Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Jumat, 09 September 2011

Trauma (Chapter 6)



SURAT DARI KIM TAE HEE

Anakku,
Kim So Eun….


Bila suatu saat kau baca surat ini, Ibu mungkin sudah pergi jauh atau bahkan mungkin sudah tak lagi ada di dunia ini. Ibu terpaksa meninggalkanmu. Bukan karena Ibu tak menyayangimu, tapi karena Ibu merasa, ketidakhadiran Ibu lebih baik bagimu.

Semakin Ibu memikirkan semua yang terjadi, semakin Ibu mengerti bahwa Ibulah yang menyebabkan semua ini. Ibu tak ingin membuatmu lebih sengsara lagi nantinya. Karena itu, Ibu menitipkanmu pada orang yang bisa membantumu pulih kembali dan menghadapi masa depan yang wajar dan ceria. Dan, yang terpenting, ia mengasihimu seperti anaknya sendiri.

Ayahmu dipenjara. Kami tak lagi bersama. Ia menderita sakit yang sulit disembuhkan. Ia berbuat begitu semata-mata karena ia tak mampu melawan penyakitnya. Karena itu, jangan kau benci dia. Bagaimanapun, dia ayahmu. Semua ini terjadi karena kesalahan kami berdua. Kau tak seharusnya ikut menanggung sakit hati yang timbul dari setiap pertengkaran kami.

Bila kau sering melihat Ibu lebih banyak mengalah, semata-mata karena Ibu ingin melindungimu. Ayahmu sering kali mengancam akan menyakitimu, bila Ibu tak menuruti kemauannya. Karena itulah, Ibu tak pernah mau melawannya. Mungkin, satu-satunya kesalahan Ibu adalah tetap bertahan di sisinya. Tadinya Ibu pikir, itu demi kau. Agar kau tetap memiliki orang tua yang utuh. Nyatanya, Ibu salah. Andai Ibu meninggalkan ayahmu jauh sebelum kau telanjur mengerti dan melihat semuanya, tentu kejadiannya berbeda. Tapi, tak ada yang perlu kita sesali dari semua yang telah terjadi.

Semoga dengan kepergian Ibu, kau dapat sembuh tanpa sepotong kenangan buruk pun tertinggal dalam benakmu, yang hanya akan membebanimu seumur hidup.

Semua uang dan harta yang Ibu miliki, sudah ibu titipkan pada Dokter Kim Ha Neul untuk bekalmu di masa depan. Semoga bisa sedikit mengurangi bebanmu, Kim So Eun. Hiduplah dengan tenang dan wajar. Kejarlah kebahagiaanmu. Doa Ibu selalu menyertaimu. Semoga kau bisa memahami keputusan Ibu.

Peluk Cium,
Ibu

Aku melipat surat itu. Oh, Ibu… Ibu… Ibu! Aku berteriak keras dalam hati. Air mataku luruh seiring dengan lumatnya serpihan dendam yang selama ini menjadi pembatas antara aku dan ibuku. Kupeluk Bibi Kim Ha Neul tanpa berkata sepatah kata pun.

Jauh di lubuk hatiku, aku mengakui kerinduan yang selama ini kerap mendera dan selalu saja kutolak mentah-mentah. Aku merindukan dia, ibuku. Kali ini kubiarkan perasaan itu mengalir begitu saja. Aku membangun bayangan wajah ibuku sedikit demi sedikit, seperti menyusun sekian keping puzzle di tempat yang semestinya.

Dan, wajah itu pun akhirnya terbangun utuh. Sepasang mata yang sendu dan selalu murung, bibirnya yang indah dan wajahnya yang cantik, dimahkotai oleh rambut lurus sebahu. Aku melihat pantulan wajah diriku di sana!

“Ada banyak hal yang tidak aku mengerti, Bibi. Mengapa aku tak pernah bisa membayangkan wajah Ibu, lalu mengapa tiba-tiba saja hari ini aku bisa melakukannya? Aku bahkan mampu mengingat setiap detail di wajahnya!” Mataku menerawang menatap langit-langit kamarku.

“Itu karena baru sekarang kau mengerti dan mengetahui jawabnya, Kim So Eun. Sebuah pertanyaan yang menghantui kehidupanmu selama ini,” Bibi Kim Ha Neul memelukku erat. Ia kelihatan terharu.

“Dan juga, karena baru sekarang kau bisa memaafkannya dan menerima semua kejadian ini!” Bibi Kim Ha Neul menatap manik mataku. Kelopak matanya yang dipenuhi gurat-gurat ketuaan menyipit ketika ia tersenyum. Sorot matanya penuh kasih sayang, melindungiku dari rasa sedih yang menggenangiku.

“Bibi telah lama menunggu hari ini, Kim So Eun.” Ia diam sebentar. “Menunggu kesiapanmu untuk menerima semua ini dengan lapang dada. Menghilangkan dendam dan kemarahanmu yang menumpuk, terutama pada ibumu.”

Aku mengangguk samar sambil mengusap hidungku dengan sapu tangan.

“Tak ada gunanya kau menyalahkan dirimu, membenci ibumu dan semua orang, bahkan bersikap tak terkendali. Itu tak mengubah apa pun. Hidupmu bukanlah gulungan film yang bisa kau potong, bila tak suka pada jalan ceritanya. Semuanya tergantung pada kepasrahan dan keikhlasanmu.” Bibi Kim Ha Neul membawa kepalaku ke dalam pelukannya. “Itulah modal utamamu untuk bangkit dan hidup wajar. Dan, semua itu, harus datang dari dirimu sendiri, Kim So Eun.”

Oh, Bibi Kim Ha Neul! Hampir enam tahun aku hidup bersamanya, seperti layaknya anaknya sendiri. Ia dengan sabar menghadapi kelakuanku dan selalu mencoba mengarahkanku pada perilaku yang benar. Ia selalu tahu bagaimana cara menarik hatiku dan menghentikan semua kemarahan dan dendam yang menggelegak dalam diriku.

Nyaris tak ada yang dapat membuat Bibi Kim Ha Neul menyerah menghadapiku. Kesabaran dan kelembutannya seolah memagari dan melindungiku dari kemarahanku sendiri. Kilasan wajahnya menjadi obat penenang yang paling ampuh setiap kali aku marah dan berniat memecahkan barang, atau melempari orang.

Ya, sedikit demi sedikit ia menumbuhkan kelembutan dalam hatiku dan mengasah kepekaan nuraniku. Sering kali hal ini membuatku heran, terutama pada keputusannya untuk tak menikah dan tak mempunyai anak dari darah dagingnya sendiri. Toh, ia seorang perempuan yang baik dan berkualitas!

Hari ini dan detik ini, ia memadamkan semua dendam yang menderaku bertahun-tahun. Ia membimbingku menerima semuanya, dan bahkan mengakui tanpa malu-malu kerinduanku pada Kim Tae Hee, ibuku.

“Tahukah Bibi, di mana Ibu sekarang berada?” Ah, akhirnya aku bisa menyebut kata ‘ibu’ dengan tanpa beban!

Bibi Kim Ha Neul menggeleng pelan. “Dulu ia pernah memberi kabar beberapa kali. Ia menelepon dari Jepang, katanya ia bekerja di sebuah perusahaan Kontraktor di sana. Tapi, sekitar dua tahun lalu, ia menelepon dari Hongkong, katanya ia bekerja di perusahaan Kontraktor terbesar disana. Setelah itu… tak pernah lagi ia menelepon Bibi, Kim So Eun.”

“Apakah ia menanyakan kabar-ku?”

“Ya, tentu. Hanya kau yang dia tanyakan, Kim So Eun. Tak ada yang lain.”

Aku terdiam. Tiba-tiba aku ingin melihat seperti apa ia sekarang.

“Pernahkah ia mengirim foto atau selembar surat?” aku bergairah bertanya.

“Sayangnya, tidak! Ia pernah bilang, tak ingin membuatmu teringat pada semua kejadian mengerikan yang telah menimpamu, hanya dengan mengirimkan selembar foto dirinya.”

Tenggorokanku terasa kering. Ada sebagian beban hidupku yang berhasil kusingkirkan saat itu. Tapi, keinginanku untuk bertemu dengan ibuku, yang entah berada di mana, mengambil tempat tersendiri di hatiku. Dan, terus membebaniku hingga saat ini!

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...