Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Kamis, 30 Juni 2011

True Love (Chapter 5)



Chapter 5
Kesabaran Seorang Istri


Kesabaran seorang istri akan diuji bila lelakinya mencintai wanita lain. Kim So Eun menenangkan hati dan pikirannya. Ia tahu Kim Bum masih mencintainya… meski ia tak pernah rela bila rasa cinta itu hilang bersama dengan sebagian memori yang lenyap pada pikiran Kim Bum. Rumah orang tua Kim Bum terlihat lengang di siang hari. Selepas sarapan kedua orang tuanya segera pergi ke kantor. Kim So Eun yang membujuk Kim Bum untuk bisa mandi pagi, menyuapi lelaki itu agar mau makan. Meski berulang kali Kim Bum melepeh makanan yang ada di mulutnya.

“Aku hanya mau makan bila makanan itu berasal dari tangan Jung So Min!”

“Kim Bum, kau harus makan… biar tidak sakit. Aku berjanji… aku minta Jung So Min untuk datang menemuimu…” ujar Kim So Eun dengan suara bergetar.

Ia menahan perih di hati ketika Kim Bum akhirnya mau menerima suapannya sambil sesekali membayangkan wajah Jung So Min. Air mata mengalir tipis-tipis, Kim So Eun pergi ke kamar mandi.

Ia tatap wajah kusutnya di cermin, kurang tidur, kurang makan, kurang sehat… kantong matanya membesar. Kim Bum… cinta seperti apa yang kau rasakan pada Jung So Min? Kau baru beberapa kali berjumpa dengannya. Bahkan saat kau amnesia, kau hanya tujuh hari bersamanya. Ya… dan tujuh hari sudah cukup membuat hatimu mencintainya sedemikian dahsyat. Hingga rindu di dadamu menyakiti hatiku… istrimu, Kim Bum.

Kim Bum berteriak memanggil Kim So Eun. Meminta gadis itu untuk mengambilkannya minum. Setelah meneguk air putih pemberian Kim So Eun, Kim Bum segera menyambar kedua kruknya. Ia berjalan pelan-pelan ke pintu depan kemudian membuang satu kruknya ke lantai.

“Aku hanya perlu satu kruk untuk berjalan!” ujarnya. Kim So Eun membantu Kim Bum berjalan meski berkali-kali lelaki itu menepiskan tangannya. Dengan sabar Kim So Eun memapah ketika Kim Bum jatuh karena kruknya tersandung batu. Dengan penuh kelembutan pula ia bersihkan luka di kaki Kim Bum yang tergores batu kerikil yang tajam. Ia seka keringat yang bercucuran di dahi suaminya.

“Tak usah terlalu dipaksakan, Kim Bum… pelan-pelan saja,” pinta Kim So Eun.

“Tidak bisa, aku harus cepat bisa berjalan. Aku tahu kalau Jung So Min ada di New Moon Entertainment dan aku akan menjemputnya!” tegas Kim Bum sambil menjauhkan tangan Kim So Eun yang masih menyeka keringatnya.

“Untuk apa menjemput Jung So Min?” tanya Kim So Eun, ia disergap rasa takut.

“Untuk menyatakan cintaku padanya,” jawab Kim Bum.

Petir menyambar hati gadis itu.

Kim So Eun terduduk di pinggir taman, kakinya lemas.

“Kalau dia menerima cintaku… aku akan melamarnya,” mata Kim Bum menerawang merajut arakan angkasa di hatinya. Menata mimpi indah bersama Jung So Min. Ia bangkit dari duduk dan berjalan pelan-pelan masuk ke dalam rumah, dengan satu kruk di tangannya.

* * *

“Jung So Min, kau sedang apa?” tanya Park Shin Hye saat mendapati Jung So Min sedang mengobrak-abrik folder file di laci kabinet ruang arsip New Moon Entertainment.

Meja sekretaris berantakan, dipenuhi oleh file-file yang berserakan. Beberapa buku berjatuhan ke lantai. Park Shin Hye memungutinya dengan merengut. “Apa yang kau cari, Jung So Min?”

“Park Shin Hye tolong bantu aku…” Jung So Min terlihat panik sambil terus memeriksa satu per satu kertas di dalam folder. “Bantu aku mencari alamat Kim Bum….”

“Kim Bum? Kim Bum siapa?” Park Shin Hye menyusun kembali buku-buku di atas meja kerjanya.

“Seorang klien yang pernah aku ceritakan padamu. Seorang lelaki yang mampu membuat hatiku bergetar…” Jung So Min mengatur napasnya yang naik turun.

“Untuk apa?”

“Aku ingin bertemu dengannya,” Jung So Min menyandarkan pinggangnya ke pinggir meja, “aku merasakan kerinduan yang amat sangat. Aku ingin berjumpa….”

“Jung So Min!” Park Shin Hye mencubit pipi sahabatnya, “bukankah Kim Bum sudah menikah?”

“Tapi sekarang dia hilang ingatan, Park Shin Hye… dan aku tahu kalau dia mencintaiku! Dia bahkan lupa pada istrinya! Ini kesempatan bagiku untuk mendapatkannya….”

“Jangan gila, Jung So Min… lihatlah, cinta sudah membuatmu jadi kehilangan kendali. Untuk mencari nama Kim Bum seharusnya kau bisa mencarinya dengan runut di biodata klien, tidak harus membongkar semuanya seperti ini. Itu tandanya kau sudah tidak sehat, Jung So Min!”

Jung So Min membodohi dirinya sendiri. Dengan cekatan Park Shin Hye mencari beberapa folder dan mengambil sebuah file. Ia serahkan selembar kertas berisi biodata Kim Bum pada Jung So Min.

“Lihat… aku bisa mencari biodata Kim Bum dengan mudah, bukan?” Jung So Min segera merebut kertas di tangan Park Shin Hye. “Jung So Min, jangan ganggu hubungan rumah tangga orang lain. Masih banyak lelaki yang bisa kau cintai.”

“Tidak, Park Shin Hye… seumur hidup hanya Kim Bum yang mampu membuatku hatiku bergetar. Hanya dia. Aku yakin aku mencintainya. Aku tidak peduli dia sudah menikah atau belum. Asalkan aku mencintainya dan dia mencintaiku….” Jung So Min berpamitan lalu segera keluar ruangan. Ia meninggalkan kekacauan di sana-sini. Park Shin Hye membereskan folder dan file-file yang berserakan. Ia harus menyusun ulang semua itu, sambil menggeleng tak habis pikir atas ulah sahabatnya.

* * *

Kim So Eun membantu Han Hyo Joo (Pembantu Rumah Tangga) memasak di dapur. Sambil sesekali melirik ke arah Kim Bum yang sedang asyik menonton film televisi. Senja sudah melukis jingganya di ufuk barat. Kim So Eun selesai menata cream cokelat stroberi di atas cake yang ia buat khusus untuk Kim Bum.

“Yang sabar, ya, Nn. Kim So Eun…” ujar Han Hyo Joo bijak saat memberikan nampan kecil berbentuk hati pada Kim So Eun. Gadis itu mengangguk pelan dan mengumpulkan kekuatan untuk menemui suaminya.

Meski ia tahu hati suaminya kini telah diisi oleh wanita lain. Untuk sekali saja, Kim So Eun berharap bisa menikmati malam ini berdua sambil makan cake bersama. Empat tahun berpisah namun Kim So Eun tahu betul kebiasaan kekasih hatinya itu. Mereka telah saling berbagi melalui internet, saling berkasih dengan telepon selular… tak ada alasan bagi Kim So Eun untuk melupakan makanan kesukaan Kim Bum. Cake cokelat stroberi.

“Sayang…” sapanya lembut. Ia duduk di samping Kim Bum.

“Kau jangan duduk di sini!” ketus Kim Bum, “sempit!” jelas sekali tak ada nada bercanda dalam suara lelaki itu. Hati Kim So Eun tertohok. Ia berdiri pelan-pelan seraya menyerahkan sepiring cake cokelat.

“Untuk siapa?”

“Untukmu, mungkin mau nyemil sembari menunggu Han Hyo Joo selesai membuat makan malam,” Kim So Eun memberikan senyum terindahnya.

“Untukmu saja,” pandangan Kim Bum kembali pada televisi, “terlalu banyak camilan bisa membuat badan atletisku ini gemuk,” ia menatap Kim So Eun. “Seperti kau.” Kim Bum memain-mainkan remote dan memindahkan channel.

Seseorang memencet bel rumah. Han Hyo Joo segera membuka pintu takut kedua insan yang sedang mengobrol itu terganggu. Jung So Min berdiri di depan pintu, mendengar keributan kecil di ruang tengah. Han Hyo Joo belum memintanya untuk masuk ketika gadis itu berjalan ke arah ruang tengah.

Terdengar suara Kim Bum, “Menurutku, kalau kau diet pasti akan ada lelaki yang cinta padamu.”

“Tapi kau sudah mencintaiku, Kim Bum…” cake di tangan Kim So Eun masih terjulur tepat di wajah Kim Bum. Lelaki itu kesal, ia ambil cake itu dan menumpahkannya ke atas kepala Kim So Eun. Cream berhamburan di wajah gadis itu. Rasa manisnya bercampur dengan asin air mata.

“Dengar, berapa kali aku harus katakan kalau aku tidak pernah mencintaimu! Aku hanya mencintai Jung So Min! Hanya Jung So Min!”

“Kim Bum,” panggil Jung So Min dengan hati dipenuhi bunga. Baru kali ini ia merasakan sebuah pernyataan cinta dari orang yang juga ia cintai. Ia menahan haru.

Kim Bum menoleh, mendapati sosok Jung So Min berdiri mematung di depan ruang tengah, ia mengambil satu kruknya lalu berjalan pelan. Didorongnya tubuh Kim So Eun yang menghalangi, gadis itu menyingkir memberikan ruang untuk suaminya menghampiri wanita lain. Kim So Eun dan Kim Bum saling memunggungi. Di antara mereka bagaikan ada lorong, semua senyap dan menjadi bayangan putih. Hanya ada Jung So Min, Kim Bum dan Kim So Eun. Kelabu menggelayut di wajah Kim So Eun, gadis itu membersihkan cream cake di wajahnya lalu berlari kecil, masuk ke dalam kamar mandi.
“Jung So Min… kemana saja kau selama ini?” suara Kim Bum terdengar samar oleh Kim So Eun di dalam kamar mandi.

“Kim Bum… apa benar kau mencintaiku?” tanya Jung So Min. “Padahal pertemuan kita begitu singkat.”

Kim Bum tak menjawab, ia memeluk Jung So Min, menjatuhkan kruknya di lantai. Dibenamkan wajah lelahnya pada bahu kecil Jung So Min. Han Hyo Joo menahan geram, namun ia tak kuasa berkata. Ditinggalkannya dua insan yang dimabuk cinta itu.

Deras kepedihan mengalir pada kelopak mata Kim So Eun. Ia sesak. Terisak, sendiri di kamar pengap.

Hari berlalu dengan kesendirian di hati Kim So Eun. Ia curahkan cinta yang masih menggumpal dalam raga, ia berikan sepenuh hati untuk Kim Bum. Ia rawat lelaki itu hingga lututnya sembuh dan berhasil berjalan tanpa kruk meski masih tertatih. Dan air mata terus mengalir di pipinya, melintasi lehernya hingga menggenang di dadanya. Terlalu banyak yang tercurah setiap kali Jung So Min datang bertandang berbincang mesra dengan Kim Bum dan lelaki itu tak menggubris kasih Kim So Eun. Bahkan Kim Bum seringkali membentaknya. Membuat luka di hati semakin menganga.


* * *

“Sudah tiga minggu Ibu dan aku di sini,” ujar Song Hye Gyo kakak pertamanya itu ketika bertamu ke rumah orang tua Kim Bum. “Suamiku sudah pulang sejak minggu kemarin. Sepertinya Aku dan Ibu sudah harus kembali ke St.Vyest, Kim So Eun.”

Kim So Eun menyuguhkan tiga gelas sirup dingin segar untuk kedua kakaknya dan Ibunda tercinta. Ia duduk di samping Yoon Eun Hye, masih mengenggam nampan.

“Kau baik-baik saja di sini? Bagaimana Kim Bum? Apakah sudah bersikap baik?” tanya Ibu.

Kim So Eun mengangguk. Tak mungkin ia katakan dengan jujur bahwa separuh jiwanya itu kini sedang berjalan-jalan di taman kompleks bersama Jung So Min. Melatih kemampuan lutut Kim Bum yang membaik.

Yoon Eun Hye menegak sirup jeruknya. Segar. “Besok Ibu berangkat….”

“Antar Ibu ke bandara, ya… ajak Kim Bum juga,” pinta Song Hye Gyo.

“Jaga suamimu baik-baik, Kim So Eun… kasihan dia, ingatannya belum pulih,” ujar Ibu.

Kim So Eun menatap wajah Ibu dan Song Hye Gyo bergantian. Mulutnya membuka kecil.

“Ibu… aku…” air matanya menetes satu-satu.

* * *

Strawberry Resto. Dengan seluruh dinding didominasi warna ungu. Puluhan vas bunga berisi bunga anggrek segar menghiasi setiap sudut ruangan. Pada setiap meja terdapat satu tangkai bunga mawar merah. Lilin-lilin kecil menyala, menyebarkan sinar temaram. Dentingan suara piano menghantarkan nada-nada cinta Mozart pada malam yang sunyi. Sesunyi hati Kim So Eun yang berdiam sendiri, tepat di meja pojok dekat dengan layar tiga dimensi, air terjun yang mengalir deras, dan sepasang kupu-kupu terbang bahagia.

Hatinya hampa. Ia mencoba berserah diri pada Tuhan. Hanya Dialah yang mampu merubah keadaan. Yang mampu memutar balikkan perasaan, yang sanggup menghilangkan segala kenangan. Ya, cintanya dengan Kim Bum memang sudah dijaga selama empat tahun. Namun kebersamaannya dengan lelaki itu tak lebih dari dua minggu. Satu minggu sebelum ia pergi ke Amerika dan satu minggu setelah mereka berjumpa, menikah dan resepsi yang singkat. Semua dirasakan Kim So Eun seperti mimpi. Bunga tidur yang membuatnya larut dalam sedih.

Mungkin Tuhan menghendaki sesuatu yang berbeda. Mungkin tak ada tali cinta yang mengikat Kim So Eun dan Kim Bum… karena jodoh masihlah sebuah misteri yang sulit terpecahkan.

Suara tepuk tangan tiba-tiba menggema menjadi riuh. Kim So Eun terkesiap dari lamunan, déjà vu melanda dirinya. Ketika beberapa minggu yang lalu Kim Bum melamarnya. Ia berdiri seperti banyak pengunjung lain yang juga berdiri dan memberikan tepuk tangan hangat. Pada sepasang manusia yang memadu kasih di tengah restoran. Sang pria menggamit lengan putih si perempuan, ia mengecupnya sebelum kemudian melingkarkan sebuah cincin permata putih ke dalam jari manisnya yang lentik.

Dunia sudah runtuh bagi Kim So Eun.

“Jung So Min, aku mencintaimu… menikahlah denganku,” pinta pria itu.

“Aku terima, Kim Bum… aku terima…” jawab Jung So Min.

Dunia benar-benar runtuh di hati Kim So Eun.

Malam itu mereka bertengkar.

“Aku istrimu Kim Bum… istrimu!” pekik Kim So Eun.

Ia ada di kamar Kim Bum. Laki-laki itu tak pernah mengizinkan Kim So Eun memasuki tempat pribadinya. Pun untuk saat ini, ia coba usir perempuan itu agar pergi.

“Aku tidak pernah menikah!”

“Lalu bagaimana dengan surat nikah ini, foto-foto ini, cincin di jari ini…?”

“Itu semua hanya rekayasamu saja, Kim So Eun! Karena berulang kali aku mencoba mengingat-ingat tetap saja aku tak bisa ingat bahwa aku pernah mencintaimu, aku tak pernah ingat pernah menikah denganmu! Semua itu lelucon yang tidak lucu!”

“Kim Bum… tidak ada rekayasa, aku memang benar-benar istrimu!”

Plaak… tangan lelaki itu melayang begitu saja di pipi Kim So Eun. Panas.

“Aku istrimu Kim Bum… aku mohon, ingat aku kembali… ingat cinta kita!”

Serta merta kepala Kim Bum berdenyut…

Setiap kali ia berusaha mengingat Kim So Eun, setiap kali pula ia kesakitan. Ia mengerang. Menggeram. Mengusir gadis itu pergi menjauh. Kim So Eun mendekat namun tangan itu ditepis hebat oleh Kim Bum yang mulai meringkuk.

Samar-samar lelaki itu merasakan bayangan berkelebat. Sosok Kim So Eun saat masih langsing, kurus, dengan wajah tersenyum. Ketika mereka main gitar bersama di Taman Century. Saat Kim Bum harus pergi ke Amerika… hanya itu saja lalu lenyap. Hitam. Pekat. Gelap. Dan Kim Bum terlelap dalam sakitnya.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...