Kim So Eun merasakan air mata membasahi pipinya. Setiap episode bayangan masa lalu yang diingatnya, muncul seperti potongan film yang diputar di bioskop. Hanya, kali ini semua itu tak lagi menimbulkan kemarahan dan dendam. Kim So Eun tak lagi menganggap ibunya sebagai terdakwa mati yang patut dipersalahkan. Sebaliknya, ia melihat semua sebatas kenangan buruk yang harus diterimanya dengan pasrah, lalu dilupakannya. Bagaimanapun, ibunya adalah orang yang paling pantas untuk dikasihani dan dicintainya! Perempuan itu sudah begitu besar berkorban bagi kebahagiaan dirinya.
“Kau tahu, Kim So Eun? Tak ada orang yang sepenuhnya benar atau salah. Selalu saja ada celah di mana orang bisa saling mengerti dan memaafkan. Itulah yang selalu kukatakan padanya.” Lelaki itu bangkit dari duduknya dan mendekati Kim So Eun, lalu memegang pundaknya dengan sentuhan kebapakan.
“Ibumu seorang perempuan luar biasa. Penderitaannya di masa lalu dan keputusannya untuk tetap bertahan hidup dengan ayahmu, demi dirimu, justru membuatku sangat mengagumi dan memujanya. Tak banyak perempuan seperti dia. Walaupun cerdas dan berpendidikan tinggi, dia sangat sabar dan penuh pengorbanan. Ia juga sangat kuat karena rela meninggalkanmu dalam asuhan dokter itu, semata-mata karena ia pikir semuanya lebih baik untukmu, agar kau tumbuh dan hidup dengan wajar, meskipun ia sendiri harus menderita….”
Kim So Eun terisak-isak, tanpa sadar begitu saja ia memeluk lelaki itu.
“Kau tahu, Kim So Eun, hampir saja aku menjadi ayahmu,” katanya berseloroh, sambil tertawa kecil. Ia menepuk-nepuk punggung Kim So Eun dan kemudian melepaskannya. “Bagaimanapun, kau adalah putriku, Kim So Eun. Dan pemuda ini… aku yakin, apakah dia calon suamimu?”
Ketegangan sedikit mengendur. Kim Bum yang sejak tadi hanya diam, menggerak-gerakkan kakinya sedikit. Sedari tadi ia terbawa suasana tegang hingga tubuhnya menjadi pegal karena lama tak bergerak.
“Adakah Kim Tae Hee, eh, ibu saya, menitipkan sesuatu?” Kim So Eun mencoba tersenyum. Ia berharap ada sepotong kenangan lagi yang ditinggalkan Kim Tae Hee untuk dirinya.
“Ya. Ada.” Tn. Park Shi Hoo melangkah ke lemari arsip besar di belakang mejanya. Ia membuka sebuah laci dan mengambil sebuah koper kecil. Dari dalamnya ia mengeluarkan beberapa buah amplop dan beberapa lembar foto.
“Lihatlah, ini ibumu. Foto ini diambil beberapa hari sebelum kematiannya. Katanya, ia mengirimkan ini untukmu.”
Kim So Eun memandangi wajah di foto itu. Tak banyak yang berubah dari wajah yang terakhir dilihatnya delapan belas tahun lalu. Hanya, rambutnya sebagian telah memutih. Dan…ah, mata itu! Mata kanannya sepertinya tak buta?
“Kim Tae Hee memakai mata palsu,” kata Tn. Park Shi Hoo, seolah mengerti keheranan Kim So Eun ketika mengamati mata ibunya. “Kau tahu, itu sama sekali tak mengurangi kualitasnya sebagai seorang perempuan yang mengagumkan,” Tn. Park Shi Hoo berkata pelan. “Ambillah! Ini semua milikmu, Kim So Eun. Aku yakin dia menghendaki begitu.”
Kim So Eun memandangi beberapa foto lainnya. Ada fotonya semasa kanak-kanak. Ada juga foto rumah mereka dulu. Ada fotonya yang sedang tertawa lebar di pelukan Kim Tae Hee yang juga tertawa. Ah, nyaris tak bisa dibayangkannya betapa dulu mereka pernah begitu dekat dan bahagia. Paling tidak mereka berdua, tanpa Song Seung Hun sang ayah.
Ada juga sebuah buku agenda yang berisi catatan perjalanan dinasnya. Kim So Eun tersenyum sendu. Masih bisa diingatnya dengan baik bagaimana ibunya selalu bergelut dengan tumpukan kertas, grafik, dan laporan-laporan keuangan. Dibukanya halaman demi halaman sambil ditemani Tn. Park Shi Hoo yang sesekali menjelaskan proyek-proyek yang selama ini sudah dikerjakan ibunya. Hingga tiba-tiba sehelai kertas lusuh terjatuh ke lantai. Kim So Eun memungutnya dan membaca isinya.
MERINDU
Engkau jauh di kaki langit, di ujung savana
di tengah padang pasir
di tengah hutan hujan tropis
Namun, kutangkap mayamu di mana saja
dalam liarnya inspirasiku, bebas, lepas
Merajut impian benang demi benang, serat demi serat
Membangun konstruksi dan wujud
dalam berbagai bentuk dan rupa
Tak apa, engkau tak datang dalam pelukan
Pencarian mengantarku ke mana saja
Melesat bagai anak panah arjuna
Ke kaki langit
ke ujung savana
ke tengah padang pasir
merambah hutan hujan tropis.
Kanada, 7 September 2015
dalam kenanganku padamu seorang, Kim So Eun, putriku tercinta
Kim So Eun tak mampu menahan isaknya. Sekarang disadarinya, betapa ibunya menderita sepanjang hidupnya karena berpisah darinya. Dikumpulkannya semua benda itu dan dimasukkannya kembali ke dalam koper kecil itu. Ia memberi isyarat pada Kim Bum untuk segera pergi.
“Datanglah sekali-sekali mengunjungiku kemari. Atau ke rumahku,” kata Tn. Park Shi Hoo, sambil menyodorkan selembar kartu nama pada Kim So Eun. “Anak muda, maukah kau mengantarnya sesekali menemuiku? Aku memang tak jadi menikah dengan ibunya, tapi aku ingin Kim So Eun tetap jadi anakku.” Ia tersenyum sambil menjabat tangan Kim Bum. Ketika Kim So Eun menyodorkan tangannya untuk disalami, lelaki itu menggenggamnya erat dan menariknya ke dalam pelukannya.
“Aku mencintai ibumu, Kim So Eun. Meskipun kini hanya dalam kenangan, aku tak pernah melupakannya,” bisiknya, pelan.
Kim So Eun mengangguk lemah. Kim Bum mengambil koper kecil itu dari tangan Kim So Eun. Sebelah tangannya menggenggam erat tangan Kim So Eun, lalu mereka pun berpamitan pulang.
* * *
Matahari telah meninggi. Kendaraan yang hilir-mudik di jalan menambah panas suasana. Beberapa kendaraan melaju dengan kecepatan tinggi. Kim So Eun dan Kim Bum tak terlalu menghiraukan udara panas itu. Mereka berjalan beriringan tanpa berkata apa-apa. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
Mereka, terutama Kim So Eun, merasa seperti baru saja menyelesaikan syuting sebuah Serial TV. Semua kejadian ini terasa begitu cepat. Berbagai peristiwa yang mengejutkan datang silih-berganti, hanya dalam hitungan waktu… dua kali dua puluh empat jam! Rasanya benar-benar seperti bermain dalam sebuah Serial TV saja!
Setelah beberapa menit berjalan kaki, mereka berhenti, dan duduk di bawah pohon beringin besar di tengah lapangan. Kim So Eun melayangkan pandangannya ke jalan yang sibuk dan berdebu. Ia tak tahu perasaan yang mendominasi hatinya. Ia merasa gamang.
“Kim Bum, dalam dua hari ini tiba-tiba potongan demi potongan dalam hidupku lengkap sudah. Aku ini anak dari keluarga yang hancur-lebur. Ayahku di penjara, atau, ah… entah di mana dia sekarang! Ibuku? Dia sudah meninggal. Dan, hidupnya sarat dengan cerita tragis yang menyedihkan. Lalu, aku baru saja kehilangan seorang kekasih!” Kim So Eun nyaris menangis. Pandangannya tak lepas dari orang-orang dan kendaraan yang hilir-mudik di jalan raya dekat lapangan. “Aku ini berasal dari bibit yang tidak baik, Kim Bum,” Kim So Eun mendesah, lalu tersenyum sedih.
“Bagaimana mungkin sejak lima tahun lalu aku membiarkan diriku terlibat denganmu, lalu berharap suatu hari kau mau mengerti kisah hidupku dan kemudian menikahiku. Sementara terlalu banyak rahasia hidupku yang tak pantas didengar orang!” Air mata Kim So Eun deras membasahi pipinya.
“Ah, maafkan kata-kataku barusan, Kim Bum. Seharusnya tak perlu kuucapkan. Tentu kau sudah memutuskan sejak kemarin untuk membatalkan saja lamaranmu. Bodohnya, aku masih berharap. Hanya karena kebaikanmu saja kau mau menemaniku pagi ini. Terima kasih untuk itu,” bisik Kim So Eun dalam isaknya. Ia menggeleng-geleng putus asa.
“Bayangkan, Kim Bum, begitu gembiranya aku tadi pagi. Tapi ternyata, ia telah lama meninggal! Ughh, rasanya aku memang harus menyiapkan diriku untuk hidup sendiri,” Kim So Eun tertawa pelan dalam isaknya.
“Hei, kau salah! Kau tak perlu hidup merana sendirian, Kim So Eun!” Kim Bum sangat iba melihat Kim So Eun. Belum pernah ia melihat Kim So Eun bersikap seperti sekarang. Ia bukan lagi gadis tegar yang tomboy.
Kim So Eun tertawa pedih, “Oh, ya! Tentu saja, aku tak melupakan Bibi Kim Ha Neul. Kalau itu maksudmu.”
“Maafkan sikapku kemarin, Kim So Eun. Aku memang sempat sangat kecewa, bukan pada ceritamu, tapi lebih pada ketidakpercayaanmu padaku selama lima tahun ini,” Kim Bum bertutur lembut, sembari mengambil tangan Kim So Eun untuk dibawa dalam genggamannya.
“Aku sudah berpikir banyak semalam. Semakin kupikirkan, aku semakin menyadari, bahwa tak ada yang salah denganmu. Sebaliknya, semua ceritamu membuatku semakin mengagumi perjuangan dan kemampuanmu untuk terus hidup dengan cara yang wajar,” kata Kim Bum, sambil menggenggam erat tangan Kim So Eun.
“Kau hebat! Sekian tahun berjuang untuk mengalahkan perasaan dendam dan kehilanganmu. Kau seorang perempuan luar biasa yang pernah kukenal.” Kim Bum menatap lembut Kim So Eun. “Ayolah, Kim So Eun. Kau seorang yang kuat. Hargailah dirimu sendiri. Tak seharusnya kau merasa rendah diri karena masa lalumu.” Kim Bum membawa Kim So Eun ke dalam pelukannya yang hangat.
“Kau tahu, rasanya sejak tadi malam aku semakin tergila-gila padamu,” gurau Kim Bum, sambil memasang mimik lucu. “Selain itu, sesekali melihatmu menangis seperti ini membuatku senang. Ternyata, eh, kau sangat feminin dan cantik kalau menangis,” seloroh Kim Bum lagi.
“Kim Bum!” teriak Kim So Eun, sembari meninju pundak Kim Bum. Ia mengusap air matanya dan tertawa pelan. “Jadi, kau tetap mau menikah denganku?” tanyanya malu-malu.
Kim Bum tersenyum dan mengangguk. Ia mengusap pelan rambut Kim So Eun.
“Apa kata ibumu nanti?”
“Kita tak akan mengatakan apa-apa padanya, juga pada siapa saja, termasuk anak-anak kita nanti. Bukan karena aku malu, tapi karena cerita itu terlalu mengerikan untuk mereka dengar.”
“Bagaimana kalau ibumu tahu masa laluku dan….”
“Sudah kubilang, kita, kau dan aku, tak akan mengatakan apa pun kepadanya. Itu akan jadi rahasia kita berdua,” katanya.
“Kau yakin?” Kim So Eun bertanya ragu.
“Bukankah kau pernah berkata, bahwa terkadang suatu masalah tak bisa dicari jawabnya dan harus kita terima saja apa adanya?” Kim Bum mengangguk pelan sambil menatap Kim So Eun lembut. Ia menggeser duduknya lebih dekat. Digenggamnya tangan Kim So Eun dan ditatapnya lekat-lekat manik matanya.
“Dengar, ibumu adalah seorang Konsultan Keuangan dan dia seorang yang kuat. Itu sudah cukup menjadi sebuah cerita indah untuk kita ceritakan pada ibuku atau anak-anak kita nanti. Bukankah kita tak berbohong?”
“Bagaimana kalau nanti ternyata aku menyakitimu?”
“Kau tak akan menyakitiku. Kalau kau tak yakin, nanti kita berkonsultasi pada Bibimu, atau barangkali ke psikiater lain. Kalau tidak, ya, mungkin aku harus belajar karate mulai sekarang,” gurau Kim Bum.
Kim So Eun tertawa keras. Semua beban yang selama ini memberatinya, mendadak menguap entah ke mana.
Kim Bum bangkit seraya mengibas-ngibas celananya dan menarik tangan Kim So Eun hingga gadis itu berdiri. “Tolong segera jadwalkan cuti tahunanmu. Cari waktu yang bagus mulai nanti malam. Kita akan segera menikah.”
“Tapi, Kim Bum, bagaimana kalau….”
“Dan, tolong, kali ini jangan ada penolakan lagi. Setelah sekian banyak kejutan kuterima darimu dalam dua kali dua puluh empat jam ini, rasanya aku tak sanggup menerima kejutan lain.”
Kim So Eun tertawa tergelak dan memukul pundak Kim Bum berkali-kali dengan gemas.
“Sekarang, ayo, kita pulang! Aku lelah dan ingin tidur. Aku merindukan tempat tidurku lebih dari apa pun!”
Tamat
Copyright Sweety Qliquers
Copyright Sweety Qliquers
Ikut nangis waktu tau kim tae hee udah meningal T.T
BalasHapusTapi senang bgt kim beom mau menerima so eun apa adax...