Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Senin, 27 Juni 2011
Love Story In Beautiful World (Chapter 12)
Bus yang akan membawa rombongan fakultas itu telah siap. Kim Bum telah mengatur tempat duduk bagi pengikut riset. Park Ji Yeon ikut dalam rombongan itu. Wajahnya cerah. Mrs. Son Ye Jin, seperti biasa, berwajah angker. Matanya tak acuh mengawasi kesibukan orang-orang di sekelilingnya. Dia tidak mau selintas pun menyinggahkan pandang matanya ke tubuh Kim Bum. Dia tidak bersuara ketika Kim Bum mempersilakannya duduk di bus.
Rombongan fakultas itu akan mengadakan riset ke Namchoseon. Mereka akan meneliti akibat-akibat industri yang didirikan di daerah itu terhadap pola berpikir masyarakat setempat.
Bus telah bergerak meninggalkan Shinhwa University. Kim Bum duduk berdampingan dengan Lee Ki Kwang di deretan kursi bus paling belakang.
"Tolong urus Park Ji Yeon selama riset ini," kata Kim Bum.
"Apa kau terlalu sibuk sampai tidak sempat mengurusnya?" ujar Lee Ki Kwang.
"Bukan begitu. Kau kan tahu kebiasaan mahasiswa kalau riset. Yang pacaran semakin asyik. Aku khawatir kalau dia bermanja-manja padaku di depan Mrs. Son Ye Jin. Bisa gawat. Kau mengerti maksudku kan?"
Lee Ki Kwang mengangguk paham.
"Ceritakanlah kepada Park Ji Yeon seluruh kesulitanku. Katakana padanya, selama ada Mrs. Son Ye Jin, jangan menampakkan tanda-tanda kalau aku dan dia itu berpacaran."
"Sebenarnya Killer itu menarik. Waktu dekat dia tadi, parfumnya bukan main harumnya." kata Lee Ki Kwang.
"Tapi sayang, tidak ada yang menciumnya. Padahal, lihatlah. Dari belakang pun dia kelihatan cantik. Lehernya yang putih, wah! Halus. wajahnya pun mulus. Hanya, di pinggir matanya kelihatan kerutan sedikit."
Bus itu menderum membelah pagi, menuju Namchoseon.
Kim Bum terguncang-guncang. Lee Ki Kwang terkantuk- kantuk. Beberapa mahasiswa bernyanyi.
"Lee Ki Kwang!" Kim Bum menggoyang tubuh Lee Ki Kwang.
Lee Ki Kwang membuka matanya.
"Killer menyanyi," bisik Kim Bum.
Lee Ki Kwang menegakkan kepalanya.
"Bagus juga suaranya," balasnya berbisik.
Suara Mrs. Son Ye Jin tersaring di antara suara para mahasiswa yang bernyanyi itu.
"Suaranya bagus, wajahnya cantik. Apa yang kurang lagi?" kata Kim Bum.
"Sebenarnya bukan kurang. Malahan lebih."
"Lebih?"
“Umurnya.”
"Itu sekarang. Dulu, waktu dia mahasiswa? Kenapa tidak pacaran ya?"
"Mr. Jang Hyuk pernah cerita. Mereka satu angkatan. Waktu Mrs. Son Ye Jin kuliah dulu, teman-temannya takut padanya. Sudah cantik, otaknya brilian lagi. Dia tidak segan-segan memaki teman- temannya dalam diskusi, 'Dasar bodoh, otakmu di mana? Ilmumu cuma di buku ya? Makanya otakmu kosong!'. Kalau ada yang berani pacaran dengannya, bukan mustahil, ini Mr. Jang Hyuk yang cerita, bisa jadi pria itu bunuh diri. Terus-menerus dikatakan bodoh, siapa yang tahan?"
"Repot juga punya wajah cantik dan otak yang terang. Lebih baik mahasiswi bodoh tapi cantik. Berebut mahasiswa membantunya. Akibatnya, laris jadi pacar," kata Kim Bum.
"Ada untungnya, ada juga ruginya," kata Lee Ki Kwang. "Coba kalau dia agak lunak sedikit saja, aku kira dia akan mendapat pasangan yang setimpal. Lelaki tampan, pintar, dan berkedudukan bagus."
"Tidak ada yang mencoba?"
"Di sinilah anehnya. Dia tidak suka lelaki pintar."
"Aneh?"
"Iya. Dia tidak mau bergaul dengan temannya yang pintar. Mr. Jang Hyuk kabarnya waktu kuliah dulu termasuk mahasiswa brilian. Tidak bisa akur dengan Mrs. Son Ye Jin. Mrs. Son Ye Jin tidak pernah mau kalah. Padahal dalam ilmu tidak seorang pun yang bisa benar mutlak. Dia lebih suka menerima pendapat yang salah agar dia mendapat kesempatan untuk menunjukkan kepintarannya. Mr. Jang Hyuk kadang-kadang lebih dulu membaca buku-buku baru, jadi bisa lebih dulu mengemukakan teori-teori baru. Mrs. Son Ye Jin sangat marah kalau keduluan orang lain. Akibatnya, mereka lebih banyak membaca buku. Akibatnya yang lebih parah lagi, mereka kelewat pintar, dan kelewat jauh dari dunia teman-temannya yang lain."
"Romantis juga riwayat Mr. Jang Hyuk kita," kata Kim Bum.
"Apanya yang romantis? Hidup cuma untuk buku, dari kamar ke perpustakaan, bahkan ke Toilet. Betul-betul kutu buku."
"Tapi, Mr. Jang Hyuk tetap simpatik. Walaupun masih belum menikah sampai sekarang, tidak tampak gejala kelainan jiwa seperti yang biasa dialami Pria single lainnya. Lain dengan Killer."
"Sejak semuIa, Killer itu memang punya kelainan. Lucunya, dia sendiri tidak bisa menyembuhkan dirinya padahal ilmunya segunung."
"Masalahnya, dia sendiri tidak mengenal dirinya sendiri," kata Kim Bum. "Kira-kira apa yang menyebabkan dia begitu ya?"
"Bagaimana aku tahu? Aku tidak pernah akrab dengannya.”
"Sekadar analisa psikologis 'kan bisa kaulakukan?"
"Wah, ilmuku mati," kata Lee Ki Kwang.
"Dugaan saja."
Keduanya mengawasi Mrs. Son Ye Jin di depan sana. Para mahasiswa sudah berhenti bernyanyi. Mungkin sudah haus. Atau mungkin mereka mulai mengantuk. Mrs. Son Ye Jin juga mulai mengantuk. Kepalanya yang semula tergoyang-goyang kini mulai terkantuk-kantuk.
"Menurutmu?" Lee Ki Kwang menggamit Kim Bum.
"Menurut dugaanku, dia itu anak yang sangat dimanjakan. Mungkin orang tuanya kaya dan selalu memuji-muji dia. Dia tidak pernah kekurangan moril maupun materiil. Dia merasa dirinya seorang putri raja. Maka dari itu dia merasa lelaki yang dapat menjadi pasangannya haruslah bagaikan pangeran-pangeran sakti, yang punya keampuhan-keampuhan teruji dalam menyelamatkan sang putri. Di dunia mahasiswanya, dia menunggu lelaki yang bisa melebihi dia. Semacam superman, begitulah."
"Wah, wah, wah, harus lebih pintar dari dia? Tapi Mr. Jang Hyuk cukup pintar. Lulus dari tingkat ke tingkat dengan cumlaude."
"Tapi, dia membutuhkan satu hal lagi, seorang yang Gentleman dan lemah lembut. Mungkin bisa mengalahkannya dalam saat-saat tertentu dalam soal ilmu. Tetapi, kalau tidak kenal selahnya, permusuhan malah tambah parah. Dia harus didekati seperti sebagaimana seorang putri didekati seorang pangeran dalam dongeng-dongeng. Jangan sampai sang putri kehilangan harga diri dengan membuka pintu menaranya!”
"Jadi, kau pikir Mr. Jang Hyuk mencintai Mrs. Son Ye Jin?"
"Ah, dalam laut dapat diduga, sedang dalam hati, lebih-lebih hati seorang dosen psikologi, siapa yang tahu?"
Untuk beberapa saat mereka diam. Bus menderum mengeluarkan asap yang memusingkan kepala. Untunglah pemandangan di luar menolong menyegarkan orang-orang dalam bus. Kebun-kebun sayur berhamparan luas. Sesekali nampak sawah menguning. Sesekali pula diselingi kehijauan perdu teh. Lagi pula, angin menerobos lewat jendela. Di jalan yang berliku, di punggung daerah pegunungan itu, sopir melarikan busnya dalam kecepatan yang dapat menyemilirkan angin.
"Lalu, masalahmu dengan Mrs. Son Ye Jin, bagaimana analisa psikologismu?" tanya Lee Ki Kwang.
"Itulah yang tidak bisa kupecahkan. Aku betul-betul tidak tahu apa yang menyebabkan dia membenciku," kata Kim Bum lemah.
"Mungkin karena kau pintar?"
"Aku tak pernah berdebat dengannya. Kalaupun aku tidak puas pada kuliahnya, aku diam saja. Pokoknya selama kuliahnya, aku selalu ingat nasihat Mr. Jang Hyuk. Jangan pernah membuatnya tersinggung."
"Atau masalah pribadimu?"
"Tentang apa?"
"Ke-playboy-anmu?"
"Tidak mungkin dia tahu tentang itu! Dia selamanya tak acuh pada aktivitas mahasiswa."
"Yah, memang rumit. Mudah-mudahan Lee Hong Ki dan teman-teman kita bisa mengusut plakat- plakat gelap di fakultas itu, biar masalahmu bisa diselesaikan."
Kini jalan lebih menanjak dan sempit-berliku. Bus meraung- raung mendaki lereng pegunungan. Di samping kanan, jurang menganga. Pemandangan di kejauhan adalah hutan pinus menyelimuti punggung bukit dan bekas-bekas kawah yang memutih. Pemandangan ini yang membuat penumpang bus lupa pada goncangan yang tak henti-hentinya pada setiap kelokan jalan. Sesekali tampak atap rumah yang berderet. Penumpang bus melekatkan pandangan ke rumah-rumah itu dan menaksir-naksir berapa saat lagi akan mereka lalui. Anak-anak kecil telanjang berdiri di pinggir jalan, melambai-lambaikan tangan.
Lee Ki Kwang membalas lambaian tangan anak-anak kecil itu.
"Puluhan tahun lagi, siapa tahu ada di antara anak-anak itu yang menjadi menteri," katanya.
"Atau Rektor Shinhwa University," balas Kim Bum disertai tawa. Dia terus melambai-lambai sampai kerumunan anak kecil itu lenyap di balik tikungan jalan.
Hawa semakin dingin.
Mereka tiba di tujuan. Di kejauhan terlihat bangunan-bangunan kuno dan pohon-pohon pinus. Masyarakat setempat menonton rombongan mahasiswa yang turun dari bus. Sangat kontras antara pakaian yang menonton dengan yang ditonton. Orang-orang desa itu berpakaian kumal. Mereka memperhatikan pakaian metropolitan masa kini, yang aneka warna.
Park Ji Yeon menjinjing tasnya. Wajahnya letih. Tetapi, matanya bersinar gembira. Lee Ki Kwang membantu membawakan kopernya. Rambut Mrs. Son Ye Jin kusut. Dia menyusut rambut itu dengan jarinya. Tetapi, angin masih mengibarkannya. Dia sibuk sebab kedua tangannya harus memegang tas. Lalu tas-tas itu ditarik seseorang, dan terdengar suara, "Mari saya bawakan."
Mrs. Son Ye Jin menoleh. Kim Bum berdiri di sampingnya. Mrs. Son Ye Jin tak menjawab. Sebuah tas besar dibiarkan pindah ke tangan Kim Bum. Sempat pula mereka bersenggolan tangan. Ah, halusnya, pikir Kim Bum.
Mereka berjalan menuju penginapan.
Batu-batu kerikil berserakan di jalan. Bekas pengaspalan. Mrs. Son Ye Jin agak kikuk melangkah dengan sepatu yang bertumit hampir 5cm tingginya.
"Anda pusing, Mrs. Son Ye Jin?" tanya Kim Bum dengan suara takut-takut.
"Hmmm." Sepi sesaat. Mungkin Mrs. Son Ye Jin merasa kelakuannya kurang pantas. Maka kemudian dia berkata, "Ya, sedikit."
“Sebentar, kalau minum kopi akan hilang pusingnya. Anda biasa minum kopi?"
"Tidak," kata Mrs. Son Ye Jin.
"Kalau begitu, teh saja. Teh di daerah ini sangat enak. Saya baru tahu waktu, survey pendahuluan kemarin tempo hari. Aroma teh di sini sangat segar, dan betul-betul bisa menyegarkan. Orang bilang, sekali minum teh daerah ini, seumur hidup tidak akan bisa lupa."
Mrs. Son Ye Jin membisu. Di depan mereka, berjarak kira-kira dua puluh meter, Lee Ki Kwang memanggul tas-tas besar. Tentunya dia sudah menyampaikan pesan-pesan Kim Bum kepada Park Ji Yeon. Sebab, ketika menengok ke belakang, Park Ji Yeon tersenyum tanpa isi khusus, tanpa nada cinta dan semacamnya. Senyum hormat untuk Mrs. Son Ye Jin. Kim Bum tak disinggahi pandangan matanya. Kim Bum menarik napas dalam-dalam.
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar