Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 10 September 2011

Akhir Cerita Cinta (Chapter 6)



Tamu Kim Bum duduk di kursi favorit Kim Bum ketika ia masih menjadi pelanggan setiaku. Ia terus melihat ke arah jendela dan memandangi jalan raya pada siang menjelang sore itu. Saat Kim Bum menghampirinya, baru ia menoleh dan menyalami Kim Bum. Melihat caranya memberikan salam dan mendengarnya berbicara, ia pasti orang Jepang. Kim Bum memang beruntung mempunyai ibu yang punya darah Korea, sehingga ia bisa berbahasa Korea dengan lancar, walau terhitung belum lama tinggal di Seoul.

Tadinya aku ingin mengantarkan teh ke meja mereka. Tapi, aku memperhatikan lagi, pembicaraan mereka sangat serius. Tidak pelan tidak juga terdengar keras oleh tamu-tamu lainnya memang, namun pembicaraan mereka terlihat tidak boleh diinterupsi. Akhirnya kuurungkan niatku.

Terus terang, aku benci sekali mendengar Kim Bum berbicara bahasa ayahnya, bahasa yang tidak sekali pun kumengerti. Ingin sekali kudatangi Kim Bum untuk memintanya berbahasa Korea saja. Namun, mengingat bahwa statusku cuma teman hidup dalam arti yang sebenarnya, kuputuskan untuk diam.

Yang bisa aku harapkan hanya Kim Bum bersedia untuk menceritakan padaku isi pembicaraan itu.

Tidak sampai setengah jam, tamu itu sudah berpamitan. Aku segera bergegas menghampiri Kim Bum. Namun, belum sampai aku ke mejanya, Kim Bum buru-buru melangkah ke belakang, menaiki anak tangga ke lantai atas. Aku mendengar pintu kamarnya tertutup keras. Cepat-cepat aku mengejarnya.

“Kim Bum... Kim Bum...!”

“Ada apa?” Kim Bum menjawab. Nada bicaranya terdengar sedikit tak terkontrol. Aku mengetuk pintu kamarnya lagi. Kim Bum pun menyahut dari dalam bahwa ia tidak ingin diganggu, oleh siapa pun. Aku terdiam ketika itu. Aku tidak mengerti kenapa Kim Bum jadi bersikap aneh setelah beberapa detik yang lalu ia bersikap sangat hangat kepadaku. Aku mengalah. Kuputuskan untuk kembali turun ke kedai sambil menunggu Kim Bum keluar dari kamarnya.

Di depan kasir kedai, Ok Taecyeon menanyaiku tentang rencana kepergian Kim Bum ke Jepang. Aku sedang melamun sehingga tak kudengar pertanyaan Ok Taecyeon. Dia pun harus bertanya untuk kedua kalinya. Karena aku tidak tahu sama sekali apa yang ia maksud, aku hanya bisa menggeleng.

“Ke Jepang apa?”

“Ehh, memangnya Noona tidak tahu? Memangnya tadi tidak dengar Kim Bum-san bilang apa?” Ok Taecyeon bertanya padaku, sengaja memperhitungkan penguasaan bahasa Jepang-ku yang boleh dibilang nol jongkok. Aku menatap kesal ke arahnya.

“Maaf, bukannya menyindir, Noona. Tapi, Kim Bum-san Sepertinya mau pergi ke Jepang!”

“Kau tahu dari mana?”

“Noona, tadi aku dengar sendiri waktu Kim Bum-san mengobrol dengan tamunya. Si tamu bilang, dia harus segera pergi ke Jepang. Begitu...,” Ok Taecyeon menjelaskan padaku. Aku lupa, Ok Taecyeon mengambil kuliah jurusan bahasa Jepang. Sudah pasti ia mengerti apa yang dibicarakan oleh mereka. Aku segera mendekati Ok Taecyeon dan memintanya mengingat semua hal yang ia dengar dari perbincangan Kim Bum dan tamunya. Sayangnya, Ok Taecyeon cuma dengar bahwa si tamu mau ke Jepang, itu saja.

Biasanya, aku baru tutup kedai ketika malam sudah tiba. Namun, kali ini aku tutup lebih awal. Ok Taecyeon telah pulang dan aku menutup semua gorden jendela kedai. Kudengar langkah Kim Bum menuruni tangga menuju dapur belakang. Aku segera menyiapkan makan malam untuknya. Kim Bum duduk di dekat halaman belakang. Tubuhnya menyandar pada tembok dan pandangannya tertuju pada tanaman-tanaman kecil yang tertata rapi dalam berbagai macam pot berukuran kecil. Ia mengenakan celana panjang dan sweater panjang bertudung. Ia kelihatan kaku seperti biasanya.

“Aku mau kopi,” Kim Bum berbicara pelan, tapi matanya tidak menoleh ke arahku.

Aku ke dapur untuk menyiapkan kopi untuknya. Begitu aku kembali sambil membawa kopi, kutemukan Kim Bum telah ketiduran. Ia kelihatan sangat letih, walaupun hari ini tidak bekerja. Ia terlelap menyandar pada dinding tembok. Tangannya terlipat dan kacamatanya sedikit turun tersangkut pada batang hidungnya yang mancung. Aku mendekatinya. Tadinya aku cuma ingin membangunkannya dan menyuruhnya makan. Tapi, melihat tidurnya yang pulas itu, aku mengurungkan niatku.

Kupandangi wajahnya yang putih kepucat-pucatan. Kugerakkan tanganku perlahan menyentuh kacamatanya. Aku ingin membetulkan posisinya, tapi sulit sekali, karena itu kulepas kacamata itu dari pandangannya. Tidak kuat menahan betapa mempesonanya dia, kubiarkan tanganku lancang menyentuh kulitnya, menyentuh wajahnya, menyentuh setiap bagian kecil dari hidupnya. Aku pun ingin menyentuh hatinya.

Aku tidak tahu apa yang sedang kurasakan, apa yang sedang Kim Bum rasakan. Kami seperti terjebak dalam satu situasi yang sama. Kami telah hidup bersama, membawa masalah hidup kami masing-masing. Aku tidak pernah tahu apa yang pernah dialami oleh Kim Bum. Namun, melihat pandangan matanya yang terlihat tidak hidup, aku mengerti bahwa persoalannya jauh lebih sulit dari yang kupunya. Tapi, Kim Bum berbeda dari laki-laki yang pernah kukenal. Aku merasakan kehangatan yang luar biasa setiap kali duduk di sisinya, mendengarnya berbicara dengan nada yang kaku. Aku merasa sangat aman berada di sisinya.

Kusentuh kembali wajahnya yang kelihatan lelah. Kupandangi berulang kali sesosok dirinya di hadapanku. Aku tidak yakin, bisakah seumur hidup aku bersama pria ini? Pria yang diam-diam menghangatkan hatiku yang sudah membeku?

Kim Bum terbangun ketika itu juga. Perlahan, kedua matanya mulai terbuka. Cepat-cepat aku menjauh darinya. Kuberikan secangkir kopi untuknya, namun ia menolak. Aneh mengetahui bahwa kali ini ia menolak kopiku.

“Maaf, Kim So Eun, aku mengantuk sekali….”

“Tidak apa-apa,” kujawab seadanya. Kim Bum menatapku ketika itu. Lama sekali.

“Kalau boleh, maukah kau tidur bersamaku malam ini? Maukah kau menemaniku malam ini?”

Jantungku berdetak kencang saat kata-kata itu terdengar di telingaku. Kim Bum tidak berhenti menatapku. Aku menunduk mengetahui ia tidak berhenti mengalihkan pandangannya dari hadapanku. Aku tidak menjawabnya. Aku takut sekali mengatakan ya. Aku takut juga akan menolaknya. Secara hukum kami benar-benar sah untuk tidur bersama, tapi apa perasaan ini juga akan mengesahkan dua insan yang saling menyimpan misteri hidupnya?

“Kenapa tidak dijawab?” Kim Bum bertanya, pandangannya masih belum lepas dariku. Ia beranjak dari tempatnya, mendekatiku, memegang telapak tanganku. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, namun ada kekuatan yang begitu besarnya merobohkan semua pertahananku. Ada kekuatan besar yang membuatku diam tak berdaya mengiyakan semuanya. Kim Bum menggandeng tanganku, menuntunku menuju kamarnya. Ia menyihirku untuk naik ke ranjang dan berbaring di sampingnya.

“Aku ingin kau tetap berada di sampingku, itu saja.”

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...