“Aku tidak percaya jika kau berani ke Gwangju sendirian, bukan untuk menemui seseorang.”
Kucermati matanya dengan tatapanku.
“Jangan-jangan kau punya indera keenam, sampai tahu apa yang ada di benakku.”
“Aku bahkan tahu apa yang terjadi di balik dadamu.”
Kalimatnya membuat perasaanku panik. Cepat kutata rapi hatiku dengan senyuman, agar gurat luka yang baru saja Kim Bum goreskan, tak terlihat olehnya.
“Kau sedang terluka, kan?” lanjutnya.
Aku tersenyum lebar, bahkan tertawa kemudian. Pura-pura!
“Indera keenammu tak cukup rupanya. Kau butuh indera ketujuh. Kalaupun aku menunggu seseorang, dan dia tak datang, bukan berarti aku harus terluka.”
“Jangan bohong!”
Aku tertawa lagi.
“Aku bukan menertawai indera keenammu. Aku menertawai Kim Bum, pemuda yang mengajakku kemari. Harusnya dia tidak melakukan ini jika untuk membuatku terluka. Harusnya dia menggandeng seorang gadis di depanku, agar kutahu dia bisa bahagia meski tidak denganku. Atau paling tidak, dia tak pernah lagi menghubungiku sebagai bukti bahwa aku tak lagi hinggap di hatinya sebagai kenangan. Karena jujur saja, kalaupun aku ke sini karena ajakannya, itu karena aku masih ingin melihatnya mengemis di depanku. Dan tak ’kan kuberi cintanya itu.”
Dia terperanjat. Kaget dengan kalimatku. Jelas sekali jika dia adalah suruhan Kim Bum.
“Atau jangan-jangan kau kenal dengan Kim Bum?” pancingku yang dibalas dengan anggukan lemah.
“Kim Bum yang ini, kan?” ucapnya sambil mengeluarkan foto dari dompetnya.
Aku semakin tersenyum penuh kemenangan.
“Aku Jung Yong Hwa, sahabat Kim Bum. Dia sering ke sini, di hotel ini. Bahkan mungkin sekarang ada di antara kita, di antara kabut Gwangju.”
Hatiku semakin bersorak!
“Bulan lalu dia bercerita tentang seorang gadis bernama Kim So Eun, yang terpaksa memutuskan cintanya karena tak ingin terlalu banyak menerima. Kim Bum memang begitu, dari penampilannya yang sederhana, tak ada yang menduga jika dia bisa memberikan apa saja untuk membuktikan cintanya.”
“Kau yakin itu bukti cinta? Bukan malah berkesan sebagai pengikat cinta?” sinisku.
“Kau Kim So Eun, kan?”
Aku mengangguk.
“Menurut Kim Bum, Kim So Eun terpaksa sekali memutuskannya. Juga dia yakin, jika Kim So Eun masih mencintainya, terluka dengan keputusannya untuk berpisah dengan Kim Bum. Tapi ternyata tidak!”
“Memang tidak!” ucapku lagi.
Tak kuberi kesempatan untuk melihat luka di balik dadaku. Meski akhirnya kabut tebal Gwangju tetap saja menampakkan lukaku ketika kalimat berikutnya masih tentang Kim Bum.
“Aku yang mengajakmu kemari, via SMS. Bukan Kim Bum, karena dia telah meninggal dalam sebuah ekspedisi pendakian, minggu lalu. Mungkin dia ada di antara kabut ini, untuk melihatmu tertawa setelah berhasil melukai dia untuk yang kedua kalinya.”
Kabut semakin tebal, tapi kurasakan Kim Bum semakin nyata di depanku. Bahkan seolah kudengar tangisnya, melihatku tertawa di depan sahabatnya yang terluka akibat kepergiannya.
Tamat
Copyright Sweety Qliquers
Copyright Sweety Qliquers
Hiks hiks ini sad ending lagi :)
BalasHapusKeren ceritax...