Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Senin, 04 Juli 2011

Perlahan Bersemi (Chapter 1)



Kim So Eun, seorang gadis manis berjalan menghampiri Kim Bum yang tengah menikmati belaian angin pagi. Waktu itu, sekolah masih sepi. Hanya ada satu dua anak yang sudah datang. Kim Bum duduk di bangku kayu yang terletak di depan kantin, seperti hari-hari yang lalu. Itu memang salah satu kebiasaannya, selain datang pagi-pagi sekali ke sekolah. Pemuda itu memang sangat menyukai udara pagi yang belum diusik polusi.

“Kim Bum…” sapa Kim So Eun yang kini sudah berdiri di hadapannya.

“Ya?” Dengan gayanya yang tak acuh. Kim Bum menatap Kim So Eun. Sepasang mata bening balas menatapnya. Tapi tak lama, mata itu mengarah ke lantai. Sekilas, Kim Bum seperti melihat rona merah di sejoli pipi si gadis. Namun dia tak merasakan adanya suatu keanehan. Padahal, seharusnya dia bertanya dalam hati, apa makna rona merah yang mendadak muncul itu? Atau, paling tidak dia merasa senang karena bukankah itu berarti ada apa-apanya? Ya, barangkali saja semacam perasaan malu, atau lebih dari itu.

Tapi, dasar Kim Bum! Dia terlalu angkuh. Dingin dan tak peduli terhadap mahluk yang berpredikat perempuan. Bahkan, terhadap teman sejenisnya pun dia jarang bergaul. Entah mengapa, dia lebih suka menyendiri. Tidak seperti laki-laki lain yang suka bergerombol di kantin sambil melahap mie ayam, dan sesekali terbahak karena mendengar lelucon lucu. Dia juga tidak suka memamerkan kekayaan ayahnya yang pengusaha sukses. Padahal, di SMA tempatnya bersekolah masing-masing siswa saling adu kekayaan meskipun tidak terang-terangan.

Dan, yang membuat Kim Bum lain dari yang lain adalah… Dia tidak pernah mempedulikan teman-teman perempuannya. Jadi, tidak heran bila anak-anak perempuan di sekolahnya enggan mengajak Kim Bum bercakap-cakap. Meski, pada mulanya ada juga satu dua yang menunjukkan keinginan untuk bersahabat dengan Kim Bum. Tetapi, satu persatu mereka mundur melihat sikap Kim Bum yang sedingin salju kutub. Maka, adalah sesuatu yang langka bila pagi ini Kim Bum disapa seorang gadis.

“Kim Bum…” suara halus Kim So Eun terdengar lagi. Matanya kini mulai berani menatap mata Kim Bum.

“Ya?” Kali ini Kim Bum tidak menatapnya. Dia lebih tertarik memperhatikan seekor lalat yang hinggap di pahanya yang berbalut celana panjang. Reflek, Kim Bum menepis lalat itu. Sang lalat terbang menjauh ketakutan.

“Kim Bum… aku ingin mengucapkan terima kasih…” Suara halus itu berkata pelan. Kim Bum menatapnya lagi.

“Terima kasih?” Katanya dengan dahi berkerut. “Apa maksudmu?”

“Kartu ini,” Tangan Kim So Eun merogoh saku kemejanya dan sebuah kartu mungil diberikannya pada Kim Bum. “Dari mana kau tahu tanggal lahirku?” tanyanya. Kim Bum memerhatikan kartu warna merah muda itu yang bergambar seikat mawar putih. Ketika mata Kim Bum menangkap kalimat yang tertera di bagian dalam, dia terkesiap. Apa-apan ini? Ditelitinya kalimat yang di ketik itu.

“Hari terindah bagi seorang gadis adalah saat dia berulang tahun yang ke 17, tapi… adakah sesuatu yang indah menggayut di kalbumu saat kau menerima kartu ini, Kim So Eun?”

Dari sepotong hati
Kim Bum

“Aku tidak pernah mengirim kartu ini,” cetus Kim Bum dingin. Dikembalikannya kartu itu.

“Oh... “ Kim So Eun terkejut. “Kau tidak berbohong, bukan?” Dia meneliti mata Kim Bum.

Kim Bum mendengus kesal, “Untuk apa aku membohongimu?!” Katanya balik bertanya.

Kim So Eun tergugu, “Jadi… siapa yang mengirim kartu ini?” tanyanya pada diri sendiri, namun dari nada bicaranya dia bertanya pada Kim Bum.

“Mana aku tahu,”Kim Bum mengangkat bahu. Mata bening Kim So Eun menatapnya. Ada pendar luka di sana. Kim Bum sempat tersentuh melihatnya, tapi tak lama. Sikap tak acuhnya timbul kembali. Lalu … tahu-tahu saja, Kim So Eun telah berlari dari hadapan Kim Bum dengan hati yang… terluka.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...