Title : Boneka Usang
Genre : Romance
Author : Sweety Qliquers
Episode : Oneshot
Production : www.ff-lovers86.blogspot.com
Production Date : 21 Agustus 2011, 10.36 PM
Cast :
Kim So Eun
Kim Bum
Choi Won Hong
Kim So Eun baru sadar kini, ternyata selama setahun ini tak ada pemuda yang mampu bersikap seperti Kim Bum. Kim Bum, yang selalu bertutur kata sopan, tak pernah ingkar janji, berselera humor tinggi, dan masih banyak lagi yang menarik dari dirinya. Tapi sayang, sejak setahun yang lalu Kim So Eun sudah tidak ada hubungan apa-apa dengannya.
Ya, setahun lalu Kim So Eun memutuskan hubungannya dengan Kim Bum. Kim So Eun mengambil tindakan ini lantaran tersinggung dengan kado berisi boneka usang yang diberikan Kim Bum sebagai hadiah ulang tahunnya yang kesembilan belas. Saat itu, tanpa mau mendengar apa pun penjelasan Kim Bum, Kim So Eun langsung meninggalkan taman, tempat sebelumnya mereka asyik memadu kasih.
Ah, seharusnya aku mau mendengarkan dulu alasan Kim Bum perihal memberikan kado berisi boneka usang itu, sesal Kim So Eun dalam hati. Mendadak kerinduannya pada Kim Bum memuncak. Kim So Eun rindu dapat menatap paras Kim Bum, teduh sorot mata pemuda itu, dan sikapnya yang selalu menyenangkan.
“Aku akan mencarimu, Kim Bum,” gumam Kim So Eun.
Sejak Kim So Eun memutuskan hubungannya dengan Kim Bum, Kim Bum memang pulang ke kota tempat kelahiranya di Chuncheon.
Prak! Meong…!
Kim So Eun terkejut mendengar benda pecah dan suara kucing yang sepertinya tengah bertengkar. Segera Kim So Eun membuka jendela kamarnya. Kepalanya melongok. Di halaman rumahnya, Kim So Eun melihat pot bunga pecah beberapa bagian di lantai dan dua kucing kesayangannya tengah memasang kuda-kuda saling siap menyerang.
“Hush… Pussy, Garfield! Kalian ini kerjaannya bertengkar saja,” ucap Kim So Eun seperti pada manusia. Kedua kucing yang saling siap menyerang, sama-sama menoleh menatap Kim So Eun.
“Pussy, ke sini.” Kim So Eun melambaikan tangannya. Kucing berbulu putih itu segera berlari dan melompat masuk lewat jendela. Kim So Eun mengelus bulu kucing itu. “Malam ini kau tidur di kamarku saja, ya.”
Kucing itu mengeong kesenangan.
“Garfield, kau tidur di kursi ruangan depan saja, ya.”
Kucing yang berwarna kuning polos itu pun seperti mengerti perkataan Kim So Eun, mengeong dan pergi menuju ruang depan.
* * *
Kim So Eun baru saja turun dari bus yang telah membawanya dari kota Seoul sampai di kota Chuncheon ini, sebuah kota yang dikelilingi pegunungan.
Beberapa penduduk desa memperhatikan Kim So Eun. Dari penampilan Kim So Eun, para penduduk desa itu tahu, Kim So Eun adalah gadis kota.
“Nona dari kota?” salah satu penduduk desa bertanya pada Kim So Eun.
Kim So Eun mengangguk.
“Nona, mau ke mana?”
Kim So Eun merogoh sehelai kertas dari saku celana jeans-nya. Kertas itu bertuliskan nama Desa yang pernah disebutkan Kim Bum.
“Ke Desa ini, Paman.”
Penduduk desa itu membaca tulisan dari kertas yang Kim So Eun sodorkan.
“Paman tahu, letak desa ini?”
“Saya tahu… mari saya antarkan.”
Kim So Eun pun akhirnya mengikuti sang paman sebagai penunjuk jalan.
Di sepanjang perjalanan tak henti-hentinya kepala Kim So Eun menoleh ke sana-kemari dengan mata takjub menikmati pemandangan alam Chuncheon yang masih hijau. Hidungnya pun dikembang-kempiskan menghirup dalam-dalam udara segar.
Paman itu membawa Kim So Eun memasuki pedesaan yang berada di dataran tinggi. Beberapa kali mereka harus melewati jalan yang tanjakannya begitu tinggi dan turunan yang begitu curam. Membuat jantung Kim So Eun berdetak tak karuan karena merasa ngeri.
“Memangnya nona mau ke rumah siapa?” paman itu membuka pembicaraan.
“Ke rumah teman, Paman.”
“Nona tahu nomor rumah yang nona tuju?”
“Justru itu, Paman, saya tidak tahu.”
“Tapi, Nona tahu kan nama orangnya?”
Kim So Eun tertawa. “Ya, tentu saja, Paman. Dia kan teman saya.”
Paman itu ikut tertawa. “Teman apa, Nona?”
“Teman kuliah, Paman. Eh iya, ini Desa apa, Paman?”
“Ya, ini Desa Namchoseon, Desa yang Nona tuju. Nona tanyakan saja nama teman Nona di kedai itu,” kata si paman menunjuk sebuah kedai Mie China di depan.
Mereka berhenti tepat di depan Kedai Mie China. Kim So Eun melangkah mendekati salah seorang yang tengah duduk di kedai itu. Sebagai basa-basi Kim So Eun terlebih dulu tersenyum, orang itu balas tersenyum.
“Permisi, Paman. Kalau rumah Kim Bum di mana, ya?” tanya Kim So Eun.
“Kim Bum? Oh… yang itu rumahnya,” ujar orang itu menunjuk sebuah rumah di bawah pohon mangga yang tak begitu jauh dari tempat Kim So Eun berdiri.
“Terima kasih, Paman,” Kim So Eun berucap seraya tersenyum.
Orang itu mengangguk dan tersenyum.
Kim So Eun menghampiri Paman yang mengantarnya tadi.
“Nona sudah tahu yang mana rumahnya?” tanya Paman yang mengantarnya tadi.
“Sudah, Paman. Terima kasih banyak, ya.” Kim So Eun bergegas pergi menuju rumah Kim Bum.
* * *
“Permisi….” Kim So Eun mengetuk pelan daun pintu rumah yang begitu teduh itu.
Seorang anak laki-laki kira-kira berusia sepuluh tahun membukakan pintu.
“Kim Bum ada?” tanya Kim So Eun.
“Kim Bum Hyung ada di kebun.”
“Kebunnya jauh?”
Anak itu menggeleng.
“Bisa panggilkan?”
Anak itu mengangguk.
“Katakan pada Kim Bum ada temanya dari Seoul,” pesan Kim So Eun.
Anak itu kembali mengangguk dan bergegas pergi.
Kim So Eun duduk bersandar di tempat duduk yang terbuat dari potongan bambu untuk melemaskan otot-otot tubuhnya yang menegang. Perjalanan Seoul-Chuncheon memang cukup melelahkan.
“Kim So Eun.”
Kim So Eun menoleh. Di sampingnya Kim Bum tengah berdiri bersama anak laki-laki tadi. Kim Bum memandangi Kim So Eun dengan mata berbinar.
Mata Kim So Eun pun jadi berbinar.
“Kim Bum.” Suara Kim So Eun tersekat di tenggorokan. Sudah setahun Kim So Eun tidak bertemu orang yang teramat dicintainya ini. Jika saja tidak ada anak laki-laki itu, mungkin Kim So Eun sudah memeluk Kim Bum erat-erat.
“Apa kabar, Kim So Eun?” Kim Bum mengulurkan tangannya.
Kim So Eun menyambut uluran tangan Kim Bum. “Baik. Kau sendiri?”
“Ya, begitulah. Eh iya, ini adikku, Choi Won Hong namanya.” Kim Bum merangkul bahu anak laki-laki itu. “Choi Won Hong, ini teman Hyung dari Seoul. Ayo beri salam.”
Choi Won Hong membungkukkan badannya sedikit pada Kim So Eun.
Kim So Eun tersenyum. “Sudah sekolah?”
“Sudah.”
“Kelas berapa?”
“Lima.”
“Choi Won Hong, buatkan teh untuk Kim So Eun Noona,” perintah Kim Bum. Choi Won Hong mengangguk dan segera masuk.
“Sudahlah, jangan repot-repot.”
“Kau datang dari jauh, pasti haus.”
“Kau masih melanjutkan kuliahmu?”
“Sudah tidak.”
“Kenapa kau pindah ke kota kelahiranmu ini? Pasti ada hubunganya denganku? Kau sakit hati menerima perlakuanku, kan?”
Kim Bum mencoba tersenyum. Ia tak ingin Kim So Eun menangkap kepedihan terpancar dari raut wajahnya karena mengingat masa setahun lalu yang begitu menyakitkan.
“Bukan karena itu aku pindah kemari. Aku pindah kemari karena usaha kakakku berdagang buah-buahan di Pasar Tradisional Seogwipo bangkrut. Kakakku terpaksa kembali ke kota ini untuk bertani. Dan aku mau tak mau harus mengikutinya.”
* * *
Ya, Kim So Eun sendiri tahu, yang selama ini membiayai Kim Bum kuliah adalah kakaknya yang sudah menikah. Sedangkan Ayahnya sudah sangat tua, dan hanya berkebun yang dapat dilakukannya.
“Ini minumnya, Noona.” Choi Won Hong meletakkan segelas teh hangat di samping Kim So Eun.
“Terima kasih.”
Choi Won Hong kembali masuk ke dalam.
“Kim Bum, Maafkan sikapku setahun lalu, Ya,” ucap Kim So Eun lirih. “Seharusnya aku tidak perlu marah padamu.”
“Aku juga salah, Kim So Eun. Aku menyesal telah membuatmu tersinggung dengan memberikan boneka kelinci usang itu sebagai kado ulang tahunmu yang kesembilan belas. Kala itu aku memang tak mampu membelikan hadiah untukmu. Aku hanya memiliki boneka itu. Boneka itu diberikan ibuku yang telah meninggal.”
“Ibumu telah meninggal?”
“Ya, sejak aku masih kecil.”
“Lalu kenapa kau memberikan boneka yang tentunya sangat berharga bagimu itu?”
“Karena kau juga begitu berharga bagiku, Kim So Eun.”
“Maafkan aku.” Hanya kata itu yang lagi-lagi mampu Kim So Eun ucapkan. Seandainya saja Kim So Eun tahu bahwa dirinya teramat berharga di hati Kim Bum, tentu Kim So Eun tak ‘kan pernah memutuskan hubungannya dengan Kim Bum setahun lalu.
“Hari ini aku ulang tahun yang ke-20,” kata Kim So Eun.
“Apa?” Kim Bum menepuk dahinya sendiri. “Maaf, aku lupa. Selamat ulang tahun, ya, Kim So Eun. Semoga kau bahagia selalu.” Kim Bum menyalami Kim So Eun.
“Tidak adakah hadiah untukku?”
“Aku tak punya apa-apa, Kim So Eun.”
“Boneka usang itu?”
“Kau jangan bercanda.”
“Aku tidak bercanda, aku menginginkan boneka usang itu sebagai kado ulang tahunku yang ke-20 ini,” Kim So Eun berkata serius.
Kim Bum menatap Kim So Eun. Ia setengah tak mempercayai perkataan gadis di sampingnya ini.
“Berikan boneka itu untukku. Boneka itu masih ada, kan?”
“Tentu saja Masih ada.” Kim Bum bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam dengan perasaan bercampur aduk, antara percaya dan tidak.
Kim Bum kembali keluar dengan boneka kelinci di tangannya. “Kau serius menginginkan boneka ini?”
Kim So Eun mengangguk. Kim Bum menyerahkan boneka itu.
* * *
Langit Chuncheon sore hari begitu cerah. Awan putih berarak. Matahari yang condong ke ufuk barat menyemburatkan sinar kemerahan berpadu dengan warna biru langit.
Bus tujuan Chuncheon-Seoul sudah terlihat di kejauhan, melaju kencang menuju tempat di mana Kim Bum dan Kim So Eun duduk.
“Itu Busnya,” Kim Bum menunjuk.
Kim So Eun menoleh ke arah yang ditunjukkan Kim Bum. Ya, Kim So Eun memang harus segera pulang walau dengan berat hati.
“Jaga dirimu baik-baik, Kim So Eun.” Kim Bum menatap wajah Kim So Eun lekat.
“Kau juga.” Kim So Eun balas menatap lekat wajah Kim Bum. “Kapan kau akan ke Seoul, ke rumahku?”
“Di ulang tahunmu yang ke-21.”
“Terlalu lama.”
“Kalau begitu, doakan aku punya uang cukup dalam waktu dekat.”
Kim So Eun paham, ongkos transport Chuncheon-Seoul untuk ukuran Kim Bum tergolong mahal.
“Pasti aku doakan.”
Bus semakin dekat. Kim Bum melambaikan tangannya. Bus berhenti. Kim So Eun segera naik dan mengambil duduk di jok yang paling pinggir. Lewat kaca jendela itu Kim So Eun memandangi Kim Bum dengan mata yang berkaca-kaca. Kim Bum balas menatap Kim So Eun dengan senyum yang dibuat semanis mungkin, walau sesungguhnya Kim Bum merasa berat dengan perpisahan ini. Kim Bum tak ingin Kim So Eun bertambah sedih karena melihatnya bersedih.
Bus kembali melaju. Sosok Kim Bum tak terlihat lagi. Kim So Eun mengeluarkan boneka kelinci usang dari tas jinjingnya. Dipandangi boneka itu. Kini Kim So Eun memiliki benda Kim Bum yang paling berharga. Tapi, tetap saja tak dapat menggantikan Kim Bum yang teramat dicintainya itu. Kim So Eun memejamkan matanya, menghayati keharuan yang menjalari hatinya, membuat genangan air di matanya menitik.
Tamat
Copyright Sweety Qliquers
sedih ceritax.... Tapi seneng akhirx masalahx terselesaikan ^^
BalasHapus