Ia mengendarai mobil dalam kesunyian. Tidak ada salah satu di antara kami yang mencoba untuk berbicara atau setidaknya memecah keheningan ini. Tidak ada musik, tidak ada percakapan bodoh, tidak ada suara berisik radio. Hanya ada aku dan dia. Ketika kami sampai pun tidak ada salah satu dari kami yang berbicara. Ia menunduk mengunci mobilnya dan membawaku menuju lapangan festival, lagi–lagi memegang tanganku.
Aku menurut mengikuti Kim Bum pergi membawaku menuju lapangan festival. Ada rentetan lampion kecil yang panjang dari berbagai sisi lapangan dengan warna merah, putih, dan keemasan. Aku suka pemandangan suasana ini, ketika matahari yang bersinar segera ingin menutup matanya untuk beristirahat dan bangun di keesokan hari.
Kim Bum pun kelihatan menikmatinya. Wajahnya terlihat tidak pucat seperti biasanya. Matanya yang cokelat muda itu terlihat indah, berbeda dari pandangannya yang entah berada di mana selama ini. Baru aku sadari ia sangat tampan. Ia tampak memukau di antara pria-pria lainnya.
Selama ini aku terlalu memikirkan diri sendiri, memikirkan bagaimana perasaanku dan yang lainnya, namun aku sama sekali tidak melihat ke arahnya. Kim Bum menoleh ke arahku, waktu mengetahui aku memperhatikannya. Kacamata berbingkai hitamnya terlihat sedikit turun hingga ke ujung batang hidungnya yang mancung. Ada sedikit kerutan di dahinya, namun kerutan itu tidak sedikit pun menghapus ketampanannya. Aku baru memperhatikan keseluruhan wajahnya, alis matanya yang terbentuk indah, bibirnya yang merah bagaikan buah cherry, dan warna hitam rambutnya yang tertata dengan poni yang rapi. Lagi–lagi aku menilai.
“Berapa umurmu?” tidak terpikir olehku bahwa aku akan menanyakan pertanyaan semacam itu. Aku segera menundukkan wajahku, begitu mengetahui pertanyaanku benar–benar bodoh.
Kim Bum tidak sedikit pun melepaskan pegangan tangannya. Ia malah sedikit meremas pergelangan tanganku dan kemudian menarikku menuju stan makanan.
“Pernah makan takoyaki?” lempar Kim Bum ringan. Hari ini ia lebih banyak berbicara. Aku menandai yang satu itu.
Takoyaki
Takoyaki (γγηΌγ?) nama makanan asal daerah Kansai di Jepang, berbentuk bola-bola kecil dengan diameter 3-5 cm yang dibuat dari adonan tepung terigu diisi potongan gurita di dalamnya.
Takoyaki biasanya dijual sebagai jajanan di pinggir jalan untuk dinikmati sebagai cemilan. Takoyaki biasa dijual dalam bentuk set dengan 1 set berisi 5, 6, 8 hingga 10 buah takoyaki yang disajikan di atas lembaran plastik berbentuk perahu atau dimasukkan ke dalam kemasan plastik transparan untuk dibawa pulang. Sewaktu ada matsuri sering dijumpai kios penjual takoyaki sebesar bola tenis (jambotako) yang menjual takoyaki secara satuan.
Takoyaki dimakan dengan menggunakan tusuk gigi, tapi di Tokyo dimakan dengan menggunakan sumpit sekali pakai. Penjual takoyaki selalu memberikan 2 batang tusuk gigi untuk satu orang, karena takoyaki yang ditusuk dengan sebatang tusuk gigi bisa berputar-putar sewaktu diangkat dan jatuh sebelum masuk ke mulut.
“Belum pernah!” ucapku jujur. Selama ini aku memang belum pernah datang ke acara festival seperti ini. Aku tidak tahu banyak tentang Jepang, kecuali sushi, itu saja.
“Kalau begitu tunggu di sini!”
Cepat–cepat Kim Bum menghilang dari sampingku, melepaskan genggaman tangannya dan bergabung dengan kerumunan di depan sana. Ia tidak merasa letih untuk mengantre, walaupun panjang sekali. Aku menunggu Kim Bum, menunggunya memegang tanganku lagi. Beberapa menit kemudian, ketika sampai di menit ke-15, ia datang membawa dua kotak berisi makanan berbentuk bundar seperti bakso. Hanya, warnanya kelihatan merah kecokelatan dan di atasnya diolesi mayones.
Tahu–tahu saja ia menggunakan sumpitnya untuk mengambil satu bola takoyaki itu. Ia menadahkan tangan kirinya di bawah bola itu agar saus takoyaki-nya tidak jatuh ke pakaian kami dan ia menjulurkan bola tersebut ke arahku, ke arah mulutku.
Aku terkejut melihat sikap Kim Bum yang tiba–tiba sangat manis kepadaku, meskipun wajahnya masih tetap belum mau tersenyum. Pelan–pelan kubuka mulutku hingga bola tersebut masuk. Kim Bum menatapku kemudian mengatakan sesuatu yang rasanya terdengar seperti mengajakku memasak atau apalah. Karena pikiranku tertuju dengan hal lain, maka aku meminta Kim Bum mengulang kata–katanya.
“Nanti kita buat yang seperti ini di rumah, ya?”
Demi Tuhan! Benarkah ini Kim Bum? Kim Bum yang tinggal selama enam bulan bersamaku dan tidak suka banyak bicara? Juga tidak menyukai keramaian? Benarkah ini Kim Bum yang secara tertulis merupakan suamiku? Aku hampir tidak percaya Kim Bum bisa berubah seperti itu. Kenapa ia malah membuatku jadi salah tingkah dan tidak karuan begini?
Kim Bum kelihatannya tidak melihat keanehanku karena ternyata ia sudah beranjak dan berjalan menuju kerumunan kedai es serut. Buru–buru aku mengejarnya, tapi Kim Bum sudah menghilang di balik kerumunan. Aku menghentikan langkahku sambil menghela napas. Aku tidak mengenalnya... aku tidak mengenal pria ini... Kim Bum tampak di luar pengetahuanku.
“Untukmu!” Tiba–tiba Kim Bum datang dengan membawa 2 mangkuk kecil berisi es serut berwana merah dan hijau. Ia memberikan yang merah kepadaku. Tanpa pikir panjang, aku mengambilnya. Tangan yang hangat itu kembali menyentuh tanganku. Aku berusaha meredam rasa gemetar yang timbul di dadaku. Mata Kim Bum tidak sedikit pun menoleh ke arahku.
Aku merasakan tangannya basah berkeringat. Mungkin kami
berdua merasakan getaran yang tidak semestinya, walaupun kami malu mengakuinya.
Aku membiarkan tangan Kim Bum menggenggam tanganku, membawaku pergi ke mana pun menuju tempat yang ia inginkan, menuju berbagai cahaya pelangi yang mulai menyala seiring hari yang semakin gelap. Ia menarikku menuju warna terang kembang api di angkasa malam dan membiarkan kehangatan ini tetap terjaga.
Mengingat bahwa tadi malam aku seperti sedang mendapatkan mimpi indah, maka aku bangun sangat telat keesokan paginya. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi, saat kulihat jam weker. Buru–buru aku turun ke lantai bawah dan mempersiapkan kedaiku. Aku berdiri tepat di atas anak tangga terakhir waktu kulihat kedaiku sudah dibuka. Aku melihat sepintas, Ok Taecyeon sedang melayani para tamu, para pekerja yang lain sedang membereskan pesanan, dan Kim Bum sedang melayani para tamu. Hah? Tidak salah?
“Tuan putri sudah bangun!” tahu–tahu Ok Taecyeon berseru. Hampir dari beberapa tamu tertawa melihatku. Kim Bum menoleh ke arahku kemudian menyunggingkan tawa kecilnya padaku. Buru–buru aku melangkah ke atas dan masuk ke kamar mandi. Kim Bum tidak kerja? Bukannya hari ini hari Senin?
“Kim Bum-san membantu membuka kedai, Noona! Maaf, ya, tidak menunggu Kim So Eun Nonna dulu,” Ok Taecyeon takut–takut menatapku, ketika aku sudah ikut berada di bawah membantu mereka.
Bukan itu yang aku permasalahkan, sungguh! Aku hanya bingung kenapa Kim Bum hari ini tidak bekerja? Aku ingin bertanya padanya sejak tadi, tapi dia kelihatan sangat menikmati bekerja membantu kedaiku. Jadi, aku tidak bisa lagi bertanya apa pun. Kim Bum beristirahat sebentar, saat tamu sudah mulai pulang.
Karena tidak banyak tamu di siang hari, aku menyusul Kim Bum ke belakang. Ia sedang merapikan buku–buku yang kemarin ia kumpulkan bersama Ok Taecyeon. “Belum ada kopi untukku hari ini,” tanyanya tiba–tiba, nadanya datar. Aku jadi tersadar. Aku memang belum sempat membuatkan secangkir kopi panas untuknya. Buru–buru aku ke dapur dan menyajikan secangkir kopi untuknya. Kim Bum segera mengambil cangkir tersebut beserta tatakannya. Ia meniup kopi itu dan menyeruputnya.
“Sebenarnya aku ingin menunjukkan sesuatu padamu, tapi barangnya belum jadi. Besok saja, Ya,” Kim Bum kembali berbicara. Nadanya masih sama. Ia memang bukan orang yang menyenangkan untuk diajak berbicara.
“Memangnya ada apa?” aku bertanya.
“Sesuatu, sebenarnya untukmu. Aku sengaja memesannya. Mungkin baru akan dikirim dua atau tiga hari lagi, kalau cepat. Tapi, bisa juga seminggu kalau terlambat.”
“Sesuatu apa?” aku bertanya lagi, lebih pada penasaran. Sebelumnya Kim Bum tidak pernah memberikanku sesuatu.
“Nanti lihat saja kalau sudah datang.”
Karena ia sudah berbicara seperti itu, maka aku tidak lagi bertanya. Aku ingin beranjak dari sisi Kim Bum, aku benar–benar ingin beranjak dan membantu Ok Taecyeon, tapi aku seperti tertahan untuk tetap berada di sampingnya.
“Mau buat apa?” sebisa mungkin aku berbasa–basi.
Kim Bum menoleh ke arahku. Alis kanannya terangkat sementara kacamatanya sedikit turun. “Kenapa tanya?”
“Tidak boleh bertanya, ya?” aku tertawa.
“Bukan. Kenapa kau bertanya seolah–olah kau tidak tahu?” Kim Bum masih memandang ke arahku. Matanya seperti menangkap basah rasa gugupku.
“Maksudmu?” aku mulai salah tingkah.
“Ok Taecyeon kan sudah memberi tahumu.” Ya, Tuhan! Aku benar–benar tidak suka caranya memandangku. Ia seperti ingin memakanku hidup–hidup.
“Memang kenapa kalau aku bertanya lagi padamu?”
“Lucu saja!” kali ini ia tertawa kecil. Bola matanya mulai sedikit menyipit. Aku baru menyadari bahwa ia memiliki lesung pipi. Bulu matanya tampak lebih lebat. Aku hampir saja tersihir oleh sosok pria ini.
Bersambung…
debak kalai lah cerita yang satu ini ...kekeh bangett q author .. seneng banget cerita ttga bumsso sejauh ini .... apa lagi alur ceritanya yang unik dari awal .. ah memang mereka soulmate g kemana ... ceritanya gak terlalu banyak komunikasi, suka ke tenangan dan saling mengerti hanya dgn sekali omong atau mimik... mantap banget deh Authornya keren abis
BalasHapus