Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Jumat, 16 September 2011

Ketulusan Cinta (Chapter 4)



Jung So Min memejamkan matanya beberapa saat. Sentuhan tangan Kim Hyun Joong di bahu Jung So Min membuatnya membuka mata. “Kalau kau tidak berani membatalkan pernikahanmu dengan Kim Bum, biar aku yang menyampaikannya kepada Kim Bum. Bagaimana?”

Jung So Min ingin menyetujui usul Kim Hyun Joong itu. Tapi, sebagian dari dirinya berat untuk mengucapkan selamat tinggal pada Kim Bum.

Setengah terisak, ia menjatuhkan dirinya ke pelukan Kim Hyun Joong. “Katakan padanya dengan lembut, Kim Hyun Joong. Katakan bahwa aku hanya manusia biasa. Aku tidak sanggup menerimanya, kalau… kalau… ia duduk di kursi roda.”

Kim Hyun Joong tersenyum puas. Ia memeluk tubuh Jung So Min, sambil meng¬hela napas lega. Dengan lembut, ia membelai rambut Jung So Min. Bau harum yang keluar dari rambut gadis itu menggetarkan seluruh pembuluh nadinya. Darahnya berdesir, jantungnya berpacu cepat. Ia menundukkan kepalanya, mengecup kepala Jung So Min. Tangan kokohnya mempererat pelukannya.

Sepulang dari rumah sakit, Kim Bum hanya tersenyum kecil ketika disambut oleh para pelayan rumah itu. Ia memegang tangan Park Shin Hye dan Nyonya Kim Tae Hee, yang membantunya memindahkan tubuhnya dari mobil ke kursi roda.

“Bagaimana pabrik dan galeri kita, Bu? Semuanya lancar?”

“Baru kembali dari rumah sakit, kenapa sudah bertanya soal pekerjaan. Tidak ada soal lain yang lebih menarik?” celetuk Park Shin Hye.

Kim Bum meringis. Tentu saja ia ingin bertanya soal lain. Terutama, soal Jung So Min yang tidak pernah menjenguknya. Tapi, apa ibu dan adiknya mau menjawab pertanyaannya itu? Rasanya, tidak. Ada sedikit kecurigaan di benak Kim Bum. Jangan-jangan, ibu dan adiknya menghalangi Jung So Min datang. Tapi, rasanya, kecurigaan itu sangat tak beralasan. Lagi pula, Jung So Min keras kepala. Kalaupun kedatangannya dihalangi, ia pasti akan tetap bisa menjenguknya.

“Kau tahu tidak, selama kau pingsan, ada seseorang yang sangat setia menunggumu?” bisik Park Shin Hye, di telinga Kakaknya.

“Siapa? Jung So Min?” tanya Kim Bum, bersemangat.

Park Shin Hye cemberut. “Aku tidak pernah lihat Jung So Min menjengukmu, apalagi menungguimu. Yang selalu di sisimu justru Kim So Eun!”

Kim Bum mengerutkan alisnya. Di mata Kim Bum, Kim So Eun memang gadis yang menarik. Wajahnya cantik, tutur katanya sopan dan lembut, sangat cerdas, dan memiliki kesabaran luar biasa. Tak bisa dipungkiri bahwa ia sempat jatuh hati padanya. Tapi, sejak bertemu Jung So Min.... Bagi Kim Bum, dia sangat istimewa. Bahkan, pesona yang dipancarkan Jung So Min mampu memupus daya tarik Kim So Eun, yang nyaris berhasil menjerat cinta Kim Bum.

“Hai…,” sebuah suara menyapa lembut. Kim So Eun. “Apa kabar? Senang, ya, bisa kembali ke rumah?”

“Tentu,” jawab Kim Bum, ramah. Ia tidak melihat ibu dan adiknya di belakang kursi rodanya. Entah sudah kabur ke mana mereka.

Kim Bum menatap Kim So Eun dengan mata tajamnya. Tatapan yang penuh selidik, membuat rikuh yang ditatap. Pria itu heran mendengar Kim So Eun membuat puding cokelat untuknya. Rupanya, hubungan gadis itu dengan Nyonya Kim Tae Hee sudah sedemikian dekatnya, hingga ia bisa bebas memakai dapurnya.

“Ibumu mengizinkanku meminjam dapurnya,” kata Kim So Eun, seakan bisa menerka pertanyaan di benak Kim Bum. “Park Shin Hye mengatakan bahwa kau sangat suka puding cokelat.”

Lagi-lagi mereka, keluh Kim Bum dalam hati. Entah apa lagi yang akan dilakukan mereka untuk menjodohkan ia dan Kim So Eun.

“Kau mau kan mencicipi puding buatanku?” tanya Kim So Eun.

Kim Bum mengembangkan senyumnya. Meski ia tidak setuju pada rencana ‘perjodohan’ ibu dan adiknya, ia merasa harus tetap bersikap ramah terhadap Kim So Eun. Tidak adil jika memperlakukan Kim So Eun dengan sikap dingin, hanya karena ingin menjaga jarak. Apalagi, sikap Kim So Eun selalu penuh perhatian.

“Boleh aku bantu mendorong kursi rodamu?” tanya Kim So Eun.

“Tidak usah,” kata Kim Bum, mencegah Kim So Eun yang sudah hendak mendorong kursi rodanya. “Ini otomatis. Aku cukup menekan satu tombol, kursi ini bisa berjalan sendiri. Bisa kukendalikan ke mana saja aku mau,” kata Kim Bum, sambil mempraktikkan kata-katanya. Kim Bum sengaja berputar-putar di ruang tamu, hingga Kim So Eun tertawa terpingkal-pingkal.

Park Shin Hye dan Nyonya Kim Tae Hee mengintip dari dapur, sambil tersenyum. “Sebaiknya, jangan kau beri tahu Kim Bum tentang telepon Kim Hyun Joong tadi. Nanti dia kaget mendengar pembatalan sepihak dari Jung So Min. Kau tahu, Kakakmu tergila-gila padanya. Biar saja Kim Bum lebih dekat pada Kim So Eun, melupakan Jung So Min sedikit demi sedikit.”

“Mudah-mudahan saja Kim So Eun bisa menggunakan peluang ini untuk merebut perhatian Kim Bum,” gumam Park Shin Hye.

“Kau mau menolongku, Kim So Eun?” tanya Kim Bum. “Tolong panggilkan Lee Hong Ki dan Lee Ki Kwang untuk membantuku naik.”

“Baiklah. Kau tunggu saja di ruang tengah. Dekat tangga.”

Kim So Eun segera mencari Lee Hong Ki di pos jaga, lalu memanggil Lee Ki Kwang yang masih asyik dengan rumput liarnya. Mereka lalu membantu Kim Bum naik ke lantai dua untuk masuk ke kamar barunya. Sebenarnya, ketika mengetahui bahwa Kim Bum akan memakai kursi roda selama beberapa lama, Nyonya Kim Tae Hee ingin memindahkan kamarnya ke lantai bawah, tapi Kim Bum menolak. Ia merasa sudah sangat nyaman dengan kamar barunya.

Kamar baru Kim Bum adalah dua kamar tidur yang digabung menjadi satu. Tadinya, kamar itu merupakan kamar tidur tamu. Tembok pemisah dua kamar itu lalu dibongkar menjadi satu kamar besar. Di kamar itu telah terdapat beberapa ’penghuni’ baru, seperti ranjang, meja rias untuk wanita, dan beberapa benda lain, yang baru dibeli Kim Bum untuk Jung So Min. Rencananya, setelah menikah, ia dan Jung So Min akan menempati kamar baru itu. Dekorasi di dalam kamar juga merupakan dekorasi pilihan Jung So Min, dengan dominasi warna jingga, warna kesukaan Jung So Min.

Setelah Lee Hong Ki dan Lee Ki Kwang me¬nutup pintu kamar dari luar, Kim Bum merebahkan diri. Pikirannya menerawang dan jadi kacau karena selalu teringat pada Jung So Min. Seharusnya, pernikahan mereka akan berlangsung dua minggu lalu. Tapi, hingga kini, Kim Bum tidak dapat menghubungi Jung So Min. Selama di rumah sakit, Kim Bum beberapa kali berusaha meng¬hubungi Jung So Min melalui ponselnya.

Sepasang mata Kim Bum tertumbuk pada setumpuk kartu undang¬an pernikahannya di sudut meja kerja. Dari sekian banyak kartu undangan, belum ada satu pun yang disebar. Padahal, tempat pesta sudah dipesan. Kim Bum menarik kakinya ke atas tempat tidur, lalu meraih pesawat telepon di meja kecil dekat ranjang.

Sampai beberapa kali Kim Bum menelepon rumah Jung So Min, tapi tidak ada yang mengangkat pesawat telepon di seberang sana. Kim Bum menghubungi telepon di kamar Jung So Min. Juga tak ada yang mengangkat. Lesu, Kim Bum menutup teleponnya, kembali membanting kepalanya ke permukaan ranjang.

* * *

“Jung So Min?” suara Kim Hyun Joong terdengar, ketika pintu kamar Jung So Min terbuka. Isak tangisnya terhenti. Jung So Min mengangkat wajahnya dan memandang ke pintu dengan terkejut. Ia buru-buru menghapus air matanya, ketika wajah Kim Hyun Joong muncul dari balik pintu.

“Kenapa di sini?” Kesedihannya yang terpotong membuat Jung So Min marah. Tapi, Kim Hyun Joong tidak tersinggung. Ia kasihan melihat Jung So Min memakai gaun pengantin yang terkoyak, bersimbah air mata?

“Pergi! Aku benci melihatmu!” Jung So Min berteriak.

Kim Hyun Joong berdecak. Ia agak bingung melihat Jung So Min yang tampak seperti orang kehilangan akal itu. Tapi, ia tetap tidak pergi.

“Aku mencoba menghubungimu beberapa hari terakhir ini. Tapi, kau tidak pernah mau mengangkat telepon dariku. Jadi, aku ingin menengokmu.”

Kim Hyun Joong memandang wajah Jung So Min, yang pucat seperti orang sakit. Mata gadis itu tidak bersinar tajam seperti biasa. Malah, kelopaknya sedikit bengkak, karena terlalu sering menangis. Rambutnya acak-acakan.

“Aku dengar dari Pelayan, kau selalu mengurung diri,” kata Kim Hyun Joong, tanpa memedulikan bentakan Jung So Min. “Kupikir, kau sedih karena rencana pernikahanmu gagal. Aku coba menghubungi ayah¬mu. Tapi, beliau sedang ke Jepang mengurus bisnis. Jadi, aku memberanikan diri masuk ke sini. Mudah-mudahan kau tidak keberatan.”

“Aku tidak butuh perhatianmu. Pergi!” Jung So Min berusaha mendorong Kim Hyun Joong, tapi Kim Hyun Joong menangkap tangannya dengan sigap.

“Kau panik, Sayang,” kata Kim Hyun Joong, lembut. “Kau merasa tertekan karena situasi ini.”

Jung So Min berusaha melepaskan diri dari genggaman Kim Hyun Joong. Tapi, Kim Hyun Joong mencengkeram le¬ngan¬nya keras, hingga ia kesakitan. Jung So Min mendengus. Ia sangat marah karena keadaan telah membuat Kim Bum lumpuh dan tidak mungkin jadi suaminya. Ia juga marah pada dirinya karena tidak bisa melupakan Kim Bum.

Kim Hyun Joong menarik Jung So Min ke dalam pelukannya. Dengan lembut ia membelai punggung Jung So Min. Ketika tangannya menyentuh kulit yang halus dan lembut, darahnya berdesir. Jantungnya berdebar keras. Bulu kuduknya meremang. Jung So Min menjatuhkan diri ke pelukan Kim Hyun Joong.

“Aku bingung, Kim Hyun Joong…,” keluh Jung So Min. “Aku sangat mencintainya.”

Kim Hyun Joong gemas, merasa marah bercampur cemburu. “Kau harus melupakan dia!” kata Kim Hyun Joong, dengan mata berapi-api. “Sesulit apa pun, kau harus tetap berusaha melupakan dia!”

“Tapi, bagaimana aku bisa hidup tanpa dia?”

Jung So Min sama sekali tidak curiga bahwa belaian Kim Hyun Joong bukan lagi belaian simpati seorang sahabat. “Kau memiliki aku, Jung So Min….”

Jung So Min mengangguk. “Jangan tinggalkan aku sendirian.”

“Aku tidak akan meninggalkanmu, Jung So Min,” bisik Kim Hyun Joong, seraya mempererat pelukannya. “Karena, aku mencintaimu.”

Jung So Min terperanjat. Ia melepaskan dirinya dari pelukan Kim Hyun Joong dan mundur beberapa langkah. “Tapi, bukan itu maksudku,” kata Jung So Min “Aku hanya menginginkan kau sebagai teman.”

“Kenapa hanya sebagai teman?”

Jung So Min diam. Kim Hyun Joong tidak berlama-lama membiarkan Jung So Min bimbang. Ia mendaratkan sebuah ciuman di bibirnya.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...