Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 25 Juni 2011

Love Story In Beautiful World (Chapter 9)



Kim Bum meneliti rumah berpagar hijau. Bunga-bunga di depan rumah itu bermekaran dalam udara cerah. Pintu pagar tak terkunci. Kim Bum mendorongnya pelahan, tetapi kenyataannya menimbulkan bunyi keras. Mengejutkan ibu Kim So Eun yang duduk di teras. Perempuan tua itu mengangkat kepala dari bacaannya. Dia menatap kepala… rambut yang berantakan, ke celana jean biru, kembali ke kepala, turun lagi ke kaki… celana yang pudar warnanya. Dan, dia mengernyitkan alis, heran atas kemunculan tamu yang tidak punya kehalusan yang selayaknya dimiliki seorang tamu.

Kim Bum mencoba tersenyum, tetapi ibu Kim So Eun tidak sedikit pun mengendorkan urat-urat wajahnya. Senyum Kim Bum sumbang jadinya.

"Selamat sore, Bibi. Saya teman Kim So Eun."

Sebagai perempuan Korea lazimnya, ibu Kim So Eun menyambut, "Ya, silakan. Duduk dulu, akan saya panggilkan."

Kim Bum mengedarkan pandangan. Di pilar teras menjalar rambatan anggur. Buahnya bergayutan. Pandangan dari teras adalah keteduhan jalan raya di bawah pohon mahoni. Bunga-bunga di halaman bergoyang-goyang dibelai angin. Bunga matahari dengan kuningnya yang terang menunggui pojok halaman. Di dekat teras itu, bunga-bunga mawar memekarkan kelopak-kelopak warna merah tua. Aroma harum mengembang. Harum bunga sedap malam mengatasi aroma segalanya.

Di dalam, ibu Kim So Eun mendekati anaknya.

"Ada temanmu datang."

"Siapa, Bu?"

"Ibu tidak kenal."

"Eh, siapa ya? Bukan teman kuliahku?"

"Belum pernah kemari."

Kim So Eun masih merapikan buku di mejanya.

"Bagaimana orangnya?"



"Rambut berantakan, mengenakan kaos hitam dan celana jeans yang belel. Seperti berandalan."

"Ih! Aku tidak punya teman yang berdandan seperti berandalan."

"Ibu juga heran dia bilang temanmu.”

"Siapa ya?" kata Kim So Eun pada dirinya sendiri.

"Pergilah lihat. Di teras."

Kim So Eun menduga-duga sambil berjalan. Dan, 'selamat sore' Kim Bum tidak bisa dijawabnya. Sesaat dia memaksa ingatannya, siapa lelaki muda itu. Dan, setelah ingat, dia menjadi kikuk.

"Sibuk?" tanya Kim Bum.

Kim So Eun memikirkan jawaban yang tepat. Namun, sebelum menemukannya, Kim Bum melanjutkan, "Mungkin aku cuma mengganggu. Tapi, kalau menunda lebih lama, aku akan bersalah. Soalnya begini." Kim Bum berhenti bicara dan mengawasi Kim So Eun. Bukan main, bukan main jernihnya mata gadis itu, pikirnya. "Tidak mengganggu waktumu kalau kuteruskan?" kata Kim Bum.

"Tidak. Tidak mengganggu," kata Kim So Eun. Bukan main, bukan main lembutnya suara gadis ini, dan lekuk bibirnya alangkah indah, pikir Kim Bum.

"Begini. Ada temanku, dia wartawan majalah ibukota. Dia pernah melihatmu. Tapi, tunggu dulu! Bagaimana aku harus menyebut namamu? Nn. Kim So Eun atau Kim So Eun?"

"Kim So Eun," kata Kim So Eun. Dia tetap berpikir, kenapa lelaki ini begitu berani.

"Ya, dia pernah melihatmu. Entah dalam perayaan apa, dia melihatmu menari."

"Eh, kapan ya?"

"Kapan? Tentu saja aku tidak tahu. Tapi, begitulah. Dia ingin mewawancaraimu."

"Ah!"

"Kenapa 'ah'? Dia sungguh-sungguh. Majalah membutuhkan gadis-gadis semacam dirimu. Prototipe gadis medern, tetapi tetap punya kepribadian."

"Ah!"

"Kebanyakan gadis-gadis sekarang berlagak modern, tetapi apresiasinya tetap kampungan."

"Itu berlebihan," kata Kim So Eun.

"Begitulah kenyataannya. Lihat saja isi majalah-majalah dan surat-surat kabar. Selalu gambar gadis cantik, yang hanya ditonjolkan seksnya. Bodinya yang ukuran sekian-sekian. Pokoknya hanya fisiknya. Bagaimana dia sebagai pengemban kebudayaan umat manusia, sama sekali tidak bisa ditonjolkan. Sebab, memang tidak ada yang bisa diperlihatkan. Jadinya, peradaban kita sekarang ini hanya diisi oleh kebudayaan seks. Seluruh aktivitas manusia ditujukan untuk seks, yang titik utamanya pada fisik. Manusia tidak pernah lagi memperhatikan nilai yang dipunyai menusia. Kalau bahasa filsafatnya, kita melalaikan substansi manusia. Kalau bahasa tradisionalnya, kita tercekam pada wadah, lupa pada isi. Akibatnya, kita cuma memperhatikan yang cantik, lupa pada yang indah."

Kim So Eun termangu. Pikirnya, Pemuda yang mirip anggota geng ini lumayan juga.

"Lalu, apa hubungannya dengan saya?" tanyanya hati-hati.

"Erat sekali hubungannya. Kau akan ditonjolkan sebagai gadis yang membersihkan image gadis-gadis sekarang. Sebelum masyarakat tercekam lebih dalam pada kebiasaan yang sekarang, kita orbitkan kau untuk mengatakan kepada mereka, 'Ini lah gadis yang sesungguhnya perempuan!’"

"Ah, itu mengada-ada." Mata Kim So Eun berkedip-kedip.

"Kita akan ekspose sesuatu yang ada pada dirimu. Bukan terbatas pada sesuatu yang sifatnya fisik, melainkan lebih tinggi dari itu. Walaupun kita tidak mengingkari bahwa kau cantik."

"Ah!"

"Yang kita tonjolkan adalah keindahan," kata Kim Bum.

"Saya kira anda salah menilai."

"Biasanya aku tepat dalam menilai."

"Saya bukanlah seperti yang Anda kira."

"Aku sudah lama memperhatikanmu."

"Ah!"

"Kenapa dari tadi kau hanya mengatakan ‘ah’ saja?"

"Karena kau, dari tadi memujiku terus."

"Apakah aku memuji? Ah, kalau begitu aku telah melanggar petuah nenekku. Mau tahu apa dia bilang?"

Tawa Kim So Eun bukan sopan-santun lagi. Matanya tambah berseri.

"Nenekku mengutip dari ajaran leluhurnya: Janganlah memuji kecantikan seorang rupawan sebab itu tak akan abadi. Tapi, pujalah keindahan, kerena itu adalah pencerminan Illahi."

“Begitukah?”

“Ya.”

Dan, senja yang merangkak kian terasa singkat. Sebab, percakapan kian mengalir. Di dalam rumah, ibu Kim So Eun terheran-heran sebab mendengar tawa ceria anaknya dari teras dibawa angin merayap ke seluruh penjuru rumah.

Sebuah moment telah ditembus Kim Bum. Ketika senja membayang, mereka berdiri di pintu pagar. Dari tatapan mata gadis itu terkesan bahwa gadis itu juga merasa waktu terlalu tergesa. Kim So Eun tak sadar ketika berkata, “Jangan bosan datang."

Kim Bum mengangguk tegas, khawatir tidak terlihat dalam keremangan senja. Dan, senyum Kim So Eun menyelinap dalam pikiran Kim Bum. Matanya yang hitam dan jernih, ah! Keindahan yang tak terlupakan. Dan Kim Bum pun berjalan pelan-pelan membelai kesepian jalanan di suatu senja itu.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...