Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Jumat, 09 September 2011

Trauma (Chapter 8)



Malam itu, Kim So Eun tak dapat memejamkan matanya. Beberapa kali ia memutar nomor telepon genggam Kim Bum. Ia rindu padanya. Lebih dari itu, ia ingin segera tahu, apa keputusan Kim Bum. Tapi, belum lagi lengkap ia menekan deretan nomor telepon itu, ia segera menutupnya.

Betapa inginnya Kim So Eun bicara seperti biasa. Betapa inginnya ia meniadakan ‘hari itu’ dari hidupnya. Biarlah semua berjalan seperti biasa, ia dan Kim Bum bisa saling bercerita dan menumpahkan kerinduan. Tapi, hidup bukanlah seperti gulungan film, yang bisa dipotong begitu saja, jika kita tak menyukai jalan ceritanya. Kim So Eun tersenyum pedih teringat kata-kata Bibi Kim Ha Neul beberapa tahun lalu.

Hatinya terasa perih, namun sepertinya peristiwa siang tadi tak menyisakan air mata lagi. Diambilnya secarik kertas dan ia mulai menulis, sesuatu yang telah lama dipelajarinya dari Bibi Kim Ha Neul untuk menyalurkan kemarahan atau kesedihan yang dirasakannya agar menjadi energi yang positif.

Aku adalah budak angin
Ayahku kejahatan
Ibuku kekalahan
Suatu hari, ‘kan kubangun rumah kami
Dengan fondasi yang mengakar ke bumi
Yang semua jendelanya dijaga ibu yang pemberani dan ayah yang baik hati
Hingga angin tak lagi dapat membawaku pergi.
Kalau begitu, Kekasihku, maukah kau datang kemari?

Ketika akhirnya tertidur, Kim So Eun memimpikan sebuah pernikahan yang sangat indah, dan ibunya yang tersenyum bahagia berdiri di sisinya.

* * *

Pagi terasa bergerak cepat. Kim So Eun bangkit dengan malas dari tempat tidur. Ia bermimpi indah semalam. Tapi sekarang, mimpi itu membuatnya takut. Itu bisa jadi sebuah pertanda yang sangat dekat dengan kenyataan, bahwa Kim Bum tak sanggup mendampinginya. Bukankah ketika kita bermimpi, yang terjadi justru kebalikannya?

Kim So Eun melangkah ke dapur. Bibi Kim Ha Neul telah berangkat ke tempatnya bekerja. Ia sendiri telah menelepon sekretarisnya semalam, mengatakan bahwa ia sakit dan mungkin pagi ini tak bisa ke kantor.

Pikirannya tak bisa lepas dari Kim Bum. Ia ingin menelepon dan menanyakan kabarnya pagi ini. Tapi, entah kenapa, ia merasa tak pantas melakukannya. Ah, sudahlah, pikirnya. Cepat atau lambat, semua ini pasti terjadi. Apa pun kenyataannya, harus ia hadapi.

Ayolah, Kim So Eun, tenangkan dirimu, katanya pada diri sendiri. Setiap perubahan pasti menyebabkan guncangan. Hidup kita selanjutnya tergantung dari cara kita menghadapi guncangan itu. Kim So Eun berusaha mengingat-ingat dari mana ia mendapatkan kata-kata indah itu. Tapi, otaknya terasa tumpul.

Tiba-tiba bel pintu berbunyi.

“Siapa yang bertamu pagi-pagi begini?” gerutunya. Ketika pintu terbuka, ia tertegun.

“Sudah siang begini masih pakai piyama. Ayo, cepat mandi!” Kim Bum melangkah masuk. Kim So Eun masih berdiri melongo di depan pintu.

“Sekarang Sudah pukul sembilan,!” Kim Bum melemparkan tubuhnya begitu saja di kursi tamu. “Semalaman aku browsing di internet. Aku juga mengirim e-mail ke teman-temanku yang bekerja di perusahaan Kontraktor. Ke Guang Zhou di Hongkong, ke Watanabe di Jepang, ke Mega Prima di Indonesia, dan banyak lagi. Hasilnya?” Ia diam sejenak, sambil tersenyum menggoda.

“Bingo! Aku menemukan nama Kim Tae Hee di beberapa perusahaan Kontraktor di beberapa negara. Dan terakhir, itu sekitar setahun lalu, ia bekerja sebagai konsultan keuangan di sebuah perusahaan furniture terbesar di Kanada.”

Kim So Eun tiba-tiba merasakan seluruh sarafnya menegang.

“Lalu?” tanyanya tak sabar, memandang Kim Bum dengan jantung berdebar.

“Itu catatan terakhirnya di Perusahaan itu.”

Kim So Eun berlari mendekati Kim Bum. “Hanya itu, Kim Bum?” tanyanya.

“Tidak. Dengar! Aku sudah mendapatkan nama kantor konsultan tempatnya bekerja. Kantor pusatnya di sini. Nah, segeralah mandi dan berpakaian. Mungkin sebentar lagi kau akan menemukan ending dari semua ceritamu kemarin,” kata Kim Bum.

“Ayo, segeralah mandi!” kata Kim Bum datar, tanpa menatapnya.

Dengan canggung, Kim So Eun tersenyum. Ingin rasanya ia memeluk Kim Bum. Tak apalah, katanya dalam hati. Paling tidak Kim Bum mau membantunya menemukan ibunya. Ia merasakan sekian persen bebannya semalam luruh. Barangkali sebentar lagi, di kantor konsultan itu, ia akan bertemu dan memeluk ibunya, yang telah hampir delapan belas tahun tak lagi di sisinya.

Kantor konsultan itu berdiri kokoh di antara deretan gedung-gedung perkantoran yang lain. Kim So Eun sering melewati jalan itu. Rasanya sungguh ironis, jawaban dari pencariannya yang panjang selama bertahun-tahun ternyata berada tak jauh dari rumahnya selama ini!

“Mari kita masuk,” ajak Kim Bum.

“Tunggu, Kim Bum.” Kim So Eun mengatur napas. “Aku gemetaran….”

“Kau pikir, aku tidak?” Kim Bum tersenyum.

Sesaat mereka berdiri saja sambil menatap kantor itu.

“Ah, ayolah! Tak ada gunanya berdiri seperti orang bodoh begini,” kata Kim Bum, sambil melangkah mendahului. Kim So Eun menjejeri langkahnya. Ingin rasanya ia menggenggam tangan Kim Bum, tapi keinginannya itu cuma dipendam dalam hati.

Seorang resepsionis yang sepertinya masih berumur belasan mempersilakan mereka masuk. “Ada yang bisa saya bantu?” katanya, tersenyum ramah.

“Kami ingin bertemu Ny. Kim Tae Hee,” Kim Bum yang menjawab, sementara Kim So Eun seperti kehilangan kata-kata. Gadis itu terdiam sejenak. “Oh, tunggu sebentar, ya. Silakan menunggu dulu di sana,” katanya, sambil menunjuk dua buah kursi tak jauh dari meja kerjanya.

Gadis itu menekan sebuah nomor telepon dan berbicara dengan seseorang. Sesekali ia melirik ke arah Kim Bum dan Kim So Eun. Ketika ia akhirnya meletakkan gagang teleponnya, ia pun mendekati Kim Bum dan Kim So Eun.

“Silakan, Anda berdua ditunggu oleh Tn. Park Shi Hoo, di pintu pertama,” kata gadis itu, sambil menunjukkan jalan yang harus mereka lalui.

“Terima kasih,” kata Kim Bum dan Kim So Eun hampir bersamaan.

Kantor itu sungguh besar. Ada banyak ruangan di sana. Tapi, sepertinya tak sulit mencari orang di kantor itu. Terdapat sebuah peta ruangan yang juga berisi nama-nama karyawan dan ruangan kantor yang mereka tempati. Selain itu, di setiap pintu ruangan terdapat nama orang atau orang-orang yang berkantor di dalamnya. Kim Bum dan Kim So Eun menuju pintu seperti yang dikatakan gadis resepsionis tadi. Di situ tertulis nama Dr. Park Shi Hoo.

Kim Bum mengetuk pintu itu pelan.

“Silakan masuk,” sebuah suara menyahut. Seorang pria duduk di belakang meja besar. Wajahnya tampan. Mengenakan jas dan pantalon berwarna hitam. Kacamata baca frameless-nya mempertegas kesan cerdas pada dirinya.

“Silakan duduk.” Lelaki itu menatap tamunya dan tersenyum.

“Terima kasih,” kata Kim Bum, mewakili Kim So Eun yang masih terpaku.

Sesaat lelaki itu tak berkata apa-apa. Lalu pandangannya jatuh pada Kim So Eun. “Ah, wajahmu mirip sekali dengan Kim Tae Hee! Tentu kaulah… Kim So Eun, anak yang sudah lama dirindukannya!”

Kim So Eun terkejut. Lelaki itu tahu tentang keberadaan dirinya! Perlahan ia mengangguk. Ia terlalu tegang untuk tersenyum.

“Mengapa baru sekarang kau datang kemari, Kim So Eun?” tanya lelaki itu. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah bar kecil yang ada di seberang meja kerjanya. “Sudah lama aku menunggu kedatangan keluarga Kim Tae Hee,” katanya, sambil membuka kulkas kecil dan mengeluarkan dua buah softdrink dingin.

“Ny. Kim Tae Hee di mana, Tuan?” Kim Bum bertanya.

“Bisakah kami segera bertemu dengannya?” Kim So Eun menyambung.

Lelaki itu tak menjawab. Ia kembali duduk setelah menyuguhkan minuman dingin kepada kedua tamunya. Ia menyeruput minumannya dan lama berdiam tanpa sepatah kata pun. Hingga akhirnya terbata-bata ia bercerita bahwa Kim Tae Hee sudah meninggal dunia hampir setahun yang lalu.

“Ia meninggal dalam kecelakaan helikopter di Kanada, ketika ia ditugaskan di sana….” Lelaki itu membiarkan suaranya mengambang di udara.

“Sebenarnya,” katanya, melanjutkan, “kami berniat menikah sepulang ia dari Kanada. Kim Tae Hee juga bilang, ia mau menemui anaknya yang lama dititipkan pengasuhannya pada seorang dokter.” Suara lelaki itu serak.

Kim So Eun menelan ludah berkali-kali. Tangisnya hampir mendesak keluar. Harapan yang membubung tinggi, yang tadi dibawanya ketika meninggalkan rumah, luluh-lantak diterjang kenyataan yang sekarang harus dihadapinya. Ia tak pernah bisa mencium tangan ibunya. Ia tak pernah bisa memohon ampun pada perempuan yang sudah melahirkannya ke dunia ini. Semua kekalahan, kekecewaan, sakit hati, dan beban penderitaan itu telah dibawa ibunya pulang ke… pusara.

Tak sadar, digenggamnya tangan Kim Bum erat untuk mencari dukungan dan kekuatan. Ia tak mengenal Park Shi Hoo sebelumnya. Tapi, entah mengapa, ia merasa dekat dengan lelaki itu. Sepertinya keadaan membuat mereka saling berbagi kesedihan. Ya, kesedihan karena kehilangan seseorang yang sama-sama mereka sayangi. Ah, alangkah ajaibnya! Bagaimana tangan Tuhan diam-diam mengatur dan bermain dengan semua rahasia yang penuh dengan kejutan-kejutan, bahkan hanya dalam hitungan jam dan menit!

Baru tadi pagi Kim So Eun masih harap-harap cemas pada penerimaan Kim Bum atas ceritanya kemarin. Dan, ia dikagetkan oleh kenyataan, bahwa Kim Bum - meskipun tak memberikan janji apa-apa, tak menampik dirinya. Baru tadi pagi pula, ia merasa sangat gembira karena akan bertemu ibunya, bahkan hingga ia melangkah memasuki kantor ini, dan berhadapan dengan lelaki bernama Park Shi Hoo yang dikenalnya kemudian sebagai calon suami dari ibunya.

Tapi, kini, semua itu luruh berkeping-keping karena ternyata kenyataan manis tak memihak dirinya. Kim So Eun tercenung memikirkan semua proses yang ajaib itu. Ditekannya kesedihan dan kekecewaan yang menyeruak dengan cepat begitu ia menerima kabar buruk itu. Ia tak kuasa berkata-kata lagi. Seluruh sendinya lemas, seolah tak bertulang. Kim Bum juga hanya duduk diam, mematung di sebelahnya. Agaknya ia tak menyangka cerita Kim So Eun berakhir tragis.

“Kim Tae Hee banyak bercerita tentangmu, Kim So Eun.” Suara berat Tn. Park Shi Hoo membuatnya mendongak dan memandang lelaki itu. “Rasanya, sepanjang yang kuingat dari hubungan kami yang berjalan satu tahun itu, hanya ketika membicarakanmulah ia baru kelihatan gembira. Walaupun di lain sisi, ia juga tampak sangat sedih dan putus asa, mengingat penderitaan yang mungkin kau tanggung karena sesuatu yang selalu dianggapnya sebagai buah dari kesalahannya.”

Tn. Park Shi Hoo bangkit dari duduknya dan menyalakan sebatang rokok. Ruangan itu ber-AC, tapi sepertinya ia sangat membutuhkan rokok itu untuk menenangkan dirinya. “Berkali-kali kukatakan padanya, kehidupannya yang mengerikan dulu itu, bukan semata-mata hasil kesalahannya. Itu adalah nasib. Barangkali… ah, aku lebih cocok menyebutnya sebagai ujian.”

Ia menatap Kim So Eun lembut. “Ia juga tak bersalah padamu, Kim So Eun. Semua kejadian itu di luar kendali dan kemauannya….”

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...