Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Jumat, 04 Maret 2011

Romance Zero (Chapter 1)


Park Jung Min turun dengan gagahnya dari balik kemudi mobilnya. Kacamata hitamnya terpampang keren di depan mata. Kacamata gelap pekat yang menyembunyikan mata dan sebagian wajahnya. Kepalanya ditutupi topi bisbol yang dipasang terbalik.

Setelah melemparkan pandangan sekilas sekelilingnya, dia langsung mengitari separuh tubuh mobil dan membuka pintu depan sebelah kiri. Kim Bum yang sedang mengumpulkan buku-bukunya langsung mengomel.

"Sudah aku bilang tidak usah pakai buka-buka pintu segala!" gerutunya sambil keluar dari mobilnya. "Seperti gay saja!"

Park Jung Min belum sempat mengomentari gerutuan Kim Bum. Seorang satpam melangkah tergesa-gesa ke arahnya. Refleks Park Jung Min maju ke depan Kim Bum dengan gaya melindungi.

“Maaf, mobilnya jangan parkir di sini!" kata satpam itu tegas.

"Kenapa?" sahut Park Jung Min menantang. "Ini tempat parkir juga, kan?" Dan mobil kami lebih bagus dari semua mobil yang ada di sini!”

"Tidak lihat papan itu?" bentak si satpam mulai kesal. "Kurang besar tulisannya? Atau kau buta?" Pantas saja pakai kacamata hitam pekat.”

Berbarengan Park Jung Min dan Kim Bum menoleh ke papan yang ditunjuk satpam itu. Tulisannya besar-besar. Hitam. Jelas. Rasanya semut juga bisa baca. Tentu saja kalau semutnya sekolah. Parkir Khusus Purek Shinhwa University. Purek artinya pembantu rektor. Karena tidak mau disebut pembantu, takut ada yang salah interpretasi, sekarang namanya diubah jadi wakil rektor.

"Kita purek juga, Pak," sahut Park Jung Min seenaknya. "Penggemar rokok keretek! Boleh kan parkir disini sebentar?" tangannya masuk ke saku celananya. Dan sebentar kemudian keluar lagi dengan selembar uang. Tanpa ragu-ragu dijejalkannya uang itu ke tangan si satpam. Gayanya mantap sekali. Maklum, sudah biasa.

"Apa ini?" hardik satpam itu tersinggung. Tentu saja cuma pura-pura. Dia juga tahu itu uang. Bukan surat cinta. Baunya kan lain.

"Sudah, Park Jung Min, jangan macam-macam," sela Kim Bum melihat mata satpam itu sudah hampir bertelur. "Pindahkan saja mobilnya!"

Karena Kim Bum yang suruh, sambil mengangkat bahu Park Jung Min masuk ke mobilnya. Menghidupkan mesin. Memasukkan gigi satu. Dan menekan gas. Mobilnya melonjak dan menubruk papan yang terpampang di depannya. Papan langsung KO. Maksudnya, roboh tak bangun lagi. Satpam itu sudah bergerak dengan marah. Tetapi Kim Bum lebih cepat lagi menepuk bahunya.

"Maaf. Pak." katanya sambil menyunggingkan sepotong senyum yang sulit ditolak. "Dia baru belajar nyetir! Kalau gugup, suka salah masuk gigi'" Satpam itu tidak jadi mengamuk. Dia hanya menggerutu sambil memasukkan uang yang di genggamnya ke dalam saku celananya. Seolah olah dia lupa. itu uang. Bukan saputangan.

"Mundur! Mundur?" teriaknya bersemangat seperti di lapangan bola. Barangkali kebiasaan. Entah bagaimana teriakannya kalau di rumah bersama istrinya. Tetapi Park Jung Min sekali lagi menubruk. Kali ini dia menubruk motor yang sedang lewat di belakang mobilnya. Mahasiswi yang mengendarai motor itu menjerit. Motornya miring hampir terbalik. Kim Bum yang kebetulan berada di dekatnya dengan sigap menangkap motor itu. Sekaligus menangkap tubuh Park Ji Yeon.

"Maaf.” cetusnya sambil memamerkan senyum patennya.

"Kok malah bilang maaf?" belalak Park Ji Yeon setelah kagetnya hilang. Mestinya kan aku yang bilang terima kasih! Kalau tidak ada dia, aku pasti sudah terjungkal! Masih lumayan kalau masuk got. Kalau masuk kolong mobil?

Kim Bum belum sempat menjelaskan ketika Park Jung Min tiba di dekat mereka.

"Maaf!" Park Jung Min menyeringai lebar. "Bisa pindahkan motornya?" Nah, kalau yang ini maafnya kurang ajar!

"Kalau buta, jangan menyetir!" damprat gadis itu pedas. Dan dampratannya belum tuntas ketika dari dalam kampus menyerbu lima orang mahasiswa. Yang paling depan, dia pasti pacarnya Park Ji Yeon, langsung menggebuk Park Jung Min. Tapi Park Jung Min tangkas berkelit. Bahkan balas memukul dengan gesit. Pemuda itu terjajar hampir jatuh. Spontan saja teman-temannya maju mengeroyok Park Jung Min. Sia-sia Kim Bum mencegah. Untung para satpam keburu turun tangan.

* * *

Kim So Eun sudah mendengar kegaduhan di luar warnetnya. Letak warnetnya memang strategis. Tepat di samping pintu gerbang kampus. Dan dindingnya tidak kedap suara. Tetapi dia tidak terlalu peduli. Suasana kampus memang begini. Tidak pernah sepi. Apalagi warnet yang sudah tiga belas bulan dikelolanya sedang ramai-ramainya. Jadi dia terus saja dengan kesibukannya sendiri.

"Maaf Nona, internetnya ngadat lagi ya!" teriak seorang mahasiswi yang sedang asyik chatting. Sebentar saya ke sana," sahut Kim So Eun yang tengah sibuk membantu seorang mahasiswa yang sedang mencari bahan untuk skripsinya melalui internet.

"Sibuk, Kim So Eun?" tanya seorang teman kuliahnya yang baru masuk.

"Ya, begitulah," sahut Kim So Eun seadanya. Heran. Setiap hari pertanyaannya itu-itu juga. Sekali-sekali ganti topik kenapa. Tanya yang lebih manusiawi. Misalnya, lapar, Kim So Eun? Tapi Jung Yong Hwa memang begitu. Monoton. Membosankan. Sayangnya, harinya baik. Perhatiannya penuh. Jadi kasihan kalau di-sign out.

"Sepertinya makin hari warnetmu semakin ramai saja!"

"Dia bukan hanya buka warnet saja," mahasiswa yang sedang dibantunya menyeringai lebar. "Sekalian konsultasi!" Dan pintu didorong kasar dari luar. Dua orang mahasiswa menyeruak masuk.

"Habis berkelahi," desis Jung Yong Hwa.

"Nabrak anak Fisip."

Kim So Eun melirik sekilas. Yang pakai kacamata hitam itu memang tipe mahasiswa biang ribut Jenis yang menganggap kampus arena jual tampang Itu juga kalau ada yang bisa dijual. Kalau yang ini, rasanya diobral pun sulit laku. Tampangnya kriminal. Cuma badannya yang bisa ditampilkan. Tinggi. Tegap. Atletis.

"Wah, penuh," keluh mahasiswa yang satu lagi. Sekarang Kim So Eun menoleh ke arahnya. Hm, tampangnya boleh juga. Tampan. Mulus. Bersih. Cuma boyish. Tipe anak mama. Badannya cukup tinggi. Walau tidak setegap temannya. Yang sudah maju mendekati Kim So Eun dengan gaya seorang penguasa. Kacamata hitamnya tidak dilepas juga. Biarpun dia berada dalam ruangan.

"Nona, komputer yang mana yang bisa dipakai?" Suaranya besar. Serak. Seperti ada kecoak yang bersarang di pita suaranya. Tapi gaya bicaranya lantang. Gagah. Menantang. Seperti lagaknya.

"Maaf, belum ada yang kosong." Kim So Eun berusaha bersikap ramah kepada calon pelanggan. Walau sebenarnya dalam hati dia sudah memaki, memang tidak lihat semua meja penuh? Tetapi seperti yang sudah diduganya, mahasiswa bertubuh tegap itu pantang ditolak keinginannya. Sudah biasa memperoleh apa yang diinginkannya.

“Tolong sediakan satu, Nona," suaranya masih terdengar sopan tapi sudah berbau pemaksaan.

“Tidak ada yang tersisa," sahut Kim So Eun tegas. Memangnya aku tukang sihir? Sekali kedip, bangku bisa berubah jadi komputer? "Datang saja sepuluh menit lagi."

"Kami mau sekarang."

"Eh, kau itu tuli atau apa?" potong Jung Yong Hwa yang mulai gerah melihat sikapnya. Bertingkah sekali! Sekarang pemuda itu berpaling pada Jung Yong Hwa. Siap merenggut leher kemejanya dan melemparkannya. Untung temannya keburu mencegah sebelum Jung Yong Hwa jadi keripik.

"Sudah, Park Jung Min. Kita datang lagi saja nanti." Sekejap dia menatap Kim So Eun. Tapi Kim So Eun membalas tatapannya dengan judes.

"Tidak usah datang lagi kalau kasar begitu. Cari saja warnet lain!"

Sesaat Kim Bum tertegun. Seperti tidak percaya ada orang yang berani berkata begitu kepadanya. Apalagi cuma gadis pengelola warnet! Park Jung Min panas sekali. Dia sudah mendesak ke depan. Siap melabrak gadis yang tidak sopan ini Memangnya siapa dia? Berani bicara seperti itu di depan Kim Bum? Yang benar saja!

Tetapi ajaib! Gadis itu bukan mundur ketakutan. Bukan bersembunyi di balik tubuh pacarnya. Bukan minta maaf melihat gaya mengancam yang ditunjukkan Park Jung Min. Dia malah membeliak marah.

"Buka kacamatamu! Kau fotofobia atau buta?" Karena kaget, refleks Park Jung Min membuka kacamatanya. Dan gadis itu membentak lagi. Lebih galak daripada tadi. "Apa melotot?" bentaknya judes.

Tapi itu memang sifat Kim So Eun. Gigih. Tidak mengenal takut. Pantang menyerah. Ini warnet miliknya. Tempatnya memang masih sewa. Itu juga atas kebaikan Rektor dan Ketua Yayasan. Komputernya masih kredit. Tapi bagaimanapun, ini warnetnya. Miliknya. Tidak ada yang bisa bertingkah seenaknya di tempatnya.

Park Jung Min sudah mengepalkan tinju. Bukan untuk memukul tentu saja. Masa dia memukul wanita? Cuma sekadar menggertak. Tapi Kim Bum keburu mencengkeram lengannya. Heran bercampur kesal, Kim So Eun melihat pemuda sangar itu langsung jinak. Padahal kalau dia mau, apa susahnya menepiskan tangan pemuda bertampang bocah itu?

"Maaf," sekarang Kim Bum berpaling padanya sambil tersenyum. Bahkan ketika sedang tersenyum, senyumnya begitu tulus seperti balita.

"Boleh tanya?”

"Tanya apa?” sergah Kim So Eun judes. Masih kesal melihat sikap sok jago tamu-tamunya. Itu sikap preman pasar. Bukan calon sarjana.

"Kau selalu segalak ini sama pelanggan?" Karena tidak menyangka, Kim So Eun tertegun sesaat. Dan senyum Kim Bum melebar. Dia mengulurkan tangannya.

"Kim Bum," katanya ramah.

Terpaksa Kim So Eun menjabat tangan pemuda itu sambil menyebutkan namanya.

"Oh, jadi namamu yang jadi merek warnet ini?" Kim Bum menahan tawa.

"Kenapa?" sambar Kim So Eun jengkel. "Keberatan?"

"Tidak. Cuma tadinya kukira cuma aula saja yang pakai nama orang!" Sambil tertawa dia melambai pada Kim So Eun dan mengajak temannya pergi. Kim So Eun tidak membalas lambaiannya. Dia masih kesal.

"Sampai mana kita tadi?" tanyanya kepada mahasiswa yang sedang dibantunya.

"Kau tahu siapa dia?"

“Dia siapa?” balas Kim So Eun acuh tak acuh.
“Pemuda tadi?”

“Yang konyol? Kim Bum?"

"Kau tahu dia anak siapa?"

"Buat apa?"

"Kamu akan kaget."

"Coba saja."

"Song Seung Hun."

"Oh, seperti nama aula." Suara Kim So Eun tetap sedatar tadi. Memang apa pedulinya? Seandainya namanya sama dengan nama universitas ini sekalipun, sebodo amat!

"Ayahnya yang menyumbang pembangunan aula kampus kita."

"O."

"Ayahnya konglomerat terkenal."

"O."

"Juragan pabrik rokok."

"O."

“Pemilik Shinhwa Group”

“O”

"Kok cuma O saja?"

"Lalu aku harus bilang apa?"

"Ya harusnya kau Tanya, dia mahasiswa apa, semester berapa...."

"Tidak berminat."

Tetapi ketika Kim Bum muncul lagi di warnetnya keesokan harinya, Kim So Eun harus mengakui, minatnya mulai berubah. Kim Bum tidak seangkuh anak orang kaya yang nama marganya diabadikan sebagai nama aula kampusnya. Dia malah terkesan tidak peduli dengan kemasyhuran orangtuanya. Ketika Kim Bum datang, warnet sedang kosong. Kebanyakan mahasiswa sedang mengikuti kuliah. Tapi biasanya tidak pernah sekosong ini. Tumben. Dia juga muncul seorang diri. Entah di mana dititipkannya temannya yang sangar itu.

"Ada yang kosong?" tanya Kim Bum setelah menyapa dengan ramah. Padahal buat apa nanya lagi? Kalau tidak buta, dia pasti tahu semua meja kosong melompong! Senyumnya yang khas, senyum kebocahan yang tulus, malah seperti mengejek Kim So Eun. Senyum itu seolah-olah berkata, rasakan, hari ini warnetmu sepi! Sambil menahan kejengkelannya, Kim So Eun menunjuk meja di dekatnya,

"Lima belas ribu sejam."

"Heran," dumal Kim So Eun sambil duduk di depan meja yang ditunjukkan Kim So Eun.

"Heran apanya?" desak Kim So Eun penasaran.

"Sewanya mahal, pelayanannya judes, kenapa bisa warnetmu laku terus, ya?"

"Aku juga heran," balas Kim So Eun ketus.

Memang heran. Biarpun masih kesal, dia mulai menyukai makhluk yang satu ini. Entah di mana letak daya tariknya. Yang pasti bukan di dompetnya.

"Apa?"

"Kenapa kau sebodoh ini."

"Kau bilang aku bodoh?" mata Kim Bum terbelalak kaget. Wah, untung Park Jung Min tidak dengar! Untung kusuruh dia parkir di luar! Hah, bisa rontok semua computer!

Tapi Kim Bum tidak tampak marah. Senyumnya malah melebar. Dan Kim So Eun semakin menyukainya. Senyumnya begitu bening. Begitu lugu. Begitu tak berdosa. Persis bayi enam bulan.

"Kamu punya seratus komputer di rumah, buat apa kemari?"

"Karena di rumah tidak ada kau." Jawabannya spontan. Tidak berkesan mengejek. Jujur. Polos. Terus terang. Membuat Kim So Eun semakin tertarik.

"Makanya aku bilang kau bodoh!"

"Karena menemuimu di sini?"

"Karena tidak mengajakku makan di kantin."

"Aku tidak mau mengajakmu makan di kantin."

"Tidak salah kan kalau aku bilang kau bodoh?"

"Aku ingin mengajakmu makan di tempat yang lebih bergengsi."

"Lebih bodoh lagi. Buat apa makan di tempat yang bergengsi kalau tidak enak? Memangnya kau mau makan gengsi?"

"Tahu dari mana makanannya tidak enak? Kau kan belum pernah makan di sana!"

"Dari mana kau tahu? Punya laporan ke mana aku pergi makan? Kenal saja baru dua hari!"

"Mau taruhan?"

"Taruhan apa?"

"Kalau kau kalah, aku boleh pakai komputermu tiap hari tiga jam. Gratis."

"Kalau kau yang kalah, harus Bayar dobel."

"Oke! Kapan kita mulai?"

"Mulai saja dengan menyebutkan ke mana aku harus pergi."

“Tidak mau kujemput?"

"Kenapa harus dijemput? Bus banyak. Taksi tidak kurang."

Tawa Kim Bum hampir meledak mendengar suara gadis itu. Gersang. Judes. Selalu blak-blakan. Tapi itu memang ciri khasnya. Daya tarik yang membuat Kim Bum betah di sini. Tidak percuma dia menyuruh Park Jung Min duduk di luar. Mengusir setiap calon pelanggan yang hendak masuk. Urusan usir-mengusir memang Park Jung Min pakarnya. Buktinya dari tadi tidak ada seekor lalat pun yang muncul.

"Kalau kencan, wanita harus dijemput, kan?"

"Siapa bilang kita kencan?"

"Kau yang minta diajak makan!"

“Tapi makan bukan kencan! Masa kau mau kencan tiga kali sehari?"

"Jadi apa namanya kalau wanita minta diajak makan berdua?"

"Kita makan berdua?"

"Mau mengajak temanmu yang sok jagoan itu? Dia boleh makan lemak?"

Kurang ajar. Pasti Jung Yong Hwa yang dimaksudkannya. Karena kemarin Jung Yong Hwa berusaha memabntunya mengusir teman Kim Bum yang sangar itu.

"Temanmu yang mukanya sangar itu tidak ikut?" balas Kim So Eun dalam nada melecehkan.

"Park Jung Min?"

"Dia teman atau bodyguardmu?”

"Dua-duanya. Ayahnya bodyguard ayahku. Kami teman sejak kecil."

"Kau menyekolahkan bodyouard-mu?"

"Apa salahnya? Kalau dia bosan jadi bodyguard, dia bisa alih profesi jadi manajer!" Tawa Kim Bum meledak. Dia senang sekali hari ini. Lebih-lebih ketika untuk pertama kalinya dia melihat Kim So Eun tersenyum. Senyumnya boleh juga. Manis.

Ah, dia memang manis. Asal tidak sedang kumat judesnya. Barangkali tuntutan profesi. Kalau tidak keras, sulit menghadapi mahasiswa. Salah-salah mereka bukan menyewa komputer. Cuma pinjam. Kalau pinjamnya keseringan, alamat tidak bisa bayar cicilan kredit.

Tapi menurut info, sebenarnya Kim So Eun tidak sekeras penampilannya. Hatinya baik. Tidak jarang dia meminjamkan komputernya buat teman yang benar-benar membutuhkan. Dan benar-benar sedang tidak punya uang.

"Nanti malam dia makan di rumah kita," cetus Kim Bum begitu bertemu Park Jung Min.

"Dia siapa?"

"Ya gadis itu! Masa satpam?"

"Kamu mengundang dia makan malam di rumah?" belalak Park Jung Min kaget.

"Apa aku tidak salah dengar?"

"Aku kagum padanya. Mahasiswi fikom konsentrasi jurnalistik. Sudah semester tujuh. Yatim-piatu. Jadi harus mencari uang sendiri. Keuletan dan kepintarannya sudah hampir jadi legenda. Makanya dapat beasiswa. Dan dapat izin khusus buka warnet di kampus."

"Boleh juga infonya. Tahu dari mana?"

"Asal sebut namanya, semua orang berlomba memberi info."

“Asal infonya jangan terlalu cepat sampai ke meja tulis ayahmu! Atau kau akan ditransfer balik ke alamat pengirim!”

Bersambung…

1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...