Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Sabtu, 30 Juli 2011
The Right Man (Chapter 22)
"Kau lagi!" gerutu Kim Hyun Joong gemas. "Mau apa lagi?"
"Maaf, Paman," desah Baek Suzy gugup. "Paman bilang, tidak boleh datang ke rumah, kan? Jadi saya datang ke kantor...."
"Ada apa lagi? Saudaramu ditahan lagi?"
"Saya perlu uang, Paman...."
"Uang lagi?"
"Untuk Ibu."
"Berapa?"
"Satu juta setengah, Paman."
"Satu juta lima ratus ribu? Astaga, Baek Suzy! Kapan kau bisa bayar hutangmu? Kau baru saja pinjam 2 juta!"
Baek Suzy tidak menyahut. Dia menunduk sedih. Diam-diam dua tetes air mata mengalir ke pipinya. Dan diam-diam, Kim Hyun Joong merasa iba.
"Kau sudah makan?" Baek Suzy menggeleng.
Makan! Siapa yang ingat makan? Pagi-pagi dia sudah dimarahi petugas administrasi yang judes itu.
"Katanya hari ini mau bayar dua setengah juta. Mana? Ini kan cuma sejuta!"
"Minta waktu beberapa hari lagi, Nona."
"Tagihan sudah begini banyak. Mana bisa mundur-mundur lagi? Kalau tidak dilunasi juga pengobatan ibumu tidak bisa dilanjutkan!"
"Kalau ada uang, pasti saya bayar, Nona."
"Semua pasien juga inginnya begitu. Tapi rumah sakit tidak bisa bekerja kalau tidak ada uang!"
"Mau ikut makan siang?" tanya Kim Hyun Joong sambil menyambar tas kantornya. "Paman mau pergi makan di luar."
* * *
Akhirnya Kim Bum dijatuhi hukuman kurungan dua tahun dipotong masa tahanan. Park Ji Yeon yang mengikuti persidangan itu langsung melaporkannya kepada ibunya di rumah sakit.
“Terima kasih, Tuhan," bisik Kim So Eun lega. Dua tahun! Tidak terlalu lama. Jika Tuhan menghendaki, barangkali dia masih sempat melihat Kim Bum keluar dari penjara.... Masih dapatkah mereka berkumpul kembali?
Park Ji Yeon melihat pijar-pijar gempita di mata ibunya. Dan dia merasa gelitik yang tidak menyenangkan itu kembali mengusik nuraninya. Masihkah Ibu mengharapkan Paman Kim Bum?
Jika boleh memilih, Park Ji Yeon tidak menghendaki ibunya menikah lagi. Tetapi kalau menikah dapat membahagiakan sisa hidup Ibu... masih tegakah dia melarang?
"Ada apa, Park Ji Yeon?" Biarpun sedang tenggelam dalam kegembiraan, sikap Park Ji Yeon tetap tak luput dari perhatian Kim So Eun. "Kau masih kerja?"
"Masih, Bu." Park Ji Yeon mengosongkan tatapannya supaya ibunya tidak dapat membaca dustanya. "Tapi minggu depan mau pindah. Kerja di sana tidak enak."
"Sebetulnya Ibu ingin kau sekolah lagi."
"Lihat nanti saja, Bu. Sekarang aku mau mencari uang dulu."
Kim So Eun menghela napas berat.
"Bagaimana Lee Young Yoo?"
"Masih merasa bersalah. Tidak bisa cari uang untuk Ibu."
Aku merasa dia mempunyai persoalan lain, pikir Kim So Eun gundah. Perasaan bersalahnya jauh lebih besar daripada itu! Apakah Lee Young Yoo yang menyebabkan Kim Yoo Jung jatuh?
"Kim Yoo Jung bagaimana?"
"Oh, si bawel itu sudah berkicau lagi!"
"Kim Yoo Bin?"
"Bicaranya sudah tambah satu."
"Apa?"
"Makan."
"Makan?" Kim So Eun tersenyum lebar. Dan lupa menanyakan keadaan anaknya yang satu lagi. Yang justru dianggapnya tidak mempunyai masalah.
* * *
"Jangan bilang ibumu uang itu dari Paman,” Kata Kim Hyun Joong pada Baek Suzy ketika mereka sedang makan siang berdua untuk kesekian kalinya.
Sejak Baek Suzy sering datang untuk minta tolong, hubungan mereka perlahan-lahan menjadi akrab. Baek Suzy membutuhkan laki-laki itu sebagai tempat meminta tolong.
Sebaliknya Kim Hyun Joong tiba-tiba merasa dibutuhkan kembali Dan perasaan dibutuhkan itu membuat dia merasa berkuasa kembali sebagai pria.
Di rumah, Jung So Min seperti sudah tidak membutuhkannya Dia memang tidak ingin diceraikan. Tetapi itu untuk mempertahankan status. Bukan karena membutuhkan suaminya.
Dan kehadiran Baek Suzy yang mula-mula tidak disukainya itu kini malah membangkitkan kembali gairahnya. Kim Hyun Joong seperti menemukan kembali pengganti Kim So Eun. Meskipun lebih muda dan lugu.
Kalau sudah didandani dan dibelikan pakaian yang bagus-bagus, ternyata Baek Suzy mirip ibunya. Kecuali dia baru berumur 15 tahun. Dan pincang.
"Besok Ibu pulang, Paman," cetus Baek Suzy di dalam mobil yang membawa mereka pergi dari rumah makan itu. "Paman mau ikut jemput Ibu?"
"Besok Paman harus ke Incheon," tentu saja Kim Hyun Joong berdusta.
"Paman mau kan ke rumah menjenguk Ibu?"
"Paman usahakan."
"Kapan?"
"Ya kapan-kapan."
"Paman masih marah pada Ibu?”
"Sedikit."
"Masih ingin menikah?"
"Dengan ibumu? Tentu saja tidak! Paman pikir ibumu juga sudah tidak memikirkan pernikahan lagi."
"Kenapa? Kalau pernikahan bisa membahagiakan Ibu..."
"Kau mau ikut menonton shooting, Baek Suzy?"
"Paman mau mengajakku nonton shooting?" ulang Baek Suzy tidak percaya. Matanya bersinar sekejap.
"Mau, tidak?"
"Boleh?"
"Tentu saja boleh. Asal tidak dicari nenekmu yang bawel itu!"
"Hari ini bagian Park Ji Yeon yang menjemput Lee Young Yoo dan Kim Yoo Jung. Dulu mereka ikut mobil antar-jemput. Tapi sekarang terpaksa pulang sendiri."
"Karena tidak ada uang?"
"Kami harus betul-betul berhemat."
"Kau tidak mau cari uang?"
"Dengan kondisi seperti ini, aku bisa bekerja apa Paman?"
"Mau coba-coba main film seperti Ibu?"
"Aku?" Paras gadis remaja itu langsung memerah.
"Apa gadis pincang sepertiku ini bisa main film, Paman?"
"Yang disorot kan bukan kakimu?"
"Betul Paman mau mengajakku main film?” tanya Baek Suzy dengan dada berdebar-debar. Wajahnya terasa panas. Tetapi tangan-kakinya justru dingin.
"Siapa tahu kau berbakat. Pincangmu kan bisa ditutupi?”
"Tahu dari mana aku berbakat atau tidak?"
"Kan bisa dites."
"Apanya?"
"Ya aktingnya."
"Kapan ditesnya, Paman?"
“Terserah kau. Sekarang juga boleh, kau mau."
"Di mana? Di studio? Seperti Lee Young Yoo dan Kim Yoo Jung?"
* * *
Tetapi Kim Hyun Joong tidak membawa Baek Suzy ke studio Dia membawanya ke sebuah cottage. Di sanalah katanya Baek Suzy akan dites.
Ketika Baek Suzy menyadari apa yang diinginkan Kim Hyun Joong, sudah terlambat untuk mencegahnya. Dia hanya dapat menangis tersedu-sedu di atas tempat tidur setelah semuanya terjadi.
"Sudah, jangan menangis," hibur Kim Hyun Joong lemah lembut. Seolah-olah Baek Suzy cuma kehilangan sepatunya. "Tidak apa-apa. Tidak ada yang tahu. Dan aku akan menepati janjiku. Akan kujadikan kau seorang bintang. Bintang yang jebih hebat dari ibumu."
Ketika teringat Ibu, Baek Suzy malah menangis semakin sedih. Apa yang harus dikatakannya kepada Ibu? Atau... lebih baik jika tidak dikatakannya? Ibu pasti sakit hati. Padahal tubuhnya masih demikian lemah...
"Sudah, Baek Suzy. Hapus air matamu!" tukas Kim Hyun Joong sambil bangkit dari tempat tidur. "Jangan sampai Ibu tahu. Sebentar lagi kau harus pergi ke rumah sakit, kan? Ayo, Paman antar ke sana."
Tetapi Baek Suzy tidak mau menemui ibunya. Dia takut Ibu dapat membaca kesedihannya. Ibu sulit dibohongi. Lebih baik dia pura-pura tidak enak badan... atau bukan pura-pura. Badannya memang terasa sangat tidak nyaman! Pikirannya juga. Lebih baik sore ini tidak usah mengunjungi Ibu....
Kim Hyun Joong mengantarkannya pulang ke rumah. Sesaat sebelum Baek Suzy turun dari mobilnya, dia menyodorkan uang 500 ribu.
"Untuk kau makan," katanya lunak. "Kalau perlu uang, datang saja ke kantor."
Betapa dermawannya Paman Kim Hyun Joong sekarang! Tiba-tiba saja begitu mudah bagi Baek Suzy untuk mendapatkan uang!
* * *
"Baek Suzy sakit?" Kim So Eun mengangkat alisnya dengan cemas.
"Katanya tidak enak badan," sahut Nenek tawar. "Setiap hari dia selalu keluar rumah!"
"Baek Suzy cari uang untuk biaya rumah sakit, Nek!" ralat Park Ji Yeon kesal. "Kalau dia di rumah terus bagaimana kita bisa bayar tagihan besok?"
"Baek Suzy cari uang?" Dahi Kim So Eun tambah berkerut. "Ke mana?"
"Katanya pinjam sana-sini."
Uang sebesar itu? Siapa yang mau meminjamkannya pada Baek Suzy? Aneh.
"Besok Ibu pulang ya?" sela Kim Yoo Jung. "Sudah lama sekali Ibu di sini. Sudah berapa lama ya, Bu? Sebulan?"
Kim So Eun tersenyum pahit.
"Belum sampai tiga minggu, Sayang. Kau sudah mau tidur dengan Ibu, Kim Yoo Jung?"
"Aku mau Ibu bisa mengantarku ke studio. Sekarang bibirku sudah tidak sakit lagi, Bu. Aku sudah bisa shooting. Nanti aku akan bawa uang banyak untuk Ibu, ya."
“Tentu, sayang." Kim So Eun mencubit pipi Kim Yoo Jung dengan gemas. Masalahnya, kesempatan langka itu tidak datang dua kali! Tn. Lee Min Ho sudah menemukan calon bintang lain. Dan lowongan itu telah tertutup.
"Jangan khawatir, Bu," sela Park Ji Yeon ketika melihat perubahan wajah ibunya.
"Kata Baek Suzy, sisa tagihan besok bisa dilunasi."
Aku justru bertambah khawatir, pikir Kim So Eun bingung. Dari mana Baek Suzy mendapat uang sebanyak itu?
* * *
"Dari mana kau dapat uang sebanyak itu, Baek Suzy?" tanya Kim So Eun keesokan harinya, ketika Baek Suzy dan Park Ji Yeon menjemputnya ke rumah sakit.
Hari ini Kim So Eun sudah diperbolehkan pulang. Dokter Song Seung Hun sudah melakukan visite terakhir ke kamarnya. Dan Kim So Eun hanya diminta kontrol kembali ke rumah sakit sebelum menjalani seri pertama terapi radiasinya.
"Pinjam, Bu."
"Pinjam dari mana? Siapa yang mau meminjamkan uang sebanyak itu?"
"Dari Paman Kim Hyun Joong, Bu," sahut Baek Suzy ketika dia merasa tidak dapat membohongi ibunya lagi. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam. Tidak berani membalas tatapan ibunya.
"Paman Kim Hyun Joong?"
Kim So Eun bukan hanya terkejut. Dia heran. Sekaligus bingung. Tidak percaya. Curiga.
Kim Hyun Joong mau meminjamkan uang sebanyak itu? Bukan main! Sudah punahkah kemarahannya? Tetapi kalau dia sudah tidak marah lagi... mengapa dia tidak pernah datang mengunjunginya?
"Barusan aku datang ke kantornya, Bu. Pinjam uang."
"Kau berani datang kepadanya tanpa setahu Ibu?"
"Lalu Baek Suzy harus pergi ke mana lagi, Bu?" potong Park Ji Yeon, tidak tega melihat pucatnya wajah adiknya.
Mata Baek Suzy menggelepar dalam ketakutan. Dan dia seperti tidak berani memandang ibunya.
"Jadi kau juga setuju Baek Suzy pinjam uang dari Paman Kim Hyun Joong?" Kim So Eun menoleh heran kepada putri sulungnya. "Biasanya kau paling alergi pada Paman Kim Hyun Joong, kan?"
"Kalau dia mau memberi pinjaman, kenapa tidak!" balas Park Ji Yeon datar. "Masa bodoh siapa yang mau memberikan pinjaman, pokoknya dapat uang!”
“Kau tidak berpikir mungkin dia mengharapkan sesuatu dari kebaikannya?"
"Apa yang mau diharapkan dari kita?” sahaut Park Ji Yeon seenaknya. "Biar saja dia berharap sampai tua!"
“Paman Kim Hyun Joong tidak tanya kapan kita bisa mengembalikan uang sebanyak itu, Baek Suzy?”
Baek Suzy menggeleng tanpa berani mengangkat kepalanya.
"Maafkan Aku, Bu," desahnya lirih. ”Aku bingung. Tidak tahu lagi ke mana harus mencari uang.”
"Maafkan Ibu juga, Baek Suzy, " ujar Kim So Eun lembut. "Ibu tahu betapa berat penderitaanmu. Betapa berat usahamu mencari uang.”
Tapi Ibu tidak tahu betapa besar pengorbananku untuk memperoleh uang itu, tangis Baek Suzy dalam hati.
Bersambung…
Chapter 10 ... Chapter 11
Chapter 9 ... Chapter 12
Chapter 8 ... Chapter 13
Chapter 7 ... Chapter 14
Chapter 6 ... Chapter 15
Chapter 5 ... Chapter 16
Chapter 4 ... Chapter 17
Chapter 3 ... Chapter 18
Chapter 2 ... Chapter 19
Chapter 1 ... Chapter 20 ... Chapter 21
Prolog
The Right Man (Chapter 21)
Dengan jaminan Kim Hyun Joong, Park Ji Yeon akhir-dibebaskan. Dia hanya diharuskan melapor setiap hari. Dan diberhentikan dari pekerjaannya.
Sebelumnya direktur perusahaan tempatnya bekerja juga sudah menelepon. Mereka tidak ingin memperpanjang tuntutan. Karena ternyata Park Ji Yeon masih di bawah umur. Dan dia mencuri untuk mencari biaya pengobatan untuk ibunya.
Ketika mendengar kata-kata petugas itu, tiba-tiba saja Baek Suzy teringat pada laki-laki berdasi yang melongok dari dalam mobilnya itu. Diakah yang menelepon? O, rasanya Baek Suzy ingin datang ke pabrik besok untuk mengucapkan terima kasih!
"Rusak!" gerutu Kim Hyun Joong ketika mengantarkan anak-anak itu pulang. "Lelaki bukan, perempuan bukan, sekarang malah mencuri!"
Park Ji Yeon yang duduk di bangku belakang menatap lelaki itu dengan penuh kebencian.
Dulu dia mencerca Ibu, geramnya sengit. Sekarang dia menghina diriku! Sialan! Untuk apa Baek Suzy minta tolong padanya?!
"Lalu aku harus minta tolong ke mana lagi?" balas Baek Suzy kesal ketika Park Ji Yeon marah-marah padanya sesampainya di rumah.
"Tidak perlu minta tolong pada ular seperti dia!"
"Kalau cuma ular yang bisa membebaskanmu?"
"Lebih baik di penjara daripada minta tolong pada ular!"
"Di mana ada ular?" sergah Nenek panik sambil menuruni tangga.
"Tidak ada," sahut Baek Suzy kesal. "Nenek saja yang salah dengar!"
* * *
Tergopoh-gopoh Kim Yoo Jung berjalan keluar dari kelas. Wah, terlambat sedikit! Pasti Lee Young Yoo Eonni marah-marah lagi!
Akhir-akhir ini dia memang judes sekali. Salah sedikit saja, Kim Yoo Jung pasti dimarahi. Salah lebih besar, dicubit. Dipukul.
Sekarang dia terlambat keluar dari kelas. Pasti Lee Young Yoo Eonni sudah cemberut! Waduh!
Dari jauh Kim Yoo Jung sudah melihat Lee Young Yoo. Tegak menunggu di halaman sekolah. Dekat pintu gerbang.
Celaka. Kalau dia kepanasan, cubitannya pasti lebih keras!
Tergesa-gesa Kim Yoo Jung berlari-lari kecil menghampiri kakaknya. Dan dia belum sempat membuka mulut untuk menegur ketika tiba-tiba seperti tidak di sengaja Lee Young Yoo mengulurkan kakinya. Tidak ada yang melihat. Kejadiannya begitu cepat.
Kim Yoo Jung tidak sempat mengerem kakinya. Kaki Lee Young Yoo tepat mengganjal kakinya. Dan Kim Yoo Jung tersandung Jatuh tersungkur ke depan. Mulutnya menghantam tanah. Cukup keras. Sakitnya bukan main.
Kim Yoo Jung menangis kesakitan sambil menebah mulutnya. Ketika dia melihat tangannya berlumuran darah, dia menjerit. Dan menangis semakin keras.
* * *
“Gigi Kim Yoo Jung patah," keluh Baek Suzy panik. "Bagaimana ini, Nek? Siang ini kan Kim Yoo Jung harus shooting!"
"Boro-boro shooting." gerutu Nenek yang masih mendekap cucunya antara kesal dan gemas.
Bajunya yang paling bagus, yang sengaja dipilihnya untuk acara hari ini, sudah penuh bercak-bercak darah Kim Yoo Jung.
"Kita harus bilang apa pada Tn. Lee Min Ho?" keluh Baek Suzy bingung.
"Bilang saja hari ini Kim Yoo Jung tidak bisa ke sana. Giginya ompong. Mulutnya bengkak. Matanya juga bengkak karena dia menangis terus!"
Kim Yoo Jung memang sudah tidak bisa dibujuk lagi. Dia menangis teras sampai terpaksa Baek Suzy membawanya pulang.
Park Ji Yeon yang sedang menyuapi Kim Yoo Bin tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun ketika melihat keadaan Kim Yoo Jung. Tetapi yang murung bukan hanya Baek Suzy, Lee Young Yoo pun membisu sejak tadi.
Jauh di dalam hati kecilnya, sebenarnya Lee Young Yoo juga sedang menangis. Begitu dengkinya dia pada adiknya beberapa hari ini sampai tega mencelakakan Kim Yoo Jung. Tetapi ketika melihat akibat perbuatannya, ketika melihat Kim Yoo Jung menangis sehebat itu, terbit juga sesal di hatinya. Lebih-lebih ketika menyadari, mereka tidak dapat mengambil uang untuk Ibu!
"Ini semua karena Nenek," gerutu Baek Suzy setelah tidak tahu lagi ke mana harus mengumbar kekesalannya. "Aku Kan sudah bilang kemarin, ambil saja ceknya! Kita uangkan sendiri di bank!"
"Mana Nenek tahu akan sial seperti ini?" Nenek juga tidak kalah pedasnya mendumal. "Kim Yoo Jung kan sudah lama tidak pernah jatuh! Eh, ketika mau shooting malah ompong!" Dan Kim Yoo Jung menangis semakin keras. Lee Young Yoo terpekur sambil menggigit bibirnya.
* * *
"Ompong?" Tn. Lee Min Ho sampai separuh berteriak. "
Kim Yoo Jung belum bisa kemari, Tuan. Bibirnya bengkak. Dan dia masih menangis terus...."
"Jadi bagaimana? Semua persiapan shooting sudah siap! Tinggal tunggu Kim Yoo Jung!"
"Saya minta waktu sampai besok, Tuan," Baek Suzy menggagap kecut. Takut melihat reaksi kemarahan Tn. Lee Min Ho. Hilanglah sudah semua keramahan dan senyum simpatik di wajahnya!
"Besok pasti bibir Kim Yoo Jung sudah tidak begitu bengkak lagi...."
"Dan giginya? Dengar, Baek Suzy. Bawa dia ke dokter gigi! Tanya apa yang dapat dilakukan untuk menambal giginya yang patah itu! Dan tolong, secepat mungkin. Atau saya harus mencari pemain baru!”
"Iya, Tuan. Terima kasih." Dengan gugup Baek Suzy membalikkan tubuhnya. Ingin mengangkat kaki secepat mungkin, ketika tiba-tiba dia teringat sesuatu. Dan dia terpaksa memutar tubuhnya lagi
"Hmm, Tuan... maaf."
"Apa lagi??”
"Hmm, Tuan... boleh saya mengambil uang honor Kim Yoo Jung, Tuan?"
"Honor apa?" tanya Tn. Lee Min Ho separuh membentak. "Belum shooting sudah tanya honor?!"
“Yang separuh, Tuan," sahut Baek Suzy gugup. "Yang kemarin belum diambil..."
"Suruh nenekmu mengambilnya kalau Kim Yoo Jung sudah bisa shooting! Kalau dia tidak bisa memperbaiki giginya, perannya akan digantikan anak lain! Kontrak batal.”
Ya Tuhan, tangis Baek Suzy dalam hati. Air mata langsung menggenangi matanya. Berat benar cobaan-Mu!
Tetapi yang sedih bukan hanya Baek Suzy. Lee Young Yoo yang ikut menemani juga terpuruk dalam kedukaan. Sekarang dia baru merasakan benar akibat perbuatan jahatnya! Mereka tidak bisa memperoleh uang untuk Ibu!
"Sama saja, kan, Lee Young Yoo?" tiba-tiba saja kata-kata Baek Suzy seperti menggelitiki hati kecilnya. "Pokoknya kita dapat uang untuk Ibu! Daripada peran itu jatuh ke tangan anak lain?”
Dan keringat dingin tiba-tiba membanjiri sekujur tubuh Lee Young Yoo ketika mendengar Tn. Lee Min Ho berteriak kepada asistennya.
"Cepat hubungi pemain cadangan! Siapa namanya anak yang kemarin audisi itu? Telepon ibunya. Kita tes sekali lagi siang ini juga!"
"Tapi, Tuan...," sela Baek Suzy, kepanikan tidak bisa mendapat uang untuk ibunya menghapuskan rasa takutnya. "Apakah anda tidak bisa menunggu sampai Kim Yoo Jung sembuh?"
"Kami terikat kontrak, Baek Suzy! Cobalah mengerti. Produksi kami ada dead line-nya! Mana bisa menunggu Kim Yoo Jung terus?"
"Tuan," sekarang Lee Young Yoo yang memberanikan diri maju ke depan. Wajahnya pucat, matanya panik. Tapi demi Ibu, dia menekan rasa malunya. "Boleh saya coba lagi?"
Tn. Lee Min Ho menoleh kepadanya dengan wajah masam. Tetapi ketika melihat kesungguhan anak itu, dia berteriak kepada krunya.
"Siapkan kamera!"
* * *
Lee Young Yoo mencoba bermain sebaik-baiknya. Tetapi perasaan hatinya yang sedang galau tidak dapat didustai. Setelah beberapa kali mengulang, akhirnya Tn. Lee Min Ho menyerah.
"Cut!" teriaknya putus asa. "Kita break!"
Dibantingnya bukunya dengan sengit. Tanpa berkata apa-apa lagi kepada Lee Young Yoo dan Baek Suzy, dia masuk ke ruang kerjanya.
"Hubungi anak yang kemarin audisi itu," katanya lesu kepada sekretarisnya yang tergopoh-gopoh menghidangkan minuman dingin. "Suruh datang sekarang juga!”
Lee Young Yoo menangis dalam pelukan Baek Suzy. Dia tahu, dia telah gagal total. Dan bukan itu saja. Kalau anak yang kemarin di audisi itu berhasil, dia juga telah menggagalkan Kim Yoo Jung. Dan itu berarti, menggagalkan uang biaya perawatan Ibu!
"Bagaimana aku harus mengatakannya kepada Ibu?" tangis Baek Suzy sesampainya di rumah.
"Bukan cuma Ibu," sahut Park Ji Yeon murung. "Bagaimana mengatakannya kepada petugas administrasi rumah sakit yang judes itu? Kau kan sudah janji mau bayar dua setengah juta besok pagi."
"Rasanya aku mau mati saja.'" keluh Baek Suzy getir. "Aku sudah tidak kuat lagi...."
"Baek Suzy Eonni!"
Lee Young Yoo menubruk kakaknya. Dan tangisnya meledak semakin hebat. "Maafkan aku...."
"Bukan salahmu." Baek Suzy membelai-belai kepala adiknya dengan terharu. "Kau sudah berusaha...."
Tapi Baek Suzy tidak tahu apa yang telah dilakukan Lee Young Yoo pada Kim Yoo Jung.”
"Eonni..." Kim Yoo Jung menghampiri Baek Suzy dengan ketakutan. "Eonni jangan mati dulu, ya? Aku takut! Takut melihat orang mati!"
* **
"Bagaimana, Kim So Eun?” sapa Dokter Song Seung Hun ramah begitu dia masuk ke kamar Kim So Eun. "Ada keluhan?"
"Bekas operasinya masih sakit, Dokter. Terutama yang di dada."
"Nanti kita lihat lukamu." Dokter Song Seung Hun memberi isyarat kepada perawatnya untuk membuka plester yang menutupi jahitan luka operasi di dada Kim So Eun. "Sampai sejauh ini, kondisimu baik, Kim So Eun. Temperaturmu normal. Tidak ada komplikasi."
"Terima kasih, Dokter." Kim So Eun berusaha melihat bekas operasinya. Tetapi Dokter Song Seung Hun mencegahnya.
"Jangan dilihat dulu," hiburnya sambil tersenyum. "Nanti kau kaget. Tunggulah sampai lukanya benar-benar sembuh."
"Masih sering berdenyut, Dokter," keluh Kim So Eun lirih. "Dan lengan kiri saya sering kesemutan."
Dokter Song Seung Hun memeriksa bekas luka di dada dan ketiak kiri Kim So Eun. Lalu dia memerintahkan perawatnya untuk menutup kembali bagian yang sudah dijahit itu.
"Antibiotiknya diteruskan," instruksinya kepada perawat. "Ada obat yang habis?"
"Kalau malam tidak bisa tidur, Dokter," sela Kim So Eun. "Boleh minta obat tidur?"
Dokter Song Seung Hun menandatangani selembar resep. Sementara perawatnya mencatat obat-obatan yang diinstruksikannya.
"Kapan saya boleh pulang, Dokter?" sergah Kim So Eun lagi. "Memangnya kau sudah kuat?" Dokter Song Seung Hun tersenyum pahit "Sudahlah, jangan pikirkan pulang!"
"Anak-anak membutuhkan saya, Dokter. Mereka masih kecil-kecil.”
Dan semakin lama Aku di sini, biayanya akan semakin besar!
Kim So Eun tidak berani mengucapkan kalimat yang terakhir itu. Tetapi Dokter Song Seung Hun sepertinya dapat menerkanya walaupun tidak mendengar.
“Tunggulah seminggu lagi. Sampai kondisimu benar-benar stabil. Dan luka operasimu mengering. Kalau penyembuhannya prima, jaringan parutnya tidak terlalu jelek."
Apa bedanya Iagi pikir Kim So Eun getir. Biar kulitnya tidak terlalu berkerut sekalipun, payudaranya tetap telah kehilangan keindahannya! Biarpun Dokter Song Seung Hun masih menyisakan jaringan payudaranya, buah dadanya tidak lagi sepadat dan semontok dulu.
Semuanya tinggal kenangan. Dan meskipun di mulut dia mengatakan tidak peduli lagi, hati kecilnya tetap menangisi bagian tubuhnya yang hilang. Bagian terindah yang menjadi kebanggaannya!
* * *
Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun di depan Kim So Eun Semuanya membisu. Semuanya menunduk dengan wajah muram.
"Ada apa?" desak Kim So Eun cemas. Kim Yoo Bin sakit?"
"Tidak ada apa-apa, Bu," cuma Park Ji Yeon yang mampu membuka mulut. "Kim Yoo Bin sehat."
"Tapi Ibu pasti tidak salah lihat. Kalian sedang sedih. Ada apa?"
Lagi-lagi cuma Park Ji Yeon yang mampu menjawab.
"Kita tidak dapat uang, Bu." Kim So Eun kecewa. Sekaligus lega. Dia memaksakan sepotong senyum lembut di bibirnya walaupun hatinya sedih.
"Ibu kira ada yang sakit. Ibu lega kalau masalahnya cuma uang. Tidak apa-apa. Kim Yoo Jung tidak bisa shooting hari ini?"
Kim Yoo Jung merayap ke atas tempat tidur. Park Ji Yeon sudah bergerak untuk menurunkan adiknya, tetapi Kim So Eun mencegahnya.
"Biar saja. Ada apa, Sayang?"
"Bu." Kim Yoo Jung menatap ibunya dengan bimbang. Matanya bersorot sedih sekali. "Gigiku ompong, Bu!"
Diperlihatkannya giginya kepada ibunya. Dan Kim So Eun mengawasi gigi yang tinggal sepotong itu antara geli dan iba.
"Kau jatuh, Kim Yoo Jung?"
"Aku lari-lari, Bu! Ibu marah, tidak?"
"Ibu kan sudah bilang, Kau tidak boleh lari-lari!"
"Lain kali tidak, Bu.... Aku mau jalan saja. Pelan-pelan. Ibu jangan marah, ya?"
“Sudahlah." Kim So Eun membelai mulut anaknya dengan lembut. Hati-hati. Dan penuh kasih sayang. "Sakit, Kim Yoo Jung?"
"Sakit, Bu. Aku sampai menangis. Tapi sekarang sudah tidak sakit lagi."
"Nanti kalau Ibu sudah sembuh, kita ke dokter gigi, ya?"
"Ke Dokter Jung Yong Hwa saja ya, Bu?"
"Dokter gigi yang tampan itu? Kau menyukainya, Kim Yoo Jung?"
"Dokter Jung yong Hwa itu baik sekali, Bu!"
"Nanti kita ke sana, ya. Tapi di sana nanti kau tidak boleh cerewet."
Kim So Eun menoleh ke arah Baek Suzy. Tepat pada saat Baek Suzy sedang menatapnya dengan sedih. Dan Kim So Eun langsung memahami apa yang terjadi.
"Kim Yoo Jung tidak bisa shooting?"
Baek Suzy mengangguk. Dan air matanya berlinang.
"Aku yang salah, Bu!" cetus Lee Young Yoo tiba-tiba.
“Tidak, Lee Young Yoo." Kim So Eun membelai rambut anaknya yang ketiga itu dengan lembut. "Kau kan sudah berusaha."
Tetapi di mata Lee Young Yoo, Kim So Eun melihat sesuatu yang lain. Sesuatu yang hanya dapat dilihat oleh seorang ibu. Karena itu ketika Lee Young Yoo hendak membuka mulutnya, Kim So Eun meletakkan tangannya di bibir gadis kecil itu.
"Ibu tahu," bisiknya penuh pengertian. "Kau menyesal."
Bersambung…
Chapter 10 ... Chapter 11
Chapter 9 ... Chapter 12
Chapter 8 ... Chapter 13
Chapter 7 ... Chapter 14
Chapter 6 ... Chapter 15
Chapter 5 ... Chapter 16
Chapter 4 ... Chapter 17
Chapter 3 ... Chapter 18
Chapter 2 ... Chapter 19
Chapter 1 ... Chapter 20
Prolog
Kamis, 28 Juli 2011
The Right Man (Chapter 20)
"10 Juta, Nek...," suara Baek Suzy gemetar seperti terserang malaria.
"Sepuluh juta?" belalak Nenek tidak percaya Cucunya yang baru berumur sepuluh tahun itu bisa mendapat 10 juta? Astaga! Sampai setua ini, dia belum pernah mendapat uang sebanyak itu!
"Asal Nenek besok datang untuk menandatangani kontrak, Nenek langsung dibayar separuh!"
"Tanda tangan?" Sekarang giliran Nenek yang menggigil. "Kontrak? Ah, kenapa harus Nenek? Kan yang main Lee Young Yoo..."
"Kim Yoo Jung!" potong Baek Suzy tidak sabar. "Bukan Lee Young Yoo!"
"Kenapa bukan Lee Young Yoo?"
"Sudahlah, Nek. Nanti Lee Young Yoo tambah kesal!"
Sekarang saja Lee Young Yoo sudah menghilang entah ke mana. Sepanjang perjalanan pun dia diam saja. Dan sikapnya kepada adiknya bukan main judesnya!
"Nenek kan cuma tanya, Lee Young Yoo yang dites kenapa Kim Yoo Jung yang terpilih?"
"Yang penting kan kita dapat uang! Kim Yoo Jung atau Lee Young Yoo sama saja, Nek. Uangnya bisa untuk bayar biaya ramah sakit."
“Tapi kenapa Nenek yang harus tanda tangan?”
"Karena Kim Yoo Jung masih kecil."
"Suruh Park Ji Yeon saja, ah Jangan Nenek, Takut!”
"Park Ji Yeon masih di bawah umur. Kalau Nenek kan sudah di atas umur!"
"Tapi Nenek takut."
"Takut apa sih, Nek?"
"Kalau cuma 100 ribu berani, tapi ini? 10 juta!”
"Apa bedanya tanda tangan 10 juta atau 100 ribu?"
"Nenek tidak bisa baca kontrak...."
"Biar aku yang baca. Nenek tanda tangan saja."
"Kalau salah. Nenek yang ditangkap?"
"Ditangkap siapa? Siapa yang mau menangkap nenek-nenek?"
"Hus! Enak saja kau bicara!"
"Aduh, Nenek ini norak sekali. Kalau Nenek tidak mau tanda tangan, kita tidak bisa dapat uangnya!"
Nenek menghela napas berulang-ulang. Parasnya tegang.
"Coba kalau ada si Kim Bum," dumalnya bingung. "Biar dia saja yang tanda tangan!"
"Mana boleh, Nek? Paman Kim Bum kan bukan apa-apanya Kim Yoo Jung!"
“Tapi dia pasti tahu apa yang harus Nenek lakukan!"
"Apa lagi? Cuma tanda tangan!"
"Nenek harus pakai baju apa?"
"Siapa yang peduli?" sembur Baek Suzy kesal. "Yang penting Nenek jangan sampai tidak pakai baju!"
* * *
Ternyata yang memusingkan kepala Baek Suzy bukan hanya Nenek. Lee Young Yoo juga.
Setengah hari dia menghilang entah ke mana. Ketika dia pulang ke rumah, hari sudah gelap.
Bukan cuma wajahnya saja yang lusuh. Bajunya pun kotor bukan main. Baek Suzy sampai memekik tertahan melihat dekilnya baju adiknya.
"Kecebur di comberan mana?" gerutunya kesal. "Cuci sendiri bajumu!"
Lee Young Yoo tidak menjawab. Sikapnya benar-benar menyebalkan. Dia tidak mau mandi. Tidak mau makan. Bahkan tidak mau ganti baju.
"Ada apa kau ini?" geram Baek Suzy sengit. "Kau ngambek karena Kim Yoo Jung yang terpilih? Memangnya salah siapa? Kim Yoo Jung? Eonni?"
"Kim Yoo Jung menyerobot bagian-ku!" Tangis Lee Young Yoo meledak tanpa dapat ditahan-tahan lagi.
"Tapi sama saja, kan, Lee Young Yoo?" bujuk Baek Suzy antara iba dan kesal. "Pokoknya kita dapat uang untuk Ibu! Daripada anak lain yang dapat.”
"Aku malu, Eonni! Teman-teman sudah tahu kalau aku yang dipanggil. Mrs. Sung Yu Ri sudah bilang kalau aku yang akan muncul di TV!"
“Tapi Kim Yoo Jung kan tidak salah, Lee Young Yoo!”
"Untuk apa dia ikut ke sana?"
"Kim Yoo Jung kan baru pulang sekolah! Lalu dia harus pulang dengan siapa?"
"Kalau tidak ada Kim Yoo Jung, barangkali aku yang terpilih!"
"Barangkali juga anak lain! Dan kita tidak dapat uang!"
Tapi bagaimanapun, Lee Young Yoo tidak dapat menghilangkan perasaan kesal itu dari hatinya. Kim Yoo Jung menyerobot tempatnya! Merampas haknya!
Memang Kim Yoo Jung seperti tidak peduli. Yang penting baginya, dapat uang untuk Ibu. Tetapi Lee Young Yoo peduli! Dia juga ingin mencari uang untuk Ibu. Sekaligus muncul di televisi!
Kenapa Tn. Lee Min Ho berbohong? Katanya peran itu untuk Lee Young Yoo! Kenapa diberikannya kepada adiknya? Kim Yoo Jung merampas kesempatannya untuk tampil di TV!
Dan sejak saat itu, sikap Lee Young Yoo kepada adiknya menjadi sangat judes. Sedikit-sedikit Kim Yoo Jung dibentak. Kadang-kadang malah dicubit. Sia-sia Baek Suzy menegurnya. Karena sejak hari itu, Lee Young Yoo seperti menjadi dua kali lebih bengis. Lebih dengki. Lebih-lebih ketika Ibu kelihatan begitu terharu. Begitu bangga kepada Kim Yoo Jung.
"Kau masuk televisi?" gumam Kim So Eun antara haru dan bangga. Dia masih terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, tetapi keberhasilan Kim Yoo Jung menorehkan segurat semangat di hatinya, "Anak Ibu jadi bintang iklan?"
"Aku dapat uang banyak, Bu," Bagi Kim Yoo Jung, yang terpenting memang cuma itu. Uang. "Untuk Ibu berobat, ya? Biar Ibu cepat bisa pulang. Di rumah sepi tidak ada Ibu!"
"Terima kasih, Kim Yoo Jung..." Tak terasa air mata Kim So Eun meleleh ke pipi. "Ibu bangga padamu..."
Ketika sedang membelai pipi Kim Yoo Jung, Kim So Eun baru melihat Lee Young Yoo. Tepekur dengan wajah cemberut di dekat kakinya.
Melihat murungnya paras gadis kecilnya, tiba-tiba saja Kim So Eun mengerti apa yang terjadi. Tak ada yang tersembunyi bagi seorang ibu. Dalam keadaan sakit sekalipun.
* * *
Sesudah empat kali gagal, akhirnya Nenek berhasil juga menorehkan tanda tangan yang benar. Yang mirip dengan tanda tangan di atas KTP-nya. Dan cek sebesar 5 juta disodorkan ke tangan Nenek.
"Cek?" gumam Nenek bingung. "Kenapa bukan uang?"
"Anda mau uang kontan? Baiklah, besok anda bisa datang lagi kemari. Ambil uang kontan."
"Biar diambil di bank saja, Nek," sela Baek Suzy sambil mengambil cek dari tangan neneknya, "Kan bisa suruh Park Ji Yeon temani Nenek."
"Lebih baik diambil di sini saja, ah," bantah Nenek. Diambilnya lagi cek di tangan cucunya. Lalu dikembalikannya lagi ke sekretaris Tn. Lee Min Ho. "Besok saya datang lagi ya, Nona. Ambil uang saja di sini."
"Ob, boleh saja, Nyonya. Tidak apa-apa."
"Ah, Nenek!" gerutu Baek Suzy waktu mereka keluar dari kantor Tn. Lee Min Ho. "Malu-maluin saja! Mengambil uang di bank tidak bisa?"
"Halo, Baek Suzyl" sapa Tn. Lee Min Ho yang baru Saja datang. "Kontraknya sudah ditandatangani?"
"Sudah, Tuan. Terima kasih."
"Uangnya baru besok, Tuan," sela Nenek. "Saya tidak mau cek”
"Oh, boleh saja! Mana Kim Yoo Jung?"
"Sekolah, Tuan."
"Bagus. Tapi pulang sekolah besok bawa ke sini, ya. Kim Yoo Jung harus shooting."
"Tuan, boleh saya bicara sebentar?"
"Tentu. Soal apa, Baek Suzy?"
"Boleh bicara di dalam, Tuan?"
"Silahkan. Di kantor saya saja."
"Nek, tunggu di sini, ya." Baek Suzy buru-buru mengikuti Tn. Lee Min Ho masuk kembali ke kantornya.
"Ada apa?" gerutu Nenek curiga. "Bicara saja harus di dalam!"
"Pokoknya Nenek tunggu di sini sebentar.”
"Jangan lama-lama, ya!"
* * *
"Ada apa, Baek Suzy?" tanya Tn. Lee Min Ho simpatik sekali. "Apa yang bisa saya bantu?"
"Anda tidak punya peran yang tersisa untuk Lee Young Yoo?"
"Kenapa? Lee Young Yoo frustrasi? Karena Kim Yoo Jung yang terpilih?"
"Tolonglah, Tuan. Peran apa saja. Asal Lee Young Yoo juga bisa muncul di TV."
"Tidak segampang itu, Baek Suzy. Saingannya banyak sekali. Kami tidak boleh sembarangan membuat iklan. Untuk mempertahankan mutu."
"Tapi anda sendiri yang bilang, Lee Young Yoo cukup berbakat, kan? Hanya dia sedang sedih karena Ibu sakit. Berilah dia kesempatan sekali lagi, Tuam. Mungkin untuk iklan produk lain."
Tn. Lee Min Ho menghela napas.
"Baiklah. Bawalah Lee Young Yoo besok kemari. Kita tes sekali lagi. Tapi saya peringatkan Baek Suzy, kalau Lee Young Yoo gagal lagi, dia bisa tambah frustrasi!"
* * *
Seperti biasa, Park Ji Yeon melewati pos keamanan dengan tenang. Diletakkannya ranselnya di atas meja. Tetapi kali ini, petugas keamanan pabrik itu tidak langsung memeriksa ranselnya seperti biasa. Dia minta Park Ji Yeon menepi. Keluar dari barisan.
"Ada apa, Tuan?" Sebuah perasaan tidak enak menyelinap ke hati Park Ji Yeon. Tetapi dia masih dapat memperlihatkan sikap santai.
"Ikut saya ke sebelah."
"Untuk apa? Saya dicurigai?"
"Pengawas mengatakan banyak obat yang hilang di bagianmu. Disinyalir ada karyawan yang tidak jujur. Pemeriksaan harus diperketat."
"Tapi kenapa saya yang dicurigai?"
"Semua dicurigai. Tapi hari ini giliranmu.”
"Ayo, ikut saya," perintah Tn. Lee Ji Hoon sambil menunjuk ke balik tirai.
"Anda mau menggeledah saya?" tanya Park Ji Yeon santai.
"Kau mau apa?" balas Tn. Lee Ji Hoon beringas "Mau membangkang?”
"Saya tidak mau diperiksa anda."
"Kau mau melawan, hah?"
“Tidak."
"Lantas kenapa kau tidak mau kugeledah?"
"Karena saya wanita."
Tn. Lee Ji Hoon tidak jadi membentak lagi. Temannya juga ikut menoleh. Sesaat mereka sama-sama tertegun. Lalu Tn. Lee Ji Hoon tertawa gelak-gelak.
"Kau mau menipu kita semua, ya?" dengusnya masam. "Tapi jangan harap kau bisa lolos!”
“Panggilkan Goo Hye Sun kemari!” perintah Tn. Lee Ji Hoon pada salah satu rekannya.
Terpaksa Park Ji Yeon mengikuti petugas wanita itu ke kamar sebelah. Dia tidak merasa takut. Tetapi dia tahu, pekerjaannya di pabrik telah berakhir.
Tanpa menunggu sampai petugas itu menyuruhnya membuka pakaian, Park Ji Yeon mengeluarkan kantong obatnya. Dan meletakkannya di atas meja. Di depan petugas itu.
"Saya menyesal melakukannya, Eonni," katanya terus terang. Suaranya tidak menyiratkan rasa takut. Membuat Goo Hye Sun agak terperangah. "Tapi saya perlu uang. Iba saya harus dioperasi. Kanker. Saya sudah mencoba pinjam uang. Tapi kata Tn. Song Chang Ui, karyawan baru seperti saya tidak punya hak untuk meminjam uang."
* * *
Malam itu Park Ji Yeon tidak pulang. Nenek bingung, Adik-adiknya panik. Sejak tahu Ibu sakit, Park Ji Yeon tidak pernah pulang malam lagi. Mengapa hari ini dia terlambat? Akhirnya Baek Suzy nekat. Memberanikan diri menyusul ke pabrik.
"Kakakmu ketahuan mencuri obat," kata petugas satpam di posnya. "Masih diinterogasi di dalam."
Ya Tuhan! Baek Suzy terpuruk lemas. Park Ji Yeon... mencuri? Apakah demi... Ibu?
"Boleh saya melihatnya, Tuan?" pinta Baek Suzy menahan tangis. "Percuma saja. Sebentar lagi dia akan dibawa ke polsek. Lagi pula di sini kau tidak boleh masuk. Pabrik sudah tutup."
O, Tuhan! Apa yang harus kulakukan? Ibu di ramah sakit. Paman Kim Bum di penjara. Kepada siapa aku harus mengadu? Kepada siapa aku harus minta tolong? Membiarkan Park Ji Yeon dibawa ke polsek? Oh, aku benar-benar tidak tega!
"Minggir, Nona," perintah satpam itu sambil bergerak untuk membuka pintu. "Mobil Bos mau keluar!”
Baek Suzy menepi sedikit. Tetapi tetap tidak mau menyingkir. Satpam buru-buru membuka pintu. Dan memberi hormat kepada orang di dalam mobil.
"Siapa, Tuan?" tanya orang di bangku belakang mobil itu sambil menurunkan kaca mobil.
Baek Suzy melihat seorang lelaki muda berkemeja putih dan berdasi merah melongok ke luar.
"Adiknya karyawan yang mencuri itu, Minta izin masuk untuk melihat kakaknya."
Sejenak laki-laki itu menatap Baek Suzy. Sesaat matanya bersorot iba. Tetapi di detik lain, dia telah mengosongkan kembali tatapannya.
"Maaf, Nona. Kakakmu akan segera dibawa ke polsek. Dia ketahuan mencuri obat."
"Kasihanilah dia, Tuan," pinta Baek Suzy dengan suara memelas. "Dia anak sulung di keluarga kami. Ayah, kami sudah tidak punya. Ibu masih di rumah sakit Habis Operasi kanker. Tolonglah, Tuan. Kalau tidak ada dia, siapa yang harus mencari nafkah untuk saya dan tiga orang adik kami yang masih kecil-kecil?"
Lelaki muda itu menghela napas berat.
"Maaf, saya tidak bisa menolong," katanya datar. "Kakakmu ketahuan mencuri. Kalau dia tidak dihukum, separuh karyawan pabrik ini akan ramai-ramai mencuri."
Tanpa mendengarkan permohonan Baek Suzy lagi, dia menutup kaca mobilnya. Dan memerintahkan sopirnya untuk meninggalkan tempat itu. Satpam memberi hormat sekali lagi. Dan menutup pintu. Tetapi Baek Suzy belum mau pergi. Dia masih melekat di luar pinta besi.
"Pulanglah kau!" perintah satpam itu tegas. "Besok saja kau tengok kakakmu di polsek.”
Tetapi Baek Suzy berkeras menunggu di sana. Dia ingin melihat Park Ji Yeon. Walaupun hanya dari jauh.
Lima menit kemudian, sebuah mobil polisi meninggalkan pabrik. Samar-samar, Baek Suzy melihat Park Ji Yeon di dalam. Dia memburu mobil itu sambil menangis. Tetapi mobil telah meluncur cepat meninggalkan pabrik.
* * *
"Kenapa datang kemari?" geram Kim Hyun Joong gemas. Dia sudah berlagak tidak kenal. Tetapi gadis pincang ini tetap berkeras ingin bertemu. Daripada ribut-ribut dan istrinya tambah curiga, terpaksa ditemuinya juga gadis pincang yang keras kepala itu.
"Mau minta tolong, Paman," pinta Baek Suzy penuh harap. "Ibu masih di rumah sakit...."
"Kan saya sudah bilang, ibumu sudah tidak bekerja lagi di perusahaan film saya...." Sengaja Kim Hyun Joong mengeraskan volume suaranya supaya istrinya ikut mendengar. "Saya tidak dapat menolong meminjamkan uang!"
"Ibumu sakit apa, Nona?" sela Nyonya Jung So Min yang tiba-tiba muncul. Sekadar ingin tahu kenapa gadis ini mendatangi suaminya malam-malam begini.
"Kanker, Bibi. Kanker payudara.”
"Kasihan."
Baek Suzy tidak tahu dia benar-benar iba atau cuma bibirnya saja yang berkata demikian.
"Sudahlah, pulang sana!" sela Kim Hyun Joong jemu. “Saya tidak bisa meminjamkan uang! Ibumu sudah keluar dari produksi film saya."
"Tapi Paman Kim Hyun Joong kan bukan cuma majikan Ibu." Sengaja Baek Suzy langsung menembak ke sasaran. Apa boleh buat. Daripada sia-sia mengemis. "Paman Kim Hyun Joong teman Ibu juga kan!"
"Eh, jangan sembarangan bicara! Ibumu cuma salah satu artis dalam produksi..."
"Paman Kim Hyun Joong sering datang ke rumahmu?" potong Jung So Min dingin.
Dia memang sudah curiga. Sudah sering didengarnya desas-desus tentang suaminya.
"Sudahlah, Jung So Min!" geram Kim Hyun Joong kesal. "Anak ini cuma datang untuk pinjam uang!"
"Tapi malam ini saya datang untuk Park Ji Yeon, Paman. Dia dapat kesulitan. Sekarang ditahan di polsek."
"Tapi kenapa datang kepadaku?" Kim Hyun Joong hampir berteriak saking kesalnya.
"Aku kira Paman masih teman Ibu. Aku tidak tahu lagi ke mana harus minta tolong..."
"Aku bukan apa-apamu! Ibumu cuma salah seorang artis yang main dalam filmku..."
"Biar Bibi yang ikut denganmu!" potong Jung So Min tanpa ragu sedikit pun. "Bibi ganti baju dulu."
"Astaga, Jung So MIn! Apa-apaan kau ini? Kau tahu pukul berapa sekarang?"
"Ada anak teman baikmu minta tolong kau tidak peduli?" sindir Jung So Min sinis. "Teman apa kau ini!"
"Baiklah! Biar aku yang ikut dia. Walaupun aku tidak tahu apa yang bisa kubantu!"
Buru-buru Kim Hyun Joong membawa Baek Suzy pergi. Sebelum istrinya keburu ikut. Dia tahu sekali apa yang diinginkan Jung So Min. Dia bukan ingin menolong. Cuma ingin mengorek keterangan!
* * *
"Dari mana kau tahu rumahku?" gerutu Kim Hyun Joong di dalam mobil.
"Dari buku telepon Ibu," sahut Baek Suzy santai. Entah mengapa begitu melihat betapa penakutnya lelaki ini di depan istrinya, dia jadi memandang enteng. Dan tidak merasa takut atau segan lagi.
"Apa sebenarnya yang dilakukan kakakmu? Membakar pabrik? Menghasut pekerja lain untuk mogok?"
"Mencuri obat."
“Ya ampun!"
"Park Ji Yeon mencuri agar dapat Uang. Untuk operasi Ibu."
Sesaat Kim Hyun Joong terdiam. Di luar kehendaknya, mendadak saja bayangan Kim So Eun melintas di depan matanya.
"Aku mencintaimu," Kim Hyun Joong seperti mendengar suaranya sendiri.
Berapa kali dia telah mengucapkan kata-kata itu kepada Kim So Eun? Sekarang ketika wanita itu sedang terkapar di rumah sakit, di manakah cinta yang dulu demikian menggelora? Meminjamkan uang saja dia tidak sudi!
Dia yang telah mengkhianatiku, geram Kim Hyun Joong dalam hati. Dia yang telah menyimpan lelaki itu di kamarnya.
"Paman Kim Bum sakit," terngiang kembali kata-kata Baek Suzy.
Karena itukah Kim So Eun merawatnya? Melindunginya? Menyembunyikannya di kamarnya?
Perempuan itu memang baik. Lembut. Walaupun kadang-kadang bodoh. Mungkinkah karena kebaikan hatinya dia membiarkan laki-laki itu bersembunyi di rumahnya?
"Bagaimana keadaan ibumu?” tanya Kim Hyun Joong setelah lama terdiam. Suaranya melunak.
"Masih di rumah sakit."
"Bagaimana kondisinya?"
"Baik. Tapi masih lemah."
"Masih perlu uang?"
"Untuk biaya rumah sakit saja masih kurang. Padahal setelah ini Ibu masih harus disinar."
"Perlu berapa?" Baek Suzy menoleh dengan heran. Tetapi dalam gelap dia tidak dapat membaca air muka laki-]aki itu. Dia benar-benar mau menolong atau... cuma untuk menutupi dosanya di depan istrinya?
"2 juta," sahut Baek Suzy tanpa berpikir lagi. "Untuk sementara."
"Besok ambil di kantor. Tapi ingat, jangan pernah datang ke rumahku lagi."
"Dan menemui istri Paman?"
"Kau tidak ingin mengacaukan rumah tanggaku, kan?”
"Bukankah dulu Paman yang ingin jadi ayah kami?”
"Ibumu tidak mau."
"Karena Paman masih punya istri!"
"Karena anak-anaknya tidak mau punya ayah lagi!" Kim Hyun Joong mengatupkan rahangnya dengan marah. "Dan karena dia menyimpan seorang gigolo di kamarnya!"
"Paman Kim Bum memang tidur di kamar Ibu. Tapi selama itu, Ibu tidur di atas, bersama kami. Kenapa Paman marah-marah begitu?"
"Kenapa ibumu tidak mau membela diri kalau tidak bersalah?"
"Untuk apa? Paman kan bukan suami Ibu! Paman juga tidak pernah bilang di mana istri Paman tidur, kan?"
"Brengsek kau!" maki Kim Hyun Joong gemas. Ternyata si pincang ini pintar bicara seperti ibunya!
"Kata Ibu, Paman Kim Hyun Joong ingin punya anak."
"Dan istriku mandul!"
"Kenapa tidak mau mengangkat anak?"
"Aku ingin anak kandung!"
"Kalau Paman jadi menikah dengan Ibu, kami juga bukan anak kandung, kan?"
"Itu lain!"
"Maksud Paman, kami akan diperlakukan lain dengan anak kandung Paman?"
Sekali lagi Kim Hyun Joong mati langkah!
Bersambung…
Chapter 10 ... Chapter 11
Chapter 9 ... Chapter 12
Chapter 8 ... Chapter 13
Chapter 7 ... Chapter 14
Chapter 6 ... Chapter 15
Chapter 5 ... Chapter 16
Chapter 4 ... Chapter 17
Chapter 3 ... Chapter 18
Chapter 2 ... Chapter 19
Chapter 1
Prolog
The Right Man (Chapter 19)
Akhirnya Kim So Eun tak dapat mengelak lagi. Dia harus menjalani operasi. Secepatnya.
"Jangan terlalu lama," kata Dokter Song Seung Hun tegas. "Supaya kankermu tidak semakin menyebar. Tunggu apa lagi, Kim So Eun?"
"Uang saya belum cukup, Dokter," sahut Kim So Eun lirih.
"Seadanya saja dulu. Sisanya dibayar belakangan."
Dengan jaminan Dokter Song Seung Hun, rumah sakit memang tidak berani menolak. Kim So Eun dapat langsung masuk walaupun belum membayar uang muka. Padahal biasanya rumah sakit menuntut uang muka untuk sepuluh hari perawatan.
Dokter Song Seung Hun sudah menegaskan, tidak perlu memikirkan honor untuknya dan ahli anestesi. Padahal Kim So Eun tidak kenal sama sekali dengan dokter itu.
Entah apa yang dikatakan Dokter Song Seung Hun kepadanya. Tanpa pertolongan dokter yang baik itu, entah ke mana Kim So Eun harus meminta tolong.
Biaya operasinya memang cukup besar, tambah biaya radiasi dan obat-obatan, rasanya hampir tidak mungkin memenuhinya.
Kim So Eun hanya dapat berdoa, semoga Tuhan memberikan mukjizat padanya. Karena dengan logika saja, semuanya tampak tidak mungkin!
"Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan," kata Kim So Eun pada malam terakhir dia berada di rumah. "Jangan lupa berdoa. Tuhan tidak akan menolak permintaan anak-anak-Nya kalau kita sungguh-sungguh memohon."
Malam itu mereka tidur dalam satu kamar. Karena anak-anaknya seperti tidak mau berpisah dengannya. Kim Yoo Bin, Kim Yoo Jung, dan Lee Young Yoo tidur bersama Kim So Eun dan Nenek di ranjang. Sementara Park Ji Yeon dan Baek Suzy memilih tidur di lantai, asal dekat ibunya.
"Kau anak paling besar, Park Ji Yeon. Selama Ibu tidak ada, kau yang harus menjaga adik-adikmu. Jangan lupa menengok Paman Kim Bum. Dia pasti, ingin sekali mendengar tentang operasi Ibu."
Park Ji Yeon tidak menjawab. Tetapi Kim So Eun tahu, malam ini, Park Ji Yeon pasti mematuhi apa pun permintaan ibunya.
"Kau yang mengurus rumah bersama Nenek ya, Baek Suzy? Kau yang harus mengatur keuangan. Dan merawat adik-adikmu."
"Iya, Bu," sahut Baek Suzy sambil menahan tangis.
"Lee Young Yoo dan Kim Yoo Jung, kalian tidak boleh nakal, ya? Tidak boleh bertengkar. Dan harus bantu Nenek jaga Kim Yoo Bin."
"Iya, Bu," sahut Lee Young Yoo patuh. Parasnya menyuatkan kebingungan, kesedihan, dan ketakutan yan berbaur menjadi satu.
"Besok Ibu operasi?" tanya Kim Yoo Jung bimbang.
"Lusa, Kim Yoo Jung. Tapi besok sore Ibu sudah harus masuk rumah sakit untuk persiapan."
"Setelah operasi Ibu boleh pulang?" desak Kim Yoo Jung penasaran.
"Ibu harus tinggal di rumah sakit dulu, Kim Yoo Jung Sampai luka operasinya sembuh."
"Nanti iuka Ibu ada bekasnya tidak, Bu? Seperti lututku ini? Yang bekas jatuh dari sepeda dulu?"
Kim So Eun memeluk Kim Yoo Jung dengan terharu. Kim Yoo Jung memang lucu. Kadang-kadang menggemaskan. Tetapi kadang-kadang pula, pertanyaannya memancing air mata.
"Tentu bekasnya ada, Kim Yoo Jung. Tapi Dokter Song Seung Hun bilang, tidak terlalu jelek. Kau tidak usah takut."
"Aku boleh ikut menunggu Ibu operasi, kan Bu?" Pinta Lee Young Yoo.
"Tentu. Kalian semua boleh ikut menunggu. Nanti Ibu akan buat surat untuk Mrs. Sung Yu Ri. Minta izin supaya kau boleh tidak masuk satu hari. Sekarang kita sama-sama berdoa, ya?"
* * *
Jaksa penuntut umum menuntut Kim Bum dengan hukuman lima tahun penjara. Dia dituduh lalai dalam mengemudi sehingga mengakibatkan kematian orang lain.
Hukuman maksimal diajukan jaksa karena sesudah menabrak, Kim Bum melarikan diri. Padahal jika korban dibawa ke rumah sakit dan diberi pertolongan secepatnya, mungkin jiwanya masih dapat diselamatkan.
Pembelaan Kim Bum bahwa dia terpaksa kabur karena dikeroyok teman-teman korban, tidak mempunyai bukti yang kuat. Karena teman-teman korban menberikan kesaksian sebaliknya.
Satu-satunya hal yang meringankan adalah ketika ditemukan sisa-sisa ecstasy dalam hati korban melalui autopsi. Deteksi adanya senyawa-senyawa itu dalam hati korban menguatkan keterangan Kim Bum, korban mengendarai motornya seperti dalam keadaan mabuk.
Meskipun para saksi yang semuanya adalah teman korban menyangkal mereka baru saja minum-minum sambil menelan obat, kesaksian mereka diragukan. Karena berdasarkan penyelidikan di sekitar tempat kejadian, korban dan teman-temannya memang dikenal sebagai geng anak muda. yang sering bergadang sambil mabuk-mabukan di tempat itu.
Atas dasar bukti-bukti itu, pembela Kim Bum minta agar kliennya dihukum seringan mungkin. Dia masih muda. Belum pernah dihukum. Dan kesalahannya belum mutlak terbukti. Kemungkinan bahwa korban yang dalam keadaan mabuklah yang melanggar lampu merah dan melintas di depan mobil Kim Bum, sama kuatnya dengan tuduhan jaksa.
Hakim menunda sidang untuk menjatuhkan vonisnya. Dan Kim Bum kembali ke dalam selnya dalam keadaan gelisah. Bukan karena menunggu vonisnya, Tetapi menunggu hasil operasi Kim So Eun.
Permintaannya untuk diizinkan mendampingi Kim So Eun menjalani operasi tidak dikabulkan. Karena mereka tidak mempunyai hubungan resmi, Dan Kim Bum terpaksa berkurung diliputi ketegangan dalam selnya yang sempit.
* * *
Dokter Song Seung Hun sendiri yang keluar menemui anak-anak Kim So Eun selesai operasi.
"Jangan khawatir," katanya sambil tersenyum letih, masih mengenakan jubah dan topi kamar operasi. "Operasi berlangsung sukses. Ibu kalian tidak apa-apa."
"Kami Boleh melihat Ibu, Dokter?"
Park Ji Yeon adalah orang pertama yang mampu membuka mulut. Adik-adiknya masih saling rangkul sambil meneteskan air mata.
“Ibumu belum sadar. Masih di ruang pasca-bedah. Tunggu saja di kamarnya. Kalau keadaannya sudah stabil, ibumu akan dibawa ke sana."
“Terima kasih, Dokter."
"Apa artinya belum sadar, Eonni?" tanya Kim Yoo Jung ingin tahu. "Apa Ibu tidur terus seperti aku kalau malam?"
"Apa kau bawa ponsel, Baek Suzy? Ponsel-ku lowbat!” tanya Park Ji Yeon tanpa mengacuhkan pertanyaan adiknya.
"Untuk apa?”
"Telepon Paman Kim Bum. Ibu suruh kita memberi kabar, kan?"
Kim Bum memang sedang tegang menunggu kabar. Ketika sipir penjara menyampaikan pesan Park Ji Yeon, dia bersujud di tanah. Mengucap syukur kepada Tuhan.
* * *
Ketika Kim So Eun memperoleh kesadarannya kembali, yang pertama-tama didengarnya adalah suara Park Ji Yeon. Lapat-lapat menyentuh telinganya.
"Sudah selasai, Bu," bisiknya lirih. "Ibu sudah tidak apa-apa."
Lambat-lambat Kim So Eun membuka matanya. Dan melihat anak-anaknya. Menatap dirinya dengan wajah tegang dan air mata berlinang.
Kim So Eun masih merasa seperti separuh melayang. Kesadarannya masih berkabut. Pengaruh obat biusnya belum punah. Tetapi rasa sakit seperti bekas tersayat sudah mulai terasa sedikit.
"Ibu!" ratap Baek Suzy begitu melihat ibunya membuka matanya.
"Masih sakit tidak, Bu?" Lee Young Yoo memegang tangan ibunya yang masih diinfus dengan ketakutan.
Kim So Eun belum mampu menjawab. Tetapi kepastian anak-anaknya berada di dekatnya memompa semangatnya.
Mati-matian dia bertahan agar tidak terlelap kembali. Dia takut kehilangan kesadaran akan membuatnya berpisah untuk selama-lamanya dengan mereka....
* * *
"Tadi siang aku setor 4 juta ke rumah sakit!” kata Baek Suzy kepada Park Ji Yeon setelah adik-adiknya tidur. "Mereka minta dua juta lagi minggu depan. Sisanya sesudah Ibu boleh pulang."
“Tapi dari mana lagi dapat uang?" keluh Park Ji Yeon bingung. Dua juta! Biarpun setiap hari mencuri obat, tak mungkin melunasi dua juta dalam Seminggu!
"Besok Lee Young Yoo dites. Kalau dia berhasil, barangkali honornya cukup besar. Bisa melunasi sisa tagihan."
"Berapa honornya?"
"Belum tahu. Lagi pula belum tentu dia diterima, Saingannya banyak."
"Dengan siapa Lee Young Yoo ke sana?"
"Besok kujemput dia pulang sekolah. Langsung ke sana."
"Kim Yoo Jung?"
"Biar dia ikut. Daripada pulang sendiri."
"Lee Young Yoo masih keciL Kita masih di bawah umur. Siapa yang harus menandatangani kontrak nanti?"
"Nenek. Siapa lagi?”
* * *
"Mengapa gayamu tidak bisa seperti Cinderella, Lee Young Yoo?' gerutu Tn. Lee Min Ho kecewa. "Gayamu kurang hidup! Kurang natural! Kurang bebas."
Lee Young Yoo sudah hampir menangis. Rasanya sudah lelah sekali. Sudah dua puluh kali retake. Tetapi belum ada adegan yang dianggap cukup bagus untuk menampilkannya dalam iklan susu bubuk itu.
"Kau harus lebih ceria! Lebih lincah! Lebih rileks! Jangan kaku seperti ini! Kenapa aktingmu tidak bisa hidup seperti waktu itu?"
"Ibu sedang sakit!" teriak Kim Yoo Jung tiba-tiba dari deretan penonton. Tidak tahan melihat kakaknya dimaki-maki. "Dulu kan Ibu sedang sehat!"
Tn. Lee Min Ho menoleh kepada anak kecil bersuara lantang itu. Baek Suzy buru-buru mendekap adiknya dengan ketakutan.
"Maaf, Tuan," katanya cemas. "Kim Yoo Jung memang bawel...."
Dicubitnya paha adiknya sampai Kim Yoo Jung memekik kesakitan.
"Kalau kau tidak bisa diam, lebih baik keluar saja!"
"Kau main juga waktu itu, ya?" tanya Tn. Lee Min Ho tiba-tiba.
"Kim Yoo Jung jadi perinya!" sahut Lee Young Yoo lantang. Tanpa rasa takut sedikit pun.
"Aku juga menyiapkan kereta kencana dan gaun untuk Cinderella agar bisa ke datang ke pesta!"
"Hus, Kim Yoo Jung! Jangan cerewet," desis Baek Suzy kesal. "Ini bukan di rumah!"
"Kau lucu," cetus Tn. Lee Min Ho spontan.
"Kau mungkin lebih cocok jadi anak sehat yang minum susu ini."
"Dan rambut anda juga lucu," sambung Kim Yoo Jung tanpa ragu-ragu. "Seperti rumah keong!"
"Kim Yoo Jung!" sergah Baek Suzy kaget. Tetapi Tn. Lee Min Ho tidak marah. Dia malah semakin tertarik.
"Kemari sebentar. Kau mau jadi bintang iklan?"
"Berapa bayarannya?" tanya Kim Yoo Jung lantang.
"Aduh, Kim Yoo Jung!" desis Baek Suzy cemas.
"Bayarannya?" Tn. Lee Min Ho tertawa geli. "Pokoknya cukup untuk beli seratus boneka!"
"Saya tidak mau."
"Tidak mau? Kau mau berapa?"
"Harus Cukup untuk biaya Ibu di rumah sakit!"
"Ibumu masih di rumah sakit?" Tawa Tn. Lee Min Ho memudar. Berganti senyum simpatik.
"Iya."
"Baiklah! Kalau kau bisa main bagus, Paman janji akan memberimu honor besar!"
"Boleh, Eonni?" tanya Kim Yoo Jung bersemangat.
Baek Suzy belum sempat mengangguk. Dia mencari Lee Young Yoo dengan matanya. Dan baru menyadari, adiknya yang satu lagi telah lenyap.
* * *
"Kim Yoo Jung mengambil bagianku!" gerutu Lee Young Yoo sambil menangis.
"Belum tentu Kim Yoo Jung yang terpilih, Lee Young Yoo!" bujuk Baek Suzy kewalahan. “Kim Yoo Jung masih dites. Tapi kau sudah ribut minta pulang.”
"Nona, tolong ke dalam dulu," cetus asisten Tn. Lee Min Ho. "Dicari Tn. Lee Min Ho."
"Kau tunggu di sini dulu, ya. Jangan ke mana-mana! Eonni mau jemput Kim Yoo Jung dulu. Kita pulang sama-sama."
Lee Young Yoo berjongkok dengan kesal sambil membanting-banting kakinya. Hilanglah harapannya untuk memperoleh uang. Padahal uang sangat diperlukan untuk menutup biaya-biaya Ibu di rumah sakit!
Kenapa dia tidak dapat berakting sebagus dulu? Benarkah seperti kata Kim Yoo Jung, karena Ibu sedang sakit? Karena hatinya sedang gundah? Atau... iklan itu memang tidak cocok untuknya?
* * *
"Kim Yoo Jung tidak semanis Lee Young Yoo," kata Tn. Lee Min Ho puas. "Suaranya juga tidak sebagus kakaknya. Tapi dia lucu. Spontan. Bebas. Kami memang bukan mencari penyanyi. Kami mencari bintang iklan. Dan Kim Yoo Jung-lah yang kami cari!"
Baek Suzy melongo kebingungan.
"Maksud... Tuan?"
"Kim Yoo Jung cocok sekali memerankan anak sehat dan lucu dalam iklan susu bubuk itu. Anak-anak akan menyukainya. Dan ibu-ibu mereka akan membeli susu yang diminumnya!"
Baek Suzy tertegun heran. Kim Yoo Jung? Si bawel Kim Yoo Jung? Diakah yang terpilih di antara begitu banyak saingan? Bukan main!
"Saya ingin wali Kim Yoo Jung datang untuk menandatangani kontrak."
"Kapan saya dapat uangnya, Paman?” sela Kim Yoo Jung tak sabar.
“Sesudah walimu datang menandatangani kontrak, kau akan dibayar separu. Sisanya sesudah kau selesai shooting."
"Berapa uangnya?"
"Seluruhnya 10 juta untuk kontrak selama 1 tahun. Jika tahun depan kontrakmu diperpanjang, kau dapat uang lagi."
Kim Yoo Jung menoleh dengan segera pada kakaknya.
"Cukup tidak, Eonni?"
Baek Suzy cuma bisa mengangguk. 10 Juta! Siapa yang masih bisa berpikir cukup atau tidak?"
Bersambung…
Chapter 10 ... Chapter 11
Chapter 9 ... Chapter 12
Chapter 8 ... Chapter 13
Chapter 7 ... Chapter 14
Chapter 6 ... Chapter 15
Chapter 5 ... Chapter 16
Chapter 4 ... Chapter 17
Chapter 3 ... Chapter 18
Chapter 2
Chapter 1
Prolog
Rabu, 27 Juli 2011
The Right Man (Chapter 18)
"Siapa?" Kim Hyun Joong menoleh dengan malas ke arah sekretarisnya.
"Katanya namanya Baek Suzy, Tuan."
“Tidak kenal," sahut Kim Hyun Joong pendek.
"Dia bilang anaknya Kim So Eun, Tuan."
Mata Kim Hyun Joong yang sudah beralih kembali ke angka-angka anggaran produksi di depannya mendadak membeku. Tidak jadi melahap deretan angka-angka di hadapannya. Diangkatnya wajahnya dengan kesal.
"Ada urusan apa lagi?" tanyanya separuh membentak.
“Tidak tahu, Tuan. Dia hanya minta bertemu dengan Tuan."
"Suruh masuk!"
Bergegas sekretaris Kim Hyun Joong meninggalkan ruang kerja direkturnya. Ketika kembali, seorang gadis pincang mengikutinya dari belakang.
"Selamat siang, Paman Kim Hyun Joong," sapa Baek Suzy begitu masuk.
"Ibumu yang menyuruhmu kemari?" tanya Kim Hyun Joong dingin.
Baek Suzy tertegun sesaat. Bukan oleh pertanyaan Kim Hyun Joong. Tetapi oleh dinginnya nada suara lelaki itu. Kapan pernah didengarnya Paman Kim Hyun Joong bertanya sedingin itu? Biasanya dia selalu ramah! Selalu berusaha mengambil hatinya....
Hanya sekali Paman Kim Hyun Joong marah. Waktu terakhir kali datang ke rumahnya. Pada malam ulang tahun Ibu. Tetapi bagaimanapun marahnya dia saat itu, Baek Suzy tidak menyangka begini tawar sambutannya!
Bukankah dia marah kepada Ibu? Mengapa tampaknya dia kesal juga kepadaku, gerutu Baek Suzy dalam hati. Siapa dulu yang begitu ingin menjadi ayah kami? Apakah dia kesal kepadaku karena aku tak pernah keluar melayaninya setiap kali dia datang ke rumah?
"Ibu tidak tahu aku kemari."
Baek Suzy tidak berani duduk karena Paman Kim Hyun Joong tidak menyilakannya. Sekretaris yang ramah itu juga sudah pergi meninggalkan mereka setelah menutup pintu.
"Mau apa kau kemari?"
"Paman…" Baek Suzy mencoba menenangkan dirinya. Dibayangkannya wajah ibunya. Ibu yang sakit. Yang perlu biaya untuk operasinya, Dikuatkannya hatinya. Demi Ibu. Dia harus mencoba. "Aku ingin minta lolong....”
"Kenapa datang kepadaku?"
"Karena cuma Paman Kim Hyun Joong yang bisa menolong.
Kim Hyun Joong mencibir. Menyakitkan sekali. Kalau bukan untuk Ibu, Baek Suzy pasti sudah lari meninggalkannya!
"Kenapa tidak minta tolong kepada ibumu? Atau kepada pacarnya yang ada di rumahmu itu?"
"Paman Kim Bum sudah masuk penjara...."
Ketika melihat seringai di bibir Kim Hyun Joong, Baek Suzy menyesal mengatakannya. Untuk apa? Seharusnya dia tidak usah tahu!
"Jadi dia bukan cuma gigolo."
"Paman Kim Bum bukan gigolo!" protes Baek Suzy tersinggung.
"O, ya? Lantas sedang apa dia di kamar ibumu?”
"Paman Kim Bum sakit!"
"Dan dia tidak bisa bayar ongkos rumah sakit?”
"Paman Kim Bum sangat baik."
"Lalu mengapa orang baik itu masuk penjara?”
"Dia tidak sengaja menabrak orang...."
“Lalu dia lari ke rumah ibumu? Hm, malang sekali nasibnya!?
"Paman, saya datang untuk minta tolong."
"Apa yang dapat kubantu? Menjenguknya di penjara?"
"Ibu sakit, Paman."
Sesaat Kim Hyun Joong terdiam. Ditatapnya gadis yang tegak di hadapannya itu dengan tajam. Ketika melihat air mata yang mulai menggenangi matanya, hati Kim Hyun Joong melunak.
"Sakit apa?"
"Kanker." Baek Suzy tak dapat menahan tangisnya lagi.
Kim Hyun Joong tersentak. Kanker? Kim So Eun kena kanker?
"Kanker apa?" tanyanya agak gugup.
"Payudara, Paman. Ibu harus dioperasi.,.."
"Kenapa datang kepadaku?" desis Kim Hyun Joong pahit. “Aku bukan dokter!"
"Ibu perlu uang untuk biaya operasinya...."
"Tapi di sini bukan Departemen Sosial!"
Sekali lagi Baek Suzy terhenyak. Matanya menatap lelaki itu dengan tatapan tidak percaya. Bukankah Paman Kim Hyun Joong teman Ibu? Beginikah tanggapan seorang teman? Tidak tergugahkah hatinya mendengar Ibu sakit kanker dan harus segera dioperasi?
"Aku tidak bisa menolongmu," gumam Kim Hyun Joong datar. "Antara ibumu dan aku sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi."
“Tapi... Paman Kim Hyun Joong teman Ibu, kan?” protes Baek Suzy kecewa.
"Dulu. Kami sudah putus. Ibumu juga sudah tidak bekerja di sini lagi. Aku tidak dapat menolongnya."
"Paman Kim Hyun Joong tidak bisa meminjamkan uang?" desah Baek Suzy hampir menangis.
"Apa jaminannya? Kapan dikembalikan?"
"Kami sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dijaminkan, Paman. Rumah masih kontrak. Mobil sudah dijual...."
"Itu sama saja dengan minta."
"Saya berjanji akan mengembalikannya!"
"Kapan? Kau sudah kerja apa? Di mana? Berapa gajimu?"
Ya Tuhan! Jahatnya lelaki ini! Untung Ibu tidak jadi menerimanya sebagai suami! Ternyata dia cuma baik kalau ada maunya... kalau sedang menginginkan Ibu! Kebaikannya palsu… munafik!
* * *
Park Ji Yeon memasukkan kantong berisi obat-obatan itu ke balik kemejanya. Lalu bergegas dia menyelinap ke toilet.
Semua sudah direncanakannya masak-masak. Dia sudah menjahit kantong di balik celana dalamnya. Seluruh obat-obatan yang dicurinya itu dituangnya ke dalam kantong.
Lalu kantong plastik bekas obat itu dilipatnya sampai kecil sekali. Dimasukkannya ke dalam mimulut.
Kemudian dengan tenang dia keluar. Mengambil ranselnya. Dan mengikuti antrean teman-temanhya melewati pos pemeriksaan di depan pintu.
Pemeriksaan lewat begitu saja. Sudah beberapa hari Park Ji Yeon mengawasinya. Hanya tas yang diperiksa. Kalau ada yang dicurigai, baru mereka digeledah.
Tetapi sikap Park Ji Yeon yang sangat tenang sama sekali tidak memancing kecurigaan. Dia dapat melewati pos penjagaan dengan aman.
* * *
"Golongan Sopraxetine begini sekarang kurang laku," komentar Bibi Son Ye Jin sambil memasukkan obat-obatan itu ke dalam botol plastik. "Kalau laku, murah. Untungnya tidak banyak."
"Sementara ini cuma itu yang bisa saya peroleh, Bibi. Tapi saya perlu uang."
"Biasa, remaja seumurmu! Kebutuhan banyak, uang tidak punya!"
"Mana uangnya, Bibi? Saya harus cepat pulang. Sudah malam."
"Ini." Bibi Son Ye Jin menyodorkan sebuah amplop.
Park Ji Yeon menerima amplop itu. Dan menghitung uangnya.
"Cuma segini?"
"Sudah aku bilang, obat-obatan begini sekarang kurang laku."
"Ah, alasan! Kalau cuma segini hasilnya, saya mundur saja. Daripada ketahuan. Dipecat. Lebih sial lagi, ditangkap polisi!"
"Mau uang banyak?"
"Kalau tidak ditambah, besok saya tidak mau datang lagi!"
"Baiklah. Aku tambah sepuluh ribu lagi...."
"Dua lima." "Tidak ada tawar-tawaran. Kalau tidak mau, ini ambil kembali obatmu!"
Sialan, maki Park Ji Yeon dalam hati. Diambilnya uang yang disodorkan Bibi Son Ye Jin. Dimasukkannya ke dalam amplop.
"Tahu yang sekarang sedang in?"
Bibi Son Ye Jin memperlihatkan sekantong obat-obatan berwarna merah muda, biru, kuning, dan putih.
"Pernah dengar tentang Ecstasy?"
"Kalau kau bisa jual yang model begini," Bibi Son Ye Jin mengambil salah satu obat itu, "bagianmu 50 ribu per butir!"
"50 ribu?" Mata Park Ji Yeon melebar.
"Obat-obatan ini harganya berkisar antara 50 ribu sampai 500 ribu per butir!"
“Tapi teman-teman saya cuma buruh pabrik!"
“Tapi sebelum jadi buruh pabrik, kau kan pernah sekolah? Teman-temanmu pasti masih kenal denganmu!"
"Saya tidak mau menjerumuskan teman-teman saya!"
"Menjerumuskan ke mana? Ecstasy cuma sebangsa supleman! Teman-temanmu tidak akan teler. Mereka malah semakin bersemangat! Semakin gembira! Ini, ambil beberapa butir. Gratis!"
Kalau tidak membuat pemakainya ketagihan, masa kau begitu royal, pikir Park Ji Yeon muak. Membagikan pil mahal ini secara gratis?
* * *
"Lee Young Yoo, Tuan ini ayahnya Jung Da Bin. Dia pernah nonton operet Cinderella. Beliau sangat tertarik padamu."
Lee Young Yoo menggeleng lesu. Matanya tidak bercahaya Sangat berbeda dengan Lee Young Yoo yang mereka lihat waktu memerankan Cinderella. Saat itu dia tampak begitu hidup. Begitu cerah. Begitu lincah.
"Tn. Lee Min Ho kebetulan sedang mencari seorang bintang cilik untuk bintang iklannya," sambung Mrs. Sung Yu Ri, guru Lee Young Yoo. "Seorang anak yang berbakat sepertimu!"
"Tapi saya sedang malas," sahut Lee Young Yoo lesu.
"Kau tidak tertarik?" desak Mrs. Sung Yu Ri heran. "Katanya kau mau masuk TV!"
Lee Young Yoo menggeleng malas. Matanya redup. Seperti lampu yang turun tegangan listriknya.
"Kau kenapa, Lee Young Yoo? Sakit?"
Lee Young Yoo menggeleng lagi. Tanpa gairah. Tanpa semangat.
"Katakan pada saya, Lee Young Yoo. Ada apa?"
"Ibu sakit."
"Anak manis." Mrs. Sung Yu Ri menghela napas lega. Dibelai-belainya rambut Lee Young Yoo sambil tersenyum. "Kalau kau muncul di televisi, pasti ibumu senang. Dan penyakitnya langsung sembuh."
"Ibu tidak bisa sembuh. Harus dioperasi."
"Lee Young Yoo." Tn. Lee Min Ho mengeluarkan sehelai kartu nama. "Ini kartu nama saya. Kalau ibumu sudah sembuh, kau boleh datang ke kantor Untuk di audisi. Ibumu pasti senang kalau kau yang terpilih. Honornya besar."
Lee Young Yoo mengawasi laki-laki itu dengan ragu-ragu.
"Benarkah saya bisa dapat uang banyak?"
"Tapi kau harus minta persetujuan Ibu dulu, ya? Kalau ibumu mengizinkan..."
"Saya pasti jadi bintang iklan, Tuan?"
"Kau harus di audisi dulu. Banyak anak-anak yang datang melamar."
"Kalau saya tidak terpilih?”
"Jangan terlalu berharap dulu, Lee Young Yoo!" potong Mrs. Sung Yu Ri, berbalik cemas melihat besarnya harapan muridnya, "Sainganmu banyak!"
* * *
“Anak ini belum bisa apa-apa," kata petugas di lembaga yang merawat anak-anak tunamental itu kepada Kim So Eun. "Kami sudah melakukan beberapa macam tes. Hasilnya jelek sekali, Nyonya. Kalau anda setuju, lebih baik Kim Yoo Bin dirawat di sini saja."
"Tapi saya ingin mengasuhnya sendiri di rumah, Nyonya," desah Kim So Eun sedih.
"Dalam masa perkembangan, seharusnya ada proses timbal-balik antara faktor kematangan fisik dan kesempatan untuk mempelajari fungsi-fungsi dasar kehidupan manusia. Pada anak normal, mereka dapat mempelajarinya sendiri, hanya dengan melihat, mendengar, dan meniru orang dewasa. Pada anak cacat mental, lebih-lebih yang imbesil seperti anak anda, harus diajarkan dengan metode khusus."
"Bolehkah-saya tahu metode khusus itu, supaya saya dapat mengajarinya sendiri di rumah?"
“Tentu saja boleh. Tetapi terus terang, kami meragukan hasilnya. Kim Yoo Bin bukan saja memiliki IQ yang sangat rendah, tapi koordinasi antara otot-ototnya pun lemah. Lihat saja caranya berjalan, Caranya memandang. Caranya memegang benda."
"Bolehkah saya mencoba melatihnya dulu di rumah, Nyonya? Saya belum ingin berpisah dengan anak bungsu saya"
"Oh, tentu saja boleh. Hanya perlu anda ketahui, jika terlambat, lebih sulit lagi mengajarinya."
"Saya ingin memasukkannya ke Sekolah Luar Biasa. Apa saja yang diajarkan di sana, Nyonya?"
"Yang penting adalah latihan pengamatan dan latihan bicara. Orientasi ruang dan waktu. Kepercayaan diri. Keseimbangan tubuh. Dan yang tak kalah pentingnya, latihan keterampilan."
"Mereka tidak diajari membaca, menulis, atau berhitung?"
"Tentu saja. Tetapi bukan pelajaran membaca dan berhitung seperti anak normal. Karena anak imbesil tidak mungkin dapat membaca buku atau menghitung kalkulasi yang rumit. Tapi paling tidak, Kim Yoo Bin harus dapat membaca namanya sendiri."
"Terima kasih untuk penjelasannya, Nyonya."
"Kembali. Kami selalu siap membantu jika anda butuhkan. Satu pertanyaan lagi, Nyonya. Apakah saudara-saudaranya dapat menerima kehadiran Kim Yoo Bin dengan wajar?"
Kim So Eun tertegun. Sungguh tak pernah terlintas dalam pikirannya...
"A... apa... maksud anda?"
"Saudara-saudaranya tidak melecehkannya? Tidak merasa minder karena punya adik seperti Kim Yoo Bin?"
Kim So Eun tidak mampu menjawab. Lee Young Yoo dan Kim Yoo Jung memang tidak pernah mengejek Kim Yoo Bin. Tetapi... Kim So Eun tidak tahu mereka malu atau tidak punya adik yang terbelakang mental!
Bersambung...
Chapter 10 ... Chapter 11
Chapter 9 ... Chapter 12
Chapter 8 ... Chapter 13
Chapter 7 ... Chapter 14
Chapter 6 ... Chapter 15
Chapter 5 ... Chapter 16
Chapter 4 ... Chapter 17
Chapter 3
Chapter 2
Chapter 1
Prolog
The Right Man (Chapter 17)
Kim So Eun langsung bangkit ketika melihat Kim Bum keluar diantarkan oleh seorang petugas rumah tahanan.
"Princess," sapa Kim Bum sambil tersenyum. "Apa kabar?" Masih senyum yang sama. Tatapan yang sama. Meskipun tubuh Kim Bum terlihat lebih kurus. Dan matanya sayu seperti kurang tidur.
"Baik," sahut Kim So Eun tersendat Dia ingin bersikap tenang. Tidak memperlihatkan kesedihannya. Tetapi begitu melihat Kim Bum, air matanya berlinang tanpa dapat ditahan lagi.
Dan melihat air mata Kim So Eun. Kim Bum sudah dapat menerka bagaimana hasil pemeriksaan tumor payudara wanita itu. Dia tampak begitu shock sampai tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Kim So Eun melepaskan genggaman umgm Kim Bum. Dan duduk kembali di kursi. Kakinya terasa lemas sampai rasanya dia tidak kuat lagi berdiri. Sementara air matanya mengalir perlahan ke pipi.
Sebenarnya Kim So Eun tidak ingin menangis. Lebih-lebih di depan Kim Bum. Dia tidak mau menambah kesedihan lelaki itu. Tetapi akhir-akhir ini air matanya memang mudah sekali mengalir.
Kim Bum membalikkan tubuhnya. Lengannya bertumpu ke dinding. Tangannya menutupi wajahnya.
Sesaat hanya keheningan menyakitkan yang mengisi suasana.
"Kenapa. Tuhan?" gugat Kim Bum getir. "Kenapa perempuan sebaik dia harus menanggung penderitaan seberai ini?"
"Jangan salahkan Tuhan, Kim Bum," balas Kim So Eun lirih. "Tuhan tidak pernah keliru. Bantulah agar aku tetap tabah dan pasrah."
Kim Bum menurunkan tangannya. Memutar tubuhnya Dan menatap Kim So Eun dengan sedih sambil bersandar lesu ke dinding.
“Stadium berapa?"
"II"
"Itu berarti belum ada metastasis jauh, Kim So Eun." suaranya kedengaran lebih bersemangat. "Jika anak sebar kankermu sudah mencapai organ yang jauh seperti paru atau hati misalnya, kankermu sudah masuk stadium empat."
“Dokter Song Seung Hun menganjurkan operasi diikuti oleh radiatif.”
"Aku mohon kepadamu, Princess" suara Kim Bum begitu memelas. Matanya menatap penuh harap, "ikuti saran dokter. Aku ingin sekeluarnya dari penjara nanti, kau masih menungguku!”
"Bagaimana perkaramu, Kim Bum?" Kim So Eun menyusut air matanya.
"Aku sudah menandatangani proses verbal. Kata pengacaraku, perkaranya akan segera dilimpahkan ke pengadilan."
"Ada harapan pengadilan akan membebaskanmu?"
"Rasanya tidak mungkin. Korban yang kutabrak itu tewas. Kalau aku beruntung, jaksa hanya menuntutku lima tahun."
"Aku bersedia memberikan kesaksian jika perlu, Kim Bum. Malam itu aku menabrakmu sampai kau tidak bisa melapor ke polsek terdekat."
"Aku tidak mau melibatkanmu. Princess. Menyembunyikan buronan bisa dituntut dengan pasal 221 KUHP. Kau bisa kena sembilan bulan penjara!"
*)Pasal 221 KUHP : tentang upaya menghalang-halangi penyidik polisi dalam mengungkap sebuah kasus
"Kalau dapat meringankan hukumanmu, aku tela mengambil risiko itu."
"Aku yang tidak rela! Kesulitanmu sudah cukup banyak!"
"Waktuku tidak banyak lagi, Kim Bum. Aku ingin masih sempat melihatmu keluar dari penjara."
"Berjanjilah kau mau menungguku, Princess," pinta Kim Bum sungguh-sungguh. "Supaya kita bisa berkumpul kembali."
Aku mau. Kim Bum, bisik Kim So Eun dalam hati. Aku mau! Tetapi masih maukah Tuhan menunggu? Masih sudikah Engkau mendengar doaku, Tuhan?
"Bagaimana anak-anak?" Kim Bum menatap Kim So Eun dengan redup. "Mereka... sudah tahu?"
"Mereka sangat sedih. Begitu sedihnya sampai rasanya lebih menyakitkan melihat mereka menangis daripada mendengar kankerku ganas."
"Kami sama-sama takut kehilanganmu, Princess."
"Dan aku lebih takut meninggalkan kalian daripada menghadapi kematian itu sendiri."
"Paling tidak sekarang anak-anakmu sudah dapat memahami dirimu."
"Tetapi sikap mereka sangat berubah, Kim Bum!"
"Apa salahnya jika perubahan itu membawa mereka lebih dekat padamu?"
"Mereka jadi kehilangan keceriaannya. Mereka seolah-olah takut berbuat salah. Takut membuatku sedih. Mereka sangat tertekan."
"Lama-lama mereka pasti dapat menyesuaikan diri. Jangan salahkan dirimu. Kau harus tetap kuat Jangan terlalu stres supaya daya tahanmu tidak menurun. Dan kau harus cukup makan makanan yang bergizi, kurangi lemak hewani dan perbanyak makanan yang mengandung serat."
* * *
Mati-matian Kim So Eun menahan agar air matanya tidak runtuh ketika mobil tuanya dibawa pergi dari halaman rumahnya.
Pergilah sahabatnya yang setia! Yang telah menemaninya selama hampir sepuluh tahun.
Nilainya sebagai mobil sudah hampir tidak ada. Modelnya sudah ketinggalan zaman. Warnanya sudah pudar. Catnya sudah banyak yang terkelupas. Karat sudah menggerogotinya di sana sini.
Tetapi dia masih letap bertahan. Membawa Kim So Eun dan anak-anaknya menelusuri jalan-jalan di Seoul.
Sekarang Kim So Eun harus menjualnya. Karena dia membutuhkan uang untuk biaya operasinya,
Baek Suzy, Lee Young Yoo. dan Kim Yoo Jung tegak di ambang pintu dengan paras sedih. Sementara Park Ji Yeon memilih pergi meninggalkan rumah biarpun masih terlalu pagi untuk berangkat kerja. Dia juga pasti merasa kehilangan. Besok pagi tak ada lagi mobil yang harus dicucinya.
Kim So Eun membawa anak-anaknya masuk. Dan membereskan uang yang masih bertumpuk di atas meja di ruang tamu.
Lee Young Yoo dan Kim Yoo Jung tegak di samping kursi Kim So Eun. Sementara Baek Suzy duduk di hadapan ibunya.
"Cukup untuk ongkos operasi, Bu?" tanya Lee Young Yoo ragu-ragu.
"Pasti cukup!" sergah Kim Yoo Jung segera. "Uang begini banyak masa tidak cukup. Iya kan, Bu?"
Kim So Eun hanya tersenyum. Tetapi sedihnya senyum itu sudah menjawab pertanyaan Lee Young Yoo. Mobil mereka hanya laku 5 juta. Belum ada separuh biaya operasi yang dibutuhkan!
Sementara Kim Hyun Joong sudah mencoret nama Kim So Eun dari daftar pemain dalam produksi filmnya. Memang tidak sulit menghilangkannya begitu saja. Dia cuma pemain pengganti. Tidak ada yang mengenali wajahnya. Diganti pun tidak ada yang tahu. Tidak merusak kesinambungan cerita.
Sia-sia Kim So Eun berusaha menemui Kim Hyun Joong. Dia sudah tidak mau menjumpainya lagi. Memprotes pun tidak ada gunanya. Tidak ada kontrak yang mengikat mereka. Dia pemain lepas. Dibayar hanya kalau main. Ke mana lagi dia harus minta tolong?
* * *
"Gajimu hanya 1 juta. Belum setahun bekerja. Bagaimana mungkin kau mau pinjam sampai 10 juta?"
Tn. Song Chang Ui, bagian keuangan di perusahaan farmasi tempat Park Ji Yeon bekerja, sebenarnya baik hati. Orangnya kalem. Tutur bicaranya lambat, sampai kadang-kadang Park Ji Yeon tidak sabar menunggu sampai dia selesai bicara.
Tetapi bagaimanapun baiknya dia, Tn. Song Chang Ui tidak berani meminjamkan uang sebanyak itu kepada karyawan baru seperti Park Ji Yeon.
"Ibu saya harus dioperasi, Tuan."
Mengemis adalah hal yang paling dibenci Park Ji Yeon. Tetapi kali ini, demi Ibu, rasanya dia rela melakukan apa saja.
"Alasan banyak, Park Ji Yeon. Tapi kebijaksanaan perusahaan tak dapat saya langgar."
Sia-sia. Percuma saja mengemis belas kasihan. Tn. Song Chang Ui boleh baik. Tetapi tetap tidak dapat menolong. Padahal di rumah, ibunya sangat memerlukan uang. Kalau tidak, Ibu tidak akan menjual mobil kesayangannya.
* * *
"Ibu perlu berapa lagi?" tanya Park Ji Yeon malam itu kepada adiknya. Tentu saja tanpa setahu Ibu.
Baek Suzy menggeleng sedih.
"Ibu tidak mau bilang. Pasti masih banyak. Ibu sampai jual mobil."
"Tidak bisa pinjam dengan temanmu?"
Sekali lagi Baek Suzy menggeleng.
"Ajaklah aku kerja di pabrikmu, Park Ji Yeon."
Kali ini, Park Ji Yeon yang menggelengkan kepala.
"Kau tidak akan kuat. Lagi pula berapa uang yang bisa kita kumpulkan? Kalau cuma mengandalkan gaji, sampai berapa lama kita baru bisa mengumpulkan uang untuk operasi Ibu?"
"Jadi kita harus minta tolong ke mana?"
"Tidak tahu."
"Kau setuju kalau aku minta tolong pada Paman Kim Hyun Joong?"
"Paman Kim Hyun Joong? Gila! Ibu bisa marah besar!"
"Tapi cuma dia yang bisa menolong!"
"Belum tentu dia mau!"
"Siapa tahu, demi Ibu?"
"Orang seperti dia cuma mau membantu kalau ada maunya!"
"Apa salahnya mencoba?"
* * *
"Kim So Eun," perlahan-lahan Nenek duduk di samping tempat tidur Kim Yoo Bin, "Kim Yoo Bin sudah tidur?"
"Sudah, Bu. Malam ini dia tidak rewel."
"Beberapa hari ini dia memang baik. Barangkali dia juga tahu, kau sedang sakit."
"Aku ingin menyekolahkannya di Sekolah Luar Biasa, Bu."
"Jangan pikirkan Kim Yoo Bin dulu, Kim So Eun. Pikirkan kesehatanmu. Tumormu tidak sakit?"
“Tidak terasa apa-apa, Bu. Makanya orang sering tidak tahu ada pembunuh yang bersembunyi di dadanya. Baru tahu sesudah terlambat.”
"Kau sudah mantap mau operasi?"
"Rasanya itu jalan terbaik, Bu."
"Kapan?"
"Belum tahu."
"Uangmu belum cukup?"
"Oh, kurang sedikit, Bu! Tidak usah khawatir. Kata Dokter Song Seung Hun..."
"Jangan bohongi Ibu. Anak-anak boleh kau bohongi. Ibu tidak bisa."
Kim So Eun tidak menjawab. Percuma memang mendebat ibunya.
"Ibu tidak punya apa-apa lagi, Kim So Eun," kata Nenek setelah lama berdiam diri. "Cuma ini."
Dalam keremangan Kim So Eun melihat ibunya menyodorkan sebuah kantong kecil berwarna biru.
"Apa ini, Bu?" tanya Kim So Eun bingung.
"Pakailah untuk menambah biaya operasimu."
Ibunya menjejalkan kantong itu ke dalam genggaman Kim So Eun. Ketika Kim So Eun menuang isinya ke telapak tangannya, dia melihat sepasang cincin kawin. Terbuat dari emas berbentuk belah rotan.
"Cuma itu peninggalan ayahmu," kata Nenek datar. "Rasanya dia juga setuju kalau kau jual cincin itu untuk biaya operasimu."
Tersekat kerongkongan Kim So Eun oleh tangis. Ibunya, perempuan bawel yang mengesalkan dan paranoid itu, ternyata sangat menyayanginya! Dia rela mengorbankan peninggalan terakhir suaminya. Cincin kawinnya sendiri....
Saat itu pintu perlahan-lahan terbuka. Lee Young Yoo melongok ke dalam. Tetapi tidak berani masuk.
"Ada apa, Lee Young Yoo?" tegur Kim So Eun lunak. "Masuklah."
"Ini tabunganku, Bu," ragu-ragu Lee Young Yoo menyodorkan dompetnya. "Dari hasil uang sewa buku."
"Dan ini celengan-ku, Bu!" Kim Yoo Jung menerobos masuk membawa celengan ayam-ayamannya. Dikocok-kocoknya dengan bangga. "Sudah penuh, Bu! Cukup tidak untuk Ibu berobat?"
Kim So Eun merangkul kedua anaknya dengan terharu.
"Tentu saja cukup, Sayang. Semuanya untuk Ibu?"
Berbarengan Lee Young Yoo dan Kim Yoo Jung mengangguk. Kim So Eun mengecup dahi anak-anaknya dengan air mata berlinang.
Ya Tuhan, bisik Kim So Eun dalam hati. Jika doaku tidak Kau terima karena dosa-dosaku di masa lalu, tolong dengarkan saja doa anak-anakku, Tuhan! Mereka masih sepolos bayi, seputih kapas! Dan mereka sangat mengharapkan kesembuhan ibunya!
Bersambung…
Chapter 10 ... Chapter 11
Chapter 9 ... Chapter 12
Chapter 8 ... Chapter 13
Chapter 7 ... Chapter 14
Chapter 6 ... Chapter 15
Chapter 5 ... Chapter 16
Chapter 4
Chapter 3
Chapter 2
Chapter 1
Prolog
"Princess," sapa Kim Bum sambil tersenyum. "Apa kabar?" Masih senyum yang sama. Tatapan yang sama. Meskipun tubuh Kim Bum terlihat lebih kurus. Dan matanya sayu seperti kurang tidur.
"Baik," sahut Kim So Eun tersendat Dia ingin bersikap tenang. Tidak memperlihatkan kesedihannya. Tetapi begitu melihat Kim Bum, air matanya berlinang tanpa dapat ditahan lagi.
Dan melihat air mata Kim So Eun. Kim Bum sudah dapat menerka bagaimana hasil pemeriksaan tumor payudara wanita itu. Dia tampak begitu shock sampai tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Kim So Eun melepaskan genggaman umgm Kim Bum. Dan duduk kembali di kursi. Kakinya terasa lemas sampai rasanya dia tidak kuat lagi berdiri. Sementara air matanya mengalir perlahan ke pipi.
Sebenarnya Kim So Eun tidak ingin menangis. Lebih-lebih di depan Kim Bum. Dia tidak mau menambah kesedihan lelaki itu. Tetapi akhir-akhir ini air matanya memang mudah sekali mengalir.
Kim Bum membalikkan tubuhnya. Lengannya bertumpu ke dinding. Tangannya menutupi wajahnya.
Sesaat hanya keheningan menyakitkan yang mengisi suasana.
"Kenapa. Tuhan?" gugat Kim Bum getir. "Kenapa perempuan sebaik dia harus menanggung penderitaan seberai ini?"
"Jangan salahkan Tuhan, Kim Bum," balas Kim So Eun lirih. "Tuhan tidak pernah keliru. Bantulah agar aku tetap tabah dan pasrah."
Kim Bum menurunkan tangannya. Memutar tubuhnya Dan menatap Kim So Eun dengan sedih sambil bersandar lesu ke dinding.
“Stadium berapa?"
"II"
"Itu berarti belum ada metastasis jauh, Kim So Eun." suaranya kedengaran lebih bersemangat. "Jika anak sebar kankermu sudah mencapai organ yang jauh seperti paru atau hati misalnya, kankermu sudah masuk stadium empat."
“Dokter Song Seung Hun menganjurkan operasi diikuti oleh radiatif.”
"Aku mohon kepadamu, Princess" suara Kim Bum begitu memelas. Matanya menatap penuh harap, "ikuti saran dokter. Aku ingin sekeluarnya dari penjara nanti, kau masih menungguku!”
"Bagaimana perkaramu, Kim Bum?" Kim So Eun menyusut air matanya.
"Aku sudah menandatangani proses verbal. Kata pengacaraku, perkaranya akan segera dilimpahkan ke pengadilan."
"Ada harapan pengadilan akan membebaskanmu?"
"Rasanya tidak mungkin. Korban yang kutabrak itu tewas. Kalau aku beruntung, jaksa hanya menuntutku lima tahun."
"Aku bersedia memberikan kesaksian jika perlu, Kim Bum. Malam itu aku menabrakmu sampai kau tidak bisa melapor ke polsek terdekat."
"Aku tidak mau melibatkanmu. Princess. Menyembunyikan buronan bisa dituntut dengan pasal 221 KUHP. Kau bisa kena sembilan bulan penjara!"
*)Pasal 221 KUHP : tentang upaya menghalang-halangi penyidik polisi dalam mengungkap sebuah kasus
"Kalau dapat meringankan hukumanmu, aku tela mengambil risiko itu."
"Aku yang tidak rela! Kesulitanmu sudah cukup banyak!"
"Waktuku tidak banyak lagi, Kim Bum. Aku ingin masih sempat melihatmu keluar dari penjara."
"Berjanjilah kau mau menungguku, Princess," pinta Kim Bum sungguh-sungguh. "Supaya kita bisa berkumpul kembali."
Aku mau. Kim Bum, bisik Kim So Eun dalam hati. Aku mau! Tetapi masih maukah Tuhan menunggu? Masih sudikah Engkau mendengar doaku, Tuhan?
"Bagaimana anak-anak?" Kim Bum menatap Kim So Eun dengan redup. "Mereka... sudah tahu?"
"Mereka sangat sedih. Begitu sedihnya sampai rasanya lebih menyakitkan melihat mereka menangis daripada mendengar kankerku ganas."
"Kami sama-sama takut kehilanganmu, Princess."
"Dan aku lebih takut meninggalkan kalian daripada menghadapi kematian itu sendiri."
"Paling tidak sekarang anak-anakmu sudah dapat memahami dirimu."
"Tetapi sikap mereka sangat berubah, Kim Bum!"
"Apa salahnya jika perubahan itu membawa mereka lebih dekat padamu?"
"Mereka jadi kehilangan keceriaannya. Mereka seolah-olah takut berbuat salah. Takut membuatku sedih. Mereka sangat tertekan."
"Lama-lama mereka pasti dapat menyesuaikan diri. Jangan salahkan dirimu. Kau harus tetap kuat Jangan terlalu stres supaya daya tahanmu tidak menurun. Dan kau harus cukup makan makanan yang bergizi, kurangi lemak hewani dan perbanyak makanan yang mengandung serat."
* * *
Mati-matian Kim So Eun menahan agar air matanya tidak runtuh ketika mobil tuanya dibawa pergi dari halaman rumahnya.
Pergilah sahabatnya yang setia! Yang telah menemaninya selama hampir sepuluh tahun.
Nilainya sebagai mobil sudah hampir tidak ada. Modelnya sudah ketinggalan zaman. Warnanya sudah pudar. Catnya sudah banyak yang terkelupas. Karat sudah menggerogotinya di sana sini.
Tetapi dia masih letap bertahan. Membawa Kim So Eun dan anak-anaknya menelusuri jalan-jalan di Seoul.
Sekarang Kim So Eun harus menjualnya. Karena dia membutuhkan uang untuk biaya operasinya,
Baek Suzy, Lee Young Yoo. dan Kim Yoo Jung tegak di ambang pintu dengan paras sedih. Sementara Park Ji Yeon memilih pergi meninggalkan rumah biarpun masih terlalu pagi untuk berangkat kerja. Dia juga pasti merasa kehilangan. Besok pagi tak ada lagi mobil yang harus dicucinya.
Kim So Eun membawa anak-anaknya masuk. Dan membereskan uang yang masih bertumpuk di atas meja di ruang tamu.
Lee Young Yoo dan Kim Yoo Jung tegak di samping kursi Kim So Eun. Sementara Baek Suzy duduk di hadapan ibunya.
"Cukup untuk ongkos operasi, Bu?" tanya Lee Young Yoo ragu-ragu.
"Pasti cukup!" sergah Kim Yoo Jung segera. "Uang begini banyak masa tidak cukup. Iya kan, Bu?"
Kim So Eun hanya tersenyum. Tetapi sedihnya senyum itu sudah menjawab pertanyaan Lee Young Yoo. Mobil mereka hanya laku 5 juta. Belum ada separuh biaya operasi yang dibutuhkan!
Sementara Kim Hyun Joong sudah mencoret nama Kim So Eun dari daftar pemain dalam produksi filmnya. Memang tidak sulit menghilangkannya begitu saja. Dia cuma pemain pengganti. Tidak ada yang mengenali wajahnya. Diganti pun tidak ada yang tahu. Tidak merusak kesinambungan cerita.
Sia-sia Kim So Eun berusaha menemui Kim Hyun Joong. Dia sudah tidak mau menjumpainya lagi. Memprotes pun tidak ada gunanya. Tidak ada kontrak yang mengikat mereka. Dia pemain lepas. Dibayar hanya kalau main. Ke mana lagi dia harus minta tolong?
* * *
"Gajimu hanya 1 juta. Belum setahun bekerja. Bagaimana mungkin kau mau pinjam sampai 10 juta?"
Tn. Song Chang Ui, bagian keuangan di perusahaan farmasi tempat Park Ji Yeon bekerja, sebenarnya baik hati. Orangnya kalem. Tutur bicaranya lambat, sampai kadang-kadang Park Ji Yeon tidak sabar menunggu sampai dia selesai bicara.
Tetapi bagaimanapun baiknya dia, Tn. Song Chang Ui tidak berani meminjamkan uang sebanyak itu kepada karyawan baru seperti Park Ji Yeon.
"Ibu saya harus dioperasi, Tuan."
Mengemis adalah hal yang paling dibenci Park Ji Yeon. Tetapi kali ini, demi Ibu, rasanya dia rela melakukan apa saja.
"Alasan banyak, Park Ji Yeon. Tapi kebijaksanaan perusahaan tak dapat saya langgar."
Sia-sia. Percuma saja mengemis belas kasihan. Tn. Song Chang Ui boleh baik. Tetapi tetap tidak dapat menolong. Padahal di rumah, ibunya sangat memerlukan uang. Kalau tidak, Ibu tidak akan menjual mobil kesayangannya.
* * *
"Ibu perlu berapa lagi?" tanya Park Ji Yeon malam itu kepada adiknya. Tentu saja tanpa setahu Ibu.
Baek Suzy menggeleng sedih.
"Ibu tidak mau bilang. Pasti masih banyak. Ibu sampai jual mobil."
"Tidak bisa pinjam dengan temanmu?"
Sekali lagi Baek Suzy menggeleng.
"Ajaklah aku kerja di pabrikmu, Park Ji Yeon."
Kali ini, Park Ji Yeon yang menggelengkan kepala.
"Kau tidak akan kuat. Lagi pula berapa uang yang bisa kita kumpulkan? Kalau cuma mengandalkan gaji, sampai berapa lama kita baru bisa mengumpulkan uang untuk operasi Ibu?"
"Jadi kita harus minta tolong ke mana?"
"Tidak tahu."
"Kau setuju kalau aku minta tolong pada Paman Kim Hyun Joong?"
"Paman Kim Hyun Joong? Gila! Ibu bisa marah besar!"
"Tapi cuma dia yang bisa menolong!"
"Belum tentu dia mau!"
"Siapa tahu, demi Ibu?"
"Orang seperti dia cuma mau membantu kalau ada maunya!"
"Apa salahnya mencoba?"
* * *
"Kim So Eun," perlahan-lahan Nenek duduk di samping tempat tidur Kim Yoo Bin, "Kim Yoo Bin sudah tidur?"
"Sudah, Bu. Malam ini dia tidak rewel."
"Beberapa hari ini dia memang baik. Barangkali dia juga tahu, kau sedang sakit."
"Aku ingin menyekolahkannya di Sekolah Luar Biasa, Bu."
"Jangan pikirkan Kim Yoo Bin dulu, Kim So Eun. Pikirkan kesehatanmu. Tumormu tidak sakit?"
“Tidak terasa apa-apa, Bu. Makanya orang sering tidak tahu ada pembunuh yang bersembunyi di dadanya. Baru tahu sesudah terlambat.”
"Kau sudah mantap mau operasi?"
"Rasanya itu jalan terbaik, Bu."
"Kapan?"
"Belum tahu."
"Uangmu belum cukup?"
"Oh, kurang sedikit, Bu! Tidak usah khawatir. Kata Dokter Song Seung Hun..."
"Jangan bohongi Ibu. Anak-anak boleh kau bohongi. Ibu tidak bisa."
Kim So Eun tidak menjawab. Percuma memang mendebat ibunya.
"Ibu tidak punya apa-apa lagi, Kim So Eun," kata Nenek setelah lama berdiam diri. "Cuma ini."
Dalam keremangan Kim So Eun melihat ibunya menyodorkan sebuah kantong kecil berwarna biru.
"Apa ini, Bu?" tanya Kim So Eun bingung.
"Pakailah untuk menambah biaya operasimu."
Ibunya menjejalkan kantong itu ke dalam genggaman Kim So Eun. Ketika Kim So Eun menuang isinya ke telapak tangannya, dia melihat sepasang cincin kawin. Terbuat dari emas berbentuk belah rotan.
"Cuma itu peninggalan ayahmu," kata Nenek datar. "Rasanya dia juga setuju kalau kau jual cincin itu untuk biaya operasimu."
Tersekat kerongkongan Kim So Eun oleh tangis. Ibunya, perempuan bawel yang mengesalkan dan paranoid itu, ternyata sangat menyayanginya! Dia rela mengorbankan peninggalan terakhir suaminya. Cincin kawinnya sendiri....
Saat itu pintu perlahan-lahan terbuka. Lee Young Yoo melongok ke dalam. Tetapi tidak berani masuk.
"Ada apa, Lee Young Yoo?" tegur Kim So Eun lunak. "Masuklah."
"Ini tabunganku, Bu," ragu-ragu Lee Young Yoo menyodorkan dompetnya. "Dari hasil uang sewa buku."
"Dan ini celengan-ku, Bu!" Kim Yoo Jung menerobos masuk membawa celengan ayam-ayamannya. Dikocok-kocoknya dengan bangga. "Sudah penuh, Bu! Cukup tidak untuk Ibu berobat?"
Kim So Eun merangkul kedua anaknya dengan terharu.
"Tentu saja cukup, Sayang. Semuanya untuk Ibu?"
Berbarengan Lee Young Yoo dan Kim Yoo Jung mengangguk. Kim So Eun mengecup dahi anak-anaknya dengan air mata berlinang.
Ya Tuhan, bisik Kim So Eun dalam hati. Jika doaku tidak Kau terima karena dosa-dosaku di masa lalu, tolong dengarkan saja doa anak-anakku, Tuhan! Mereka masih sepolos bayi, seputih kapas! Dan mereka sangat mengharapkan kesembuhan ibunya!
Bersambung…
Chapter 10 ... Chapter 11
Chapter 9 ... Chapter 12
Chapter 8 ... Chapter 13
Chapter 7 ... Chapter 14
Chapter 6 ... Chapter 15
Chapter 5 ... Chapter 16
Chapter 4
Chapter 3
Chapter 2
Chapter 1
Prolog
Langganan:
Postingan (Atom)