Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 04 Juni 2011

Magic Girl (Chapter 4)



"Kim So Eun," teriak Ibu untuk yang kesekian kalinya. Tiap kali selalu begitu. Panggilan-panggilan yang bersifat setengah memaksa dan dikte-mendikte yang bersifat perintah mutlak yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Kim So Eun bergegas turun dari kamarnya sambil membereskan seragam sekolahnya dengan sibuk, karena tangan yang satunya harus menenteng tas sekolahnya.

"Cepat sedikit... nanti Ibu terlambat ke kantor!"

Kim So Eun hanya mengangguk. Pagi tadi ketika Kim So Eun memeriksa sepedanya, ternyata ban belakangnya kempes. Kim So Eun berusaha memompanya, tapi ternyata bukan sekadar kempes, melainkan ada lubangnya. Sebab... begitu berhenti memompa, ban langsung kempes kembali. Sepagi ini tentu belum ada tukang tambal ban yang buka, dan lagi tak ada waktu yang cukup untuk menunggui ban selesai ditambal. Karena itulah Kim So Eun diantar Ibu.

Dan akibatnya... diburu-buru waktu seperti ini. Kim So Eun melirik arloji di pergelangan tangannya. Baru pukul setengah tujuh. Sekolah dimulai jam delapan, masih terlalu pagi sebenarnya. Tapi apa boleh buat. Letak kantor Ibu memang agak jauh, membutuhkan waktu kira-kira satu jam untuk mencapainya. Apalagi dalam suasana pagi hari yang senantiasa diwarnai kemacetan, bisa-bisa waktu yang satu jam itu molor menjadi satu setengah atau dua jam. Maka wajar saja jika Ibu selalu berangkat sepagi ini, jam kerjanya dimulai juga pukul delapan.

"Ck... ck... ck... rambutmu! Berantakan sekali! Kau belum menyisir rambutmu, ya?" tanya Ibu sambil memandang heran.

"Belum sempat, Bu... nanti di mobil saja aku sisir," sahut Kim So Eun sambil menyambar tempat rotinya dan meminum segelas susu jatah pagi harinya.

"Ibu kan sudah beribu kali bilang jangan tidur terlalu malam," gerutu Ibu sambil melangkah keluar. "Tapi kau selalu keasyikan mendengarkan radio kesayanganmu itu. Sampai-sampai tadi malam kau tidak makan lantaran keasyikan sampai ketiduran...."

Ibu dengan cekatan mengunci pintu rumah dan membuka pintu garasi. Dan dalam beberapa detik Ibu sudah berada di dalam mobil merahnya.

"Ayo..." Ibu membukakan pintu untuk Kim So Eun. Mobil di starter, gigi dimasukkan, dan sedetik kemudian sudah melesat ke jalan. Membelah keramaian kompleks dan memasuki jalan raya.

"Apa hebatnya acara kesayanganmu itu?" tanya Ibu seperti tak habis-habisnya menyerang.

Acara itu adalah satu-satunya hiburan yang masih bisa dinikmati Kim So Eun. Kim So Eun menghela napasnya.

"Sekolahku satu jalan lagi, Bu," ujarnya berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Ibu belum lupa," sahut Ibu sambil terus mengemudi. "Kenapa tak kau jawab pertanyaan Ibu tadi?"

"Pertanyaan apa?" Kim So Eun pura-pura lupa.

"Acara kesayanganmu di radio itu. Siapa penyiar yang suaranya seperti banci itu?" ujar Ibu meremehkan.

"Suaranya seperti banci? Ah, Ibu salah memutar gelombang mungkin," kilah Kim So Eun mulai kesal.

"Ah, tidak. Di zaman Ibu dulu, penyiar haruslah bersuara jantan berwibawa. Tidak cengeng dan sok dilembut-lembutkan seperti itu. Membuat ngantuk orang saja... dan itu yang kau sukai?"

Kim So Eun menghela napasnya. Hanya lantaran hari ini ia minta diantarkan, hanya lantaran semalam ia ketiduran karena lelah, dan lupa makan malam, ibunya menghina habis-habisan penyiar pujaannya. Meremehkan seleranya. Hah. Ibu selalu bangga pada dirinya sendiri. Pada zamannya. Pada segala sesuatu yang tak pernah dialami dan dikenal oleh Kim So Eun. Ibu seperti berusaha membesarkan Kim So Eun dalam masa lalu. Padahal tahun berapa sekarang? Tahun 2012! seru Kim So Eun dalam hati. Rasanya ia telah cukup sabar dan sangat penurut. Sebagai anak tak banyak yang dituntutnya. Ia cukup memahami Ibu yang terpaksa berperan ganda setelah kematian Ayah. Tapi toh ada batasnya...

Tiba-tiba saja Kim So Eun ingin kendaraan yang dinaikinya berhenti mendadak supaya ia bisa turun dan jalan kaki saja ke sekolah. Tinggal satu kilometer lagi. Ia merasa kupingnya mulai panas mendengar cemoohan-cemoohan Ibu. Jangan sampai hati dan kepalanya ikut panas pula....

"Eh... kenapa ini?" seru Ibu ketika tiba-tiba mesin mobil seperti batuk-batuk kemudian mendadak berhenti. Mogok.

Kim So Eun ikut terkejut. Hah? Bagaimana mungkin? Apakah secepat itu doanya sampai ke telinga Tuhan dan dikabulkan? Bukankah ia menginginkan mobil berhenti agar bisa jalan kaki dan melepaskan diri dari omelan-omelan cerewet Ibu?

"Ada-ada saja.... Kalau pagi sudah diawali dengan kejadian tak enak dan marah-marah pasti ada saja kelanjutannya," gerutu Ibu panjang-pendek sambil keluar dari mobil dan membuka kap mesin.

Kim So Eun ikut turun dengan membawa perlengkapan sekolahnya complete. Dirapatkannya sweaternya, udara terasa agak dingin.

"Bu... Aku jalan kaki saja, ya?" ujarnya.

"Terserahlah," sahut Ibu tak peduli. Setelah meneliti dan tak menemukan keanehan, Ibu masuk kembali dan mencoba men-starter.

Dan... hidup!

"Aneh..." Bukannya bersyukur. Ibu malah terus mengomel. Kim So Eun hanya tersenyum melihat sikap Ibu. Mobil kembali melaju dan berhenti di sebelah Kim So Eun.

"Betul kau mau jalan kaki saja?" tanya Ibu.

"Ya. Lagi pula sekalian menghabiskan waktu. Masih terlalu pagi, Bu."

"Ya sudah Langsung pulang, ya!" Ibu melambai. Kim So Eun melangkah cepat untuk menghalau udara dingin yang siap menembus sweater-nya. Gerbang sekolah Sungkyunkwan yang tinggi menjulang dan berwarna kuning keemasan sudah nampak di kejauhan sana. Kim So Eun mempercepat langkahnya. Beberapa sepeda hilir-mudik di sisinya. Tentunya mereka adalah murid-murid Sungkyunkwan juga, pikir Kim So Eun, teringat akan sepedanya yang rusak.

"Ho... ho... mau ikut?" ajak sebuah suara, yang sangat dikenal oleh Kim So Eun. Tanpa menoleh Kim So Eun menggeleng.

"Tidak perlu tumpangan?" Kim So Eun menggeleng dan semakin mempercepat langkahnya. Kim Bum turun dari sepedanya dan mengiringi Kim So Eun, ikut melangkah di sebelah Kim So Eun sambil menuntun sepedanya.

"Kalau tak perlu Tumpangan, tentu kau perlu teman sejalan, kan?"

"Tidak," tukas Kim So Eun ketus.

"Eh... Kenapa... galakmu mengalahkan Mrs. Han Chae Young."

Kim So Eun tak menanggapi. Hatinya masih kesal mengingat peristiwa kemarin. Seenaknya melempar orang dengan bola hingga berbilur biru, setelah itu lepas tangan. Membiarkan Kim So Eun sendiri mengurus pecahnya kaca laboratorium kimia, melapor pada tata usaha, diinterogasi oleh Ny. Han Ga In. Malah Jung So Min yang menemani Kim So Eun hingga siuman. Laki-laki pengecut. Rupamu saja indah, tapi hatimu... Kim So Eun mendengus. Ia kembali teringat pepatah kuno: Jangan menilai orang hanya dari penampilannya saja, tapi nilailah sikapnya. Dan Kim So Eun merasa telah salah menilai Kim Bum selama ini.

"Wah, rupanya kau betul-betul sedang tak butuh teman pagi ini," tukas Kim Bum merasa diacuhkan.

"Bukan cuma pagi ini, tapi selamanya!"

"Kim So Eun? Apakah aku telah berbuat salah pada..." Kim Bum menghentikan kalimatnya saat teringat kejadian kemarin. "Aha... aku tahu, pasti kejadian kemarin? Betul, kan?"

Kim So Eun diam.

"Aku minta maaf, Kim So Eun, karena tak membantumu. Tapi sungguh, waktu kugendong kau ke ruang P3K kau pingsan berat. Kutunggu selama lima belas menit kau tetap pingsan, maka terpaksa aku pulang. Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan...."

"Kau menggendongku?" Kim So Eun terbata agak malu. Kim Bum mengangguk.

"Lumayan juga ternyata. Berapa beratmu?"

"Huh," Kim So Eun merengut.

"Ha... ha... ha..." Kim Bum tertawa. "Ayolah, apakah hamba harus berlutut mencium tangan Paduka untuk memohon grasi?"

Kim So Eun diam. Mungkin ia salah... Ia tak mengira bahwa Kim Bum-lah yang pertama kali menolongnya.

"Memangnya kau ada urusan apa?" Kim So Eun mulai membuka suara.

"Aku... aku kerja sambilan sepulang sekolah. Untuk tambah-tambah uang saku." Kim Bum tersenyum.

"Di mana?"

"Hmmm... aku tidak akan memberitahumu…" Kim Bum tersenyum penuh arti. Kim So Eun tak bertanya-tanya lagi. Gerbang sekolah telah mereka lalui. Kim So Eun merasa kakinya agak pegal. Baru kali ini ia jalan kaki sejauh ini. Biasanya ia jarang sekali berolahraga. Paling banter menggenjot sepeda. Napasnya agak tersengal.

"Kim So Eun. bolehkah aku menebus kesalahanku dengan..." Kim Bum melirik ke arah sepeda hitamnya, "memberimu boncengan sampai ke sekolah?"

Kim So Eun ragu sesaat, tapi akhirnya kepalanya mengangguk juga tanda setuju.

"Yessss!" sorak Kim Bum.

Agak berdegup jantung Kim So Eun waktu Kim Bum membimbing tangannya memasuki kantin. Sebuah bagian dari sekolah ini yang nyaris tak pernah dikunjunginya. Suasana begitu hiruk-pikuk dan bising. Beberapa pasang mata segera saja menyadari kehadirannya, dan keributan mereda sedikit. Berganti dengan kasak-kusuk. Apalagi kalau bukan membicarakan dirinya.

"Apakah tidak lebih baik aku kembali ke perpustakaan saja?" tanya Kim So Eun resah.

"Sstt... tenanglah. Ada aku...." Kim Bum menatap Kim So Eun dalam-dalam. Jantung Kim So Eun berdegup makin kencang. Ah... betapa gadis-gadis lain akan marah karena cemburu melihat Kim Bum menggenggam tanganku seperti ini, pikir Kim So Eun dalam hati.

Sejak kejadian kaca pecah tempo hari mereka memang kian akrab. Ada sesuatu dalam diri Kim Bum yang mengingatkan Kim So Eun pada seseorang. Entah siapa dan entah bagian mana dari diri Kim Bum. Yang jelas, ia seperti telah begitu lama mengenal Kim Bum sehingga demikian cepatnya mereka menjadi akrab.

Kim Bum tak seburuk dugaannya. Di kelasnya Kim Bum pun selalu memegang peringkat atas. Dan pola berpikirnya, jangkauan ilmu pengetahuannya, sungguh luas. Menimbulkan sisi kekaguman yang lain dalam hati Kim So Eun. Kekaguman yang membuat Kim So Eun mau saja diajak ke kantin.

"Silakan duduk, Tuan Putri. Kau mau makan apa?"

"Terserah kau saja..." Kim So Eun masih merasa risih.

"Ayolah. Ada hamburger, hot dog, mie ramen...," Kim Bum menawarkan dengan lincah

"Aku... apakah memalukan seandainya kumakan bekal yang kubawa dari rumah?" tanya Kim So Eun takut-takut.

"Ha... ha... ha..." Kim Bum tertawa. "Kenapa tidak?"

"Boleh?" Kim Bum mengangguk dan menatap Kim So Eun dengan senyum lebar. Gadis satu ini memang lain dari yang lain. Mungkin bagi orang lain agak aneh, tapi bagiku justru menimbulkan keasyikan tersendiri. Menimbulkan daya tarik sendiri, pikir Kim Bum tak habisnya mengagumi Kim So Eun.

"Kau tidak malu, Kim Bum?" tanya Kim So Eun sambil mulai menggigit roti isi coklatnya.

"Malu? Kenapa?"

"Ya... berjalan bersamaku. Apa kau tidak tahu apa julukanku?" Kim So Eun melirik ke arah Kim Bum.

"Tidak," geleng Kim Bum.

"Si itik dungu yang lamban," keluh Kim So Eun pasrah, "dan kenyataannya memang begitu."

"Tapi aku tak melihatnya. Aku malah melihat kau sebagai gadis yang... wah... susah dilukiskan dengan kata-kata."

Kim So Eun tersenyum. Antara senang dan tak percaya.

"Berapa nilai bahasa Indonesiamu?" tanya Kim So Eun.

"Semester kemarin delapan. Kenapa?"

"Pantas... pandai membuat karangan seperti tadi...."

"Enak saja... eh... yang tadi itu tulus. Kim So Eun!" yakin Kim Bum serius. Tapi makin serius Kim Bum, makin lucu mimik wajahnya.

Kim So Eun tak dapat menahan tawanya. Namun tawa yang lepas itu terpaksa terhenti waktu Kim So Eun melihat siapa yang tengah berjalan ke arah mereka.

"Hai," sapa Jung So Min ramah dan seperti biasanya tersenyum manis memamerkan sebarisan gigi iklan pasta gigi-nya.

Tak perlu dipamerkan, semua orang juga sudah tahu gigimu indah, batin Kim So Eun.

Ia merasa malu sendiri saat menyadari bahwa ia merasa terganggu akan kehadiran Jung So Min. Padahal ia toh bukan apa-apa dan tidak akan pernah jadi apa-apanya Kim Bum. Jadi sebetulnya ia tak punya hak paten untuk mengusir gadis-gadis lain dari sekeliling Kim Bum.

"Wah, sejak kapan kantin jualan roti? Kalau begitu aku pesan juga," ujar Jung So Min sungguh-sungguh.

"Eh, bukan, aku membawanya dari rumah. Kalau kau mau..."

"O... mau sekali. Apalagi kalau ditawari duduk sekalian...''

Jung So Min berusaha untuk berada di tengah-tengah mereka. Kim Bum hanya memonyongkan bibirnya. Tapi diberikannya juga tempat untuk Jung So Min di sebelahnya. Jadi posisi sekarang 2 banding 1. Kim Bum dan Jung So Min berdua di hadapan Kim So Eun. Sementara Kim So Eun sendirian dan semakin risih. Semakin merasa tak sepadan untuk jadi teman Kim Bum. Ya... dibandingkan Jung So Min ia memang tak ada apa-apanya. Tapi ia toh tak mungkin bersikap kasar pada Jung So Min karena gadis itu juga selalu ramah padanya. Dalam hati, betapa ingin Kim So Eun membuat Jung So Min segera berlalu meninggalkan mereka. Mungkin kalau tiba-tiba coklat dalam roti yang sedang dikunyahnya itu muncrat keluar dari mulutnya ia akan malu dan berlalu, pikir Kim So Eun nakal.

"Kim So Eun, mana janjimu untuk mengajari kimia... kau... ups…" Jung So Min mengatupkan bibirnya dan mendekap mulutnya dengan telapak tangannya.

Kim So Eun dan Kim Bum menatap Jung So Min terheran-heran. Bagaimana mungkin gadis sesopan Jung So Min mengunyah seperti anak bayi sampai-sampai roti coklat yang sedang dikunyahnya mental sebagian dari mulutnya.

Wajah Jung So Min segera berubah menjadi merah padam.

"Maaf... aku ke belakang dulu." Jung So Min bangkit dan meninggalkan Kim Bum dan Kim So Eun yang masih terheran-heran.

"Aneh...," Kim Bum tertawa, "tapi lumayan... buat hiburan."

Kim So Eun ikut tersenyum sambil mengucap syukur dalam hati. Agaknya akhir-akhir ini Tuhan sedang berbaik hati padanya. Setiap keinginannya dipenuhi seketika. Agak aneh memang, tapi tentu hanya kebetulan saja, pikir Kim So Eun, menghapus prasangka-prasangka aneh dalam benaknya.

"Radio lagi, radio lagi!" seru Ibu yang tiba-tiba sudah ada dalam kamar Kim So Eun dan berkacak pinggang dengan wajah ditekuk jengkel.

Kim So Eun mematikan radionya dan melepas headphone-nya. dengan cepat.

"Lagi-lagi radio..." Ibu merebut radio dan headphone dari tangan Kim So Eun

"Kau mulai keterlaluan, Kim So Eun. Ibu tidak melarang asalkan tidak mengganggu waktu belajarmu. Lihat, nilai-nilaimu merosot tajam!"

Ibu mengacungkan setumpuk kertas hasil ulangan terakhir Kim So Eun

Kim So Eun mengambilnya. Angka delapan untuk matematika, sembilan untuk kimia, delapan untuk biologi, delapan untuk bahasa, sembilan untuk bahasa Inggris, apanya yang merosot tajam?

"Lihat, biasanya kauperoleh angka sembilan untuk semuaaa mata pelajaran. Tapi lihat sekarang matematikau cuma dapat angka delapan."

Kim So Eun menghela napas. Ibu seperti tidak menghargai usaha dan kerja kerasnya selama ini. Bergaul akrab dengan Kim Bum membuat mata Kim So Eun sedikit terbuka melihat dunia sekitarnya. Gaya hidup yang ditanamkan Ibu sungguh bukan gaya hidup yang normal bagi gadis seusianya. Dan sejauh ini ia menurut saja. Ia berusaha memberi yang terbaik untuk Ibunya dengan mengorbankan kesenangan-kesenangan dan hura-hura yang seharusnya justru ia nikmati di usia seperti ini. Dan sekarang hanya lantaran angka delapan Ibu ribut bagai kakek-kakek kebakaran jenggot? Sungguh keterlaluan

"Bu, ini tak ada hubungannya dengan radio," ujar Kim So Eun perlahan.

"Bagaimana mungkin? Jelas ada! Sangat ada!" paksa Ibu. "Suara penyiar yang lembut itu membuatmu terbuai, terlena, dan lebih suka berkhayal daripada belajar."

"Tidak, Bu, justru karena suaranya aku jadi lebih semangat untuk belajar," bantah Kim So Eun agak sengit ia sangat tersinggung bila Ibu mulai mengejek suara sang Mister DJ pujaannya.

"Hmh..," Ibu mendengus. "Dan karena kau selalu tidur larut malam menunggu acara selesai kau selalu bangun kesiangan, tak sempat belajar lagi!"

Kim So Eun menunduk dalam.

"Karena itu, mulai sekarang tak ada radio." Ibu merapikan kabel headphone, melilitkannya pada radio mini Kim So Eun.

"Bu!" protes Kim So Eun.

"Kau boleh ucapkan selamat tinggal lewat kartupos pada sang Mister DJ-mu itu," kata Ibu tegas, "dan buktikan perbaikan nilaimu semester depan."

"Semester depan!" pekik Kim So Eun membayangkan enam bulan yang harus dilaluinya tanpa Mister DJ. Enam bulan belajar terus-menerus tanpa ada pendorong semangat?

"Jangan, Bu... Aku janji..."

“Tidak!"

"Bu...," rengek Kim So Eun. Sifat anak tunggalnya muncul juga dalam keadaan-keadaan tertentu seperti ini.

Tapi Ibu tidak peduli. Dengan santai Ibu membawa harta benda kesayangan Kim So Eun itu ke bawah. Entah di mana disembunyikannya hadiah dari Ayah di ulang tahun Kim So Eun yang kedua belas itu. Kim So Eun merasa matanya menghangat.

"Ibu jahat," desisnya agak geram.

Dan... braakkk!!!

Pintu kamar tertutup dengan kekuatan dahsyat hingga guncangannya menyebabkan beberapa pigura lepas dari gantungannya di dinding. Kim So Eun sendiri agak terkejut. Padahal tak ada hujan tak ada angin. Aneh.

"Kim So Eun!! Apa itu...?!" teriak Ibu mengira Kim So Eun-lah yang membanting pintu dengan marah.

"Bukan aku, Bu," sahut Kim So Eun.

Kejengkelannya pada Ibu hilang, berganti dengan ketakutan dan keheranan dengan apa yang barusan terjadi. Bukan cuma yang barusan saja, tetapi yang kemarin dan kemarin dan kemarinnya lagi. Sepertinya apa yang dirasakannya, diinginkannya, langsung menjadi kenyataan tanpa ia harus melakukan apa pun. Apa gerangan yang sedang terjadi? Apakah alam sedang ramah terhadapku? pikir Kim So Eun bingung.

Malam semakin larut. Kim So Eun berusaha menganggap segala kejadian aneh yang dialaminya sebagai suatu kebetulan belaka. Ia ingin segera terlelap dan melupakan kerinduannya pada suara sang penyiar pujaan Oh... apakah Ibu sungguh-sungguh dengan ancamannya nanti? Tak ada suara Mister DJ hingga semester depan? Kim So Eun khawatir nilai-nilainya malah makin merosot nanti...

Kriiing... kriiing...

Kim So Eun tersentak mendengar dering telepon. Diliriknya jam dinding yang tergantung di dinding kamarnya. Pukul setengah sembilan malam. Pasti Kim Bum yang menelepon. Tadi siang Kim Bum berjanji akan menelepon Kim So Eun jam setengah sembilan, di saat ia istirahat dari pekerjaan tambahannya. Kim So Eun beranjak dari tempat tidurnya dan mengintip ke bawah. Dilihatnya Ibu telah mengangkat gagang telepon. Lamat-lamat didengarnya suara Ibu berbicara pada... siapa lagi kalau bukan pada Kim Bum.

"Kim So Eun sudah tidur... ini dari mana? Kim Bum? Ya... ya nanti saya sampaikan. Ya, selamat malam juga...." Klik. Gagang telepon diletakkan kembali.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...