Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Senin, 19 September 2011
Love Diary (Chapter 15)
JUNG YONG HWA
Huh, Seoul ini panas sekali.
Hari ini aku berniat ke Joseon Galery. Kata Kim Tae Hee, sedang ada pameran lukisan. Jung So Min sedang sibuk menerka-nerka arti mimpinya.
Song Seung Hun, hmmm… tampaknya dia sedang kasmaran dan sibuk dengan Kim So Eun.
Im Yoona, mantan istri pertamaku itu, sedang sibuk minta diajari membuat pudding cokelat pada Kim Tae Hee.
Aku naik taksi saja. Sampai di Joseon Galery, aku agak berkeringat. Matahari sedang cerah sekali, dan panas membuatku cepat lapar. Aku duduk di pinggir jalan, dan minum sekaleng softdrink dingin.
Lukisan-lukisan yang akhirnya kulihat tidak begitu menarik perhatian, surealisme, aku tidak begitu suka. Aku meneliti lukisan itu satu per satu, hingga aku lelah juga.
Tiba-tiba aku berhenti pada sebuah lukisan. Sebenarnya hanya lukisan pohon kelapa di pinggir pantai saat sunset. Tapi, sepertinya yang ini menarik, pewarnaannya bagus, agak klasik modern.
Aku mematung lama, kubaca nama pelukisnya, Park Shin Hye.
Park Shin Hye, hmmm, kurasa dia mempunyai bakat yang bagus.
“Lukisannya memang bagus!” sebuah suara mengagetkanku. Aku menoleh ke sumber suara, ternyata seorang wanita kira-kira berumur tiga puluhan.
“Ya, bagus!” aku tersenyum. “Apa kau pelukisnya?”
“Ha…ha…ha…!” wanita itu tersenyum dan tertawa kecil. “Jika aku pelukisnya, tidak mungkin aku memuji lukisanku di depan orang asing.”
“Oh, Maaf.”
“Anda mau tahu siapa pelukisnya?” tanya wanita itu.
“Park Shin Hye, ‘kan?” sahutku, bingung.
“Ya. Itu orangnya,” wanita itu menunjuk pada seseorang, kira-kira sepuluh meter dari hadapanku.
Tampak seorang gadis, menenteng tas ransel.
“Dia pelukisnya, namanya Park Shin Hye. Aku salah seorang pengagumnya. Dia masih muda sekali, tapi sangat berbakat.”
“Anda sendiri siapa?” aku ingin tahu.
“Bukan siapa-siapa. Namaku Song Hye Gyo.”
“Oh, ya, senang bertemu Anda, Song Hye Gyo. Nama saya Jung Yong Hwa.”
Wanita itu tersenyum, lalu berlalu dari sampingku.
Sungguh wanita yang aneh.
Tapi sudahlah, aku tak begitu peduli.
Kini perhatianku tertuju pada pelukis itu, Park Shin Hye. Dia begitu menarik, sama seperti lukisannya, yang pertama kulihat langsung mencuri hatiku.
Aku menghampirinya.
“Maaf, Nona, lukisan Anda bagus sekali!” aku langsung memuji, meski terasa basa-basi.
“Maaf Tuan, eh, Tuan….”
“Ya, Anda Park Shin Hye, ‘kan? Yang melukis pohon kelapa di saat sunset itu?”
“Ya, betul. Bagaimana Anda tahu bahwa Park Shin Hye itu adalah aku?”
“Tadi seseorang memberitahukannya padaku.”
“Oh, begitu,” Park Shin Hye manggut-manggut.
“Rupanya Anda begitu terkenal, Nona, sehingga orang dengan mudah mengenali Anda.”
“Benarkah?” Park Shin Hye bingung. “Saya rasa Anda terlalu berlebihan, karena ini adalah kali pertama saya ikut serta dalam pameran lukisan, dan ini hari pertama pameran ini berlangsung.”
Aku jadi kikuk, sepertinya wanita bernama Song Hye Gyo itu begitu kenal pada Park Shin Hye.
“Nona, apakah Anda kenal dengan seorang wanita bernama Song Hye Gyo?”
Park Shin Hye menggeleng, “Song Hye Gyo? Sepertinya tidak, memangnya kenapa?”
Aku diam sejenak.
“Tidak, Nona. Sudahlah, tidak usah dibahas. Ngomong-ngomong, apakah lukisanmu sudah terjual?”
“Belum.”
“Aku berniat membelinya, apa Anda tidak keberatan?”
Park Shin Hye tersenyum. “Tentu tidak, tentu saya senang sekali, terima kasih Anda menghargai karya saya.”
“Baik. Setelah ini, maukah Anda menemani saya ke panitia pameran ini untuk menyelesaikan pembayarannya?”
Aku tiba-tiba ingin membeli lukisan itu, meski sebelumnya tidak terlintas sedikit pun.
Lalu Park Shin Hye mengantarku kepada panitia pameran. Lima belas menit selesai, kuberi alamat Kim Tae Hee, seminggu lagi lukisan akan dikirim setelah pameran selesai.
“Sekali lagi terima kasih,” Park Shin Hye tampak senang. “Nama Anda siapa? sepertinya Anda bukan asli orang Korea, ya?”
Aku tertawa. “Namaku Jung Yong Hwa, Anda benar, aku tinggal di Paris, tapi ayahku orang Incheon, ibuku dari Amerika.”
“Wah, Paris, kota yang indah,” Park Shin Hye berdecak kagum.
“Sudah pernah ke sana?”
“Belum, tapi aku melihatnya dari TV dan majalah.”
“Hei, bagaimana kalau kita mengobrol sambil minum kopi?” ajakku.
Park Shin Hye pun setuju.
Kami pergi ke sebuah kafe di dekat tempat pameran itu dan berbincang-bincang.
“Wah, jadi rupanya kau ini seorang seniman juga, ya?” Park Shin Hye tersenyum.
“Aku mendesain dan ‘menyulap’ kayu, lalu ditambah dengan unsur lain menjadi furniture.”
“Hebat!”
“Tapi, aku ini tetap saja dijuluki ‘Jung Yong Hwa si tukang kayu’.”
Park Shin Hye tertawa lepas.
Hei, sepertinya cara dia tertawa mirip dengan seseorang. Mungkin hanya imajinasiku saja, karena sekarang aku sedang terpesona pada Park Shin Hye.
“Kau tinggal di mana?” tanyaku.
“Namchoseon.”
“Apa di Seoul ini ada daerah bernama Namchoseon?” tanyaku bingung.
“Ha…ha…ha… kau ini lucu sekali, tentu saja Namchoseon di Pulau Jeju.”
“Jadi….”
“Aku tinggal di Pulau Jeju, aku ikut pameran ini karena perkumpulan sanggar lukisku.”
“Jadi, kapan kau akan kembali ke Pulau Jeju?”
“Tahun ini aku akan kuliah di Seoul dan akan tinggal di sini, jadi sekitar dua atau tiga bulan lagi aku baru akan menetap di Seoul.”
“Oh, begitu.”
“Karena aku baru lulus sekolah, jadi aku harus mengurus surat-surat pindah.”
“Sekolah?”
“Ya, SMA. Tapi, Ibu yang akan repot nantinya karena aku akan tinggal sendiri di Seoul. Maklum, orang tua kan selalu khawatir.”
“Maaf, sebenarnya umurmu berapa?”
“Tujuh belas tahun. Aku lulus SMA setahun lebih cepat karena aku pernah loncat kelas.”
Ya, Tuhan, 17 tahun! Muda sekali dia. Tapi, jujur saja, aku memang terpesona, dia cantik. Padahal, semalam aku baru menggoda Song Seung Hun yang pacaran dengan Kim So Eun.
Park Shin Hye, rambutnya panjang, tawanya lepas, tampak mandiri dan cerdas.
“Di sini kau tinggal di mana?”
“Di rumah Bibiku, kau sendiri di mana?”
“Di rumah adikku.”
“Rupanya kita sama-sama orang asing yang terdampar di Seoul....”
Lalu kami bertukar alamat dan nomor telepon, dan berjanji untuk bertemu akhir minggu ini.
Aku pulang ke rumah Kim Tae Hee dengan senang.
“Kau kenapa, Jung Yong Hwa, senyum-senyum sendiri seperti itu?” tanya Kim Tae Hee penuh selidik.
“Nothing.”
“Bohong.”
Im Yoona muncul dari dapur.
“Hei, sudahlah, ayo, kemari kalian! Aku sudah bisa membuat pudding cokelat.”
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar