Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Jumat, 09 September 2011

Trauma (Chapter 1)



“Menikahlah denganku, Kim So Eun.”

“Kapan?”

“Kapan maumu?”

“Sekarang.”

“Ayo! Kalau kau siap, sekarang kita berangkat ke Gereja.”

“Lalu aku dikutuk oleh bibiku karena tak memberi tahu dia?”

“Bukannya dia sangat suka padaku? Bahkan memujaku sepenuh hati?”

Kim So Eun memeletkan lidahnya dan meninju pundak Kim Bum. “Jangan GR kau, Kim Bum!”

Ia mengikik pelan. Lalu tertawa lepas hingga tubuhnya terguncang-guncang.

“Aku serius, Sayang….”

“Tidakkah pernah terlintas dalam benakmu hubungan kita sudah terlalu lama? Sudah lima tahun!”

“Bukankah seharusnya aku… sebagai wanita… yang menanyakan itu padamu?”

“Lalu kenapa tidak kau tanyakan padaku? Aku menunggu pertanyaanmu itu sejak empat tahun lalu,” kata Kim Bum, sedikit gemas.

“Sebab aku tidak merasa hubungan yang lama merupakan ancaman bagiku.”

“Mengapa?” Kim Bum menoleh heran. “Bukankah seharusnya kau takut jika aku tidak kunjung melamarmu? Jangan lupa, usiamu semakin bertambah!” Kim Bum memberikan penekanan pada kalimat terakhirnya. Ia sama sekali tak tersenyum. Berarti ia serius. Sangat serius.

“Lalu kenapa?” balas Kim So Eun, nyaris tanpa ekspresi.

Kim Bum menoleh. Terkejut.

“Bukankah kau wanita, Kim So Eun?”

Kim So Eun tertawa. “Selama ini kau pikir aku apa? Monyet?”

“Jangan bercanda begitu. Aku serius!”

“Aku juga serius. Usia yang bertambah, hubungan yang sudah lima tahun, bukan ancaman untukku,” Kim So Eun menghentikan tawanya dan menatap Kim Bum serius. “Aku bahkan sejak lama sudah menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk, hidup sendiri seperti bibiku.”

Mereka berdua diam. Jelas Kim Bum terlihat bingung. Sebenarnya ini bukan kali pertama Kim So Eun tidak memberikan jawaban serius setiap kali diajak menikah. Kim Bum sudah ingin melamarnya sejak empat tahun lalu. Tapi, selalu ada saja alasan Kim So Eun!

Yang membuat Kim Bum gusar bukanlah penolakannya. Ia bisa memahami, Kim So Eun belum mau menikah ketika usianya baru dua puluh empat tahun (itu empat tahun yang lalu!), atau karena Bibinya ingin mereka berdua, terutama Kim Bum, lebih siap berumah tangga seperti ketika dua tahun lalu ia melamarnya, atau karena ia baru saja diterima bekerja di sebuah kantor swasta seperti tahun lalu. Tapi, alasan yang ‘tak pernah jelas’ dan ‘tak masuk akal’ seperti pembicaraan tadi, benar-benar membuat Kim Bum bingung. Lagi pula, sekarang rasanya tak ada alasan bagi Kim So Eun menolak. Ia sudah punya karier yang bagus dan usianya menjelang dua puluh sembilan tahun. Penolakan itu sepertinya terlalu dipaksakan!

Kim So Eun memang biasa cuek. Orang dengan mudah bisa menebaknya dari penampilannya yang cenderung tomboy. Rambut yang diikat asal-asalan, baju kaus tanpa kerah, dan celana jeans belel jadi pakaian kebangsaannya. Lagi pula, ia hanya memoles wajahnya ketika berangkat ke kantor. Bersyukurlah Kim So Eun dilahirkan dengan wajah cantik, sehingga tanpa berhias pun ia terlihat memikat.

Kim So Eun cenderung tak pedulian, terutama pada hal-hal yang dianggapnya hanya memperumit kesehariannya. Katanya, jangan memaksa diri untuk menyelesaikan suatu masalah, kalau memang sudah buntu. Itu karena dia yakin, ada kalanya suatu masalah memang tak ada jawabnya dan tak harus dijawab. Jadi, diterima saja apa adanya. Dalam hal itu Kim Bum setuju dan memahaminya dengan baik.

Tapi, cuek dalam masalah pernikahan? Dan pada usia seperti sekarang ini? Rasanya ini tidak biasa, bahkan sangat keterlaluan. Lagi pula, pernikahan bukanlah sebuah masalah, tapi sebuah solusi. Jangan-jangan….

“Kenapa kau bicara seperti itu?” Kim Bum bertanya, penasaran.

Kim So Eun mengangkat bahu. “Aku hanya ingin bicara jujur.”

“Bukan karena kau memang tidak ada niat menikah denganku?”

“Kenapa bicara begitu?”

“Entahlah, menurutku kau agak sedikit tidak normal dalam hal ini.”

“Agak sedikit?” Kim So Eun melotot, tapi sinar matanya ramah.

“Ya, kau tidak normal!”

“Apanya yang tidak normal, Kim Bum? Eh, tunggu dulu! Biar aku menjawabnya!” sergahnya. Ia diam sebentar dan menatap Kim Bum dengan kemarahan yang dibuat-buat. “Karena aku tidak takut pada hal-hal yang membuat wanita lain takut? Jangan naif begitu, Sayang….”

“Sekarang aku yang takut,” kata Kim Bum, setengah berbisik.

Kim So Eun memeluk pundaknya lembut. “Kenapa?”

“Karena aku pacaran bukan dengan seorang wanita, tapi dengan alien.”

Kim So Eun tergelak dan mengacak-acak rambut Kim Bum.

“Ayo, hentikan, Kim So Eun!” Kim Bum mendudukkan Kim So Eun dengan paksa di hadapannya. Ia memegang kedua tangan Kim So Eun erat dan menatapnya lekat-lekat. “Dengarlah. Aku serius ingin menikahimu. Aku butuh jawaban segera. Kalau tidak….”

“Kalau tidak kenapa?”

“Aku akan terpaksa meninggalkanmu!” kata-kata Kim Bum mengalir tajam. “Usiaku sudah tiga puluh dua tahun. Ibuku ingin segera punya cucu. Aku anak tunggal, kau tahu itu,” Kim Bum menurunkan nada suaranya dan menatap Kim So Eun dengan pandangan memelas. Ia mendesah pelan. “Aku memegang kunci kebahagiaan ibuku dan kau memegang kunci kebahagiaanku.”

Kim So Eun terdiam. Ia bisa merasakan udara di sekitarnya menjadi berat. Semakin berat setiap ia menarik napas sambil mendengarkan setiap kata yang diucapkan Kim Bum.

“Tapi, di luar semua alasan itu, Kim So Eun, aku terlalu mencintaimu, dan aku ingin kau jadi istriku. Bukan orang lain. Aku tak mau terpaksa menikah dengan orang lain hanya karena penolakanmu yang tak mendasar dan tak masuk akal. Tidakkah kau mengerti?”

Kim So Eun masih diam.

“Aku ingin kisah kita ini berakhir happy ending. Aku, kau, ibuku, Bibimu, atau mungkin keluargamu yang lain, kalau ada, semua berbahagia.” Kim Bum menunggu reaksi Kim So Eun. Tapi, gadis itu tetap diam dan menunduk.

“Bukankah kau mencintaiku, Kim So Eun?” suara Kim Bum memelas. Ia tidak sedang main-main.

Angin bulan November bertiup pelan. Hawa sejuk tidak membuat persoalan kedua anak manusia itu menjadi lebih sederhana. Kim Bum merasa otaknya tak mampu lagi berpikir. Ia benar-benar bingung akan penolakan Kim So Eun.

Kim So Eun sendiri merasa, kali ini ia terjerat dalam sarang laba-laba. Tidak ada jalan keluar. Ia terperangkap. “Ya,” akhirnya ia berkata pelan. Sikap cueknya mendadak tak lagi tersisa.

“Kalau begitu, adakah sesuatu yang tak kuketahui?” Kim Bum memecah kesunyian yang panjang.

“Setelah lima tahun bersamamu? Jangan mengada-ada!” Kim So Eun mencoba memasang tampang lucu, tapi ia tak berhasil. Hingga yang muncul adalah wajah seorang gadis yang penuh keresahan dan dalam kondisi terjebak.

“Aku merasa ada sesuatu yang tidak kau ceritakan padaku. Sebab penolakanmu untuk menikah, itu pun kalau aku boleh mengatakannya sebagai penolakan, rasanya sama sekali tidak klop dengan karaktermu yang kukenal. Kau jadi aneh dan tidak masuk akal. Entahlah….”

Kim So Eun tak menjawab. Ia hanya mencabuti rumput di dekatnya.

“Ayolah, beri aku alasan yang masuk akal, Kim So Eun. Aku akan mendengarkannya.” Kim Bum menyipitkan matanya dan menatap Kim So Eun yang segera melengos menghindari tatapan itu.

“Biar kujelaskan padamu sesuatu, Kim So Eun. Aku sama sekali tidak main-main. Kau dengar? Aku tidak main-main!” Kim Bum memegang dagu Kim So Eun dan mengarahkan wajah cantik itu ke wajahnya. Kini wajah mereka saling berhadapan tak lebih dari lima sentimeter, dengan tatapan Kim Bum yang tak mau beralih dari kedua mata Kim So Eun. Kim So Eun bahkan bisa merasakah hangat napasnya.

“Situasinya sekarang adalah Now or Never - sekarang atau tidak sama sekali. Take it or leave it, Kim So Eun. Kau mengerti, ’kan?” Kim Bum berhenti sebentar, mencari reaksi di mata Kim So Eun.

“Jadi, pilihannya adalah ya atau tidak. Ibuku sangat gusar pada situasi kita sekarang.”

Kim So Eun tahu, kata ‘gusar’ yang digunakan Kim Bum sebenarnya berarti ‘marah’. Jadi, ibunya marah! Begitu yang ingin dikatakannya.

“Dan, aku bisa memahaminya. Aku tak lagi punya alasan berargumentasi soal penundaan yang berkali-kali. Aku benar-benar tak punya pembelaan kali ini.” Kim Bum melepaskan wajah Kim So Eun dan menunduk. Ia mulai ikut mencabuti rumput di sekitar kakinya.

“Kalau mau jujur, aku sendiri mulai gusar. Aku tak mengerti kenapa kau selalu menolak. Aku tak bisa terlalu lama melawan ibuku, apalagi kalau sebenarnya akulah yang berada di pihak yang salah,” Kim Bum menatap Kim So Eun lurus.

Tak pernah Kim So Eun mendengar Kim Bum bicara demikian. Melihat wajah Kim Bum yang biasanya penuh senyum berubah menjadi putus asa, membuatnya kehilangan selera humor sama sekali. Kim So Eun merasakan matanya mulai panas.

“Aku diajari Ibu untuk menjadi lelaki yang bertanggung jawab. Dan, menikah adalah manifestasi dari sebuah tanggung jawab. Kata ibuku, itu adalah sebuah penghargaan tertinggi dan kemuliaan bagi seorang wanita. Aku memuliakanmu dan ibuku, dua wanita yang menjadi alasanku untuk hidup. Aku tak ingin kehilangan salah satu di antara kalian.”

Kim So Eun merasa tenggorokannya tersekat. Ia bisa menangkap dengan jelas nada kesedihan dalam suara Kim Bum. Matanya semakin panas dan berair. Tapi, ditahannya sekuat tenaga. Ia tak terbiasa menangis.

“Aku ingin memberi ibuku cucu yang berkualitas dari seorang wanita yang berkualitas pula, dan yang aku cintai,” Kim Bum tertawa getir. Tak urung, Kim So Eun tersenyum juga mendengar kata-katanya. Membayangkan wajah-wajah kecil yang menyerupai dirinya dan Kim Bum terasa menyiramkan kesejukan dalam hatinya.

Bersambung…

1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...