Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Jumat, 16 September 2011

Ketulusan Cinta (Chapter 8-Tamat)



Sejak malam pengantin yang gagal itu, Kim Bum tak pernah lagi memberikan kemesraan terhadap Kim So Eun. Ia tetap tidur satu ranjang dengan istrinya. Di bawah selimut yang sama. Tapi, sedikit pun ia tak menyentuhnya. Malah, untuk menghindari pertemuan dengan Kim So Eun, Kim Bum lebih banyak bekerja lembur di perusahaannya. Ia pergi ke kantor pagi-pagi sekali. Baru pulang setelah malam menyelimuti permukaan bumi.

Kim Bum seperti mesin, yang hanya mampu menjalankan tugas di kantornya saja. Ia mati rasa terhadap wanita. Ia tak lagi mampu untuk mencintai. Selama bertahun-tahun menikah, hanya pekerjaan yang ada dalam pikirannya. Kim So Eun hanya seperti boneka cantik yang jadi penghias kamarnya.

Hingga suatu malam di sebuah club, tanpa sengaja Kim Bum bertemu kembali dengan Jung So Min. “Apa kabar? Boleh aku gabung di sini? Sendiri?”

“Kim Hyun Joong sibuk mengurusi pekerjaannya. Aku juga terlalu sibuk untuk membujuknya menemuiku ke tempat ini,” jawab Jung So Min, kalem.

Kim Bum tersenyum. Rupanya, pernikahan mereka juga tak berjalan dengan baik. “Tampaknya kau tidak mendapatkan apa yang kau harapkan.”

Jung So Min tersenyum kecut. “Kau sendiri? Apakah kau mendapat kebahagiaan yang kau harapkan?”

“Kebahagiaan tidak akan mudah diperoleh dari sebuah perkawinan yang dipaksakan oleh keadaan,” Kim Bum menjawab dengan taktis. ”Aku masih tak mengerti, kenapa kau membatalkan pernikahan kita.”

Jung So Min mendesah. “Kenapa kau masih mempertanyakan hal itu? Apakah kau masih mencintaikuku?”

Sulit bagi Kim Bum menjawab yang sebenarnya sangat sederhana itu. Barangkali, karena terlalu tenggelam dalam pekerjaan, Kim Bum jadi tidak yakin lagi akan perasaannya sendiri. Ia juga tidak yakin lagi akan mampu mencintai wanita, seperti waktu-waktu yang lalu. Ia memang merasa sangat kehilangan Jung So Min, tapi ia tidak yakin masih mencintai gadis itu seperti dulu.

“Kebahagiaan itu masih bisa kita raih, Kim Bum,” lanjut Jung So Min, sambil menggenggam tangan Kim Bum. “Kita dipertemukan kembali untuk meraih kesempatan yang dulu terlepas dari tangan kita. Kau masih dapat menikahiku, kalau memang masih mencintaiku.”

Kim Bum tercengang. Dulu ia memang sangat ingin menikahi Jung So Min. Tapi, sekarang? Sekarang ia telah memiliki Kim So Eun sebagai istrinya. Meski ia tidak pernah menyentuhnya, sedikit pun tak pernah melintas untuk menceraikan Kim So Eun dan menikahi Jung So Min.

“Aku masih mencintaimu. Menginginkanmu jadi suamiku.”

Kim Bum mengangkat alisnya. “Aku mungkin masih memiliki harapan yang sama denganmu. Tapi, keadaan sudah tidak memungkinkan lagi.”

“Tapi, kau tidak mencintai istrimu, seperti kau mencintaiku, Kim Bum. Aku tahu itu!”

Kim Bum mendesah. “Kau benar. Aku memang tidak mencintainya seperti aku mencintaimu dulu. Tapi, banyak sekali hal yang membuatku tidak dapat menceraikannya begitu saja. Ia selalu setia mencintaiku, meski aku duduk di kursi roda. Satu hal yang tidak kudapatkan darimu. Jadi, bagaimana mungkin aku tega meninggalkannya untuk menikahimu?”

Wajah Jung So Min merah padam seketika. Ia merasakan kalimat Kim Bum sebagai suatu sindiran pedas untuknya.

“Jung So Min, perasaanku padamu sudah tidak sama seperti dulu lagi. Sikapmu membuatku terluka. Luka itu masih kurasakan, meski kerap tertutup oleh perasaan rinduku. Lalu, sekarang kau dengan mudah mengatakan hendak meninggalkan suamimu untuk menikah denganku. Bagaimana aku yakin kalau kau tidak akan meninggalkanku kelak?”

Jung So Min terperangah.

“Kurasa, sampai di sini saja perbincangan kita. Aku senang sekali bertemu denganmu, Jung So Min. Tapi, aku harus segera pulang, karena istriku sudah menungguku di rumah.”

Lalu, Kim Bum beranjak pergi. Suara panggilan Jung So Min tak dihiraukannya. Entah kenapa, langkah Kim Bum terasa ringan. Hatinya terasa lapang. Kim Bum juga tidak mengerti, mengapa tiba-tiba ia merasa lega, setelah menolak Jung So Min sedemikian rupa. Entahlah, sulit baginya untuk mendefinisikan perasaannya sendiri terhadap Jung So Min. Yang jelas, ia merasa menjadi Kim Bum yang baru, setelah menyadari bahwa dirinya tidak terobsesi lagi pada Jung So Min.

“Baru pulang?” suara lembut Kim So Eun mengejutkan Kim Bum yang berjingkat-jingkat memasuki kamar tidurnya.

“Maaf. Aku membangunkanmu, ya?” tanya Kim Bum, rikuh.

“Aku bukan terbangun karena suaramu. Aku memang masih terjaga sejak sore tadi.” Kim So Eun bangkit dari tempat tidur.

“Mau kubuatkan kopi susu?” tanya Kim So Eun, sambil mengikat rambutnya.

Kim Bum menggeleng cepat. Ia lalu berjalan menuju meja kerjanya, mencoba menekuni beberapa sketsa barang antik yang berserakan. Tapi, konsentrasi Kim Bum tidak benar-benar dapat tertuju pada pekerjaan. Ia mendekap wajahnya. Tiba-tiba saja ia merasa berdosa terhadap Kim So Eun, yang selalu memperlakukannya dengan lembut. Alangkah tidak adilnya ia selama ini.

Ia berdiri, menuju kamarnya. Ia merasa harus bicara pada istrinya dan meminta maaf atas sikapnya yang tidak bijaksana. Tapi, baru saja ia bangkit dari tempat duduk, wajah Kim So Eun muncul. “Kim Bum, kau sudah makan?” Suara Kim So Eun lirih. Tapi, terdengar menggetarkan di telinga Kim Bum.

Kim Bum tertegun di tempatnya. Pertanyaan istrinya yang demikian sederhana itu terasa sangat menyentuh. Terbukti, meski ia tidak pernah memperhatikan Kim So Eun, istrinya tidak pernah lalai memperhatikan kebutuhannya. “Kau sendiri, apakah sudah makan?” Kim Bum balik bertanya.

Kim So Eun menggeleng lemah. “Aku tidak bisa tidur. Jadi, aku menunggumu pulang supaya kita bisa makan malam bersama.”

“Kalau begitu, apa lagi yang kita tunggu?” Kim Bum menepukkan kedua tangannya. Lantas, dengan bersemangat, ia meraih pinggang Kim So Eun, dan membimbingnya menuju ruang makan.

Kim So Eun tersentak. Sentuhan tangan Kim Bum serasa mengaliri tubuhnya dengan getaran yang sangat aneh. Ia tambah tertegun ketika Kim Bum menyalakan beberapa batang lilin di atas meja makan. Menarikkan kursi untuk istrinya. Memutar lagu romantis untuk jadi musik pengiring makan malam.

Meski merasa heran atas sikap suaminya, Kim So Eun diam saja. Ia duduk di samping Kim Bum, menikmati makan malamnya. Ia biarkan tangan kokoh Kim Bum melingkari pinggangnya. Membiarkan desah napas Kim Bum menghembus di pipinya. Ia biarkan Kim Bum memeluknya.

* * *

Kim So Eun terjaga di saat matahari belum muncul dari ufuk timur. Wanita lemah lembut itu merasakan sebuah kesegaran yang aneh menyirami tubuhnya. Kesegaran yang diberikan oleh suaminya melalui sebuah kemesraan yang sakral. Perlahan, ia memalingkan wajahnya, tersenyum melihat tubuh suaminya terbaring di sisinya dengan sebuah kebahagiaan terukir di wajah tampannya. Dengan penuh cinta, ia mengecup suaminya.

Ia mendesah. Teringat pada malam yang baru saja dilaluinya. Masih terasa di tubuhnya pelukan hangat, sentuhan lembut Kim Bum. Tapi, tiba-tiba muncul sebuah tanda tanya di benak Kim So Eun. Ia mereka-reka, hal apa yang menyebabkan suaminya bersikap mesra.

Yang pertama melintas di benaknya adalah Jung So Min. Ia tiba-tiba merasa getir, saat membayangkan sebuah kemungkinan yang menghubungkan perlakuan mesra Kim Bum dengan Jung So Min. Kim So Eun menangis. Ia sudah cukup termakan perasaannya sendiri dengan membiarkan Kim Bum tetap mencintai Jung So Min. Kini haruskah ia menerima kenyataan bahwa Kim Bum bercinta dengannya sambil membayangkan bercinta dengan Jung So Min? Tidak!

Kim So Eun tidak mau membiarkan dirinya jadi jelmaan Jung So Min di mata Kim Bum. Sudah cukup lama dia hidup di bawah bayang-bayang wanita itu. Kini segalanya harus diakhiri! Dengan hati pedih, Kim So Eun bangkit. Ia mengemasi pakaian dan barang-barangnya dalam dua buah koper. Sebelum ia meninggalkan rumah mewah suaminya, ia meletakkan surat di atas bantalnya. Matahari masih mengintip malu-malu, saat Kim So Eun melangkah pergi.

* * *

“Kim So Eun…,” dengan mata masih tertutup, Kim Bum meraba-raba sisi tempat tidur yang biasa ditiduri Kim So Eun. Tapi, tidak ditemukannya wanita yang telah setia mendampinginya selama 4 tahun itu. Tak disengaja tangannya menyentuh selembar kertas terlipat di atas bantal istrinya.

Mata Kim Bum langsung terbuka lebar, terkejut. Ia segera bangkit dan membuka lipatan kertas itu dengan terburu-buru. Matanya terbeliak membaca kata demi kata. Ketika seluruh isi surat telah selesai dibaca, Kim Bum tertawa. Lalu, ia mandi dengan santai. Sesudahnya, ia menemui ibunya yang sudah menunggu di ruang makan.

“Hmm… tumben bangun agak siang,” sapa Nyonya Kim Tae Hee.

Kim Bum hanya tersenyum.

“Ibu tidak melihat Kim So Eun. Ke mana dia?” tanya ibunya lagi.

“Dia pulang, Bu,” kata Kim Bum. “Dia pulang ke rumahnya sendiri.”

“Apa?! Kalian bertengkar atau bagaimana?”

“Tidak.” Kim Bum tersenyum.

“Tapi, kenapa Kim So Eun pulang ke rumahnya, Kim Bum? Kau harus bicara yang jelas. Ibu tidak ingin kau memperlakukannya dengan semena-mena.”

Kim Bum tersenyum, sambil melahap sepotong roti isi selai stroberi ke dalam mulutnya. “Aku berniat menyusul ke rumahnya, setelah selesai sarapan. Ada kesalahpahaman antara aku dengan Kim So Eun.”

”Sekarang saja kau susul dia,” kata Nyonya Kim Tae Hee tegas, sambil menggeret Kim Bum, agar bangkit dari tempat duduk.

* * *

Saat Kim Bum tiba di rumah Kim So Eun, ia melihat istrinya itu tengah membantu ibunya, melayani seorang pembeli Mie Ramen. Ia terkejut sekali melihat kedatangan suaminya yang tak terduga itu. Kim So Eun mengerutkan alisnya. Ia tak mengerti mengapa Kim Bum menyusulnya ke tempat ini. Padahal, lewat surat, ia telah mengutarakan semuanya, termasuk permintaan agar suaminya tidak mencarinya lagi.

“Kim So Eun…,” Kim Bum memanggil dengan lembut.

Kim So Eun sampai terkejut mendengar kelembutan suaranya. Apalagi, saat melihat tatapan mata yang begitu menyejukkan dari Kim Bum.

“Seharusnya, kau jangan datang ke sini, Kim Bum…,” ujarnya lirih.

“Kau lebih baik mencari Jung So Min, yang lebih pantas untuk jadi istrimu. Dia pasti akan menerimamu kembali, kalau tahu kau tidak lum….”

“Sssh!” Kim Bum meletakkan telunjuknya di depan bibir Kim So Eun.

Tanpa berkata apa-apa, ia mengecup bibir Kim So Eun dengan lembut dan meraih wanita itu dalam pelukannya.

“Jangan sebut orang lain lagi, Kim So Eun. Aku hanya mencintaimu…,” bisik Kim Bum di telinga istrinya.

Kim So Eun terperangah. Rasanya, ia tengah berada dalam mimpi mendengar penyataan cinta dari suaminya itu. Selama bertahun-tahun suaminya mabuk oleh pesona Jung So Min. Ia hampir tak percaya apa yang didengarnya.

“Benarkah?” tanya Kim So Eun.

Kim Bum tak menjawab. Ia hanya mempererat pelukannya. Sebutir kristal bening turun di pipi Kim So Eun. Ia bahagia mendengar penyataan suaminya. Tak peduli bahwa adegan pelukan yang cukup hangat itu menjadi tontonan beberapa pembeli Mie Ramen ibunya….


Tamat
Copyright Sweety Qliquers

1 komentar:

  1. daebak!! ff nya keren bgt... semangat buat ff yg lain y thor!!

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...