Sore yang cerah. Kim So Eun keluar dari perpustakaan menuju lapangan basket. Sore ini, tepatnya setengah jam lagi, regu basket putra yang dipimpin Kim Bum akan bertanding melawan regu basket SMA Shinhwa yang dipimpin Shim Changmin.
Mata Kim So Eun berputar-putar bagai bola di balik kacamata minusnya yang tebal, mulai mencari-cari sosok Kim Bum di tengah begitu banyak manusia di lapangan dan sekitarnya.
"Kim Bum!" seru Kim So Eun sambil menggerakkan tangannya dengan penuh semangat ke arah Kim Bum yang tengah melatih dribble kirinya di lapangan.
Kim Bum tersenyum dan balas melambai. Kim So Eun berlari kecil menghampiri.
"Jam berapa tandingnya?" tanya Kim So Eun begitu sampai di tempat Kim Bum.
"Lima belas menit lagi mungkin..." Kim Bum berlari menuju ring... melompat sedikit dan... hop... bola melejit ke dalam keranjang.
Kim So Eun bertepuk tangan dan memandang Kim Bum dengan kagum. Si penyiar bersuara lembut ini ternyata bisa jadi macan yang ditakuti di lapangan basket. Kim Bum memang merupakan produk keteledoran malaikat, pikir Kim So Eun. Seharusnya mereka tak mencintakan manusia yang sempurna seperti ini, khayal Kim So Eun tanpa menyadari bahwa bagi orang yang sedang dilanda cinta tentu segala sesuatu kelihatan indah, sempurna....
"Hei, lihat, itu teman-temanmu!" tukas Kim Bum berolok-olok waktu kawanan Moon Geun Young melintas dengan gaya seronok mereka.
"Huh, baunya pun telah tercium dari sini," timpal Kim So Eun sinis.
"Mereka sahabatmu, kan... he... he... he..." Kim Bum tertawa dengan leluconnya sendiri.
"Uhhh enak saja..." Kim So Eun menghujani Kim Bum dengan cubitan.
"Aduh... ampun... ampun..." Kim So Eun tersenyum gembira.
Tiba-tiba ia teringat lagi akan rencananya memberi pelajaran pada Moon Geun Young dan gang-nya itu. Cepat dipikirnya suatu adegan kocak yang bisa membuat Moon Geun Young malu di depan demikian banyak orang di lapangan ini. Sesuatu yang bisa memudarkan kepopuleran Moon Geun Young sebagai yang terkuat di sini....
Tentu akan seru bila tiba-tiba rok yang dikenakan Moon Geun Young sobek menjadi dua dan rambutnya yang diikat rapi itu mendadak kaku seperti landak....
“Aaaaachhh!!!" Terdengar teriakan dari arah Moon Geun Young. Kim So Eun dan Kim Bum bergegas menghampiri kerumunan yang mulai ramai di sekeliling Moon Geun Young. Susah payah mereka mengintip di sela-sela kepala-kepala manusia yang bergerombolan menyaksikan kejadian ajaib dan kocak yang terjadi pada diri Moon Geun Young.
"Ha... ha... ha..." Kim So Eun terkekeh geli. Kekuatan untuk mencintakan sesuatu tanpa perlu bertindak masih ada dalam dirinya. Formula Prof. Kang Ji Hwan masih bekerja dan dendam kesumatnya terhadap Moon Geun Young terlampiaskan sudah.
Kim Bum menatap tajam ke arah Kim So Eun, hingga akhirnya Kim So Eun sadar dan menghentikan tawa terbahaknya agak malu.
"Maaf... itu lucu sekali," ujar Kim So Eun gugup. Ia merasa ada yang lain dalam tatapan Kim Bum kali ini. Seperti tersirat rasa tak suka atas perbuatannya menertawakan Moon Geun Young.
"Kenapa malah ditertawakan...." Kim Bum menyeruak masuk ke tengah lapangan dan menolong Moon Geun Young menutupi bagian roknya yang sobek, dengan jaketnya.
"Ayo minggir... bubar semua!" teriak Kim Bum membubarkan gerombolan yang merubungi Moon Geun Young
"Kenapa bisa seperti ini. Moon Geun Young?" tanya Kim Bum berbisik sambil membimbing Moon Geun Young yang menutupi wajahnya karena malu.
"Tidak tahu. Kim Bum, aku... aku malu sekali," isak Moon Geun Young.
"Sstt... tenanglah." Kim So Eun melihat kejadian itu dengan hati kesal. Aneh. Bukankah Kim Bum selama ini juga benci pada Moon Geun Young? Lalu kenapa harus menolongnya? Kenapa tidak dibiarkan saja biar kapok dan berhenti jadi gangster di sekolah ini? Kim So Eun betul-betul tidak mengerti sikap Kim Bum. Apalagi Kim Bum kelihatan marah waktu Kim So Eun menertawai Moon Geun Young tadi.
Cuih...! maki Kim So Eun dalam hati. Mereka justru menjadi begitu akrab, bergandengan tangan pula, desis Kim So Eun agak sedih.
***
Kantin agak sepi karena sore sebentar lagi berangkat diganti oleh malam. Kim So Eun dan Kim Bum masih di situ. Lebih banyak diam daripada bicara.
"Aku tidak mengerti... katanya kau juga kesal pada Moon Geun Young," ujar Kim So Eun menumpahkan keheranan dan kekesalannya.
"Ya, memang."
"Lalu kenapa kautolong dia?"
"Aku membenci perbuatan jahatnya, ke sok jagoannya, bukan orangnya, Kim So Eun. Kau harus bisa bedakan itu."
"Maksudmu?"
"Maksudku, di saat ia tak berdaya dan butuh pertolongan, aku tidak akan mengingat-ingat kebencian itu. Mengerti? Kita harus bisa membatasi rasa marah, benci, agar tidak menjadi dendam. Dendam itu jahat, Kim So Eun," celoteh Kim Bum panjang-lebar.
Kim So Eun mencibir.
"Kau aneh," desis Kim So Eun masih tidak bisa menerima jalan pikiran Kim Bum.
"Kalau mau aneh-anehan, kupikir malah kau yang aneh belakangan ini," balas Kim Bum sengit.
"Aku?" Kim So Eun menunjuk dadanya sendiri.
"Iya. Aku seperti berteman dengan makhluk tak berperasaan. Ingat, Kim So Eun, yang kusukai adalah kepribadianmu, bukan apa-apa.... Jadi kalau kau berubah, jangan salahkan aku kalau persahabatan kita akan lenyap perlahan-lahan," ucap Kim Bum agak keras.
"O ya?" Kim So Eun bangkit dari kursinya. "Jangan pakai itu sebagai alasan...."
"Aku tidak beralasan,” kilah Kim Bum.
"Ah, siapa pun tahu bahwa kau hanya kasihan padaku, bahwa kau lebih memilih..." Kim So Eun tak melanjutkan kata-katanya sebab dilihatnya Jung So Min datang menghampiri dengan seragam basketnya sambil tersenyum manis seperti biasa.
"Hai,” seru Jung So Min yang tak menyadari situasi yang tengah panas.
"Hai... juga," sahut Kim Bum, berusaha menutupi keadaan dan pertengkarannya dengan Kim So Eun.
"Selamat, ya...." Jung So Min menyalami Kim Bum sambil menempelkan pipi kiri dan kanannya ke pipi Kim Bum.
"Terima kasih... Yang di bibir belum…" canda Kim Bum.
"Uh... maunya...." Jung So Min berkelit manja.
"Oh, jadi kepribadian seperti ini yang lebih kausukai," gumam Kim So Eun panas.
"Selamat tinggal, Kim Bum...."
"Kim So Eun!" panggil Kim Bum.
Kim So Eun berlalu dengan hati terbakar melihat adegan tadi. Tapi ia toh tak punya hak apa-apa atas diri Kim Bum. Mereka hanya bersahabat dan persahabatan itu kini tengah berada di ujung tanduk.
Kim So Eun benar-benar sangat sedih. Benarkah ada yang berubah dalam diriku? Ada yang hilang dalam kepribadianku? batin Kim So Eun menginstrospeksi. Tapi emosinya mengalahkan segalanya. Ditengokkannya kepalanya ke belakang. Kim Bum seperti tak lagi mengacuhkannya, malah asyik bercakap-cakap dengan Jung So Min.
Cuih. Kim So Eun menatap keduanya sambil memikirkan sesuatu...
"Oohh...," pekik Jung So Min waktu Coca-Cola dari mulut Kim Bum menyembur wajahnya.
"Eh, Ma... Maaf...," Kim Bum terkejut sambil membantu mengeringkan wajah Jung So Min.
Kim So Eun tersenyum puas. Dilanjutkannya langkahnya ke tempat parkiran sepeda. Perlahan dikayuhnya sepedanya menuju ke rumahnya. Mungkin persahabatannya dengan Kim Bum memang akan berakhir hingga di sini saja. Tak apa... Kim So Eun mencoba tegar. Toh ia tak lagi memerlukan Kim Bum sekarang. Tak lagi memerlukan teman dan sahabat yang mendukungnya.
Aku bukan lagi Kim So Eun yang pemalu yang selalu mengalah dan menuruti kemauan orang lain, pikir Kim So Eun penuh percaya diri. Formula ajaib itu masih bekerja dalam diriku, dan itu lebih berarti daripada Kim Bum. Cuih... cuih, umpat Kim So Eun mencoba mengenyahkan rasa sedihnya.
***
Ibu memperhatikan keresahan Kim So Eun sejak usai makan malam itu. Biasanya Kim So Eun belum akan beranjak dari depan pesawat televisi sebelum mendengar perintah Ibu. Biasanya saat-saat seperti ini di telinga Kim So Eun telah melekat headphone yang mengantarkan acara dari radio kesayangannya. Aneh. Sekarang Kim So Eun malah asyik membaca buku pelajarannya. Padahal belakangan ini, setelah Ibu sedikit memberi kelonggaran untuk melakukan sesuatu yang berkenan bagi dirinya sendiri, Kim So Eun selalu memanfaatkan waktu luang tidak lagi untuk belajar dan belajar terus. Kim So Eun punya banyak kegiatan. Dan yang paling penting, Kim So Eun kelihatan ceria.
"Kim So Eun... Apa Ibu tidak salah lihat?" tegur Ibu sambil mendekati dan ikut duduk di sebelah Kim So Eun.
"Sstt.. Aku sedang belajar, Bu."
"Besok ada ujian?" Kim So Eun mengangguk.
Ibu diam. Pekan ujian tengah semester baru saja berlalu. Tentu kini murid-murid sudah tidak lagi dibebani dengan kewajiban belajar atau tes-tes lainnya. Mungkin anak-anak lain sedang sibuk merencanakan acara liburan mereka. Dan Kim So Eun sendiri akan ujian?
"Ujian apa besok?" tanya Ibu tanpa menunjukkan rasa curiganya.
"Mhh..." Kim So Eun membalik buku yang sedang ditekuninya untuk melihat judulnya.
"Kimia..." Ibu menahan senyumnya. Belajar sejak sejam yang lalu dan tak tahu apa yang sedang dipelajari? Pasti Kim So Eun sedang melamun, dan pasti bukan melamunkan sesuatu yang menggembirakan. Kim So Eun tengah gundah.
"Ya... boleh kan istirahat sebentar. Tidak capek belajar terus?" pancing Ibu lagi.
"Ahh... Ibu. Aku jadi tidak bisa konsentrasi." Kim So Eun bangkit dari kursinya dan meninggalkan Ibu yang geleng kepala.
Ditatapnya Kim So Eun sampai lenyap di balik pintu kamarnya di balkon. Ibu semakin yakin, Kim So Eun telah beranjak dewasa menjadi remaja yang normal, seperti teman-teman sebayanya yang lain. Remaja yang punya problem, masalah dan gaya uring-uringan-nya yang khas. Apalagi kalau bukan patah hati dan urusan lelaki? pikir Ibu seraya meraih koran sore dan mulai membaca.
Di kamarnya Kim So Eun tertegun menatap cermin. Terbayang lagi pertengkaran dan perselisihannya dengan Kim Bum di sekolah. Hubungan yang tadinya begitu manis dan akrab, mendadak renggang. Dua hati yang tadinya sejalan, sepikiran, kini bagai dua kutub yang saling tolak-menolak. Aneh.
Mengapa semua justru datang setelah aku menemukan diriku yang sebenarnya? pikir Kim So Eun heran. Mengapa setelah kepercayaan diri ini tumbuh, setelah aku mulai punya pengaruh, punya sesuatu yang bisa kubanggakan, yang bisa kujadikan andalan untuk bersaing dengan Jung So Min. Mengapa? Apakah aku tak mungkin mendapatkan segala yang ingin kuperoleh? Apakah di antara kebahagiaan harus ada kesedihan? Apakah tak mungkin hidup terisi kebahagiaan terus?
Kim So Eun menghela napas. Diraihnya radio mini kesayangannya dan dikenakannya headphone. Terdengar suara lembut Kim Bum. Kali ini tidak lagi menyebut nama samarannya, tapi nama aslinya. Kim So Eun tertunduk, matanya menghangat sebelum kemudian air matanya menetes perlahan. Lagu yang dikirim Kim Bum untuknya... ah, seolah-olah persahabatan mereka kini telah demikian retak hingga tak mungkin ladi diperbaiki...
Ungu – Seperti Yang Dulu
Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar