Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Kamis, 22 September 2011

Solusi Dari Ibu (Chapter 1)



Seperti telah kuduga sebelumnya, Ibu pasti tak puas dengan nilai-nilai mid semester-ku. Ibu menggeletakkan begitu saja Rapotku di atas meja setelah menelitinya kurang dari semenit.

“Kau payah.” Ibu cuma berkata pendek, dengan tekanan suara sedemikian rupa yang terasa sangat mengiris hatiku.

Tapi aku tak bisa berbuat banyak. Aku hafal betul dengan sifat ibuku. Jika sudah demikian, percuma saja aku mengutarakan seribu satu alasan dan pembelaan diri. Dua angka merah di Rapot itu memang menyakitkan. Sempat membuatku shock meski aku sudah menduganya jauh hari sebelum penerimaan Rapot. Kuharap Ibu bisa mengerti yang sebenarnya bahwa hampir seisi kelasku mendapat nilai merah untuk Matematika.

Banyak teman mengeluhkan cara mengajar Mr. Park Shi Hoo. Tapi percuma juga bila aku mengutarakan hal itu. Ibu pasti akan segera menangkisnya dengan fakta lain bahwa beberapa siswa mampu meraih nilai bagus. Bagaimana dengan Tata Bahasa Korea? Nilai merah untuk bahasa nasional? Apa itu juga karena gurunya tidak bisa mengajar?

Malam hari Ibu masuk ke kamarku dan merebahkan tubuhnya di kasurku. Aku yang tengah menonton Drama Series favoritku mulai panik. Ibu pasti hendak membicarakan nilai Rapotku!

“Kau tidak belajar?”

“Kan libur, Bu?” kataku.

“Iya, tapi apa salahnya menyisihkan satu atau dua jam untuk baca-baca buku pelajaran? Memangnya kalau libur tidak boleh belajar? Kenapa tidak kau biasakan belajar setiap hari biarpun sedang libur sekolah? Apa susahnya?”

Aku mendelik tanpa sepengetahuan Ibu. Saat ini ada beberapa temanku yang tengah berpesta ikan bakar di Pulau Jeju. Dan aku harus tetap belajar? Alangkah tragisnya!

Tragis memang. Tapi aku kalah janji. Ibu hanya mengijinkan aku ikut ke Pulau Jeju jika nilaiku tidak kebakaran.

“Ibu suka ikan apa?” tanyaku tiba-tiba saja, tanpa kurencanakan sebelumnya.

Ibu menatapku dengan kening terlipat.

“Dibakar atau digoreng?” tanyaku lagi.

Kulihat Ibu menahan senyum. “Hmm, teman-temanmu jadi berlibur ke Pulau Jeju? Berapa orang?”

“Belasan. Mungkin dua belas atau tiga belas.” Untuk sementara aku puas karena Ibu mengikuti arah pembicaraanku. Kuharap Ibu jadi lupa pada misinya untuk memberikan nasehat soal nilai mid semester-ku.

“Apa enaknya pergi dengan bayangan nilai merah di kepala? Apa bisa senang?”

“Aduh, Ibu! Nilai merah itu biasa!” jeritku, cuma dalam hati.

“Kim Bum ikut?”

Dadaku berdebar seketika. Entah karena mendengar nama itu, entah karena cemas. Mungkin paduan keduanya.

Aku menggeleng sedih.

“Dia juga tidak ikut gara-gara kau tidak ikut?”

Aku mengangguk lesu.

“Bagaimana nilainya?”

“Dua nilai merah.”

“Astaga!” Ibu bangkit dari tidurnya. “Kalian sengaja kompakan atau bagaimana? Matematika dan Tata Bahasa Korea juga?”

“Bahasa Inggris dan Biologi.”

Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kedekatan kalian ...”

“Apa, Bu?”

“Dulu nilaimu baik-baik saja. Tapi semenjak kalian semakin dekat, tiba-tiba nilaimu jadi hancur. Apa keliru kalau Ibu menuduhmu jadi menurun karena berhubungan dengan Kim Bum?”

“Tapi, Bu...”

“Dalam seminggu Kim Bum datang dua atau tiga kali. Kalian jalan dua atau tiga kali. Yang nonton, yang ke mall, ke rumah teman…. Apa lagi? Apa tidak bosan bertemu terus setiap saat?”

“Ibu tidak usah mencemaskan hubunganku dengan Kim Bum. Kami baik-baik saja.”

“Ibu tidak melarang kalian dekat, pacaran, atau apa. Ibu cuma bilang, mungkin frekuensi kedekatan kalian jadi menyita waktu belajar.”

“Ibu jangan menuduh yang bukan-bukan. Kim Bum itu anaknya baik. Sangat baik.” Aku merasa harus membela diri, juga membela Kim Bum. Ibu tak boleh punya pikiran yang keliru tentang Kim Bum.

“Semoga begitu. Jujur, Ibu tidak begitu mengenal Kim Bum.”

“Anak itu memang pendiam.”

“Harusnya Ibu lebih mengenal pemuda itu,” gumam Ibu.

Aku tersentak.

“Kim Bum tinggal di St.Vyest Street, kan? Nomor 33?”

“Ibu?” Aku menatap Ibuku dengan cemas. “Ibu tidak boleh mendatangi Kim Bum!”

“Kata siapa? Ibu bukan mau merebut kekasihmu, Kim So Eun. Ibu cuma melatih ingatan. Sekali kau pernah bilang, Ibu tetap ingat.”

“Ibu tidak boleh menyalahkan Kim Bum...” kataku serupa ratapan.

Ibu mencubit pipiku cukup keras lalu meninggalkanku.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...