Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Senin, 27 Juni 2011

Love Story In Beautiful World (Chapter 13)



Kim So Eun diam. Ibunya menatap mata gadis itu. Wajah mereka rapat sehingga setiap kedipan, betapapun halusnya, akan tertangkap oleh penglihatan wanita itu.

"Bagaimana, Kim So Eun?" desak Ibunya.

"Aku hanya menganggapnya sahabat, Bu."

"Ya kalau dia juga menganggap begitu, selesailah masalahnya. Tetapi, kalau dia punya niat yang lebih dalam, dan Jang Geun Suk datang, apakah kau akan mengecewakannya?"

Kim So Eun membisu. Pelan-pelan dia mengalihkan pandangannya yang menerawang tak acuh lewat jendela ke wajah ibunya.

"Cobalah pikir, Kim So Eun. Ibu tidak suka dengan pemuda berandalan itu. Tapi, kalau dia mengira mendapat angin darimu, kemudian kecewa, Ibu pun tidak senang. Ibu ingin kau jadi gadis yang baik. Bukan perempuan yang mempermainkan laki-laki."

"Kami tidak pemah menyinggung-nyinggung soal cinta," kata Kim So Eun hampir tak terdengar.

"Kim So Eun, anak-anak seusiamu, sulit untuk membayangkan istilah persahabatan dalam arti yang netral, yang tidak menyangkut cinta antara laki-laki dan perempuan."

"Tapi, begitulah kenyataannya. Kami tidak pernah menyinggung-nyinggung soal cinta."

"Terus teranglah, Kim So Eun. Kalau cuma persahabatan, ini betul-betul mengherankan Ibu. Beberapa sore kau menanti kedatangannya. Dan, sejak dia tidak datang, kau selalu termenung. Apakah itu yang namanya persahabatan?"

"Aku butuh teman mengobrol, Bu."

"Kau kan bisa menelepon Lee Hong Ki atau Park Shin Hye, agar mereka datang."

"Mereka tidak bisa bicara soal novel-novel sastra. Mereka cuma membaca majalah-majalah hiburan ringan saja. Aku suka mendiskusikan nilai-nilai yang terdapat dalam novel-novel yang pernah aku baca. Atau soal musik. Dengan dia, aku bisa bicara soal Simfoni Kesembilan Beethoven, dan riwayat lahirnya karya-karya agungnya. Bisa bicara tentang terciptanya simfoni-simfoni Mozart. Kesemuanya membuat perasaanku lebih dekat pada karya-karya klasik itu. Dan, teman-teman yang Ibu bilang itu? Aku memang senang bergaul dengan mereka, tetapi mereka cuma bisa bicara soal lagu-lagu masa kini. Ibu 'Kan tahu, aku tidak suka dengan jenis lagu seperti itu. Bukankah Ibu sendiri yang memberiku plat-plat lagu klasik. Selama ini aku cuma mendengarkan. Tapi, dia lebih dari mendengar. Selama ada dia, aku lebih bisa meresapi musik klasik itu." Kim So Eun menatap ibunya.

"Ya, Ibu mengerti," kata wanita itu sambil masih tetap merangkul anak gadisnya.

"Cuma persahabatan," kata Kim So Eun.

"Tapi, itu berbahaya. Sayang, sebenarnya kau bukan membutuhkan itu. Kau sebenarnya membutuhkan pengusir kesepian. Ya, kau kesepian, Kim So Eun.”

"Ah, tidak tahu, Bu," kata Kim So Eun. Dia merapatkan wajahnya ke leher ibunya.

Wanita itu mencium pipi anaknya.

"Kau tidak akan mengkhianati Jang Geun Suk, kan?" bisiknya.

Tubuh Kim So Eun mengejang sesaat. Dia mengangkat kepalanya dan menatap ibunya. Kemudian perlahan dia berkata, "Tentu saja tidak."

"Ya, terima kasih, Anakku Sayang. Pukulan terberat bagi Ibu adalah jika kau berpaling dari Jang Geun Suk. Dia terlalu baik. Semua orang menganggap begitu. Pastilah orang-orang akan menyalahkan Ibu. Mereka akan menuduh Ibu tidak mampu mendidikmu kalau kau mengkhianati Jang Geun Suk.”

"Ya, Ibu," kata Kim So Eun. Tetapi, hatinya dingin. Sebeku badan yang terendam dalam kolam sepanjang pagi buta.

Hati Kim So Eun tawar dan rusuh lantaran tak ada kehangatan untuk membayangkan Jang Geun Suk. Atau membayangkan sebutan sebagai Nyonya Jang Geun Suk. Tawar, setawar kening Jang Geun Suk jika sedang merenungi buku-buku tekniknya.

"Dan, kau sependapat dengan Ibu bahwa hubunganmu dengan pemuda berandalan itu lebih banyak bahayanya ketimbang kebaikannya, bukan?"

"Ya, Ibu." Tidak bersemangat Kim So Eun menjawab.

"Dan, sepantasnya diputuskan. " Kim So Eun membisu.

"Sebelum berkembang lebih lanjut," tambah wanita itu.

Kim So Eun tetap membeku. Dia membenamkan wajahnya ke bahu ibunya.

"Sebelum dia merasa kau memberinya hati. Sebelum kau lebih telanjur membutuhkan dia," kata ibunya lagi.

Bukan soal 'telanjur', bukan soal 'sebelum', melainkan Kim So Eun memang membutuhkan lelaki itu. Tetapi, Kim So Eun tidak berucap apa pun.

"Bagaimana, Sayang? Kau akan menurut apa yang Ibu katakan?" Kim So Eun merasakan tepukan-tepukan pelahan di punggungnya. Dia ingin menangis. Dia ingat masa kecilnya, masa ditepuk dan didendangkan. Tiba-tiba saja dia ingat kesendiriannya setelah dewasa. Sendiri di tengah keluarga yang hanya ada Ayah yang kelewat sibuk dengan bisnisnya, dan Ibu. Saudara tidak punya. Saudara satu-satunya, kakaknya, lenyap di hutan Afrika. Kakak yang gagah, yang suka membentak, tetapi suka membujuk pula manakala Kim So Eun cemberut.
Ibunya pun bisa merasakan kesendirian Kim So Eun meski dalam dekapannya. Wanita ini hanya memikirkan kebahagiaan anak semata wayangnya. Dia berharap Kim So Eun mendapat jodoh lelaki yang baik. Tentang ukuran baik ini, dia menggunakan ukuran-ukurannya sendiri dalam menilai. Baginya, lelaki yang baik adalah yang memenuhi persyaratan seperti ini: ulet, rajin, betah di rumah, dan yang terutama sopan, serta mengabdi kepada orang tua.

"Cobalah, Kim So Eun, lupakan seluruh kesan baik pada pemuda itu. Jangan biarkan hatimu menyediakan simpati pada lelaki mana pun. Peliharalah cintamu kepada Jang Geun Suk sampai nanti dia datang. Tidak lama lagi, Sayang."

Cinta? Apakah aku mencintai Jang Geun Suk? Ah! Kim So Eun mengeluh tanpa suara. Aku memang tidak pernah membencinya. Tetapi, aku juga tidak punya alasan untuk tidak menyukainya. Dan, apakah cinta sesederhana itu?

Kim So Eun mencoba membayangkan kembali pesta pertunangan mereka waktu itu. Tangan Jang Geun Suk memasangkan cincin di jari Kim So Eun. Apakah artinya itu? Suatu ikatan. Hanya itu saja? Ya, tidak ada yang lain. Selebihnya hambar. Tidak ada kesan apa-apa.

Lalu Kim So Eun membongkar dirinya, apa yang menyebabkan dia mengiyakan permintaan ibunya waktu itu. Apa sebenarnya yang menyebabkan dia tidak menolak pertunangan itu? Dia tidak mencintai Jang Geun Suk. Tetapi, dia juga tidak sedang mencintai lelaki mana pun. Cinta belum singgah di hati remajanya. Lalu, ketika orang tua Jang Geun Suk datang melamar dan orang tuanya menerima lamaran itu, Kim So Eun tak punya bayangan lain kecuali menerima. Dia tidak bisa mengucapkan kata 'tidak' yang tentunya akan menyakiti hati Jang Geun Suk. Jang Geun Suk terlalu baik untuk disakiti. Apakah seorang yang baik itu, berarti bisa mendatangkan cinta.

Begitulah pertunangan Kim So Eun dengan Insinyur Jang Geun Suk dilangsungkan dengan tergesa untuk mengejar keberangkatan Jang Geun Suk ke Jerman.

Lima tahun Jang Geun Suk tinggal di rumah orang tua Kim So Eun. Selama itu, tak sekalipun Jang Geun Suk membuat marah si empunya rumah. Tiga tahun di Jerman, Jang Geun Suk selalu mengirim surat walau cuma menampung kabar selintas. Jang Geun Suk hanya menceritakan kesibukan-kesibukannya. Atau tentang Muenchen, tempatnya tinggal. Itu pun dengan gaya cerita yang hambar. Lebih hangat tertangkap dari gambaran di novel-novel.

Lain dengan pemuda bernama Kim Bun itu. Seminggu Kim Bum menyerbu membuat Kim So Eun tertawa ceria. Mereka juga terlibat perdebatan seru. Mereka sama-sama menertawakan dunia. Kim So Eun cemberut karena pendapatnya dibantah, tetapi cepat-cepat Kim Bum membujuk. Jika Kim Bum kesal sebab kekeraskepalaan Kim So Eun, cepat-cepat Kim So Eun menetralisasi. Gadis ini khawatir jika Kim Bum pulang dengan membawa kekesalan.

Seminggu yang aneh. Meraka berdua berbicara dari bab obat-obatan sampai pada penyakit rakyat Afrika. Mulai dari puisi sampai pada politik. Mulai dari lagu-lagu klasik sampai pemerintahan. Segala macam hal mereka bicarakan pada senja-senja yang terasa singkat.

Dan, itu semua harus dianggap embun. Segera lenyap setelah matahari terbit. Tetapi, mungkinkah?

Mungkinkah? Harus! Harus! Demi nama baik keluarga yang harus dipelihara!

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...