga tanaman berbunga yang sedang mekar. Nampak di tengah taman, deretan bunga matahari yang selalu menjadi pusat perhatian pengunjung taman Rumah Sakit Kwanghee.

“Tamannya indah sekali…” raut wajah Jung So Min sedih, “sayang aku hanya bisa melihatnya seorang diri.”

Suster itu paham. Selama satu minggu dirawat di rumah sakit akibat kecelakaan lalu lintas, tak satu pun keluarga Jung So Min yang menjenguk. Hanya teman-teman satu pekerjaannya saja yang datang dan itupun sering membuat gaduh rumah sakit. Ia bekerja di sebuah Event Organizer besar di Seoul, menjabat sebagai public relation. Di tengah kesepiannya, Jung So Min suka bercerita sedikit tentang keluarganya. Kedua orang tuanya sudah meninggal dan adiknya sekarang kuliah di Amerika. Ia tinggal sendirian di sebuah apartemen mewah dengan segala kegersangan yang ia miliki.

“Aku ingin mencintai dan dicintai seorang lelaki,” ujar Jung So Min sebelum akhirnya ia berpamitan pada Suster Yoona. Jung So Min mengambil kopernya dan berpamitan.

“Semoga anda menemukan lelaki terbaik, Nn. Jung So Min,” jawab Suster Yoona tersenyum.

Jung So Min mengangguk lalu berjalan anggun, meski agak pincang, keluar kamar rumah sakit. Ia gadis yang cantik, modis, berkarakter, sedikit terkesan angkuh dan pekerja keras. Kekerasan hidup membuatnya tak mau sembarangan menerima cinta lelaki manapun. Baginya bila cinta itu datang akan ia tangkap dan ia dapatkan. Sampai saat ini, benaknya masih kosong oleh cerita kasih manapun. Banyak lelaki bertekuk lutut dan menangisi kepongahannya.

“Oh iya, nona Jung So Min… jangan lupa, check up satu bulan sekali. Luka di kaki kanan anda belum sembuh benar, jadi ingat saran dokter untuk tidak terlalu lelah.” Pesan Suster Yoona sebelum Jung So Min benar-benar menghilang dari pandangan. Jung So Min mengangguk dan melambaikan tangan. Ia menghela napas pelan. Banyak pekerjaan menumpuk yang menunggunya.

* * *

Sesekali Kim So Eun mencari posisi duduk yang aman. Ia merasa resah bila sewaktu-waktu celana yang ia pakai akan robek. Dirinya tak menyangka kalau pahanya sudah bertambah besar dan celana panjang itu semakin mengecil dan sulit ia kenakan. Tapi hanya itu saja satu-satunya celana dengan ukuran big size yang ia punyai. Harga celana seukuran itu dengan kualitas yang bagus cukup mahal di pasaran.

Dilihatnya jarum jam di tangan, sudah lewat dua jam setelah waktu perjanjian yang ditentukan. Hari ini ia akan bertemu dengan seorang pemilik penerbitan kecil di sebuah food court sebuah Mall di bilangan Jasmine Road. Bulan lalu ia mengirimkan naskah novelnya dan hari ini ia akan mendapatkan jawaban apakah novelnya akan diterima atau ditolak. Seharusnya pihak penerbit itu bisa mengabarinya lewat telepon. Tapi mereka punya kebijakan lain untuk bertemu langsung dengan penulisnya.

Ponsel Kim So Eun bergetar, sejenak kemudian mengalun merdu suara Yesung Of Super Junior dalam It Has To Be You.

“Halo?” Kim So Eun menjawab dengan malas, “iya, bagaimana Tn. Kim Hyun Joong?”

“Maaf Nn. Kim So Eun saya tidak bisa datang ke sana,” suara serak Tn. Kim Hyun Joong, pemilik penerbitan itu terdengar di seberang sana, “mobil saya mogok.”

Decak kesal terdengar kecil dari mulut Kim So Eun, “lalu bagaimana dengan novel saya, Tuan? Apakah jadi diterbitkan?”

“Maaf, Nn. Kim So Eun… saya tidak bermaksud mengingkari janji. Tapi dari pertimbangan kami. Karena kurangnya minat dari pasar maka dengan terpaksa novel anda kami tolak.”

Sepertinya atap food court akan runtuh. Tn. Kim Hyun Joong menjelaskan kembali secara detail alasan-alasan mengapa novel Kim So Eun ditolak. Namun gadis itu bagai menulikan telinganya. Ia sudah lelah. Diakhirinya dialog singkat itu dengan cepat. Kim So Eun memegang kedua keningnya. Peluh bercucuran dan ia merasa perutnya bergejolak. Lapar. Bergegas ia memesan hamburger, ayam goreng, soft drink, dua kantung kentang goreng dan spagetti. Ia seperti melayang ketika menikmati semua hidangan itu. Pikirannya berjalan entah kemana.

Seseorang menghampirinya.

“Kim So Eun?!” pekik Jung Yong Hwa tiba-tiba. Ia menggeser bangku kosong di sebelah Kim So Eun dan duduk di sampingnya. Ia pandangi gadis itu dari atas sampai bawah. “Wow!”

“Kenapa? Ada yang salah dengan penampilan baruku?” tanya Kim So Eun dingin.

Jung Yong Hwa menahan tawa, ia tak mau menyakiti hati pacar sahabatnya itu.

“Tidak ada yang salah Kim So Eun. Hanya saja… kau terlihat sangat berbeda. Sungguh, berbeda sekali.”

“Kau tak usah berbasa-basi untuk sekedar mengatakan bahwa tubuhku sangat besar, bukan?” Kim So Eun menghabiskan softdrinknya lalu bersendawa halus. Ia berdiri dan mengambil tas tangannya di atas meja.

“Kim So Eun tunggu…” Jung Yong Hwa menggamit tangan Kim So Eun. Ia merasakan tangan itu sudah tumbuh menjadi dua kali lipat namun sekuat tenaga ia tak berkomentar. “Tadi Kim Bum ke rumah kontrakanmu. Tapi dia tak menemukanmu di sana….”

Mata sayu itu kini berubah menjadi cerah. Senyumnya mengembang. “Kau tidak bohong, kan? Kim Bum sudah kembali dari Amerika?”

“Ya! Dan dia membawa hadiah special untukmu!”

Kim So Eun tertawa kecil. Sejurus kemudian ia merasa sesak. Kaos yang melekat di badannya terlampau sesak. Disadarinya kini, bahwa ia bukanlah Kim So Eun cantik yang dahulu dipuja banyak lelaki. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Malu menyergap. Ia tak peduli segala cacian yang muncul dari mulut Jung Yong Hwa ataupun dari pria mana saja. Tapi ia tak siap bila Kim Bum yang berkomentar lalu pergi meninggalkannya. Air matanya meleleh.

“Apa Kim Bum masih mencintaiku?” tanyanya dengan getar getas.

Jung Yong Hwa agak ragu untuk menjawab. “Aku tidak punya hak untuk menjawab, Kim So Eun.”

Kim So Eun pamit pulang pada Jung Yong Hwa lalu pergi meninggalkan sahabat lelaki terkasihnya itu sendirian di food court.


* * *

Sesampainya di rumah, Kim So Eun berdiam diri sejenak di teras. Berharap Kim Bum akan kembali datang lagi. Namun hingga rintik hujan membasahi bumi, sosok terindu itu tak muncul. Kim So Eun masuk ke dalam rumah. Menyeduh mie instant dan menikmatinya sambil menonton televisi. Tak ada acara menarik, semua hanya terlihat seperti orang-orang berseliweran tanpa makna di mata Kim So Eun.

Kim Bum… apakah cintamu masih seperti dulu? Kemana saja kau selama satu tahun ini? Aku ingin menghampirimu, berjumpa denganmu, rindu menusuk hari-hariku, mengoyak cintaku hingga hancur…. Sampai aku lupa bagaimana sosokmu, seperti apa senyum manismu. Kim Bum… apakah kau masih mencintaiku?

Kim So Eun memejamkan mata. Tangannya hanya memegang cup mie instant yang sedari tadi hanya dimakan beberapa suap. Asap mengepul dan bau sedap yang menggiurkan tak membuat Kim So Eun bernafsu pada makanan itu. Diletakkan cup mie di atas meja. Matanya kosong, menerawang menatap lantai rumah.

Pintu rumahnya diketuk pelan oleh seseorang.

Kim So Eun enggan untuk meninggalkan posisi nyamannya bersantai siang ini. Baru saja ia hendak berdiri, suara ketukan itu menghilang. Kim So Eun penasaran dan membuka pintu. Sesosok pria memunggunginya.

“Maaf, anda mencari siapa?” tanya Kim So Eun.

Pria itu berbalik badan.

Ia tersenyum ramah namun merasa asing dengan gadis besar yang ada di depannya. Rambut pria itu lebih panjang, lebih terawat dengan poni menjuntai ke samping. Kumis tipisnya membuat ia lebih tua, jenggotnya sedikit tumbuh menambah rasa macho pada wajahnya yang tampan, putih dan nyaris tanpa noda. Tubuh tingginya kekar meski terlihat semakin kurus. Menandakan betapa kerasnya ia belajar untuk menyelesaikan tesis S2-nya di Amerika.

Dada Kim So Eun bergejolak, seperti ombak yang menggulung geram. Ia mengigit bibir bawahnya dan memegangi kedua pipinya setengah tak percaya. “Kim Bum?” desisnya pelan.

“Maaf, permisi, Nona… apa benar ini rumah Kim So Eun?” tanya lelaki itu dengan ramah, setengah membungkuk dan tatapan teduh.

Petir tiba-tiba menghantam jantung gadis itu. Panas penuh rasa kecewa merambat-rambat. Mengapa harus kau tanyakan hal itu?! Pekik hatinya. Aku ada di sini, di depanmu. Menunggumu memelukku. Meski empat tahun berlalu… aku masih mencintaimu.

Kim Bum menunggu jawaban dari gadis berbadan besar di depannya. Ia mengernyitkan dahi tatkala melihat mata gadis itu berkaca-kaca. Kim Bum mengeluarkan selembar tissue dan menyerahkannya lembut. “Pakai ini… mungkin anda sedang sakit mata?”

Kim So Eun enggan mengambil tissue itu. Ia memalingkan wajah.

Sayatan-sayatan halus merobek kulit cinta dan jantung kerinduannya. Ia sesak tak kuasa menahan galau dan kecewa yang membuncah, berhamburan lewat kristal bening di matanya.

Lelaki itu semakin heran. Ia mengeluarkan selembar foto dari dompet kulitnya lalu memperlihatkannya pada Kim So Eun. “Apakah benar ini rumah Kim So Eun? Hmmm… dia seperti ini,” foto itu berada tepat di depan wajah Kim So Eun. “Orangnya kurus, langsing, putih bersih, dan….” Kim Bum semakin heran melihat gadis di depannya mulai terisak.

“Maaf apa saya melukai hati anda? Menganggu anda? Maaf…” Kim Bum memasukkan kembali foto ke dalam dompet lalu bergegas untuk pamit, “saya permisi.” Ia melangkah mundur, menuruni tangga teras. Membiarkan tubuh Kim So Eun semakin lemah dan lemas. Gadis itu tak kuasa menahan beban hatinya.

“Apakah kau masih mencintaiku, Kim Bum? Mencintaiku apa adanya?” tanya Kim So Eun berusaha menguasai emosi yang semakin mengaduk-aduk batinnya kini.

Empat tahun bukan waktu yang lama bagi Kim Bum untuk melupakan suara merdu itu. Suara yang sempat membuatnya tergila-gila. Ia berbalik badan, menatap setengah tak percaya pada pandangannya, pada pendengarannya, pada hatinya yang menggebu meminta gadisnya datang ke pelukan.

“Kim So Eun?” Kim Bum menghampiri gadis itu.

Senyum mengembang dari bibir Kim So Eun. Inilah ujung penantiannya, akhir dari kisruh hatinya. Ia bersiap menerima pelukan cinta itu. Dengan suka cita. Kim Bum memegang bahu Kim So Eun dan mengguncangnya tiba-tiba.

“Tadi aku mendengar suara Kim So Eun… dimana Kim So Eun? Apa dia ada di rumah ini?”

Wajah gadis itu semakin bersemu merah. Ia menunduk. Kim Bum paham sikap siapa itu, wanita pemalu yang senantiasa menyembunyikan rasanya dalam diam. Ia mengangkat dagu gadis itu pelan-pelan. Menyelami mata beningnya yang masih sama. Ia lekatkan dalam-dalam hingga ia yakin bahwa cinta masih ada di balik cahaya binarnya.

“Kim So Eun? Kau Kim So Eun?” Kim Bum tersenyum senang. Beberapa jenak kemudian ia tertawa kecil. “Sungguh kau Kim So Eun?”

“Apakah kau masih mencintaiku? Menerimaku apa adanya?” tanya Kim So Eun.

Kim Bum tak menjawab. Ia hanya merengkuh tubuh gadis itu, menenggelamkan wajahnya ke dada bidangnya. Membiarkan gadisnya meluapkan segala rasa rindu. Ia hanyutkan dirinya di samudera biru.

Direngkuhnya tubuh besar itu lebih keras.

“Empat tahun… empat tahun kulalui dengan seribu penantian….”

Tak ada lagi kata yang terucap, tak perlu lagi puisi untuk menyatakan rasa, usah ada suara. Biarkan hening melingkari pertemuan ini. Biarkan kami menyatu merenda kembali cinta yang mulai terkikis waktu.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...