Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Jumat, 09 September 2011

Telaga Hati Ibu



Title : Telaga Hati Ibu
Genre : Family
Author : Sweety Qliquers
Episode : Oneshot
Production : www.ff-lovers86.blogspot.com
Production Date : 2 September 2011, 09.02 PM
Cast :
Kim So Eun
Kim Bum
Go Ah Ra
Jung So Min


Senja menyemburat di antara mega yang arak-berarak. Cakrawala bagai lautan cahaya berwarna keemasan. Lempengan bola api raksasa itu melesap sebagian ditelan atap-atap bangunan rumah bertingkat yang tumbuh subur di pingiran sebuah kampus universitas negeri ternama di kota Seoul.

Aku berada di sebuah Apartemen Sederhana di lantai 2, memandangi senja dengan hati rengsa. Habis sudah kesabaranku menghadapi sikap kaku Ibu. Kutinggalkan rumah. Kutinggalkan Ibu. Keputusan yang sulit memang. Tanpa kusadar, air mata meretas dari kelopak mataku.

“Sampai kapan kau mau terus melamun di depan jendela itu?” Suara lembut seorang Pria menggugah lamunanku. Kim Bum Oppa menutup pintu kamar.

Aku menyapu air mata yang melinang dengan jemariku. Kim Bum menghampiriku. Jemarinya lembut mengusap poni yang jatuh di keningku.

“Sudah. Jangan bersedih,” katanya berusaha menghiburku. “Ini, Aku bawakan Kue beras pedas. Kau suka Teobokki kan?”

Aku mengangguk. Ia memberikan kantong plastik berisi Kue Beras Pedas kepadaku.

“Jadi merepotkanmu.”

“Aku senang jika kau repotkan,” katanya tersenyum.

Ah, Kim Bum Oppa… seandainya saja Ibu selembut dan sepengertian dirimu…

Kim Bum mahasiswa sastra Inggris di sebuah universitas negeri di kota ini. Kedua orangtuanya membuka rumah makan khas Korea di Jepang. Seorang adik laki-lakinya tinggal di Jepang dengan neneknya. Mahasiswa semester akhir itu tinggal seorang diri di apartemennya, walaupun sebenarnya dia bisa saja manumpang di rumah paman atau bibinya. “Biar bisa mandiri,” begitu katanya. Selain sibuk sebagai asisten dosen, Pria itu juga menjadi pengajar di salah satu tempat kursus ternama di Seoul.

Aku mengenalnya karena hampir setiap dua minggu sekali Kim Bum datang ke sekolahku, untuk melatih akting anak-anak teater. Kebetulan aku tergabung di komunitas itu. Ia juga sering membantuku menyelesaikan tugas-tugas Bahasa Inggrisku. Dia tak pernah menolak mendengar keluh kesahku. Berbeda sekali dengan Ibu, yang tegas dan keras, Kim Bum Oppa selalu menghadapiku dengan penuh kesabaran. Dia tidak pernah memaksakan pikiran-pikirannya kepadaku. Ia hanya memberikan gambaran mana yang sebaiknya aku lakukan dan tidak aku lakukan. Semua selalu dikembalikan lagi kepadaku. Tidak seperti Ibu, yang selalu merasa setiap keputusan yang lahir dari pikirannya adalah sebuah kebenaran yang tak bisa ditawar-tawar. Ibu tidak pernah memberikan ruang bagiku untuk menikmati duniaku. Aku merasa terpasung oleh sikap otoriternya.

* * *

Senja masih menyisakan merah di cakrawala di balik atap-atap bagunan rumah bertingkat. Sesaat berubah keunguan sebelum akhirnya menggelap. Di langit, tampak dewi malam merangkak perlahan muncul dari balik ranting-ranting pepohonan. Pergantian waktu yang mempesona.

Aku masih duduk memandangi langit, yang kini telah berubah kehitaman, dari balik jendela. Kue Beras Pedas pemberian Kim Bum Oppa masih utuh, belum kusentuh.

“Mau makan malam bersamaku?” tanya Kim Bum Oppa seraya tersenyum. Aku mengangguk.

* * *

Go Ah Ra – pelayan di rumahku membukakan pintu rumah.

“Ibu sudah tidur, Go Ah Ra?” tanyaku setengah berbisik.

“Saya tidak tahu, Nona,” jawabnya sambil menutup pintu.

Aku berjalan berjingkat-jingkat saat lewat di depan kamar tidur Ibu. Takut ketahuan. Tadi minta ijin cuma sampai jam 9. Sekarang sudah hampir tengah malam. Dan aku tadi berbohong… Aku bilang pada Ibu akan mengerjakan tugas dari sekolah di rumah Jung So Min, sahabatku yang juga teman sekelasku.

Padahal, aku pergi ke bioskop bersama Kim Bum.

Ibu tidak akan mungkin mengijinkanku keluar kalau aku katakan yang sebenarnya. Ibu tidak suka aku jalan dengan Kim Bum. Bukan baru kali ini Ibu melarangku berhubungan dengan teman pria. Ibu merasa, aku terlalu muda untuk mengenal cinta, padahal aku sudah kelas 3 SMA.

Aku membuka daun pintu kamarku. Perlahan. Tanpa suara. Kutekan saklar lampu kamarku ke posisi on. Lampu 20 watt menyala. Dan…

“Ibu…?!” Jantungku serasa mau copot ketika kulihat Ibu ada di dalam kamarku.

“Dari mana saja kau? Kenapa jam segini baru pulang?” Nada bicaranya datar. Namun menggetarkan. Detak jantungku mulai tak beraturan.

“Aku kan sudah bilang pada Ibu, ak…”

“Belajar di rumah Jung So Min, begitu?” Ibu memotong. “Sejak kapan kau pandai berbohong?”

“A… aku…”

“Tadi Ibu nelepon ke rumah Jung So Min. Kau tak ada di sana. Belajar…? Kau pergi dengan pemuda itu, kan?!”

Aku merunduk. Tak berani menatap mata Ibu, yang berkobaran api amarah.

“Kenapa kau bohongi Ibu?!” suaranya meninggi. “Ibu sudah bilang, jauhi pemuda itu!”

“Ta… tapi, Bu…”

“Tak ada tawar-menawar!”

“Kenapa Ibu selalu melarangku bergaul dengan teman pria?”

“Semua demi kebaikanmu. Ibu tidak mau kau menelantarkan pelajaranmu hanya demi sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Kau masih terlalu kecil untuk itu.”

“Selalu. Ibu selalu manganggapku anak kecil. Aku sudah kelas 3 SMA, Bu!”

“Memangnya, kalau sudah kelas 3 SMA, kau sudah merasa sangat dewasa, begitu?”

“Ya tidak, tapi aku…”

“Cukup!” bentak Ibu. “Jangan membantah lagi!”

“Ibu tidak adil!”

“Tahu apa kau tentang keadilan?”

“Kalau sikap Ibu seperti ini, aku bisa jadi perawan tua, Bu. Aku tidak mau menghabiskan masa tuaku tanpa seorang pendamping, seperti Ibu!”

“Plak…” Ibu melayangkan telapak tangannya ke wajahku. Belum pernah Ibu melakukannya sebelumnya.

Ia membalikkan tubuhnya. Melangkah tergesa-gesa meninggalkan kamarku. Masih sempat kulihat air menggenang di bening matanya.

Aku berdiri terpaku. Tubuhku bergetar. Dadaku berdebar hebat. Aku merasakan nyeri. Bukan hanya di pipi. Terasa lebih sakit di hati. Malam itu merupakan puncak pertengkaranku dengan Ibu. Aku sudah tak bisa lagi mentolerir sikap kerasnya. Aku sudah mengambil keputusan. Aku harus meninggalkan rumah ini!

* * *

Hampir setengah dua saat kuketuk pintu Apartemen Kim Bum Oppa. Aku tak tahu harus pergi ke mana. Hanya tempat ini yang ada di kepala.

Sampai beberapa saat lamanya aku menunggu, akhirnya Kim Bum Oppa membukakan pintu.

“Oppa…” Aku langsung menghambur ke dalam pelukannya. Kutumpahkan seluruh tangisku di dadanya.

“Ada apa? Kenapa kau malam-malam datang ke tempatku sambil menangis seperti ini?” ujarnya. Ia membimbingku ke masuk ke dalam. Mengambil gelas kosong lalu mengisinya dengan air mineral dari dispenser di pojok kamarnya. Diberikan kepadaku. Aku menerima gelas dari tangannya. Mereguk isinya sampai tinggal setengah.

“Aku tidak mengerti dengan sikap Ibuku, Oppa,” kataku setelah mampu menenangkan diri.

“Kenapa dengan Ibumu?”

“Dia selalu menghalangiku untuk memiliki teman pria. Dia tidak pernah membiarkanku menikmati duniaku. Aku kan sudah besar. Aku juga ingin merasakan memiliki teman pria yang bisa diajak berbagi. Aku juga ingin merasakan cinta.”

Kim Bum Oppa membelai rambutku dengan jemarinya. Kelembutan itu yang tak pernah diperlihatkan Ibu kepadaku. Aku begitu merindukan kelembutannya. Membelai kepalaku seperti yang sering Kim Bum Oppa lakukan setiap kali aku membutuhkan dukungan.

“Aku bisa mengerti perasaanmu. Tapi aku juga memahami sikap Ibumu.”

“Kenapa begitu, Oppa?”

“Di zaman yang serba bebas ini, orang-orang muda seperti kita sering kali gagal mendefinisikan cinta. Sadar atau tidak, kita sering mempertuhankan cinta. Kalau sudah begitu, kita rela melakukan apa pun demi cinta. Bahkan sampai… kau pasti tahu maksudku.”

“Tapi aku tidak seperti itu, Oppa.”

“Aku percaya. Ibumu pun pasti juga percaya padamu.”

“Ibu tidak pernah bisa mempercayaiku, Oppa. Buktinya…”

Kim Bum Oppa hanya tersenyum membelai kepalaku.

Rembulan surut di jurang jelaga. Malam merayap menapaki dinding-dinding udara yang mulai terasa dingin dibawa angin mengembara ke dalam Apartemen Kim Oppa.

Seseorang muncul dari balik pintu Apartemen Kim Bum Oppa. “Kim Bum, ada seorang wanita mencarimu. Dia menunggumu di Lobby.”

* * *

Tik-tik-tik-tik… Suara gerimis jatuh di atap rumah. Sebentar kemudian menderas. Kim Bum Oppa sedang menyelesaikan tugas kuliahnya. Ia melepas kacamatanya, memutar badannya ke arahku yang duduk di belakangnya. Kami berhadap-hadapan.

“Aku punya sebuah cerita. Kau mau mendengarnya?” katanya.

Aku mengangguk.

“Cerita ini terjadi sekitar tujuh belas tahun lalu.” Ia memulai cerita. “Ketika itu ada seorang pemuda kaya yang jatuh cinta kepada seorang gadis desa yang cantik. Mereka bersekolah di tempat yang sama. Rupanya si gadis juga menyimpan hati kepadanya. Dan cinta pun diikrarkan. Mereka bagaikan sepasang merpati yang selalu terbang bersama-sama. Hampir tak terpisahkan. Sampai suatu ketika, nafsu yang bersembunyi di balik ikatan cinta mereka mengubah wajahnya menjadi begitu mempesona. Akhirnya, atas nama cinta, gadis remaja itu rela menyerahkan miliknya yang paling berharga. Mahkota itu ia berikan kepada kekasihnya! Akibatnya… kau pasti bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya…”

“Gadis itu mengandung?”

“Ya.”

“Lalu kekasihnya?”

“Pemuda kaya itu pergi entah ke mana. Menghilang!”

“Pria yang tidak bertanggung jawab! Lalu apa yang terjadi dengan gadis itu?”

“Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Ayahnya mengusir dirinya.”

“Tega sekali orangtuanya.”

“Begitulah. Bersama janin yang ada di dalam rahimnya, gadis itu pergi meninggalkan rumah. Padahal waktu itu usianya belum genap delapan belas tahun! Sekolahnya berantakan. Hidupnya kacau balau. Di tengah trauma yang dialaminya, dia melahirkan anaknya. Seorang bayi perempuan!”

“Perempuan?”

“Bayi perempuan yang kini telah tumbuh menjadi gadis remaja yang sangat cantik.” Saat mengatakan itu, matanya ia lekatkan ke wajahku. Seolah ingin mengucapkan sesuatu.

“Oppa…” Aku mulai menangkap arah ceritanya.

“Dan bayi perempuannya itu, saat ini, sedang duduk di hadapanku.” Matanya berkaca-kaca.

“Ibu…?” Kabut berpendaran di bola mataku. Siap meledakkan tangis.

“Kemarin malam itu, Ibumu yang datang mencariku, dan menceritakan segalanya sambil terisak. Dia takut kehilangan dirimu.”

Mendengar penjelasan Kim Bum Oppa, aku tak mampu lagi membendung tanggul mataku. Kristal-kristal bening menetes, menderas, menganak sungai di kedua belah pipiku. Setangkup sesal menyelinap ke dalam kalbu. Aku sudah menyakiti hati wanita yang sekian lama memendam luka di hatinya. Tangisku pun meledak.

“Oppa… Aa.. aku mau bertemu Ibu…”

* * *

Di luar, hujan turun sangat deras. Bagai benang-benang perak yang dijatuhkan Tuhan dari ketinggian langitnya.

Terdengar suara pintu diketuk. Kim Bum Oppa beranjak bergegas membukakan pintu. Daun pintu terkuak lebar. Seraut wajah cantik milik seorang wanita berdiri di depan pintu. Seluruh tubuhnya basah kuyup diguyur hujan. Wajahnya pucat. Kedua matanya sembab. Wanita itu menangis.

“Kim So Eun...” katanya menyebutkan namaku. Lirih.

“Ibu…!” Aku langsung menghambur ke dalam pelukannya. Ibu mendekap tubuhku erat. Dia menciumi wajahku sambil menangis terisak.

“Maafkan Aku, Bu?”

“Tidak, Sayang. Ibu yang seharusnya minta maaf, karena telah melibatkanmu ke dalam masa lalu Ibu.”

Oh, Ibu… di hatimu ada telaga. Dan di telapak kakimu ada surga.

Tamat
Copyright Sweety Qliquers

1 komentar:

  1. hiks sedihx ceritax... tapi kim beom udah disetujuikan?
    Kayakx sih iya *sotoy*

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...