Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Jumat, 09 September 2011

Trauma (Chapter 5)



CERITA KIM SO EUN

Tubuhku basah oleh keringat. Bajuku sudah bukan seragam sekolah lagi, tapi baju tidur oleh-oleh Kim Tae Hee ketika ia ke Jepang beberapa bulan lalu. Di sebelahku ada seorang wanita seumuran Kim Tae Hee yang menatapku lembut sambil tersenyum manis. Ia berpakaian putih-putih. Rambutnya yang hitam disanggul rapi. Kacamata dengan gagang terbuat dari bahan tanduk menghiasi matanya yang bersinar ramah dan seperti selalu tersenyum. Bahkan, ketika perempuan itu dalam keadaan diam, matanya selalu menyiratkan bahwa ia sedang tersenyum. Sekilas kubaca kartu nama yang diselipkan di dada kanannya.

Kim Ha Neul, Psikiater.

Tapi, ke mana Kim Tae Hee? Sontak ingatan itu membuatku gemetar hebat. Sarafku serasa membeku. Bibirku gemetar. Lidahku kelu. Bola mata itu! Bola mata Kim Tae Hee yang menggelantung seperti agar-agar…. Ruangan yang penuh darah…. Tiba-tiba kulihat tangan Song Seung Hun yang memegang garpu, mengayunkannya menuju mataku.

“Aaahhhhh… aaagghhhh!” Aku berteriak histeris, berontak ingin lari. Aku tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Lidahku seperti dibebani oleh besi berani. Perempuan itu segera memelukku.

“Ssshh, sshhh, jangan takut, Kim So Eun sayang. Kau aman di sini bersamaku.” Dibelai-belainya kepalaku lembut sambil terus membisikkan kata-kata hiburan di telingaku. Pelan-pelan napasku mulai teratur dan tubuhku mengendur. Perempuan itu melepaskan pelukannya perlahan-lahan sambil terus mengamati reaksiku.

“Kau aman di sini. Ibu yang mengurusimu. Hmmm, Kim So Eun mau minum susu?” dia bertanya sambil tersenyum.

Aku diam saja. Aku tak ingin bicara pada siapa pun.

“Namaku, Kim Ha Neul. Ibu yang akan menjagamu di sini.”

Aku masih tak menjawab. Kuikuti langkah Dokter Kim Ha Neul ke arah meja kecil di sudut ruangan. Ia membuat segelas susu untukku. Ia sepertinya baik, tapi aku tak ingin bicara padanya.

“Minumlah, Sayang,” katanya, sambil menyorongkan segelas susu.

Prang! Kutepis gelas itu hingga pecah berantakan. Baju putih Dokter Kim Ha Neul basah terkena percikan susu. Bergegas ia memanggil suster yang segera membersihkan serpihan-serpihan gelas di lantai.

Sudah kubilang, aku tak mau bicara pada siapa pun! Tidak juga pada Dokter Kim Ha Neul yang baru kukenal beberapa saat lalu! Aku menatap perempuan itu tanpa perasaan apa pun. Dia hanyalah orang lain. Bagaimana mungkin dia sebaik itu padaku? Orang tuaku saja tega berbuat begini padaku!

Song Seung Hun tega menusuk mata Kim Tae Hee tanpa pernah berpikir apa yang akan terjadi padaku setelah itu. Bahkan, aku tak tahu di mana sekarang Kim Tae Hee berada! Hah! Lalu ada seorang perempuan asing yang akan melayani dan menjagaku dengan baik. Mana mungkin!

Dan, hari itu tidak berakhir sampai di situ saja, dan dengan begitu saja. Memecahkan gelas baru sebuah permulaan. Siang dan sore harinya aku memecahkan sebuah gelas lagi dan sebuah mangkuk berisi sup daging. Di malam harinya aku menggigit lengan Dokter Kim Ha Neul yang masih saja ‘sok akrab’ mengajakku bicara. Aku tak makan sama sekali dan tak bicara sama sekali. Aku hanya merasa sendirian dalam sebuah kubangan yang penuh darah.

“Kau sudah baikan hari ini, Sayang?” Dokter Kim Ha Neul bertanya lembut. Diciumnya pipiku sekilas. Aku tak menjawab dan hanya mengikuti setiap gerakannya dengan pandangan.

“Ibu membawa sebuah buku cerita yang pasti kau suka,” katanya.

Ibu! Ibu! Ibu! Aku tak suka kata itu. Aku tak punya ibu. Dan, aku tak ingin ibu! Aku menjerit dalam hati.

Dokter Kim Ha Neul menyorongkan sebuah buku cerita bergambar. Kubaca judulnya sekilas tanpa berminat untuk menyentuhnya. Huh! Sudah pernah kubaca dulu. Aku bahkan punya koleksi seri cerita klasik di rumah, termasuk cerita itu.

Seperti hari kemarin, kuhabiskan hari itu dengan memecahkan gelas-gelas dan piring-piring lagi, serta merobek buku cerita yang dibawakan Dokter Kim Ha Neul. Hari itu, aku masih selalu membayangkan garpu dan bola mata Kim Tae Hee yang seperti agar-agar.

Rasanya ada sesuatu dalam diriku yang tak lagi bisa kukendalikan. Rasanya aku membenci, sangat benci pada orang tuaku dan siapa saja. Tapi, yang paling kubenci adalah Kim Tae Hee. Sebab, karena dialah semuanya jadi begini. Ia tak pernah berusaha melawan Song Seung Hun! Andai ia berusaha untuk melawan sejak dulu, tentu tak akan begini jadinya!

Pagi itu, entah hari keberapa aku berada di rumah sakit, Kim Tae Hee datang menjengukku. Mata kanannya diperban, sedang mata kirinya terlihat lebam dengan bagian matanya yang seharusnya berwarna putih terlihat merah darah. Ia tersenyum dan duduk di pinggir tempat tidurku. Aku muak melihatnya.

“Kau sudah baikan, Sayang?” Suaranya bergetar menahan tangis. Aku memandangnya dengan muak. Aku benci padanya!

Lama setelah itu ia terdiam dan hanya mengelus-elus tanganku, kemudian rambutku. Tapi, aku diam saja. Aku tak ingin bicara pada siapa saja, apalagi dia!

Kim Tae Hee terlihat kebingungan melihatku diam dan sama sekali tak memandangnya.

“Ajak bicara, mungkin pada Anda ia mau bicara. Sudah enam hari dia tak mau bicara. Cobalah terus,” kata Dokter Kim Ha Neul.

“Sayang, kau ingat apa yang terjadi?” Kim Tae Hee bicara lagi. “Kau melihat semuanya, bukan?” Ia menunggu reaksiku. “Ayolah, ceritakan apa yang kau rasakan pada Ibu atau Dokter Kim Ha Neul. Jangan diam saja….”

Melihatku diam saja, ia mengambil sebuah buku cerita yang baru dibawakan lagi oleh Dokter Kim Ha Neul. Dia membaca dengan susah-payah sambil sesekali berusaha tersenyum memandangku. Alangkah konyolnya! Matanya yang satu ditambal dan yang satu lagi tak dapat melihat dengan jelas, tapi ia memaksa dirinya membaca untukku. Sementara aku sama sekali tak suka melihatnya!

Sejenak Kim Tae Hee menatapku putus asa. Perlahan air mata meleleh di pipinya yang lebam-lebam dan penuh luka. Digenggamnya tanganku pelan dan didekap di dadanya. “Kim So Eun, anakku, mengapa jadi begini,” katanya pelan, di antara isaknya.

Mengingat wajah Ibu, seperti mengumpulkan potongan puzzle yang bertaburan. Sulit, dan membutuhkan konsentrasi tinggi.

Kengerian itu sering kali datang. Dalam mimpi-mimpiku, dalam khayalanku, bahkan dalam kesendirianku. Bayangan garpu yang menghujam langsung ke mata kanan Kim Tae Hee, lalu bola mata kanannya yang menggelantung di pipinya, selalu saja tampak nyata.

Hanya Dokter Kim Ha Neul tempatku berlindung. Dan, entah pada hari keberapa, aku mulai menjalin komunikasi dengan Dokter Kim Ha Neul sedikit demi sedikit, meskipun aku tak pernah mau berbicara. Ia sering membacakan cerita untukku. Ia juga sering mengarang sendiri cerita untukku. Yang paling kusuka adalah kisah seekor induk rusa yang menyelamatkan anaknya dari terkaman harimau.

Aku menyukai induk rusa itu. Karena, selain menyelamatkan anaknya, ia juga tak membiarkan dirinya dilukai si harimau. Induk rusa itu akhirnya bisa membesarkan anaknya hingga siap dilepas sendirian di hutan. Aku mulai menyukai Dokter Kim Ha Neul. Tampaknya ia pun menyukaiku, bahkan sangat menyayangiku.

Kata Dokter Kim Ha Neul, aku tak mau bicara selama lebih dari dua bulan. Hanya kesabarannya mendekatiku, membuatku mau berbicara sepatah demi sepatah. Meskipun, dalam keadaan tertentu, aku masih sering kembali mogok bicara. Tapi, menurutnya, aku sudah jauh lebih baik ketimbang keadaanku sebelumnya.

Sementara itu, Kim Tae Hee mulai jarang datang. Bahkan, tanpa kusadari ia tak pernah lagi menjengukku. Mungkin, ia kecewa karena aku tak pernah mau berbicara padanya, bahkan tak mau menatap wajahnya sama sekali. Ada sesuatu dalam diriku, seperti sebuah fungsi yang tiba-tiba berhenti setiap kali melihat wajahnya!

Mendadak tubuhku akan menegang. Lidahku kelu. Aku dirundung kegelisahan yang tak dapat kupahami, yang mendorongku untuk menutup diri darinya, jika bertemu dengannya. Bahkan, pernah pada suatu waktu, aku berlari dan bersembunyi di bawah tempat tidurku begitu melihat sebelah kakinya memasuki ruangan tempatku dirawat.

Aku tak pernah tahu apa yang terjadi padanya kemudian. Aku pun tak pernah tahu dan tak pernah memikirkan apa yang akan terjadi padaku nanti. Yang kutahu, Dokter Kim Ha Neul sangat menyayangiku dan aku menikmati setiap detik bersamanya. Dia telah menjadi tempatku bergantung. Aku tak bisa hidup tanpa dirinya.

Maka, ketika suatu hari, setelah sekian bulan dirawat, Dokter Kim Ha Neul mengajakku pulang ke rumahnya, aku sangat senang. Aku tak lagi dan tak mau lagi mengingat kejadian itu, Song Seung Hun, dan juga Kim Tae Hee. Hidupku selanjutnya hanya akan terdiri dari aku dan Dokter Kim Ha Neul. Kami berdua.

“Apakah… Dokter mau mengajakku… pulang? Ke rumah… Dokter?”aku terbata-bata bertanya, nyaris berbisik.

Dokter Kim Ha Neul tersenyum. Ia membelai rambutku lembut. “Mengapa tidak, Kim So Eun?”

“Aku kan galak dan sering... mengamuk. Aku memecahkan barang-barang….”

“Kau anak baik, Kim So Eun. Dokter percaya, Kau mau menceritakan apa saja yang kau rasakan. Ya, ’kan?” katanya menegaskan, menenteramkan hatiku. Jadi, sejak itu aku tinggal dengan Dokter Kim Ha Neul, yang kemudian mengadopsiku dan menyuruhku memanggilnya Bibi Kim Ha Neul. Aku memulai sebuah hidup baru, di rumah dan lingkungan baru, dengan seorang keluarga baru.

Aku masih sering mengamuk dan memecahkan barang. Bukan hanya itu, aku juga mudah memukul siapa saja yang kuanggap menyinggung perasaanku. Aku sering kali pulang sekolah dengan tubuh kotor dan berdarah karena berkelahi. Kadang-kadang, kalau aku marah atau ngambek, aku masih sering diam membisu selama beberapa waktu. Tak jarang, sampai aku sakit karena tak bisa melampiaskan kemarahanku.

Seringnya aku membuat masalah, membuat Bibi Kim Ha Neul menerima banyak keluhan. Entah itu dari para orang tua yang anaknya berkelahi denganku atau guru-guru sekolahku. Aku pernah memukuli seorang anak di sekolahku dengan ikat pinggang hingga tubuhnya penuh bilur. Aku juga pernah menendang perut kakak kelasku, perempuan, hingga ia terpaksa dibawa ke UGD. Katanya, tulang rusuknya sedikit bergeser karena kerasnya tendanganku!

Semua itu kulakukan karena aku tak mau orang menggangguku atau meremehkanku. Aku tak pernah mau mengalah pada apa yang kuanggap sebagai upaya orang untuk menginjak harga diriku. Tak ada orang yang boleh mengalahkanku!

Aku bahkan hampir tak pernah menangis seperti yang biasa dilakukan anak perempuan jika mendapat masalah. Aku memang tak lagi bisa menangis sejak melihat Kim Tae Hee dicongkel matanya. Aku melihat bagaimana Kim Tae Hee menangis meraung-raung dan menjerit-jerit, tapi Song Seung Hun semakin kalap dan mencongkel matanya.

Bukan hanya pada kejadian itu saja. Kim Tae Hee sering menangis dan memohon agar Song Seung Hun berhenti menyakitinya, tapi itu tak pernah berhasil. Song Seung Hun selalu saja bertambah galak dan buas. Ia semakin senang menyakiti. Jadi aku pikir, menangis adalah perlambang kelemahan yang paling hakiki. Memohon adalah teman setia kelemahan. Andai ketika disakiti, Kim Tae Hee balik menyerang atau paling sedikit melakukan pembelaan, bukannya memohon dan menangis, mungkin kejadiannya akan lain. Jadi, aku tak mau dan tak akan pernah mengulangi kesalahan yang dibuat Kim Tae Hee! Aku tak ingin seperti dia!

Dari semua kenakalan yang pernah kulakukan, ada satu yang paling kuingat hingga kini. Ketika itu, usiaku menginjak enam belas tahun. Ada seorang anak lelaki, kakak kelasku yang lebih tua beberapa tahun dariku, merampas uang jajanku. Waktu itu aku pulang dengan tubuh gemetar menahan marah karena aku tak berhasil merebut uangku kembali.

“Kau kenapa, Sayang? Kau tidak mau makan, tidak mau bicara pada Bibi? Badanmu gemetar seperti ini. Ada apa?” Bibi Kim Ha Neul memegang keningku. Ia duduk di sisi tempat tidurku, menatapku, dan menunggu reaksiku. Sudah seharian aku tutup mulut. Aku memang tak ingin membicarakan masalah itu padanya, karena aku tahu tak lama lagi ia akan mendapat masalah. Jadi, lebih baik aku diam saja.

“Katakan, Sayang, kenapa kau seperti ini. Ayolah, jangan membuat Bibi takut.”

Hening. Aku tetap tak mau bicara. Lama aku berbuat begitu. Aku tahu Bibi Kim Ha Neul mulai takut, apalagi ketika menjelang malam badanku mulai panas.

“Katakan Kim So Eun, apa yang terjadi. Apakah Bibi membuatmu marah?” Ia membujukku dengan lembut.

“Jung Yong Hwa merebut uang jajanku,” kataku akhirnya.

“Itu saja, Kim So Eun?” Bibi Kim Ha Neul mendesah pelan. “Hanya karena uangmu direbut lantas kau diam saja seharian ini? Atau, ada yang lainnya?”

Ketika itu pintu ruang tamu diketuk. Dalam hati, aku tahu masalah untuk Bibi Kim Ha Neul telah datang! Itu orang tua Jung Yong Hwa dan Jung Yong Hwa. Kepala dan jari kelingking tangan kanan anak laki-laki itu diperban!

“Ada apa, ya, Nyonya?” Kudengar suara halus Bibi Kim Ha Neul menyapa sang tamu setelah mempersilakan mereka masuk dan duduk.

Hening sesaat. Orang tua Jung Yong Hwa saling pandang, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk membuka pembicaraan. “Anak kami tadi siang dibawa ke rumah sakit. Kepalanya bocor dan mendapat tujuh jahitan, jari kelingkingnya patah. Katanya, ia berkelahi dengan Kim So Eun.”

Aku berjingkat membuka pintu kamarku sedikit sehingga aku bisa mengintip ke ruang tamu. Tampak wajah Bibi sedikit pias. Ia terlihat malu.

“Tapi, kata Kim So Eun, Jung Yong Hwa telah mengambil uang jajannya. Ia mengaku begitu pada saya.” Bibi Kim Ha Neul berbicara tenang dan terkendali, berusaha untuk tidak memberi perhatian lebih pada kedua bagian tubuh Jung Yong Hwa yang diperban itu.

“Oh, begitukah? Jung Yong Hwa tidak menceritakannya pada kami. Tapi, kalaupun benar, rasanya Kim So Eun tak perlu sampai membuat kepalanya bocor dan mematahkan jari kelingkingnya, bukan?”

Hening lagi.

“Rasanya ini sudah keterlaluan untuk anak berusia enam belas tahun dan perempuan pula! Kami bisa saja melaporkan kejadian ini pada polisi. Apalagi kami dengar, bukan sekali ini saja Kim So Eun melakukan tindak kekerasan seperti ini. Kelakuan anak itu sudah cenderung pada tindakan kriminal. Atau, jangan-jangan Anda belum tahu?” Ibu Jung Yong Hwa melanjutkan kata-katanya.

“Maaf, Nyonya. Tolong Keponakan Anda itu dikontrol sedikit. Saya tak ingin Jung Yong Hwa mengalami patah tangan, gigi tanggal, atau yang lebih buruk karena berkelahi dengan Kim So Eun. Jadi, mulai sekarang, saya larang Kim So Eun mendekati anak saya! Keponakan Anda adalah sebuah ancaman. Bukan hanya bagi anak saya, tapi juga semua anak di sekolahnya!” Ia berhenti sebentar dan mengaduk-aduk isi tas tangannya.

“Dan, ini! Uang yang katanya diambil Jung Yong Hwa dari Kim So Eun,” katanya tajam, sambil meletakkan satu lembar uang 10 Ribu di atas meja dengan keras.

Huh! Padahal, tadi ia bilang Jung Yong Hwa tak cerita!

Aku melihat wajah Bibi Kim Ha Neul memerah, bukan memucat seperti tadi. Ia marah. “Terima kasih kalian telah datang dan mengembalikan uang ini. Bukan soal jumlahnya yang penting. Tapi, seharusnya kalian sadar, anak kalianlah yang memulai masalah. Apa pun reaksi Kim So Eun kemudian, kalian harus ingat bahwa tindakan mengambil dan merebut sesuatu yang bukan miliknya, apa pun bentuknya dan seberapa pun nilainya, adalah perbuatan tercela. Kalau saja Jung Yong Hwa tidak mengambil uang Kim So Eun, saya rasa keponakan saya itu tak akan menyerangnya,” kata Bibi Kim Ha Neul, marah.

Ia berhenti sebentar dan mengambil napas sambil memandangi anak beranak itu bergantian. Jung Yong Hwa terlihat menunduk dalam-dalam. Ia seperti berada di dunia lain. Dunianya sendiri. Ia seolah tak mendengarkan perdebatan para orang tua itu. Melihat tak ada reaksi apa pun, Bibi Kim Ha Neul melanjutkan, “Selain itu, saya tak yakin Jung Yong Hwa tidak melakukan hal-hal lain selain merebut uang Kim So Eun.” Kali ini ia menatap Jung Yong Hwa dengan tajam. Pandangan penuh tuntutan dan tuduhan.

“Bukankah begitu, Jung Yong Hwa? Apa lagi yang kau lakukan selain merebut uang Kim So Eun?” Ia bertanya sekali lagi, memberi penekanan sedemikian rupa pada kalimatnya yang sarat tuduhan. Caranya mengucapkan kalimat itu dengan sangat yakin membuat kedua orang tua Jung Yong Hwa saling menatap. Jung Yong Hwa tampak terkejut. Wajahnya memucat. Ia meremas-remas tangannya yang berkeringat.

“Katakan saja, Jung Yong Hwa. Toh, kau tidak melakukan apa-apa,” bujuk ibunya.

“Jung Yong Hwa, tidak akan ada yang memarahimu. Ayo, katakan. Sebab, Bibi yakin, Kim So Eun tidak akan begitu hanya karena kau merebut uangnya.”

Jung Yong Hwa masih diam.

“Percayalah, Bibi tidak akan marah. Kau dan Kim So Eun sudah lama berteman, dan kalian sering bertengkar. Tapi, Kim So Eun tidak pernah memukulmu seperti ini. Adakah hal lainnya yang belum kau ceritakan? Katakanlah, Bibi tak akan marah,” desak Bibi Kim Ha Neul.

Aku sebenarnya agak heran dengan reaksi Bibi Kim Ha Neul yang sepertinya sangat yakin ada sesuatu yang disembunyikan Jung Yong Hwa. Memang ada, sesuatu yang tidak kuceritakan karena aku malu. Tapi, bagaimana dia bisa begitu yakin pada sesuatu yang tersembunyi itu? Ah, aku melupakan profesinya! Ia seorang psikiater!

“Saya… saya… memegang… Hmm, eh, payudaranya,” akhirnya Jung Yong Hwa berkata gemetar. Ia menunduk makin dalam. Seperti ingin menenggelamkan wajahnya di antara kedua pahanya.

Aku melihat Bibi Kim Ha Neul tersenyum penuh kemenangan. “Benar bukan apa yang saya katakan? Keponakan saya tidak seperti yang Anda duga.”

“Tapi, Anda tetap saja tidak bisa menghilangkan fakta bahwa keponakan Anda melakukan kekerasan yang sangat berbahaya yang tidak seharusnya dilakukan oleh anak perempuan seusianya,” kata ibu Jung Yong Hwa, jengah.

“Anda juga harus sadar, bahwa kelakuan Jung Yong Hwa pun tidak bisa diterima. Kebetulan saja Kim So Eun tidak berdarah. Bagaimana kalau Jung Yong Hwa melakukan hal yang lebih jauh?”

“Ah, sebaiknya kita pulang. Mari kita akhiri urusan ini sampai di sini saja,” kata ayah Jung Yong Hwa yang sejak tadi kulihat lebih banyak berdiam diri. Ia kelihatan tak enak hati dengan kelakuan putranya. Mereka tidak mengatakan apa-apa lagi. Hanya, ketika pulang, ibu Jung Yong Hwa membanting pintu dengan keras. Blaaam!

Setelah itu, Bibi Kim Ha Neul mencariku di kamar. Ia menatapku lama, hingga membuatku salah tingkah dan tiba-tiba jadi ingin kencing.

“Mengapa kau melakukan itu, Kim So Eun? Kau sudah besar sekarang. Usiamu sudah enam belas tahun. Mematahkan kelingking Jung Yong Hwa dan membuat kepalanya bocor? Ya, ampun, Kim So Eun! Apa sebenarnya yang ada dalam pikiranmu?” Nada suaranya terdengar kesal.

“Tapi, dia memegang payudaraku, Bibi. Memang yang diambilnya hanya uang 10 Ribu di saku kananku. Tapi, dia melakukan itu karena ingin menyentuh payudaraku!”

“Bibi tak mempersoalkan itu. Kau memang berhak marah. Tapi, mematahkan kelingkingnya? Itu tetap tidak dapat diterima, Kim So Eun! Tidakkah kau bisa melawan dengan cara lain?” Bibi Kim Ha Neul tampak gemas. “Bibi tidak menyalahkanmu karena kau melawan. Tapi, kapan kau akan menghentikan semua ini? Berkelahi dan memukuli orang? Kau sekarang sudah enam belas tahun. Tak pantas berkelahi seperti lelaki!” Suara Bibi Kim Ha Neul meninggi. Aku diam saja.

“Ayo, ceritakan pada Bibi, dengan apa kau memukulnya tadi?”

“Dengan… kayu dan batu! Karena, cuma kayu dan batu itu yang ada di sekitar situ. Kepalanya aku pukul dengan batu dan kelingkingnya aku pukul dengan kayu!” Aku menjawab lemah, tak yakin dengan reaksi Bibi Kim Ha Neul. Aku takut dia semakin marah.

“Tapi, kenapa, Sayang? Tidak bisakah kau lari saja kalau tak mampu melawannya?” Bibi Kim Ha Neul berkata putus asa. Ia menatapku sendu sambil menggeleng-geleng lemah. “Ada kalanya Bibi tidak tahu, apa yang harus Bibi lakukan untuk membantumu melupakan semua dendam itu. Agar semua kekerasan mengelupas seperti kulit ari dari dirimu. Dengan begitu, kau bisa menjadi gadis yang ceria. Tidak melulu merasa diri terkalahkan….”

Aku diam. Menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan. Bagaimana aku harus menjawab pertanyaan Bibi Kim Ha Neul? Seharusnya dia mengerti. Justru, lari dan menghindar adalah sesuatu yang paling tak ingin kulakukan! Aku bukan penakut seperti Kim Tae Hee! Dan, Jung Yong Hwa tidak harus selalu menang seperti Song Seung Hun dulu!

“Kalau aku tidak melawan, Jung Yong Hwa pasti akan melakukannya lagi.”

Hening. Kami saling berdiam diri. Aku dapat merasakan pandangan Bibi Kim Ha Neul menyapu seluruh tubuhku.

“Bibi tahu. Tapi, bukankah sudah berkali-kali Bibi katakan, kalau kau merasa ingin memukul orang, segeralah menyingkir. Sejauh-jauhnya…. Tenangkan perasaanmu. Mengalah tak selalu berarti kalah, Kim So Eun.”

“Bukankah itu yang terjadi padanya? Dia tak pernah melawan? Aku tidak mau seperti dia!” Aku mulai menangis. Lama-lama semakin keras. Aku teringat pada Kim Tae Hee.

Sebenarnya aku tak pernah melupakannya. Barangkali setelah sekian tahun berlalu, aku sebenarnya merindukannya. Aku tak tahu ke mana ia pergi. Jauh di alam bawah sadarku, aku ingin tahu mengapa tak ada kabar mengenai dirinya. Mengapa ia tak kunjung menjemputku? Memang aku membencinya, tapi tidakkah seharusnya ia tetap menjemputku bagaimanapun reaksiku nantinya?

Jauh dalam lubuk hatiku, terus-terang aku merasa kecewa karena ia tak kunjung datang menjemputku. Rasanya lengkap sudah. Ia dan Song Seung Hun, mereka berdua, sejak awal tak pernah memperhitungkan keberadaanku!

“Kau merindukan ibumu, Sayang?” Bibi Kim Ha Neul bertanya lirih. Dibawanya aku ke dalam pelukannya. Aku merasa hangat.

“Ke mana ia pergi, Bibi? Mengapa ia tak pernah datang menjengukku?” Aku terisak, sesuatu hal yang sebenarnya pantang aku lakukan. Tapi, sudah bertahun-tahun pertanyaan itu kugantung begitu saja!

Bibi Kim Ha Neul menarik napas panjang. “Akhirnya kau menanyakannya juga,” katanya, sambil menepuk pundakku pelan. “Tunggu di sini. Bibi akan mengambilkan sesuatu untukmu. Rasanya, sudah saatnya kau tahu.” Dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke luar ruangan menuju kamarnya sendiri yang bersebelahan dengan kamarku. Tak lama, ia datang dengan sepucuk surat di tangannya.

“Bacalah ini,” katanya sambil menyodorkan surat itu padaku.

“Ini dari….”

Bibi Kim Ha Neul mengangguk tegas. “Ya, surat itu dari ibumu.”

Aku menarik napas dalam-dalam. Ada perasaan aneh menyusuri hatiku. Antara gembira dan ingin tahu. Kutimang-timang sebentar surat itu sebelum akhirnya kubuka pelan-pelan. Tulisan di atas kertas itu kecil-kecil dan sangat rapi. Surat itu diawali dengan tanggal dan tahun, saat ia menuliskannya untukku. Enam tahun yang lalu….

Bersambung…

1 komentar:

  1. Hoo tomboi bgt soeun wktu kecil, jung yong hwa kepalax smpe bocor gtu... gila
    Tpi cerita keren, saiia suka^^

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...