Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Rabu, 14 September 2011

Partner Kejahatan (Chapter 3)



Chapter 3
Berkelahi Pun Belum Pernah


Kim Bum melirik Lee Ki Kwang. Lelaki itu tampak tenang, sangat tenang. Sepanjang perjalanan, satu per satu pertanyaan tentang Lee Ki Kwang, yang selama ini berkeliling di benak Kim Bum, mulai terjawab. Termasuk pertanyaan, mengapa Kim Bum sebagai satu-satunya saksi mata pembunuhan Kim So Eun dibiarkan tetap hidup, bahkan diajak berkelana oleh Lee Ki Kwang.

“Aku bosan sendirian. Terus terang, aku menyukaimu Kim Bum. Aku ingin kau menjadi partnerku. Pasangan dalam melakukan kejahatan,” tegas Lee Ki Kwang, suatu ketika.

“Mulai sekarang, kau harus membiasakan diri berpikir praktis. Kita butuh uang untuk makan, minum, bayar hotel, menikmati perempuan, beli baju, dan beli bensin. Diluar sana banyak sekali orang kelebihan uang. Jadi, sah-sah saja jika kita mengambilnya sedikit dari mereka bukan?” sambung Lee Ki Kwang.

Kim Bum cuma menjadi pendengar yang baik.

“Cara paling mudah, kita merampok toko saja. Orang yang ada di sana pasti membawa uang. Ada yang sedikit, ada pula yang banyak. Tapi kalau mau uang yang sangat banyak, kita harus merampok bank. Yang terakhir ini tingkat kesulitannya tinggi. Aku tidak akan mengajakmu merampok bank, sebelum punya pengalaman melaksanakan “operasi kecil”. Pernah membunuh orang dengan menggunakan pisau?” tanya Lee Ki Kwang.

“Tidak,” sahut Kim Bum singkat. Ah, jangankan membunuh, belajar jurus-jurus berkelahi saja Kim Bum tidak pernah. Buatnya, kekerasan hanya membuat pusing kepala.

“Tidak masalah. Kita masih punya banyak waktu untuk latihan.”

Untuk kesekian kalinya Kim Bum terdiam.

“Bagaimana kalau latihan kita mulai dengan merampok toko? Aku akan mengalihkan perhatian pemiliknya dengan mengajak dia mengobrol. Lalu kau berputar ke arah belakang, mengancamnya menggunakan pisau,” cetus Lee Ki Kwang.

Kim Bum masih mencari jawaban terbaik, ketika Lee Ki Kwang kembali nyerocos.

“Tapi sepertinya lebih baik jika kau memukul kepalanya dengan besi. Kau bilang tadi, belum pernah memakai pisau, bukan?”

Kim Bum kini manggut-manggut, bukannya setuju pada rencana Lee Ki Kwang. Namun ia mengerti, mengapa Lee Ki Kwang selalu berusaha mendorongnya melukai atau membunuh orang lain. “Sekali saja aku melukai orang, apalagi sampai membunuh, aku akan jadi buronan, sama seperti dia, sehingga tak ada jalan lain, kecuali menjadi pasangannya,” ucap Kim Bum, tentu di dalam hati.

Masalahnya, kapan ia harus bertindak? Menghadapi Lee Ki Kwang, modal nyali saja tak cukup. Harus ada strategi khusus. Ah, bicara soal nyali dan strategi, Kim Bum kembali teringat peristiwa mengerikan siang itu.

Jika terjadi dalam novel atau film, pasti akan digambarkan sosok Kim Bum yang sedang marah besar atas pembunuhan Kim So Eun. Kim Bum mungkin saja akan merebut pistol Lee Ki Kwang, lalu balas menembak banjingan itu di kepalanya. Sayangnya, kejadian itu terjadi pada kehidupan nyata. Kim Bum hanyalah salesman perusahaan Minuman Alkohol, bukan Superman atau Batman. Dia bahkan tidak yakin Lee Ki Kwang akan membiarkannya tetap hidup, karena dialah satu-satunya saksi mata pembunuhan Kim So Eun.

Jarang sekali ada pembunuh yang mau menoleransi kehadiran saksi mata. Makanya dia begitu lega, lega yang teramat dalam, ketika tahu Lee Ki Kwang memasukkan kembali pistolnya ke kantung jas.

“Ayo kita angkat mayatnya ke tempat tidur. Tuhan tahu, tempat ini dan waktu kita juga sangat sempit,” ajak Lee Ki Kwang pada Kim Bum.

Dalam keadaan terkejut, tak mudah bagi Kim Bum untuk menuruti perintah Lee Ki Kwang. Dia juga tidak tahan melihat darah yang mengucur dari lubang di kepala Kim So Eun. Yang paling membuat hatinya sedih, adalah mata gadis itu terbuka lebar, seolah memandangnya dengan pandangan minta tolong. Karena Kim Bum tak kunjung bergerak, akhirnya Lee Ki Kwang sendiri yang memulai mengangkat mayat Kim So Eun. Beberapa saat kemudian, baru Kim Bum membantu meletakkan mayat Kim So Eun di tempat tidur.

Kim Bum sempat kaget ketika tiba-tiba Lee Ki Kwang berkelebat.

“Wanita tua itu, dia masih tinggal di sebelah rumah, bukan? Jangan-jangan, dia ikut mendengar suara tembakan tadi,” sergah Lee Ki Kwang. “Aku tidak mau ada saksi mata lain.”

Lee Ki Kwang segera mengeluarkan pistol dari balik jaketnya, lalu menyelinap keluar, menuju apartemen sebelah. Kim Bum seorang Atheis, tapi menghadapi situasi seperti ini, ia berlutut, meski tak tahu harus berdoa pada siapa. Seluruh persendiannya lemas.

Beberapa saat kemudian, Lee Ki Kwang kembali. “Dia tidak ada di rumah,” teriaknya pada Kim Bum. Kim Bum menarik napas lega, karena tak ada pembunuhan lagi. Namun, bagaimana dengan nyawanya sendiri?

Di Mokpo, mobil mereka mengalami masalah. Lee Ki Kwang memutuskan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju toko logistik terdekat.

Setelah itu, mereka bermalam di rumah teman Lee Ki Kwang. Malam yang berat untuk Kim Bum, karena hampir sepanjang malam, dia tak dapat memejamkan mata, memikirkan kejahatan apa kira-kira yang akan dilakukannya bersama Lee Ki Kwang besok.

Esoknya, pagi-pagi sekali mereka sudah naik kereta api menuju Chuncheon. Sampai detik itu, Kim Bum tak pernah mengeluarkan uang sepeser pun. Lee Ki Kwang betul-betul menepati janjinya, berlaku seperti bos mafia, yang bertanggungjawab atas semua yang terjadi pada anak buahnya. “Selama ikut aku, kau tidak perlu membayar apa pun,” kata Lee Ki Kwang.

Jam sembilan pagi mereka sampai di Chuncheon. Siang dan sorenya, mereka menghabiskan waktu mensurvei berbagai toko perhiasan. Seperti biasanya, Kim Bum tak banyak bicara. Apalagi setelah Lee Ki Kwang menunjukkan tiga pistol yang selalu dibawanya ke mana-mana. “Orang-orang selalu bilang, mengantungi pistol itu berbahaya, tapi aku lebih suka mati karena pistol sendiri, daripada tertembak musuh karena pistolku tidak siap,” ucap Lee Ki Kwang setengah mengintimidasi.

Mereka menginap di Union Hotel. Lee Ki Kwang mengunci pintu dan memasukkan kuncinya ke kantung celana, lalu Zzzzzzz, tidur pulas. Kim Bum sempat mempertimbangkan menibani kepala Lee Ki Kwang dengan lampion. Namun, nyalinya mengkerut jika mengingat refleks Lee Ki Kwang bak Singa Hutan. Pertimbangannya terbukti benar.

Jam dua pagi, Lee Ki Kwang dengan sigap meletakkan pistol di telinga kanan Kim Bum, setelah mendengar bunyi sirine mobil polisi yang sedang berpatroli. Betul-betul mirip Singa Hutan.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...