Sebuah sedan mewah meluncur mulus, memasuki jalan raya perumahan elite di Twilight Residence, Seoul. Yang duduk di belakang kemudi adalah Park Shin Hye. Wanita berwajah cantik, Baru menikah satu tahun.
Di sebelah Park Shin Hye, Kim So Eun, masih lajang. Kecantikannya sedikit lebih menonjol dibanding Park Shin Hye. Selain memiliki hidung mancung, Kim So Eun punya bentuk bibir sangat bagus, sepasang mata indah.
Dua sahabat ini tampak sibuk dalam perbincangan akrab, sampai akhirnya mobil yang mereka tumpangi tiba di depan pintu gerbang sebuah rumah besar bertingkat. Rumah besar dan mewah itu dijaga seorang petugas keamanan, yang duduk di pos kecil dekat pintu gerbang.
Park Shin Hye membunyikan klakson mobilnya, membuat petugas keamanan itu menoleh. Ketika mengenali Park Shin Hye, si petugas keamanan segera berlari menghampiri, sambil menekan tombol remote control pembuka gerbang. Gerbang pun terbuka secara otomatis. “Mobilnya mau dimasukkan ke garasi, Nona?” petugas keamanan bernama Lee Hong Ki itu bertanya.
“Tidak usah,” Park Shin Hye menggeleng. “Kami cuma sebentar.”
Park Shin Hye memarkir mobilnya tepat di depan pintu garasi. Setelah mematikan mesin, ia mengajak Kim So Eun masuk.
“Sepi sekali,” gumam Park Shin Hye, seakan bicara pada diri sendiri. “Jangan-jangan Ibu dan Kim Bum sedang keluar.”
“Tidak, Nona,” Lee Hong Ki menyahut. “Ny. Kim Tae Hee ada di dalam.”
Ny. Kim Tae Hee ibu kandung Park Shin Hye, yang ditinggal meninggal ayahnya 10 tahun lalu, sedangkan Kim Bum satu-satunya kakak Park Shin Hye.
“Nona Jung So Min juga ada di dalam. Bersama Tn. Kim Hyun Joong.”
“Dia lagi?” Park Shin Hye membelalak sebal, mendengar nama Jung So Min disebut. Ia tidak pernah menyukai Jung So Min, kekasih Kim Bum.
“Iya, Nona. Mereka semua sedang berada di taman belakang,” Lee Hong Ki jadi agak gugup, melihat wajah Park Shin Hye berubah kecut.
“Rumahmu ini terlalu besar, Park Shin Hye. Biarpun sedang kedatangan beberapa orang tamu sekaligus, tetap saja akan kelihatan sepi.” Kim So Eun sengaja memberi komentar, agar Park Shin Hye tidak terlalu cemberut. Padahal, ia sendiri sebenarnya agak berdebar, bercampur cemburu, mendengar nama Jung So Min disebut.
“Harusnya, setelah menikah, kau jangan pindah rumah,” kata Kim So Eun, lagi. “Kasihan Ibumu. Pasti kesepian.”
“Aku maunya begitu,” Park Shin Hye berkata dengan nada setengah menyesal. “Tapi, kau tahu sendiri adat suamiku. Dia tidak mau tinggal bersama Ibu dan Kim Bum. Takut dikira mendompleng mertua. Makanya, Kim So Eun, cepat kau rebut Kim Bum dari tangan Jung So Min. Biar Ibuku punya teman mengobrol,” Park Shin Hye menggoda.
Sepasang pipi halus Kim So Eun merona merah.
“Sejak dulu aku sudah berusaha menjodohkanmu dengan Kim Bum. Tapi, kau terlalu pemalu,” kata Park Shin Hye, kesal.
Kim So Eun menghela napas panjang. Ia mengerti, Park Shin Hye dan Nyonya Kim Tae Hee selalu berusaha menjodohkan dirinya dengan Kim Bum, setiap kali ia bertandang ke rumah megah milik Park Shin Hye ini. Kim Bum memang sempat memperlihatkan rasa suka terhadap dirinya. Kalau saja Kim So Eun tidak terlalu malu untuk menyambut perhatian Kim Bum....
Kini, segalanya sudah terlambat. Sejak setahun lalu, Kim Bum berpacaran dengan Jung So Min, pu¬tri pengusaha kayu kaya. Jung So Min merupakan teman sekolah Kim Hyun Joong, mitra usaha Kim Bum.
“Aku cari Ibu dulu,” kata Park Shin Hye, sambil mempersilakan Kim So Eun duduk, lalu berlari ke ruang dalam untuk menemui ibunya.
“Ibu!” Park Shin Hye berseru, saat ibunya keluar dari ruang dalam.
“Park Shin Hye! Kenapa, kau tidak datang selama satu bulan ini?” Nyonya Kim Tae Hee melotot sayang, sambil mencubit pipi putri bungsunya.
“Sibuk, Bu,” Park Shin Hye menjawab, sambil menggelayut manja di bahu ibunya. Sesekali, ia mencium pipi ibunya, yang masih tetap terlihat cantik.
Kim So Eun kadang-kadang iri terhadap Park Shin Hye. Nasib Kim So Eun memang tidak seberuntung Park Shin Hye. Walau Kim So Eun juga merupakan keturunan dari keluarga intelek, orang tuanya tidak semapan orang tua Park Shin Hye. Ayah Kim So Eun pada mulanya pengusaha Elektronik cukup berhasil. Tapi, usahanya bangkrut, ketika Kim So Eun lahir. Celakanya, kebangkrutan itu membuat ayah Kim So Eun jadi seperti orang linglung, yang tak lagi mau bekerja. Mau tak mau, ibu Kim So Eun yang kemudian membanting tulang untuk mencari nafkah. Beliau berdagang Mie Ramen untuk menghidupi suami dan ketiga anaknya.
Beruntung, adik laki-laki ibu Kim So Eun memiliki kehidupan cukup mapan. Paman Kim So Eun itu bersedia menyekolahkan Kim So Eun dan kakaknya sampai tamat SMA. Kini, Kim So Eun dan kakaknya sudah bekerja dan dapat memberikan bantuan materi pada orang tua mereka. Namun, tetap saja kehidupan masih terasa keras dan harus dipenuhi oleh perjuangan, jika dibandingkan kehidupan Park Shin Hye yang serba nyaman dan terjamin.
Mendiang ayah Park Shin Hye adalah pengusaha barang antik cukup sukses. Selain memperjualbelikan barang antik asli dengan harga sangat tinggi, beliau juga memiliki pabrik, yang memproduksi replika barang-barang antik tersebut. Ketika beliau meninggal, Nyonya Kim Tae Heelah yang meneruskan usaha suaminya. Setelah Kim Bum dewasa, Kim Bum pun ikut membantu.
Hal itu membuat Park Shin Hye tak pernah harus merasa khawatir akan hidup kekurangan. Bahkan, gadis itu tidak mempersoalkan kuliahnya, yang terpaksa putus di tengah jalan karena keburu menikah. Hanya, ia kini tinggal bersama suaminya, yang tidak memiliki rumah semewah miliknya. Meski begitu, pasangan pengantin baru itu tak kekurangan, karena bisnis barang pecah belah milik Jung Yong Hwa cukup berhasil dan mampu menyokong hidup mereka.
“Ah... kau kan tidak kuliah, tidak kerja, sibuk apa?” Nyonya Kim Tae Hee berpura-pura mengomel.
“Aduh, Ibu, kenapa ibu tidak percaya! Aku memang sibuk, Bu. Sekarang aku mengambil kursus masak, membuat kue, kursus menata rumah, macam-macam lah, Bu. Aku kan sudah jadi ibu rumah tangga.”
Kim So Eun tersenyum melihat perdebatan itu Ia baru berdiri dari kursinya, mengangguk sopan, saat Nyonya Kim Tae Hee melihatnya.
“Eh, Kim So Eun. Apa kabar? Aduh, kenapa kau tambah kurus?” Nyonya Kim Tae Hee menyentuh lengan Kim So Eun yang sedikit kurus. “Jangan-jangan, pekerjaanmu terlalu memeras energi, ya?”
“Tidak juga, Bibi. Ini kurus dengan sendirinya. Saya juga tidak tahu jelas penyebabnya,” Kim So Eun menjawab pelan.
“Dia memikirkan Kim Bum Oppa, Bu. Soalnya, Kim Bum Oppa tidak juga melamarnya!” cetus Park Shin Hye, dengan suara nyaring. Wajah Kim So Eun merah padam.
“Ah, itu bisa-bisanya Park Shin Hye saja,” bantah Kim So Eun.
“Bu, suruh Oppa melamar Kim So Eun saja. Kalau Kim So Eun keburu dilamar orang, Ibu akan susah mencari menantu sebaik Kim So Eun!”
Biasanya, Nyonya Kim Tae Hee akan menanggapi dengan bersema¬ngat, jika Park Shin Hye menjodoh-jodohkan Kim So Eun dengan Kim Bum. Tapi, kali ini ia terduduk lesu. Ada kemurungan terlukis di wajahnya. Kim So Eun dan Park Shin Hye bertukar pandang.
“Kenapa, Bu?” tanya Park Shin Hye, bingung.
Nyonya Kim Tae Hee menghela napas panjang. Ia menatap Kim So Eun dengan tatapan penyesalan dan kasih sayang. “Dari dulu Bibi sela¬lu berharap kau yang jadi menantu Bibi. Tapi, sekarang....”
Jantung Kim So Eun berdebar. Hatinya meraba-raba maksud ucap¬an ibu Park Shin Hye. Apakah kata-kata itu merupakan pertanda bahwa peluangnya untuk jadi kekasih Kim Bum telah berakhir? Ataukah…?
“Sekarang kenapa, Bibi?” Kim So Eun akhirnya tak dapat menahan diri. Sesaat ia sadar bahwa pertanyaannya itu telah mengungkapkan perasaannya secara tak langsung. Tapi, ia tak peduli lagi. Ucapan Nyonya Kim Tae Hee yang terpotong itu, entah kenapa, dirasakannya seperti vonis yang menyatakan bahwa ia tak memiliki harapan lagi untuk menjadi istri Kim Bum.
“Sekarang semua sudah terlambat.” kata Nyonya Kim Tae Hee, dengan suara sesak. “Sebentar lagi Kim Bum akan menikah dengan Jung So Min.”
Sepasang mata Park Shin Hye membelalak. Nyonya Kim Tae Hee mengangkat alis, sambil membuang napas. Ia tampak enggan menganggukkan kepalanya dan membenarkan pertanyaan putrinya.
“Kapan rencana ini pertama kali tercetus, Bu?”
“Dua minggu lalu,” jawab Nyonya Kim Tae Hee. “Sepertinya, Kim Bum sudah merencanakan ini jauh-jauh hari, tanpa memberi tahu Ibu. Tahu-tahu, dia sudah pesan tempat di hotel dan sekarang sibuk menyiapkan undangan.”
Kim So Eun terenyak lemas di kursi. Dugaannya tadi sangat tepat. Harap¬annya untuk bersanding dengan Kim Bum di pelaminan sirna sudah.
“Sekarang Oppa di mana, Bu?” tanya Park Shin Hye.
“Kau mau apa?” Nyonya Kim Tae Hee yang sudah kenal betul sifat putrinya itu, tak segera memberitahukan. Ia tidak ingin terjadi keributan di antara kedua anaknya.
“Ah, dia pasti di kebun belakang! Awas, akan kumaki-maki anak bodoh itu! Masa mau menikah dengan perempuan yang genitnya minta ampun! Coba Ibu bayangkan, setiap hari dia ke sini, mendatangi Kim Bum Oppa, tapi tidak segan-segan bergandengan mesra dengan Kim Hyun Joong!”
“Park Shin Hye, tunggu!” Nyonya Kim Tae Hee berusaha mencegah putrinya yang hendak melabrak Kim Bum. Tapi, Park Shin Hye sudah keburu ke ruang dalam, yang menembus ke taman belakang.
“Aduh, anak itu selalu saja membuat keributan!” Nyonya Kim Tae Hee panik. Dia menarik tangan Kim So Eun untuk mengejar Park Shin Hye.
“Ayo, Kim So Eun. Jangan biarkan dia membuat keributan dengan kakaknya!”
“Oppa!” Park Shin Hye berkacak pinggang di beranda belakang rumahnya. Ia melotot galak melihat Kim Bum, yang tengah duduk santai bersama Jung So Min dan Kim Hyun Joong di patio (tempat bersantai, lengkap dengan meja dan kursi), yang dipagari oleh tanaman.
Patio
Kim Bum menoleh, terkejut. Tapi, ketika melihat sosok Park Shin Hye, ia tersenyum lebar. Jung So Min yang menggelayut manja di pundak Kim Bum juga ikut menoleh. Tapi, gadis cantik itu segera dihadiahi tatapan galak oleh Park Shin Hye.
Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar