glitter-graphics.com
Sementara itu, di aula perpustakaan universitas, Kim Bum sedang menarik-narik rambutnya yang kusut. Rambut itu sebagian menutup keningnya. Kuduknya yang telah tertutup rambut terasa panas. Gatal. Perlu shampoo. Tapi, baru kemarin dikeramas. Kalau begitu, gatal ini bukan gatal fisik. Ini gatal psikis. Boleh jadi psikosomatis. Gangguan-gangguan jiwa yang menggejala ke fisiko Kalau begitu perlu konsultasi pada psikiater. Ah, kenapa harus konsultasi segala? Kenapa tidak berusaha menyembuhkan diri sendiri?
Kim Bum termangu menatap buku yang terkembang di hadapannya. Ruangan perpustakaan itu hening. Mahasiswa-mahasiswa menekuni bacaan mereka. Dan, Kim Bum kembali ke bukunya. Deretan huruf yang dilihatnya cuma sekejap punya makna baginya. Kemudian berganti garis hitam kabur.
Kegelisahan sekarang ini, perlu ditanggulangi secepatnya. Gejalanya kian mengganggu. Sulit tidur, gelisah, keringatan tanpa adanya gerakan tubuh, dan banyak lagi tanda gangguan psikologis. Pacaran tak menolong lagi. Bahkan boleh jadi pacaran itu penyebabnya. Nah, kalau begitu, gugurlah satu teori. Selama ini ada teori di kalangan mahasiswa: kegelisahan, frustrasi, dan semacamnya akan hilang kalau diatasi dengan jalan pacaran. Tetapi, dengan pengalaman ini, Kim Bum telah merasakan bahwa pacaran itulah yang merusuhi hati-nya. Perempuan memang sumber malapetaka.
Catastrophe(Keputusan)!
Sebelum dia didapat, dia harus dikejar. Berhari-hari, berminggu-minggu mengejar hanya untuk bisa memeluknya, menciumnya, dan bilang, "Aku cinta padamu." Dan, setelah itu, dia berbalik mengejar. Membuat gugup lelaki. Pantang melihat mata melirik. Kecemburuannya meluap-luap. Wah, wah, wah, itu baru pacaran. Bagaimana kalau sudah menikah? Barangkali dia akan mengikat kaki suaminya. Membatasi gerak suaminya. Pasti lelaki akan kehilangan kebebasannya. Pasti si istri akan membuat dimensi ruang dan waktu suaminya dengan sangat ketatnya.
Kim Bum menghirup udara sepenuh dada. Dan, rambutnya yang mulai gondrong terasa gatal lagi. Dia menggaruk. Panas. Ah, kulit kepalanya sampai perih. Dia menghentikan garukannya, tetapi titik kepuasan belum tercapai. Rasa gatal masih mengambang. Dia jengkel. Cuma, kepada siapa kejengkelan itu harus diarahkan?
Dia menatap berkeliling. Gadis berbaju merah di sampingnya, rupa-rupanya sejak tadi mengawasinya. Gadis itu berbisik kepada temannya. Lalu kedua gadis itu mengikik.
"Primates[Bangsa Kera]," kata gadis berbaju merah.
"Ya?" kata temannya. "Golongan apa? Anthropomorphae[Kera Bentuk Manusia] atau Cercopithecidae[Kera Bentuk Anjing]?"
Keduanya mengikik lagi. Wajah Kim Bum merah padam. Biarpun bukan bidangnya, tetapi dia tahu istilah-istilah itu. Namun, delikannya tak digubris kedua gadis itu.
"Hiii, seram. Lihat matanya yang melotot, lebih mempercarnivora[Bangsa Binatang Buas]," kata gadis baju merah.
"Bisik-bisik, cium-cium, raba-raba. Aih, dunia yang gawat, kenapa kau mentolerir lesbianisme di muka bumi ini? Bukankah ada aku, lelaki yang menganggur?" kata Kim Bum seolah membaca dari bukunya.
Cekikikan dan bisik-bisik terputus. Kepala kedua gadis itu merenggang. Mereka melotot ke arah Kim Bum.
Kim Bum tak acuh. Dia membalik-balik halaman bukunya. Lalu pura-pura menemukan tulisan yang dicarinya. Dan, seperti membaca dia berkata, "Seorang wanita akan bertingkah kalau dia merasa dirinya cantik. Sebab, dia tahu dia menjadi pusat perhatian. Tapi, seorang wanita akan bertingkah juga walau dia tahu dirinya jelek seperti macacus irus[Monyet]. Tentunya agar menarik perhatian orang banyak."
Kedua gadis itu saling pandang. Lalu, "Aisshh!" kala gadis baju merah.
"Aigoo!" kata temannya.
“Hmmm,” gumam Kim Bum.
Kedua gadis itu saling pandangan lagi. Lalu, seperti sudah bersepakat sebelumnya, keduanya berdiri dan mengemasi buku-bukunya.
"Kita pindah saja," kata gadis baju merah. "Ya, dekat carnivora itu busuk baunya."
"Hei, jangan menghina ya?" bentak Kim Bum.
"Menghina apa?" Gadis berbaju merah berkacak pinggang.
"Uf, galaknya."
Kedua gadis itu beranjak.
"Ya Tuhan, terima kasih atas keadilan-Mu sebab gadis itu bukan pacarku," kata Kim Bum.
"Siapa yang sudi jadi pacarmu? Brengsek!" Gadis baju merah membalik dan membentak.
Kim Bum termangu.
"Telah terjadi perubahan radikal rupanya. Gadis-gadis tak lagi sepenakut dulu. Kemajuan atau kemunduran? Biasanya gadis-gadis korea terkenal pemalu. Tak suka berbantah. Tapi, yang kuhadapi ini, betul-betul radikal. Galak. Uf, uf, uf, perubahan kulturil. Barangkali ide-ide woman's lib sudah masuk ke Shinhwa University ini. Bahaya."
Kedua gadis itu duduk di sudut ruangan.
"Sampai mana tadi? Ah, apa pun belum ada yang kubaca. Sudah berapa jam aku memegang buku ini? Time is knowledge. Tapi, bagaimana kalau pikiran kacau?" gerutu Kim Bum. "Oh, ya, pakai metode andalanku saja. Barangkali kesulitan bisa diatasi."
Lalu Kim Bum mengeluarkan kertas, dan bolpoin. Dia menulis angka satu, tapi tak tertulis. Dia corat- coretkan bolpoin itu, tinta tetap tak keluar.
"Sialan! langkah pertama saja sudah macet, bagaimana bisa mengkalkulasi seluruh kesulitan?" Kim Bum memperhatikan sekeliling. Mahasiswa-mahasisiwa sedang asyik membuat catatan bagi buku yang mereka baca. Siapa yang sedang tidak menggunakan pulpen? Ah, semua sedang menulis. Oh, tidak. itu di sudut, mereka sedang membaca. Pulpennya pasti menganggur. Cuma, bagaimana mendekatinya? Tadi sudah konflik.
Tapi, dicoba saja. Kim Bum bangkit. Dia berjalan mendekati kedua gadis itu. Mereka mengetahui kedatangan lelaki ini. Sudah barang tentu mereka memperlihatkan sikap acuh.
Deheman Kim Bum sesungguhnya hampir membuat kedua gadis itu mengangkat kepala. Namun, mereka bertahan terus menekuni buku mereka.
"Maaf, Nona," kata Kim Bum akhirnya.
Gadis baju merah mengangkat kepala, dan mengangkat alisnya. Seperti melihat makhluk aneh dari planet lain dia mengawasi Kim Bum, dari kaki hingga ujung rambut. Berkali-kali.
"Boleh pinjam pulpennya?"
Gadis baju merah menatap temannya.
"Apa katanya?"
"Tidak tahu. Bahasanya kurang komunikatif." Kim Bum berdiri menahan kedongkolan yang merayap-rayap.
"Kalau pulpennya tak dipakai, boleh saya pinjam?" katanya.
Gadis baju merah melirik sekejap.
"Hmmm," gumamnya.
"Dia perlu pulpen?" kata temannya.
"Bisa dipercaya tidak manusia ini?" kata gadis baju merah.
"Coba kita pikir."
"Boleh tidak?" kata Kim Bum.
"Kenapa kau jadi memaksa," ujar si Baju Merah.
"Agak biadab ya?" Temannya menimpali.
"Sombong sekali?"
"Pinjamkan tidak ya?" kata si Baju Merah.
"Pinjamkan saja, Kim So Eun," kata temannya.
"Ini."
"Terima kasih."
"Tidak usah terima kasih. Asal cepat mengembalikannya saja."
Kim Bum berbalik kembali ke mejanya. Dia ingin menulis kesulitan-kesulitannya sekarang. Tetapi, aneh. Di situlah kesulitannya. Dia tidak bisa merumuskannya dalam kalimat yang ringkas dan jelas. Dia pandangi angka satu yang baru saja ditulisnya. Kenapa belum bisa dirumuskan kesulitan yang terasa belakangan ini? Aneh, malah pemilik pulpen ini yang membayang. Kesulitan baru.
Pulpen berwama kuning emas itu berkilat. Dan, membayang wajah pemiliknya. Wajah kuning, bermata galak. Bibir yang seperti mengulum ejekan. Ha, pasti dia seorang yang senang bercanda. Matanya yang bersinar-sinar tak henti-hentinya tertawa. Alisnya yang lebat menandakan bahwa dia bukan pesolek. Alisnya teratur tanpa bekas cukuran. Dan, hidungnya akan menimbulkan rasa iba kalau dia terserang pilek. Hidung yang indah.
Kim Bum tercengang lantaran di kertasnya tergambar sketsa wajah gadis itu.
"Gila!" rutuknya. Dan, dia berusaha lagi merenungkan kesulitannya. Memikirkan faktor-faktor yang menyebabkan kerusuhan hatinya belakangan ini, dia menuliskan:
1. Jangka waktu studi sudah mepet. Orang tua hanya mau membiayai selama enam bulan lagi.
2. Rongrongan Park Ji Yeon yang ingin segera dinikahi, mengganggu konsentrasi.
3. Mata kuliah dari Mrs. Son Ye Jin sudah enam kali ditempuh, belum lulus juga.
4. Urusan-urusan organisasi mahasiswa intra-universitas.
Kim Bum masih mencari kesulitan lainnya, tetapi cuma itu yang terumus. Cuma ini? Dia tak percaya. Kenapa begitu sedikit? Padahal gangguan terhadap pikirannya hampir-hampir tak tertanggungkan. Kalau memang benar cuma ada empat persoalan, tentunya tidak terlalu sulit menanggulanginya. Soal biaya dari orang tua yang telah terbatas, nanti bisa dipikirkan. Jangan sekarang. Kalau orang tua betul-betul mau menghentikan setelah jangka waktu studi genap lima tahun, apa mau dikata? Dilihat saja nanti kelanjutannya. Siapa tahu masih bisa mundur sedikit lagi. Kalau tidak, ya bagaimana baiknyalah. Jadi, ultimatum dari kampung itu bolehlah dikesampingkan. Que sera sera, yang mau terjadi, terjadilah.
Lalu, Park Ji Yeon. Apa yang harus dilakukannya? Menikah? Yang benar saja, terlalu buru-buru. Aku baru 25 tahun. Lima atau enam tahun lagi baru bisa memikirkan itu. Park Ji Yeon sekarang 23 tahun. Ya, ya, ya, sepertinya dia pun belum layak memikirkan ini. Cuma, memikirkan dengan menyangkutkan diriku, betul-betul malapetaka. Bagaimana mengatasi ini? Apakah aku harus memutuskan hubungan? O, itu tak patut. Aku mencintainya. Ah, matanya yang sejuk, dan senyumnya yang melankolis. Dia sebenamya sempurna sekali untuk dicintai. Sayang dia terlalu mendesakku. Dia terlalu menggantungkan diri. Aku lebih menyukai gadis-gadis yang berani menantang hidup. Gadis-gadis yang berani mandiri. Gadis yang... ha, seperti si Baju Merah itulah! Galak, menantang, dan pastilah betul-betul menghayati emansipasi. Bukan seperti Park Ji Yeon yang sentimentil. Pemalu di depan orang, tetapi agresif di tempat tersembunyi.
Lantas akan diapakan dia? Andainya dia percaya pada dirinya, tak perlu mendesakku terus-menerus. Toh aku mencintainya. Aku belum ada niat meninggalkannya. Rongrongannya betul-betul membuat aku takut menghadapinya. Apakah dia akan begitu setelah menjadi seorang istri? Mungkin malah lebih ekstrem. Ah, ah, ah, dia membuatku takut menikah. Jika menikah cuma membuat lelaki terkurung di rumah, nerakalah itu! Aku tidak mau memikirkan itu. Tidak mau, tidak mau, tidak mau!
Lalu Mrs. Son Ye Jin. Ah, dosen yang pemarah itu! Gadis yang sebenarnya cantik, tetapi statusnya membuatnya harus seangker mungkin. Bagaimana harus menghadapinya? Aku telah bosan ujian dari mata kuliah dia lagi. Literatur wajibnya sudah kulalap, tetapi kenapa tak juga lulus? Barangkali betul yang dibilang Leeteuk, Yesung, Donghae, atau siapa lagi. Ini bukan lagi ujian intelejensia. Pasti ada dendam tak kenal ampun. Makanya dia tak mau meluluskan aku dari mata kuliahnya. Apa kesalahanku? Kapan aku menyinggung perasaannya! Ah, ah, ah, sulit menghadapi gadis usia tiga puluhan. Walaupun ia cantik, tetapi galak, ya tentulah ada gangguan jiwa juga. Dia tak bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Ilmu psikologinya tidak bisa dia gunakan.
Akan kuhadapi dosen yang masih gadis itu. Akan kutanya dengan beratatap muka langsung, di mana kekuranganku. Kalau perlu, akan kutuntut agar aku ujian lisan di depan panitia yang sengaja dibentuk. Ya, kalau perlu kugerakkan Dewan Mahasiswa untuk membuat resolusi. Persetan! Aku tak bisa lagi bersabar. Gara-gara mata kuliahnya maka kenaikan tingkatku tertunda terus. Perlu dihadapi dengan tekat keras. Soalnya kesempatan ujian kali ini menentukan nasibku di hari mendatang.
Tentang urusan organisasi mahasiswa intra? Tentulah belum bisa ditinggalkan. Aku masih membutuhkan kursi di Dewan Mahasiswa. Aku memerlukan posisi yang kuat. Siapa tahu aku harus menghadapi kekuatan-kekuatan yang tidak menyukaiku. Seperti dosen-dosen yang mempersukar ujianku misalnya. Bukan hanya untuk kepentingan pribadiku saja. Teman-teman mahasiswa juga membutuhkan pahlawan yang akan memperjuangkan kepentingan mereka. Cukup banyak dosen otoriter di kampus ini.
Jadi, begitulah persoalannya. Tidak perlu lagi rusuh. Bukan begitu, Kim Bum? Kau harus menyayangi dirimu. Dirimu adalah orang yang harus paling kaucintai, melebihi cinta kepada siapa pun. Jangan rusuh. Jangan gelisah.
Lalu Kim Bum kembali menekuni bukunya. Kembali terbenam dalam keasyikan.
Bersambung…
Kim Bum termangu menatap buku yang terkembang di hadapannya. Ruangan perpustakaan itu hening. Mahasiswa-mahasiswa menekuni bacaan mereka. Dan, Kim Bum kembali ke bukunya. Deretan huruf yang dilihatnya cuma sekejap punya makna baginya. Kemudian berganti garis hitam kabur.
Kegelisahan sekarang ini, perlu ditanggulangi secepatnya. Gejalanya kian mengganggu. Sulit tidur, gelisah, keringatan tanpa adanya gerakan tubuh, dan banyak lagi tanda gangguan psikologis. Pacaran tak menolong lagi. Bahkan boleh jadi pacaran itu penyebabnya. Nah, kalau begitu, gugurlah satu teori. Selama ini ada teori di kalangan mahasiswa: kegelisahan, frustrasi, dan semacamnya akan hilang kalau diatasi dengan jalan pacaran. Tetapi, dengan pengalaman ini, Kim Bum telah merasakan bahwa pacaran itulah yang merusuhi hati-nya. Perempuan memang sumber malapetaka.
Catastrophe(Keputusan)!
Sebelum dia didapat, dia harus dikejar. Berhari-hari, berminggu-minggu mengejar hanya untuk bisa memeluknya, menciumnya, dan bilang, "Aku cinta padamu." Dan, setelah itu, dia berbalik mengejar. Membuat gugup lelaki. Pantang melihat mata melirik. Kecemburuannya meluap-luap. Wah, wah, wah, itu baru pacaran. Bagaimana kalau sudah menikah? Barangkali dia akan mengikat kaki suaminya. Membatasi gerak suaminya. Pasti lelaki akan kehilangan kebebasannya. Pasti si istri akan membuat dimensi ruang dan waktu suaminya dengan sangat ketatnya.
Kim Bum menghirup udara sepenuh dada. Dan, rambutnya yang mulai gondrong terasa gatal lagi. Dia menggaruk. Panas. Ah, kulit kepalanya sampai perih. Dia menghentikan garukannya, tetapi titik kepuasan belum tercapai. Rasa gatal masih mengambang. Dia jengkel. Cuma, kepada siapa kejengkelan itu harus diarahkan?
Dia menatap berkeliling. Gadis berbaju merah di sampingnya, rupa-rupanya sejak tadi mengawasinya. Gadis itu berbisik kepada temannya. Lalu kedua gadis itu mengikik.
"Primates[Bangsa Kera]," kata gadis berbaju merah.
"Ya?" kata temannya. "Golongan apa? Anthropomorphae[Kera Bentuk Manusia] atau Cercopithecidae[Kera Bentuk Anjing]?"
Keduanya mengikik lagi. Wajah Kim Bum merah padam. Biarpun bukan bidangnya, tetapi dia tahu istilah-istilah itu. Namun, delikannya tak digubris kedua gadis itu.
"Hiii, seram. Lihat matanya yang melotot, lebih mempercarnivora[Bangsa Binatang Buas]," kata gadis baju merah.
"Bisik-bisik, cium-cium, raba-raba. Aih, dunia yang gawat, kenapa kau mentolerir lesbianisme di muka bumi ini? Bukankah ada aku, lelaki yang menganggur?" kata Kim Bum seolah membaca dari bukunya.
Cekikikan dan bisik-bisik terputus. Kepala kedua gadis itu merenggang. Mereka melotot ke arah Kim Bum.
Kim Bum tak acuh. Dia membalik-balik halaman bukunya. Lalu pura-pura menemukan tulisan yang dicarinya. Dan, seperti membaca dia berkata, "Seorang wanita akan bertingkah kalau dia merasa dirinya cantik. Sebab, dia tahu dia menjadi pusat perhatian. Tapi, seorang wanita akan bertingkah juga walau dia tahu dirinya jelek seperti macacus irus[Monyet]. Tentunya agar menarik perhatian orang banyak."
Kedua gadis itu saling pandang. Lalu, "Aisshh!" kala gadis baju merah.
"Aigoo!" kata temannya.
“Hmmm,” gumam Kim Bum.
Kedua gadis itu saling pandangan lagi. Lalu, seperti sudah bersepakat sebelumnya, keduanya berdiri dan mengemasi buku-bukunya.
"Kita pindah saja," kata gadis baju merah. "Ya, dekat carnivora itu busuk baunya."
"Hei, jangan menghina ya?" bentak Kim Bum.
"Menghina apa?" Gadis berbaju merah berkacak pinggang.
"Uf, galaknya."
Kedua gadis itu beranjak.
"Ya Tuhan, terima kasih atas keadilan-Mu sebab gadis itu bukan pacarku," kata Kim Bum.
"Siapa yang sudi jadi pacarmu? Brengsek!" Gadis baju merah membalik dan membentak.
Kim Bum termangu.
"Telah terjadi perubahan radikal rupanya. Gadis-gadis tak lagi sepenakut dulu. Kemajuan atau kemunduran? Biasanya gadis-gadis korea terkenal pemalu. Tak suka berbantah. Tapi, yang kuhadapi ini, betul-betul radikal. Galak. Uf, uf, uf, perubahan kulturil. Barangkali ide-ide woman's lib sudah masuk ke Shinhwa University ini. Bahaya."
Kedua gadis itu duduk di sudut ruangan.
"Sampai mana tadi? Ah, apa pun belum ada yang kubaca. Sudah berapa jam aku memegang buku ini? Time is knowledge. Tapi, bagaimana kalau pikiran kacau?" gerutu Kim Bum. "Oh, ya, pakai metode andalanku saja. Barangkali kesulitan bisa diatasi."
Lalu Kim Bum mengeluarkan kertas, dan bolpoin. Dia menulis angka satu, tapi tak tertulis. Dia corat- coretkan bolpoin itu, tinta tetap tak keluar.
"Sialan! langkah pertama saja sudah macet, bagaimana bisa mengkalkulasi seluruh kesulitan?" Kim Bum memperhatikan sekeliling. Mahasiswa-mahasisiwa sedang asyik membuat catatan bagi buku yang mereka baca. Siapa yang sedang tidak menggunakan pulpen? Ah, semua sedang menulis. Oh, tidak. itu di sudut, mereka sedang membaca. Pulpennya pasti menganggur. Cuma, bagaimana mendekatinya? Tadi sudah konflik.
Tapi, dicoba saja. Kim Bum bangkit. Dia berjalan mendekati kedua gadis itu. Mereka mengetahui kedatangan lelaki ini. Sudah barang tentu mereka memperlihatkan sikap acuh.
Deheman Kim Bum sesungguhnya hampir membuat kedua gadis itu mengangkat kepala. Namun, mereka bertahan terus menekuni buku mereka.
"Maaf, Nona," kata Kim Bum akhirnya.
Gadis baju merah mengangkat kepala, dan mengangkat alisnya. Seperti melihat makhluk aneh dari planet lain dia mengawasi Kim Bum, dari kaki hingga ujung rambut. Berkali-kali.
"Boleh pinjam pulpennya?"
Gadis baju merah menatap temannya.
"Apa katanya?"
"Tidak tahu. Bahasanya kurang komunikatif." Kim Bum berdiri menahan kedongkolan yang merayap-rayap.
"Kalau pulpennya tak dipakai, boleh saya pinjam?" katanya.
Gadis baju merah melirik sekejap.
"Hmmm," gumamnya.
"Dia perlu pulpen?" kata temannya.
"Bisa dipercaya tidak manusia ini?" kata gadis baju merah.
"Coba kita pikir."
"Boleh tidak?" kata Kim Bum.
"Kenapa kau jadi memaksa," ujar si Baju Merah.
"Agak biadab ya?" Temannya menimpali.
"Sombong sekali?"
"Pinjamkan tidak ya?" kata si Baju Merah.
"Pinjamkan saja, Kim So Eun," kata temannya.
"Ini."
"Terima kasih."
"Tidak usah terima kasih. Asal cepat mengembalikannya saja."
Kim Bum berbalik kembali ke mejanya. Dia ingin menulis kesulitan-kesulitannya sekarang. Tetapi, aneh. Di situlah kesulitannya. Dia tidak bisa merumuskannya dalam kalimat yang ringkas dan jelas. Dia pandangi angka satu yang baru saja ditulisnya. Kenapa belum bisa dirumuskan kesulitan yang terasa belakangan ini? Aneh, malah pemilik pulpen ini yang membayang. Kesulitan baru.
Pulpen berwama kuning emas itu berkilat. Dan, membayang wajah pemiliknya. Wajah kuning, bermata galak. Bibir yang seperti mengulum ejekan. Ha, pasti dia seorang yang senang bercanda. Matanya yang bersinar-sinar tak henti-hentinya tertawa. Alisnya yang lebat menandakan bahwa dia bukan pesolek. Alisnya teratur tanpa bekas cukuran. Dan, hidungnya akan menimbulkan rasa iba kalau dia terserang pilek. Hidung yang indah.
Kim Bum tercengang lantaran di kertasnya tergambar sketsa wajah gadis itu.
"Gila!" rutuknya. Dan, dia berusaha lagi merenungkan kesulitannya. Memikirkan faktor-faktor yang menyebabkan kerusuhan hatinya belakangan ini, dia menuliskan:
1. Jangka waktu studi sudah mepet. Orang tua hanya mau membiayai selama enam bulan lagi.
2. Rongrongan Park Ji Yeon yang ingin segera dinikahi, mengganggu konsentrasi.
3. Mata kuliah dari Mrs. Son Ye Jin sudah enam kali ditempuh, belum lulus juga.
4. Urusan-urusan organisasi mahasiswa intra-universitas.
Kim Bum masih mencari kesulitan lainnya, tetapi cuma itu yang terumus. Cuma ini? Dia tak percaya. Kenapa begitu sedikit? Padahal gangguan terhadap pikirannya hampir-hampir tak tertanggungkan. Kalau memang benar cuma ada empat persoalan, tentunya tidak terlalu sulit menanggulanginya. Soal biaya dari orang tua yang telah terbatas, nanti bisa dipikirkan. Jangan sekarang. Kalau orang tua betul-betul mau menghentikan setelah jangka waktu studi genap lima tahun, apa mau dikata? Dilihat saja nanti kelanjutannya. Siapa tahu masih bisa mundur sedikit lagi. Kalau tidak, ya bagaimana baiknyalah. Jadi, ultimatum dari kampung itu bolehlah dikesampingkan. Que sera sera, yang mau terjadi, terjadilah.
Lalu, Park Ji Yeon. Apa yang harus dilakukannya? Menikah? Yang benar saja, terlalu buru-buru. Aku baru 25 tahun. Lima atau enam tahun lagi baru bisa memikirkan itu. Park Ji Yeon sekarang 23 tahun. Ya, ya, ya, sepertinya dia pun belum layak memikirkan ini. Cuma, memikirkan dengan menyangkutkan diriku, betul-betul malapetaka. Bagaimana mengatasi ini? Apakah aku harus memutuskan hubungan? O, itu tak patut. Aku mencintainya. Ah, matanya yang sejuk, dan senyumnya yang melankolis. Dia sebenamya sempurna sekali untuk dicintai. Sayang dia terlalu mendesakku. Dia terlalu menggantungkan diri. Aku lebih menyukai gadis-gadis yang berani menantang hidup. Gadis-gadis yang berani mandiri. Gadis yang... ha, seperti si Baju Merah itulah! Galak, menantang, dan pastilah betul-betul menghayati emansipasi. Bukan seperti Park Ji Yeon yang sentimentil. Pemalu di depan orang, tetapi agresif di tempat tersembunyi.
Lantas akan diapakan dia? Andainya dia percaya pada dirinya, tak perlu mendesakku terus-menerus. Toh aku mencintainya. Aku belum ada niat meninggalkannya. Rongrongannya betul-betul membuat aku takut menghadapinya. Apakah dia akan begitu setelah menjadi seorang istri? Mungkin malah lebih ekstrem. Ah, ah, ah, dia membuatku takut menikah. Jika menikah cuma membuat lelaki terkurung di rumah, nerakalah itu! Aku tidak mau memikirkan itu. Tidak mau, tidak mau, tidak mau!
Lalu Mrs. Son Ye Jin. Ah, dosen yang pemarah itu! Gadis yang sebenarnya cantik, tetapi statusnya membuatnya harus seangker mungkin. Bagaimana harus menghadapinya? Aku telah bosan ujian dari mata kuliah dia lagi. Literatur wajibnya sudah kulalap, tetapi kenapa tak juga lulus? Barangkali betul yang dibilang Leeteuk, Yesung, Donghae, atau siapa lagi. Ini bukan lagi ujian intelejensia. Pasti ada dendam tak kenal ampun. Makanya dia tak mau meluluskan aku dari mata kuliahnya. Apa kesalahanku? Kapan aku menyinggung perasaannya! Ah, ah, ah, sulit menghadapi gadis usia tiga puluhan. Walaupun ia cantik, tetapi galak, ya tentulah ada gangguan jiwa juga. Dia tak bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Ilmu psikologinya tidak bisa dia gunakan.
Akan kuhadapi dosen yang masih gadis itu. Akan kutanya dengan beratatap muka langsung, di mana kekuranganku. Kalau perlu, akan kutuntut agar aku ujian lisan di depan panitia yang sengaja dibentuk. Ya, kalau perlu kugerakkan Dewan Mahasiswa untuk membuat resolusi. Persetan! Aku tak bisa lagi bersabar. Gara-gara mata kuliahnya maka kenaikan tingkatku tertunda terus. Perlu dihadapi dengan tekat keras. Soalnya kesempatan ujian kali ini menentukan nasibku di hari mendatang.
Tentang urusan organisasi mahasiswa intra? Tentulah belum bisa ditinggalkan. Aku masih membutuhkan kursi di Dewan Mahasiswa. Aku memerlukan posisi yang kuat. Siapa tahu aku harus menghadapi kekuatan-kekuatan yang tidak menyukaiku. Seperti dosen-dosen yang mempersukar ujianku misalnya. Bukan hanya untuk kepentingan pribadiku saja. Teman-teman mahasiswa juga membutuhkan pahlawan yang akan memperjuangkan kepentingan mereka. Cukup banyak dosen otoriter di kampus ini.
Jadi, begitulah persoalannya. Tidak perlu lagi rusuh. Bukan begitu, Kim Bum? Kau harus menyayangi dirimu. Dirimu adalah orang yang harus paling kaucintai, melebihi cinta kepada siapa pun. Jangan rusuh. Jangan gelisah.
Lalu Kim Bum kembali menekuni bukunya. Kembali terbenam dalam keasyikan.
Bersambung…
Laik This....hahahahha BeoooooooMM+Eunnieeeeeeee I Hope Happy ending story thor..
BalasHapus