Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Selasa, 14 Juni 2011

Crazy Love (Chapter 3)



Jung So Min dan Kim Bum berteman sejak tingkat persiapan fakultas kedokteran. Mereka berada dalam satu kelompok kerja dalam praktikum biologi maupun kimia anorganik. Mereka sudah merasa cocok sejak pertama kali berkenalan.

Kim Bum tipe pria yang gampang bergaul. Humoris. Dan punya penampilan yang prima. Tidak heran kalau dia menjadi salah satu mahasiswa favorit di kampusnya.

Sebaliknya Jung So Min gadis yang menarik. Lincah. Selalu tampil apa adanya.

Tidak heran kalau dalam waktu singkat mereka menjadi pasangan yang cocok. Di dalam maupun di luar kampus. Apalagi mereka punya hobi yang sama. Basket, renang, dan taekwondo. Mereka selalu mengisi waktu luang bersama-sama.

Tetapi selama lima tahun berteman, hubungan mereka tidak pernah lebih dari itu. Teman kuliah. Teman main basket. Teman mencontek.

Pokoknya mereka saling membutuhkan. Saling mengisi. Saling membantu.

Kalau mobil Jung So Min rusak, dia tinggal menelepon Kim Bum. Sebaliknya kalau Kim Bum perlu catatan kuliah, dia tinggal menghubungi Jung So Min.

Dulu teman-teman Jung So Min mengira mereka pacaran. Tapi lama-kelamaan mereka tahu, Jung So Min hanya menganggap Kim Bum sahabatnya.

“Kim Bum itu seperti kakakku sendiri," sahut Jung So Min seenak perutnya seperti biasa. "Kebetulan aku tidak punya kakak laki-laki. Mudah-mudahan saja adik-adiknya tidak ada yang complain."

Selama lima tahun, Jung So Min memang tidak merasa terusik dengan hubungan mereka. Karena selama itu, Kim Bum memang tidak pernah jatuh cinta. Dia sering bergaul intim dengan gadis-gadis. Tapi tidak ada yang serius.

Teman-teman kuliahnya menjulukinya playboy kampus. Karena dia sudah memacari hampir semua gadis cantik di kampusnya. Tetapi tidak ada yang bertahan lebih dari enam bulan.

"Kalau ada yang memecahkan rekor, tahan tujuh bulan saja denganmu, pasti sudah masuk 'Berita Kampus'," gurau Jung So Min setiap kali Kim Bum putus dengan teman gadisnya.

"Heran. Sebenarnya kau mau cari yang seperti apa lagi?"

"Yang cantik seperti bintang film, tapi bawel sepertimu," sahut Kim Bum sambil menyeringai pahit.

"Bohong! Kau memang tidak pernah serius! Aku sumpahi kau jatuh cinta setengah mati dengan nenek-nenek bongkok! Biar tahu rasa! Disumpahi mantan-mantanmu!"

Jung So Min tahu pasti, Kim Bum memang tidak pernah serius. Dia selalu menceritakan sudah sejauh mana hubungannya dengan gadis-gadisnya. Menceritakan sambil tertawa geli mengenai teman gadisnya sampai Jung So Min tahu rahasia-rahasia kecil dari mantan-mantan pacar Kim Bum. Hal-hal yang seharusnya tidak boleh diceritakan pada orang lain. Keterlaluan!

Tetapi namanya saja Kim Bum. Dia memang brengsek! Dia tidak pernah serius pacaran. Dia tidak pernah merasa bersalah menceritakan apa yang tidak boleh diceritakan kepada sahabatnya. Tidak heran Jung So Min jadi sering senyum-senyum sendiri kalau bertemu muka dengan teman gadis Kim Bum.

Aku tahu semua rahasiamu, celoteh Jung So Min dalam hati. termasuk ukuran BH-mu sampai model CD-mu! Hihihi....

Tetapi kali ini, ada yang berbeda. Kali ini, sesuatu yang tidak biasa terjadi. Kali ini, Kim Bum jatuh cinta. Dan kali ini, dia serius.

Kali ini, dia jadi pelit memberi info. Dia malah terkesan menutup-nutupi. Terpaksa Jung So Min yang mendesak. Mengorek. Memancing. Karena dia penasaran sekali.

"Siapa pacarmu yang baru ini, Kim Bum? Aku kenal tidak?"

"Bukan orang jauh, Jung So Min."

"Aku tahu bukan orang dari bulan! Tapi siapa?"

"Temanmu."

"Temanku?" Jung So Min mengerutkan dahinya. "Kau tahu tidak berapa ribu temanku?"

"Kim So Eun." Jung So Min terenyak diam. Tidak menyangka Kim So Eun-lah orangnya! Jadi...

Melihat sahabatnya tertegun diam, Kim Bum jadi penasaran.

"Dia belum punya pacar kan?"

"Mana aku tahu!" sergah Jung So Min sengit. Sesudah menyemprot dia baru menyesal. Mengapa dia jadi sekasar itu? Mengapa dia marah?

"Kau kan sahabatnya. Masa tidak tahu dia sudah punya pacar atau belum?"

"Mana aku tahu? Dia kan jauh di Incheon. Memangnya aku satpamnya!"

"Dia tidak pernah cerita?"

"Kau kan tau seperti apa… Kim So Eun itu."

"Tidak pernah cerita padamu?"

"Jarang."

Tentu saja Jung So Min bohong. Dan dia sendiri jadi bingung. Mengapa harus berbohong?

"Aku tidak peduli," cetus Kim Bum tegas. "Pokoknya sebelum dia jadi istri orang, dia masih bebas diperebutkan! Iya, kan, Jung So Min? Kau setuju kan? Kau mendukungku, kan? Selalu di belakangku seperti gerobak?"

Kim Bum memukul bahu Jung So Min separuh bercanda seperti biasa. Tapi kali ini Jung So Min tidak biasa, Kali ini dia tidak menyambut canda temannya. Wajahnya mendung seperti langit mau hujan.

"Kau kenapa?" desak Kim Bum heran. Menyadari ada yang berubah pada temannya. "Kau tidak setuju aku pacaran dengan Kim So Eun? Ada yang aku tidak tahu tentang dia? Dia lesbian? Tidak suka laki-laki? Drakula? Suka menghisap darah?"

"Jangan asal bicara!" berungut Jung So Min kesal, “Tidak lucu!"

"Aku serius, Jung So Min! Kau kan temanku. Makanya aku tanya. Sebelum kejeblos!"

"Kau tidak akan bisa mendapatkan Kim So Eun!"

"Kenapa? Tampangku kurang komersil?"

"Dia bukan gadis yang cocok untukmu!"

"Lalu dia cocok dengan siapa?"

"Kim So Eun itu alim sekali, tahu tidak? Religius! Tidak suka pria sepertimu!"

"Tidak peduli! Pokoknya sekali punya target, akan kukejar sampai dapat!"

Dan Kim Bum tidak main-main. Dia benar-benar mengejar Kim So Eun. Semenjak saat itu, tidak ada akhir minggu yang terlewatkan. Setiap hari Sabtu, Kim Bum selalu ke Incheon untuk menemui gadis idamannya. Tetapi menaklukkan gadis sekaliber Kim So Eun memang tidak mudah. Diperlukan kerja keras dan sedikit kenekatan.

***

Tentu saja Kim So Eun tahu siapa yang datang. Dia tahu siapa yang memenuhi rumahnya dengan setiap jenis makanan yang ada di Seoul. Kim Bum memang brengsek. Bukannya membawa bunga, dia malah bawa makanan.

"Bunga kan tidak bisa dimakan, buang-buang uang saja," katanya seenak perutnya ketika Kim So Eun tertegun melihat aneka makanan sebanyak itu. "Kalau makanan kan lain. Bisa membuat kenyang perut."

"Tapi makanan sebanyak ini bukan membuat kenyang," sahut Kim So Eun bingung. "Ini malah membuat muntah."

"Jangan dimakan semua. Pilih saja yang kau mau. Aku kan tidak tahu kau suka makanan apa. Jadi kubeli saja semua. Beres, kan?"

Pria yang satu ini memang sangat menarik. Ya penampilannya. Ya tingkah lakunya. Ya cara bicaranya. Pokoknya complete.

Sejak pertama kali melihatnya Kim So Eun sudah merasa tertarik. Tetapi berkencan? Nanti dulu. Kata Jung So Min, Kim Bum bukan pemuda baik-baik. Pacarnya banyak. Kim So Eun tidak mau menjadi salah satu koleksinya.

Apalagi ibunya juga bilang begitu. Ketika Ibu pulang, dia kaget melihat makanan sebanyak itu. Disangka ada pesta.

"Pesta apa?" tanyanya antara bingung dan tersinggung. "Kenapa Ibu tidak diberitahu?"

"Bukan pesta, Bu," sahut Kim So Eun tersendat. "Ini oleh-oleh."

"Oleh-oleh?" Berkerut dahi ibunya. "Dari mana? Pemilik foodcourt?"

"Temanku. Dari Seoul."

"Dia punya resto?"

"Bukan, Bu. Cuma dia tidak tahu aku suka makanan apa."

"Jadi dibelinya makanan sebanyak ini? Gila!"

Bukan gila. Kim Bum memang nyentrik. Tetapi apa pun pendapat ibunya, seperti apa pun kelakuan Kim Bum, dia tetap menarik.

"Hati-hati dengan pria seperti itu," entah sudah berapa kali ibunya memperingatkan. "Yang berlebihan biasanya cepat bosan."

Tapi Kim Bum tidak ada bosan-bosannya. Setiap akhir minggu dia muncul. Tentu saja bersama aneka hidangan yang berbeda.

"Aku mohon, jangan bawa makanan lagi," pinta Kim So Eun kewalahan. Anjingnya saja sampai sudah tidak mau makan karena bosan dijejali makanan dari Kim Bum setiap hari. "Beratku sudah naik dua kilo."

"Masa?" Kim Bum tersenyum santai. "Tidak apa-apa. Pinggangmu masih ramping."

"Tapi dua bulan lagi pasti aku sudah mirip guling."

"Guling malah enak dipeluk, kan?"

Pipi Kim So Eun memerah. Membuat Kim Bum tambah ketagihan ingin menjahilinya terus.

"Baiklah, minggu depan aku janji tidak bawa makanan. Tapi kau harus janji dulu."

"Janji apa?" sergah Kim So Eun hati-hati. Matanya menatap Kim Bum dengan ragu-ragu.

Membuat yang ditatap semakin ingin membelai pipinya. Dan membisikkan lembut di telinganya, Jangan takut, Manis. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Tapi menghadapi gadis alim seperti Kim So Eun perlu taktik. Perlu pendekatan yang halus. Terlalu berani dia malah kabur. Terlalu lancang jangan-jangan dia tidak mau bertemu lagi.

Jadi Kim Bum juga harus menjaga baik-baik tingkahnya. Menjaga baik-baik tangannya. Jangan sampai kelepasan nyelonong ke pipi Kim So Eun. Wah. Bisa runyam.

"Kau harus mau pergi bersamaku."

"Ke mana?"

"Ke mana saja. Jalan-jalan. Makan malam. Nonton."

"Berdua?"

Ya ampun. Mana ada orang pacaran bertiga?

"Kau mau bawa satpam? Boleh saja, asal dia tuli!"

"Aku harus minta izin Ibu dulu."

Astaga, Kim So Eun! Umurmu sudah dua tiga! Masa pacaran saja harus minta izin Ibu? Kalah anak SMA!

Tetapi Kim So Eun tetap Kim So Eun. Dia memang unik. Baginya pergi berdua dengan seorang pria tetap hal istimewa. Perlu exit permit. Dari siapa lagi kalau bukan dari ibunya. Karena ayahnya sudah meninggal.

"Dengan anak lelaki yang suka bawa makanan itu?" suara ibunya di telepon terdengar dingin. Ibunya memang belum pulang. Masih di salah satu tokonya yang baru saja dibuka.

"Bukan anak lelaki, Bu," sahut Kim So Eun sabar. " Kim Bum sudah berumur dua puluh tiga tahun."

"Lebih bahaya lagi. Kau harus hati-hati..." Dan bla, bla, bla, sederet wejangan yang baru dan sudah basi mengalir keluar bagai air sungai dari mulut ibunya. Kalau dibukukan, pasti sudah tujuh kali cetak ulang.

"Iya, Bu," sahut Kim So Eun sabar. Patuh. "Aku tahu."

Bukan main, Kim Bum menghela napas lega setelah setengah jam jantungnya berdebar-debar menunggu keputusan ibu Kim So Eun. Kalau tambah setengah jam lagi, jantungku pasti sudah benar-benar permisi!

Kim So Eun mau diajak makan malam. Tapi dia menolak ke bioskop. Menolak naik taksi. Dia memilih berjalan kaki pulang ke rumahnya.

Yang satu ini memang luar biasa, pikir Kim Bum yang semakin mengagumi gadis yang sedang dikejarnya. Antik.

"Serius kau mau jalan kaki?" desak Kim Bum bingung. "Rumahmu kan lumayan jauh."

"Jalan kaki habis makan bagus, kan?" Kim So Eun tersenyum manis. "Membakar kalori."

Baiklah. Terserah kau saja. Kalau kau mau jalan kaki ke Seoul juga boleh. Denganmu, ke mana pun kuikuti!

Dan ternyata Kim So Eun benar. Berjalan kaki berdua ternyata memang menyenangkan. Mereka mengobrol sepanjang jalan. Jarak yang cukup jauh jadi terasa dekat.

Tentu saja topik obrolan mereka hanya yang ringan-ringan. Kalau terlalu berat, Kim Bum takut dianggap tabu. Nanti Kim So Eun tidak mau diajak kencan lagi. Kalau kebersamaan mereka, malam ini dapat dianggap kencan. Memegang tangannya saja Kim Bum tidak berani.

"Terima kasih untuk makan malamnya," kata Kim So Eun sopan ketika mereka berpisah di depan rumahnya.

Terima kasih? Kim Bum sampai heran. Astaga. Ini kencan atau makan malam bisnis?

"Aku boleh mengajakmu pergi lagi minggu depan?"

"Makan malam lagi?"

"Takut jinsmu tidak muat?"

Kim So Eun tersenyum. Begitu manisnya senyum itu merekah di bibirnya sampai Kim Bum harus menahan diri mati-matian supaya tidak menerkam Kim So Eun, memagut bibirnya, dan mengulumnya dengan mesra. Astaga! Bisa pingsan dia.

Kim Bum harus menunggu sampai dua bulan sebelum dia berani memeluk gadis itu. Tetapi ketika dia hendak mencium bibirnya, Kim So Eun mengelak.

"Jangan," pintanya jengah. Parasnya memerah. Matanya menghindari tatapan Kim Bum.

"Kenapa?" desak Kim Bum penasaran. "Kau gadisku. Kenapa tidak boleh dicium?"

"Ciuman di bibir cuma boleh dilakukan oleh suami-istri," sahut Kim So Eun malu-malu. "Kita belum boleh melakukannya."

Kata siapa? Kim Bum sudah hampir menyemburkan pertanyaan itu dengan gemas. Tetapi melihat sikap Kim So Eun, ditahannya lidahnya.

"Baiklah," katanya sambil menelan kekesalannya. "Cium pipi boleh?"

Kim So Eun tidak menyahut. Tidak mengangguk. Tidak juga menggeleng.

Jadi dengan hati-hati Kim Bum meraih bahu Kim So Eun dan mengecup pipinya. Begitu lembut. Begitu halus. Khawatir dia terpekik kalau ciuman Kim Bum terlalu bernafsu.

Tetapi heran. Kim So Eun tidak terpekik. Dia malah seperti menikmati ciuman kilat itu. Padahal seharusnya ciuman itu tidak berarti apa-apa. Kurang panas. Kurang berani. Kurang gereget. Apalagi cuma di pipi. Shit! Ciuman anak-anak!

Tetapi jika itu ciuman pertama untuk Kim So Eun, efeknya pasti berbeda. Dan memang itu yang dirasakan Kim So Eun. Dia begitu bahagia sampai jantungnya tidak bisa berdebar normal meskipun dua jam sudah berlalu.

***

"Tebak aku pacaran dengan siapa, Jung So Min," suara Kim So Eun di ujung telepon terdengar demikian cerah.

"Siapa," Jung So Min menghela napas berat. Tentu saja dia cuma pura-pura. Dia malah sudah tahu sebelum Kim So Eun mengetahuinya! Laporan Kim Bum sudah lengkap!

"Temanmu. Bukan orang jauh."

"Siapa?" desah Jung So Min malas.

"Kim Bum."

"Kau serius, Kim So Eun?" tanya Jung So Min datar.

"Sepertinya begitu. Aku belum pernah merasakan yang seperti ini. Rasanya kali ini aku benar-benar jatuh cinta."

Kalau bukan Kim So Eun yang berkata demikian, barangkali Jung So Min tidak terlalu menggubrisnya. Berapa banyak gadis yang pernah berkata demikian?

Rasanya, kali ini aku benar-benar jatuh cinta.

Tetapi karena yang berkata demikian Kim So Eun, Jung So Min percaya sekali gadis itu serius. Kim So Eun tidak pernah main-main. Dia selalu serius. Dan selama ini dia belum pernah jatuh cinta.

Tentu saja tidak ada yang salah dengannya. Tidak ada salahnya dia jatuh cinta, bukan?

Kim So Eun belum punya pacar. Dan dia sudah berumur dua puluh tiga tahun. Salahnya... dia jatuh cinta pada Kim Bum!

Tetapi... apa pula salahnya? Apa salahnya jatuh cinta pada Kim Bum? Mengapa dia tidak boleh jatuh cinta pada Kim Bum?

Karena mereka teman-temannya? Sahabat-sahabatnya?

Atau... karena... Jung So Min tidak rela? Tidak rela Kim Bum menjadi milik Kim So Eun?

Mengapa? Karena... Karena....

Tiba-tiba saja Jung So Min terkesiap. Tiba-tiba saja dia menyadari sesuatu yang selama ini tidak pernah disadarinya.

Dia sendiri mencintai Kim Bum!

Karena itu dia tidak rela Kim Bum mencintai gadis lain, siapa pun gadis itu!

Kim So Eun memang sahabatnya. Tetapi dia juga tidak berhak memiliki Kim Bum! Karena Kim Bum miliknya! Hanya dia yang berhak memiliki Kim Bum! Hanya dia!

Selama ini Jung So Min tidak pernah menyadari dia mencintai Kim Bum. Dia mengira mereka hanya teman baik. Teman yang saling membutuhkan. Saling mengisi. Saling membantu. Tidak lebih dari itu. Tidak lebih.

Sekarang ketika miliknya hampir diambil orang, Jung So Min baru sadar, dia menginginkan Kim Bum. Dia menginginkan pemuda itu untuknya sendiri!

Tetapi sekarang semuanya sudah terlambat. Kim Bum sudah jatuh cinta pada Kim So Eun. Tak mungkin diubah lagi.

Jung So Min menyadari dia tidak dapat dibandingkan dengan Kim So Eun. Sebagai wanita, Kim So Eun begitu sempurna. Tubuhnya tinggi ramping. Tetapi tidak terlampau tinggi seperti pemain basket profesional. Tidak seperti... Jung So Min.

Karena gemar berolahraga sejak kecil, Jung So Min memang agak kelaki-lakian sebagai wanita. Karena itukah Kim Bum tidak pernah tertarik kepadanya? Kim Bum hanya menganggapnya teman. Bukan pacar. Kim Bum tidak pernah tertarik kepadanya sebagai wanita.

Padahal Jung So Min sadar, dia bukannya tidak menarik. Wajahnya cukup cantik. Tentu saja kalau pandai berhias, dia dapat tampil lebih cantik lagi. Mungkin tidak dapat melebihi kecantikan Kim So Eun. Dia memang nyaris sempurna. Cantik. Lembut. Feminin, Semua aspek yang disukai laki-laki ada padanya. Tetapi paling tidak, Jung So Min merasa dia mampu menyainginya.

Kalau saja dia mau berdandan, memakai pakaian yang lebih feminim. Bukan itu saja. Kalau rambutnya dicat, barangkali rambutnya bisa tampak seindah rambut Kim So Eun. Hitam. Lurus. Licin. Sampai semut pun rasanya akan tergelincir kalau melata di sana!

Kalau... ah. Ahh.... Rasanya semua sudah terlambat. Terlambat!

Tak mungkin merebut Kim Bum kembali. Dia sudah menjadi milik Kim So Eun!

Seandainya pun Jung So Min mampu, dia tidak tega. Tidak sampai hati menghancurkan hubungan mereka.

Jung So Min tahu betapa dalamnya cinta mereka. Karena baik Kim So Eun maupun Kim Bum selalu menceritakan hubungan mereka. Seperti dulu. Mereka selalu melaporkan segalanya pada Jung So Min, tak ada yang dirahasiakan. Dia jadi seperti buku harian mereka. Bedanya dia bernyawa! Bukan kertas mati yang tidak punya perasaan.

Juga ketika mereka memutuskan untuk menikah dua tahun kemudian, Jung So Min-lah orang pertama yang mereka beritahu. Ketika mereka merancang kartu undangan, Jung So Min jugalah yang mereka mintai pertimbangan. Bahkan menentukan tempat dan waktu pernikahan pun Jung So Min ikut dilibatkan.

Tentu saja baik Kim So Eun maupun Kim Bum tidak tahu betapa sakitnya hati Jung So Min. Karena Jung So Min memang menyimpan baik-baik perasaannya.

Jung So Min tidak ingin mereka tahu betapa hancur hatinya melihat pernikahan sahabat karibnya dengan pria yang diam-diam dicintainya. Lebih-lebih melihat betapa bahagianya mereka.

"Tuhan baik sekali padaku, Jung So Min," gumam Kim So Eun ketika dia menelepon dari hotelnya di Macau. Saat itu dia dan Kim Bum sedang berbulan madu ke Macau. "Selama ini tidak ada yang kurang dalam hidupku. Berkat Tuhan untukku begitu banyak. Sekarang Dia masih memberiku bonus. Suami yang luar biasa baiknya."

Jung So Min tidak berkata apa-apa. Karena ketika mendengar kebahagiaan sahabatnya, hatinya terasa begitu sakitnya sampai air mata menggenangi matanya. Diam-diam dia membayangkan kebahagiaan Kim So Eun.

Diam-diam dia membayangkan apa yang sekarang sedang mereka lakukan. Diam-diam dia berandai-andai. Ya, seandainya dialah yang berada di tempat Kim So Eun... Seandainya dia yang menjadi Kim So Eun... Seandainya dia yang memiliki Kim Bum! Bukankah dia yang menemukan pemuda itu?

"Dia bukan cuma cantik," pujian Kim Bum ketika mereka bertemu sepulangnya dia dari Macau, mengiris pedih hati Jung So Min. "Dia istri yang sempurna. Aku sangat berterima kasih padamu, Jung So Min."

"Ah, untuk apa," dengus Jung So Min datar. "Bukan aku yang membuatnya sempurna. Terima kasihlah pada Yang di Atas!"

"Ya, Kim So Eun juga bilang begitu. Aku harus berubah. Harus mengucap syukur. Harus membalas kebaikan Tuhan dengan berbuat baik pada orang lain."

"Makanya, dengarkan baik-baik khotbah istrimu! Siapa tahu kau ikut jadi alim seperti dia."

"Boro-boro jadi alim. Sembahyang saja aku tidak pernah. Rasanya susah bicara pada yang tidak kelihatan. Makanya kata Kim So Eun, Tuhan mengirimnya ke alamatku. Supaya aku ketularan jadi alim. Padahal yang mengirim dia itu kan kau, Jung So Min. Makanya aku berterima kasih padamu."

Kalau saja hidup ini punya cetakan kedua, pikir Jung So Min antara sedih dan kesal. Kalau saja waktu bisa diputar kembali… Masih maukah dia membawa Kim Bum untuk menemui Kim So Eun? Masih maukah dia memperkenalkan mereka?

Karena kalau mereka tidak pernah bertemu, mereka pasti tidak bisa jatuh cinta! Dan Kim Bum masih tetap jadi miliknya!

Tetapi... benarkah Kim Bum sudah jadi miliknya? Bukankah dia bukan milik siapa-siapa? Bertemu Kim So Eun atau tidak, Kim Bum tetap terbang bebas seperti layang-layang. Liar seperti burung di udara. Hinggap di mana saja yang dia suka.

Kalau kemudian dia tersangkut di pohon, jatuh melayang ke setangkai bunga dan bunga itu kebetulan bernama Kim So Eun, siapa yang menyangka? Siapa yang harus disalahkan?

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...