Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Jumat, 16 September 2011

Ketulusan Cinta (Chapter 6)



Klik! Kim Hyun Joong memutuskan sambungan telepon. Suara dengung dari pesawat telepon segera memenuhi ruang di telinga Kim Bum. Berkali-kali Kim Bum mencoba lagi menghubungi Kim Hyun Joong, tapi gagal.

Lemas, Kim Bum bersandar di kursi. Napasnya sesak. Dia kaget, panik, tak mengerti maksud Kim Hyun Joong tentang pembatalan pernikahan secara sepihak itu.

“Ibuuu!” Kim Bum berseru keras, sambil memutar kursi rodanya. Ia ingin mencari ibunya untuk meminta penjelasan, tentang hal yang baru didengarnya dari Kim Hyun Joong. Tapi, ia terpaku melihat Kim So Eun berdiri di depannya.

“Hai,” Kim So Eun menyapa Kim Bum, lembut.

Tanpa membalas senyum gadis itu, Kim Bum kembali memacu kursi rodanya. “Ibuuu!” panggil Kim Bum sekali lagi. Tapi, ia tidak mene¬mukan ibunya di rumah mewah itu. Ruang tamu, ruang baca, kamar tidur, semua kosong.

“Kim Bum?” suara Kim So Eun mengejutkan Kim Bum. “Ini jam kerja,” kata Kim So Eun. “Ibumu sedang di kantor.”

Kim Bum tersenyum kecut. Ia tidak ingat bahwa ibunya tengah berada di kantor perusahaan mereka. Wanita itu menggantikan posisinya di kantor, sementara ia sibuk menjalani terapi untuk penyem¬buhan kakinya.

“Kau bisa meneleponnya, kalau kau mau bicara dengan beliau,” kata Kim So Eun lagi. “Mau kusambungkan?”

“Tidak. Tidak usah, terima kasih,” Kim Bum buru-buru menggeleng. Ia tidak ingin Kim So Eun mendengarkan pembicaraan dengan ibunya nanti. Terutama, karena yang ingin dibicarakan adalah tentang Jung So Min. Sebuah pembicaraan yang sangat pribadi.

Kim So Eun juga mengerti, mengapa Kim Bum menolak tawarannya. Ia sudah menduga apa yang akan dibicarakan Kim Bum dengan Nyonya Kim Tae Hee, karena ia mendengar pembicaraan Kim Bum dengan Kim Hyun Joong di telepon tadi. Apalagi, ia juga sudah diceritakan Park Shin Hye tentang niat Jung So Min membatalkan pernikahan.

Rasa iba muncul di benak Kim So Eun melihat kekecewaan Kim Bum. Ia baru menyadari bahwa Kim Bum sangat mencintai Jung So Min. Tapi, di lain sisi, gadis itu juga senang, karena mendapat peluang merebut cinta Kim Bum.

“Kau datang dengan siapa?” tanya Kim Bum.

“Sendiri,” sahut Kim So Eun.

“Tidak bersama Park Shin Hye?” pertanyaan Kim Bum bernada tajam. Tatapan matanya juga menusuk tepat di jantung Kim So Eun, membuat gadis itu merasa sedih dan tidak enak hati.

“Kau tahu, Park Shin Hye tidak ada di sini. Ibu juga berada di kantor setiap jam kerja seperti ini. Lalu, mengapa kau datang sendirian ke sini?” tanya Kim Bum. Nada suaranya lebih mirip tuduhan ketimbang pertanyaan.

“Aku datang ke sini atas permintaan ibumu,” Kim So Eun berusaha bersikap setenang mungkin, meski ia gugup mendengar pertanyaan Kim Bum yang bernada menusuk. “Beliau memintaku untuk menemanimu ke tempat fisioterapi.”

“Mengantarku pergi terapi?” Kim Bum mengerutkan kening. “Apa kau tidak punya kegiatan lain sehingga mau mengantarkanku pergi terapi? Atau… apa kau sengaja bolos kerja untuk meme¬nuhi permintaan Ibuku?”

Lagi-lagi pertanyaan yang bernada pedas. Kim So Eun mengeluh dalam hati. Tapi, ia memahami perasaan Kim Bum yang sedang kacau.

“Kebetulan, aku sedang cuti selama 2 minggu. Park Shin Hye juga sedang menghadiri suatu acara bersama suaminya. Karena itu, aku bisa memenuhi permintaan ibumu.”

Kim Bum mendehem. Matanya tidak lagi bersorot tajam. Ia tidak berniat terus mencecar Kim So Eun dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan. Apalagi, ia tahu bahwa Kim So Eun tidak dapat disalahkan hanya karena memberi perhatian padanya. Malah seharusnya ia berterima kasih pada gadis itu atas perhatian yang diterimanya.

“Jadi, kau benar mau mengantarkanku?” tanya Kim Bum.

Kim So Eun mengangguk. Kim Bum tersenyum. Sebuah pikiran baru menyelinap, pikiran yang membuatnya bisa bertemu Jung So Min.

“Kau baik sekali mau mengantarku. Tentu kau tidak keberatan jika aku meminta satu pertolongan lagi darimu. Pertolongan kecil saja,” kata Kim Bum, penuh taktik.

“Pertolongan apa?”

“Tolong temani aku ke rumah Jung So Min, sebelum ke rumah sakit.”

Mata Kim So Eun terbelalak. Mengantar Kim Bum ke rumah Jung So Min adalah hal yang tak pernah diinginkan Kim So Eun sepanjang hidupnya. Bagaimana mungkin ia sanggup mengabulkan permintaan Kim Bum?

“Kau mau, ‘kan?” tanya Kim Bum, setengah membujuk.

Kim So Eun tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ia menatap Kim Bum dengan pandangan setengah tak percaya. Seharusnya, Kim Bum tahu bahwa ia menaruh hati padanya dan tidak dengan kejam menyuruhnya mengantar ke rumah Jung So Min.

“Aku tidak bisa.” Suara Kim So Eun terdengar datar. “Ibu dan adikmu pasti marah jika mengetahui bahwa aku mengantarmu ke rumah Jung So Min.”

“Mereka tidak akan tahu, kalau tidak diberi tahu. Hanya kita berdua yang tahu soal ini. Yang jelas, aku tidak akan membocorkannya pada mereka.”

Kim So Eun diam. Perasaannya terluka. Ia benar-benar tak mengerti, mengapa Kim Bum melakukan ini padanya.

“Tolonglah....” Kim Bum menyentuh tangan Kim So Eun, mengejutkan gadis yang sedang bimbang, sekaligus kecewa. Kim Bum bukannya tidak tahu tentang perasaan Kim So Eun. Tapi, tak ada jalan lain baginya, selain melakukan itu. “Kau mau kan menolongku?” desak Kim Bum lagi.

Kim So Eun menggeleng. “Maaf, kali ini aku tidak bisa menolongmu.”

“Memangnya kenapa, Kim So Eun?” Kim Bum kecewa. “Bukankah permintaanku ini tidak sulit dipenuhi?”

Tidak sulit dipenuhi? Kim So Eun tersenyum pahit dalam hatinya. Permintaan Kim Bum kali ini bukan hanya dirasa sulit, tetapi juga sangat menyakitkan.

Kim Bum menghela napas panjang. Meski Kim So Eun tidak menjawab pertanyaannya, sikap diam gadis itu sudah cukup jadi jawaban. Kim So Eun tak mungkin mau membantunya kali ini. Itu berarti, pupus sudah harapannya untuk dapat bertemu Jung So Min.

Kursi kurang ajar! Braaak! Dengan gemas, Kim Bum memukulkan tinjunya ke sandaran tangan kursi rodanya. Gara-gara kursi itu ia tak dapat menemui kekasih hatinya. Suara itu mengejutkan Kim So Eun. Sepasang mata indahnya mengerjap, menatap Kim Bum. Kekecewaan yang dalam tergambar jelas di wajah Kim Bum. Agaknya, pria itu betul-betul mengharapkannya.

Kim So Eun tak tahan melihat gurat kekecewaan di wajah tampan itu. Ia tak tahan melihat perasaan menderita di wajah Kim Bum. Sungguh, apa pun akan dilakukannya agar dapat menghapus kekecewaan dan kesedihan itu. Apa pun.

”Baiklah,” Kim So Eun akhirnya mendesah, “aku akan mengantarmu.”

Kim Bum menatapnya. Ia tidak mengira Kim So Eun akan berubah pikiran. Ia memandang wajah Kim So Eun beberapa saat, agar ia merasa yakin pada apa yang didengarnya. Ia melihat ketulusan di mata Kim So Eun. Ketulusan yang disertai cinta dan kasih sayang.

“Terima kasih, Kim So Eun,” suara Kim Bum jadi serak karena terharu.

Mata Kim So Eun mengerjap sesaat, ketika melihat kegembiraan di wajah Kim Bum. Biarlah, gumam gadis itu dalam hati. Biarlah ia mendapatkan sebuah kekecewaan, asalkan Kim Bum dapat merasa berbahagia.

Kim So Eun mengendarai mobil Kim Bum, memasuki Eclips Residence, kawasan perumahan elite yang memiliki jalur pejalan kaki yang teratur. Pepohonan pun diatur sedemikian apik. Beberapa pohon perdu yang menyejukkan, diselingi beraneka pohon bunga yang terpangkas rapi, tampak menyejukkan mata.

Kim Bum duduk di sisi Kim So Eun dengan tenang. Kadang-kadang ia memberi tahu Kim So Eun, jalan mana saja yang harus dilalui. Tak berapa lama, mobil Kim Bum tiba di depan sebuah rumah besar berarsitektur modern.

“Ini rumah Jung So Min?” Kim So Eun bertanya, setengah takjub.

Kim Bum mengangguk, bangga. Ia selalu membanggakan apa pun yang dimiliki Jung So Min. Sementara mulut Kim So Eun terasa pahit seketika. Sekarang ia mengerti mengapa Kim Bum selalu memandang sebelah mata padanya. Ternyata, jika dibandingkan dengan Jung So Min yang hidup bak putri raja di negeri dongeng, ia memang bukan siapa-siapa.

“Aku harus membunyikan klakson, atau menekan bel pintu?” tanya Kim So Eun, dengan suara lemah.

“Kau tidak usah melakukan keduanya,” kata Kim Bum, sambil tersenyum. “Kamera itu sudah merekam kedatangan kita. Sebentar lagi petugas keamanan akan membukakan pintu gerbang.”

Kim So Eun menoleh ke arah yang ditunjuk Kim Bum. Ia melihat kamera monitor yang dipasang tepat di sebelah kanan depan mereka. Kamera itu bisa merekam semua kendaraan yang berada di depan gerbang. Jadi, tanpa harus membunyikan bel, kedatangan tamu sudah diketahui penjaga rumah.

Benar saja, baru selesai Kim Bum berucap, gerbang rumah itu terbuka sendiri secara otomatis. “Mereka langsung membukakan pintu? Apa mereka tidak takut kedatangan perampok di dalam mobil ini?” tanya Kim So Eun, heran.

“Tentu tidak. Mereka tidak sembarangan membukakan pintu untuk tamu yang datang. Hanya, seluruh petugas keamanan Jung So Min, yang menangani kamera monitor dan pintu otomatis, sudah mengenali mobilku,” jawab Kim Bum. Lagi-lagi dengan nada bangga.

“Sekarang, apa kita langsung membawa mobil ini masuk?” tanya Kim So Eun, ragu-ragu. Kali ini Kim Bum tidak sempat menjawab, karena sebuah mobil sedan biru metalik datang menghampiri dan berhenti tepat di samping mobilnya dengan posisi menyerong.

Pengemudi mobil itu adalah seorang gadis cantik berambut lurus melebihi bahu, mengenakan kacamata hitam. Gadis itu membuka kaca jendela mobilnya, melongokkan kepalanya ke luar jendela.

“Itu dia Jung So Min!” Kim Bum begitu gembira melihat Jung So Min, hingga lupa pada kelumpuhannya.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...