Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Jumat, 09 September 2011
Trauma (Chapter 3)
CERITA KIM SO EUN
Aku diasuh oleh Bibiku, Bibi Kim Ha Neul, sejak usiaku sepuluh tahun. Tadinya memang hanya untuk sementara waktu, menunggu ibuku sembuh dari sakitnya, atau Ayahku keluar dari penjara. Tapi, belakangan aku tak mengharapkan lagi keduanya. Aku tak mau berjumpa dengan mereka, apalagi tinggal serumah! Aku sudah telanjur kecewa dan kehilangan rasa hormatku pada mereka.
Jadi, aku tinggal dengan Bibiku bukan lantaran aku tak punya orang tua, tapi semata-mata karena aku kecewa pada orang tuaku. Jangan dikira kekecewaan ‘biasa’ saja yang aku rasakan, tapi kekecewaan dalam pengertian tertinggi. Ambang batas kekecewaan! Bisa kupahami kalau orang lain terheran-heran dan bertanya-tanya, bagaimana mungkin hanya karena kecewa, orang sampai bisa menolak untuk tinggal serumah, bahkan pada titik tertentu menolak untuk bertemu dengan orang tuanya?
Justru di situlah letak perbedaannya! Kekecewaanku bukan yang seperti itu, kau tahu? Bukan seperti perasaan kecewa yang timbul ketika kita tidak berhasil membeli sepatu yang sudah lama kita idam-idamkan atau karena sebuah acara yang sudah kita rencanakan dengan matang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bukan! Bukan seperti itu! Hal ini jauh lebih rumit! Rasanya aku tak bisa mendefinisikannya dengan baik.
Tapi, baiklah. Begini saja. Dulu. Duluuu… sekali, sejauh yang bisa kuingat, Ayahku seorang direktur di sebuah perusahaan. Ia tampan, rambutnya hitam, matanya sipit, hidungnya mancung. Penampilannya selalu necis dan pembawaannya tenang. Ia seorang usahawan yang sukses. Hanya itu. Tak banyak yang kuingat tentang dia.
Sementara ibuku? Dia cantik. Rambutnya lurus sebahu. Matanya selalu tampak sendu, tapi justru menjadi daya tarik luar biasa dan dominan pada wajahnya yang cantik. Dia seorang manajer di sebuah perusahaan Kontraktor yang mempekerjakan ribuan orang. Dia satu-satunya manajer wanita di perusahaan besar itu. Jelas, dia sangat cerdas. Seingatku, ia berpembawaan lembut dan lebih sering merenungi kertas-kertas yang memenuhi meja kerjanya ketimbang bekerja di dapur.
Sampai di situ gambaran tentang Ayah dan ibuku sangat sempurna. Seharusnya hanya sampai di situ. Ya, aku pun inginnya sampai di situ saja. Tapi, nyatanya tidak! Dan, dari sinilah kekecewaanku bermula. Persis pada titik ini. Dan, mulai pada bagian ini, aku hanya menyebut nama-nama mereka berdua — Song Seung Hun dan Kim Tae Hee— dalam seluruh ceritaku.
Kedengarannya keterlaluan. Tapi, apa boleh buat, sebenarnya sudah sejak lama aku menghapus kata ‘Ayah’ dan ‘Ibu’ dari daftar kosakataku. Sebab, aku ingin menghapus semua kenangan buruk yang mengikuti kedua kata itu! Song Seung Hun jahat! Benar-benar jahat! Dia suka memukul, menempeleng, menendang, bahkan menusuk, dan melukai dengan benda apa saja dalam genggamannya, sampai korbannya berdarah-darah. Tapi, ia hanya jahat seperti itu pada Kim Tae Hee. Jadi, korbannya itu selalu… Kim Tae Hee.
Tidak pernah orang lain. Tidak juga aku. Sementara Kim Tae Hee, di balik kepintarannya dan kemandirian yang ia tampakkan, ia sebetulnya wanita lemah. Berkali-kali Song Seung Hun memukuli dan melukainya, tapi ia tak pernah melawan. Ia hanya menangis sendirian, diam-diam. Menderita diam-diam. Lalu berpura-pura tak pernah terjadi apa-apa sambil selalu menutupi dengan sebaik-baiknya bekas luka baret, bekas luka tusukan kecil, dan bercak-bercak kecokelatan bekas sundutan rokok.
Ya, sangat sering aku melihatnya memulai pagi dengan menangis diam-diam di kamar mandi dengan tubuh berbalut seprai atau selimut penuh noda darah! Ketika itu, dengan keterbatasan pemahaman seorang anak kecil, aku tak pernah bisa menebak apa yang telah Song Seung Hun lakukan terhadap Kim Tae Hee pada malam harinya hingga ia menangis dan berdarah-darah begitu.
Tapi, sebenarnya itu belum seberapa! Yang lebih mengerikan, akhirnya Kim Tae Hee harus kehilangan mata kanannya. Bayangkan! Matanya dicongkel keluar oleh Song Seung Hun, suaminya sendiri!
Di situlah semua cerita ini berawal. Meskipun hidupku sudah tak dapat dikatakan ‘sehat’ lagi jauh sebelum kejadian itu, tepatnya sejak aku mengerti arti kekerasan, tapi pagi itulah yang sesungguhnya menandai kehancuran hidupku. Ketika saat itu umurku baru sepuluh tahun!
Entah kenapa sejak pagi Song Seung Hun uring-uringan. Ia kelihatan marah sejak ia terbangun membuka mata. Pagi-pagi yang dicarinya buku agenda kerja milik Kim Tae Hee, dan bukan meminta secangkir kopi dan sepiring kecil kue kering sebagaimana kebiasaannya selama ini.
Kim Tae Hee tak begitu menanggapi kemarahannya, ia sibuk membenahi kertas-kertas catatan yang harus dibawanya ke kantor. Sedangkan aku siap untuk berangkat ke sekolah. Song Seung Hun memang sudah biasa seperti itu. Rasanya tak berlebihan kalau kukatakan ia sarapan dengan mengunyah kemarahan. Terkadang kupikir, barangkali ia memang menjadi kenyang setelah marah. Jadi, aku dan Kim Tae Hee tak menanggapinya. Untuk apa? Ya, untuk apa?
Song Seung Hun memang selalu seperti itu. ‘Selalu’ dalam arti harfiah. Selalu, tidak pernah tidak. Jadi, setiap hari dia marah. Ada saja hal-hal yang membuatnya marah. Mulai dari soal makanan, rokok habis, kenakalanku, pekerjaan, dan lain-lain, hal-hal kecil.
Dan pagi itu, ia marah karena ada pesan nyasar di mesin penjawab telepon. Setidaknya itu yang aku pahami dari pertengkaran kedua orang tuaku. Pesan nyasar itu sepertinya untuk Kim Tae Hee, atau… untuk wanita lain yang nyasar ke mesin penjawab telepon di rumahku. Entahlah. Mana aku tahu?
“Sayang, mengapa kau tidak bekerja hari ini? Kau telepon ke nomor 08115059721, ya?” Song Seung Hun mengulang pesan itu keras-keras, nyaris berteriak. Kim Tae Hee hanya menatapnya sekilas sambil tetap memilah-milah setumpuk kertas dan memasukkan sebagian ke dalam tas kerjanya. Ia sudah biasa melihat Song Seung Hun seperti itu. Percuma kalau ditanggapi dengan kemarahan. Ia tahu, urusannya tak akan selesai sampai di situ saja.
“Itu bukan siapa-siapa. Lihat saja, nomor yang ditinggalkannya tidak ada dalam catatan relasi kerjaku di agenda,” Kim Tae Hee mencoba menjelaskan dengan sabar tanpa memandang Song Seung Hun.
“Ya, kau kan bisa saja sengaja tidak mencatatnya di situ. Tapi, di otakmu nomor itu menempel terus!” Song Seung Hun menyahut sinis sementara Kim Tae Hee tak terlalu menanggapi.
Aku sendiri hanya menunggu mereka selesai bertengkar dan berharap salah seorang ingat, bahwa pagi ini hari Senin, dan aku harus masuk sekolah lebih awal. Tapi, instingku mengatakan, urusan ini masih jauh dari selesai. Jadi, lebih baik aku bersiap mengarang segudang alasan untuk kukatakan pada wali kelasku bila aku terlambat… lagi.
“Kalau memang tidak percaya, telepon saja sendiri ke nomor itu. Itu jelas-jelas orang salah sambung.”
“Ah, alasan!” Tiba-tiba saja Song Seung Hun menggebrak meja makan di depan kami. Aku terkejut dan Kim Tae Hee mendongak menatap Song Seung Hun. “Aku tahu, selama ini kau ada main dengan teman sekantormu. Dengan Pria tinggi itu, yang berkacamata, dan selalu berpakaian necis ke kantor!”
“Siapa? Ada banyak orang di kantor dengan kriteria seperti itu. Ada lima ribu pekerja di perusahaan Kontraktor itu. Ada orang kantoran dan ada ribuan orang lapangan!” Kim Tae Hee mengelak, kali ini tidak sesabar tadi.
“Pura-pura tidak tahu. Itu… Kang Ji Hwan. Ya, aku ingat sekarang. Namanya Kang Ji Hwan. Iya, ’kan? Mengaku saja kau!” Song Seung Hun berdiri dan mencondongkan tubuhnya ke arah Kim Tae Hee. Ditatapnya Kim Tae Hee dengan pandangan merendahkan. Ia mulai tak terkendali. Wajahnya memerah.
“Dasar Pelacur!” Dia mendesis kasar. Dalam benakku, laki-laki itu seperti seekor ular di film-film horor. Matanya mendelik tajam, suaranya berdesis, seolah mengintai mangsanya dan mencari titik lemahnya sebelum akhirnya menerkamnya dengan kedua rahangnya yang tak bertulang itu!
Aku menunggu adegan berikutnya. Paling tidak, tak ada benda tajam di situ. Song Seung Hun hanya akan memukul Kim Tae Hee dengan tangan kosong. Itu biasa dan hampir selalu terjadi. Paling tidak itu membuatku sedikit lega. Tak ada rokok yang tengah menyala, pisau lipat, atau bahkan, sebatang tusuk gigi. Ia tak akan membuat Kim Tae Hee berdarah seperti yang sering dilakukannya sejak bertahun-tahun lalu.
“Song Seung Hun! Kau ini keterlaluan! Ada banyak nama Kang Ji Hwan di kantorku. Kang Ji Hwan yang mana?” Kim Tae Hee mulai berteriak sengit. Ia merasa sangat tersinggung. Song Seung Hun boleh menuduhnya apa saja, mengatainya apa saja, tapi tidak berselingkuh. Itu hanyalah pekerjaan wanita yang tidak bermartabat dan penipu! Menuduh Kim Tae Hee berselingkuh, sama saja dengan mengatakan bahwa ia adalah wanita yang tidak punya harga diri, tidak punya kejujuran. Dan, ia sama sekali bukan wanita seperti itu! Sama sekali bukan! (Itu yang selalu dikatakan Kim Tae Hee padaku!).
“Jangan-jangan kau tidak tahu Kang Ji Hwan yang mana, karena memang bukan Kang Ji Hwan yang mana-mana. Kau cuma ingin marah dan menjadikan pesan konyol itu sebagai bahan untuk memarahiku. Iya, ’kan? Kau cuma butuh alasan, dan itu mengada-ada!”
Hening. Ketenangan telah lama menyelinap pergi, menyisakan udara yang berat oleh bergumpal-gumpal kebencian dan kemarahan. Aku ingin tubuhku tiba-tiba mengerut, lalu lenyap seketika dari pandangan mereka. Aku benar-benar bosan pada pertengkaran yang tak berkesudahan ini!
Kuperhatikan napas Kim Tae Hee sedikit memburu. Ia tak lagi duduk. Sementara Song Seung Hun berdiri tegak dan memandangnya sengit. Aku duduk diam-diam di kursiku sendiri sambil berharap semoga Song Seung Hun hanya memandangnya. Hanya itu, dan tidak menyentuh kulitnya.
Kami saling berdiam diri. Kami sudah lama melupakan setangkup roti tawar dan segelas jus jeruk yang ada di hadapan kami masing-masing. Lama seperti itu. Tubuhku mulai mengendur. Sepertinya pertengkaran itu akan segera berakhir. Seperti biasa, pasti Kim Tae Hee memilih mengalah. Tiba-tiba kudengar Kim Tae Hee berbisik lirih. “Cara-caramu itu sudah sangat kukenal, Song Seung Hun. Sudah tidak mempan lagi untukku!
Kim Tae Hee mulai menyadari hadirnya kesunyian yang aneh. Ia tenggelam cukup lama dalam pikirannya sendiri untuk meredakan amarahnya. Tapi, sejak tadi Song Seung Hun tak membalas setiap perkataannya. Itu adalah sesuatu yang tidak biasa.
Aku sendiri sejak tadi menunggu dengan membuang pandang ke luar jendela. Rasanya lebih enak dan menenangkan melihat rerangan rumah kami yang luas. Mendengar kicau burung pengisap madu atau burung yang bertubuh kecil, dengan bulu berwarna hijau muda kekuningan. Burung yang berkelompok empat atau lima ekor itu melompat-lompat riang di dahan-dahan pohon, persis di depan jendela itu. Mungkinkah mereka sebuah keluarga? Kalau jawabannya ‘ya’, alangkah berbahagianya mereka!
Kesunyian yang lama ini agak tak biasa bagiku. Sepertinya Kim Tae Hee juga merasakan bahwa diamnya Song Seung Hun yang cukup lama terasa aneh. Tapi, sebelum ia sempat benar-benar menyadari apa yang terjadi pada Song Seung Hun, tiba-tiba sebuah kilatan logam berada begitu dekat dengan mata kanannya. Crap! Ada sesuatu yang menusuk langsung ke bola matanya. Kim Tae Hee lalu menjerit histeris dan secara spontan dengan cepat memegang matanya. Ada cairan berwarna merah pekat yang menyembur deras. Bau anyir darah mulai tercium oleh hidungnya. Juga hidungku. Kim Tae Hee melolong. Melengking.
Aku melompat dan beringsut di pojok ruangan. Hanya di situ aku merasa aman. Tubuhku menegang, tapi entah kenapa, aku tak bisa bersuara. Suaraku sepertinya menguap begitu saja sebelum sempat keluar dari tenggorokanku. Keringat membasahi tubuhku. Tapi, aku tidak menangis, tidak bersuara, tidak bergerak. Aku lumpuh. Semua sarafku mendadak tak berfungsi. Hanya mataku yang nyalang memandang peristiwa yang terjadi di depan mataku.
Malangnya, kedua mataku mengikuti dengan baik gerakan tangan Song Seung Hun dan setiap reaksi Kim Tae Hee. Aku ingin mengalihkan pandanganku ke luar jendela, tapi otakku tak mau menurut perintahku. Aku benar-benar mati rasa!
Crap! Crap! Beberapa tusukan lainnya menyusul, masih pada mata yang sama, sebelum Kim Tae Hee sempat melihat dengan benar benda apa yang telah menusuk matanya itu. Begitu berulang-ulang. Hingga pada tusukan kesekian kulihat ia memegang sebuah benda bulat dan kenyal, sedemikian rupa dalam genggamannya. Ia menyangga benda itu dengan tangannya, persis di depan pipi kanannya. Itu adalah… sebuah bola mata! Ya, Tuhan! Itu adalah bola mata Kim Tae Hee!
Tiba-tiba aku merasa perutku bergejolak hebat. Aku benar-benar mual! Roti yang baru saja kumakan berhamburan di lantai, bercampur dengan jus jeruk dan semua vitamin yang kumakan pagi ini. Tapi, mataku tak mau berhenti menatap semua adegan yang mirip film horor itu! Aku melihat mata kiri Kim Tae Hee terkena beberapa sabetan benda, yang entah apa, hingga mengeluarkan darah.
Kim Tae Hee terus melolong. Suaranya melengking. Lengkingan yang memilukan sekaligus membawa kengerian pada setiap telinga yang mendengarnya. Ia berlari panik ke sana kemari. Menerabas setiap benda yang kini tak dapat dikenalinya lagi untuk mencari jalan keluar sambil terus memegangi bola mata kanannya yang turut bergerak dan bergoyang seperti seonggok agar-agar setiap kali ia bergerak. Kim Tae Hee menubruk benda-benda yang ada di ruangan itu seperti seekor banteng yang terluka!
Ya, ya, Kim Tae Hee memang terluka. Dan, aku, entah dengan cara bagaimana, bisa merasakan setiap tusukan yang menancap di tubuh Kim Tae Hee. Hanya, aku tak kuasa bergerak. Aku merasa seperti seonggok mayat yang membusuk, tak bisa lagi merasakan udara di sekelilingku. Aku beku dan kelu!
Hanya, mataku tak bisa dilarang untuk terus mengikuti gerakan Kim Tae Hee yang mengamuk tak ubahnya singa lapar. Tapi, tidak! Dia lebih tepat dikatakan singa yang terjebak, mengaum, menabrak apa saja untuk mencari jalan ke luar. Lalu, kualihkan pandanganku pada Song Seung Hun. Laki-laki itu terpaku di depan pintu, berusaha menghalangi Kim Tae Hee ke luar ruangan. Bibirnya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Bagiku, detik itu ia terlihat sangat mirip dengan tokoh Joker dalam cerita Batman. Seringainya terlihat sangat licik dan jahat!
Tangan kanan Song Seung Hun memegang sesuatu. Sesaat kukira itu sebilah pisau dapur. Tapi, ternyata bukan. Sesuatu itu tak memiliki gagang. Semua bagiannya berupa baja mengilat. Itu sesuatu yang ‘berjemari’! Ya, Tuhan, bukankah itu sebuah garpu? Song Seung Hun menusuk mata Kim Tae Hee dengan sebuah garpu yang diambilnya begitu saja dari meja makan!
Aku terpaku ketika kudengar teriakan Kim Tae Hee menyuruhku melompat ke luar lewat jendela yang ada di depanku. “Cepat lari, Kim So Eunnn!”
Aku melihat sekilas Song Seung Hun masih tegak berdiri dengan garpu di tangannya. “Kim So Eun! Lari! Melompatlah lewat jendela! Sekarang, Kim So Eun! Sekarang!” Raung Kim Tae Hee.
Aku masih diam tak mampu bergerak. Sampai akhirnya kulihat Song Seung Hun bergerak ke arah Kim Tae Hee yang terbatuk-batuk karena kehabisan suara, membuat bola matanya bergoyang seperti agar-agar.
Crap! Song Seung Hun kembali mengayunkan garpu yang penuh darah itu ke kepala Kim Tae Hee. Kulihat Kim Tae Hee limbung dan ambruk di dekat pintu. Mata kanan yang tadi disangganya hati-hati, terlepas dari genggamannya. Dan kini, dengan jelas kulihat tergeletak di lantai, di dekat wajahnya yang penuh darah.
Aku merasa seperti mayat yang membusuk. Kulihat sekelompok burung kacamata masih melompat riang di dahan-dahan kemuning. Tapi, nyanyian mereka tak lagi terdengar. Ada suara-suara gaduh di luar rumah. Orang-orang ramai berteriak dan menggedor-gedor pintu. Karena tak kunjung dibuka, pintu lalu didobrak dan orang-orang menyerbu masuk!
Aku sendiri bergerak meninggalkan mereka. Aku terbang. Terbang tinggi meninggalkan orang-orang itu. Meninggalkan bumi. Jauh di dalam hati, aku merasakan ketenangan dan kebahagiaan yang luar biasa. Sepertinya, ini adalah sesuatu yang telah lama kuidam-idamkan. Seperti burung-burung kecil itu….
Sayang, aku tak melihat jalan yang kulalui. Di manakah jalan setapak, di antara pepohonan dan petak-petak sawah yang menghijau itu? Bukankah seharusnya mereka seperti batang-batang korek api terlihat dari ketinggian? Barangkali, seluruh jalan setapak, pepohonan dan bukit yang mengitarinya, serta awan dan langit yang menaunginya memang berwarna hitam! Hitam pekat! Teramat gelap.
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
AUTTHHHHHHOOOOOOOOOOOOOOOR.... *caps lock jebol*
BalasHapusKau membuatku mual siang2, hayo tanggung jawab!!
Thor sumpah thor sadir bener
Harusx ini dimasukkan ke NC23 kekerasan....
Bener2 author ini *geleng2
SARAN : tolong kasih WARNING ama yg baca thor, kasihan anak dibawah umur baca adegan kekerasan.
Nggak salah sso ah trauma... Aku aja yg baca shock bgt