Hasrat memang bisa habis dimuntahkan, tapi tidak dengan gelisah. Selalu saja ada yang tersisa, tertahan. Dan perlahan namun pasti, ia kembali berkembang biak memadati benak.
Se7en Choi membatin, “Kenapa istriku bisa tahu? Aku sudah bertindak secermat dan serapi mungkin, tidak mungkin ada yang mengetahui. Ah, dia pasti hanya sedang kesal, dia pasti hanya menduga duga. Bukankah perempuan selalu menduga duga?”
Dan siapa pula yang bisa mengerti hati perempuan?
“Kau pembohong. Aku tahu kau selingkuh. Aku yakin itu. Aku memang tidak punya bukti apapun. Aku hanya tahu. Dan aku yakin aku benar. Kau telah menghianatiku.”
Mereka berdua memejamkan mata, tapi jauh dari tidur. Bagaimana bisa tidur jika gelisah menodongmu dengan pertanyaan pertanyaan?
“Tapi bagaimana seandainya jika dia memang tahu? Mungkin saja ada kawannya yang melihat lalu melaporkan padanya. Mungkin saja aku sedang lalai saat itu. Dalih apa yang harus kupersiapkan? Aku harus membuat seribu satu alasan. Aku harus tetap tenang. Semuanya normal, semua terkendali seperti biasa. Dia tidak punya bukti apapun dan aku adalah seorang suami yang baik, seorang ayah yang baik,” Se7en Choi mecoba meredam gelisah dengan menghibur diri, mencoba terus menerus merasa berarti.
Park Han Byul juga sama sibuknya, sibuk bertanya dan menduga-duga.
“Tapi bagaimana jika aku nanti memiliki bukti perselingkuhannya? Bagaimana jika suatu ketika aku memergokinya dengan mata kepalaku sendiri? Bagaimana jika ada orang lain yang memergokinya? Apakah aku harus meninggalkannya? Selama ini dia adalah seorang suami yang baik, seorang ayah yang baik, sanggupkah aku kehilangan dia?”
Dan mereka memejamkan mata sepanjang malam, tapi jauh dari tidur. Bagaimana bisa terlelap jika ketakutan ketakutan datang menyelinap?
Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar