Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Selasa, 13 September 2011

Pahit Manis Cinta (Chapter 3)



KIM SO EUN
Kim So Eun melirik jam tangannya lagi. Ini sudah yang ketiga kalinya.

“Kau ada janji lain, Kim So Eun?” Baek Suzy bertanya.

Kim So Eun tergagap. “Oh, Kim Bum sebentar lagi pulang, persediaan makanan di rumah sudah habis, di kulkas cuma tinggal telur.”

“Dia kan bisa belanja sendiri. Lagi pula, siapa yang memenuhi kebutuhannya saat dia belum bersamamu? Dia sendiri, bukan?”

“Ya, tapi aku yang biasanya bertugas belanja.”

“Baiklah, kita pulang,” kata Baek Suzy, tersenyum, padahal hatinya kesal setengah mati. Baek Suzy tidak tahu, Kim So Eun harus pulang, karena tadi Kim So Eun minta izin Kim Bum untuk bertemu Baek Suzy hanya dua jam. Jika Kim Bum pulang dan Kim So Eun belum kembali, Kim Bum akan marah.

Ini tahun ketiga mereka bersama, masa bulan madu sudah lewat. Semua bermula pada suatu hari di tahun lalu. Waktu itu malam Natal, Kim Bum sedang menghadiri makan malam di rumah koleganya, seorang diri. Kim So Eun tak bisa hadir di acara resmi seperti itu. Hubungan mereka tidak terbuka untuk umum.

Kim So Eun sedang menunggu Kim Bum, sambil menonton acara televisi. Malam sepi sekali. Kim So Eun menaikkan kakinya sambil menarik selimut, ketika dering telepon memecah kesunyian. Kim So Eun mengangkatnya. Suara seorang wanita memasuki gendang telinganya.

Kim So Eun menutup telepon. Gemetaran. Melirik jam di dinding, dan melihat jarumnya menunjukkan pukul sebelas malam. Telepon berdering dua kali lagi sesudah itu. Kim So Eun hanya memandanginya.

Kim Bum pernah memberitahunya untuk tidak mengangkat telepon di atas pukul sepuluh malam, berjaga jika keluarganya dari Tokyo yang menelepon. Ia datang satu jam kemudian. Wajahnya kemerahan. Kim So Eun menduga ia terlalu banyak minum sampanye. Tapi, rupanya bukan.

“Kau tadi angkat telepon?” Itu kata-kata pertamanya.

“Aku pikir itu kau.”

“Bukankah aku sudah bilang jangan terima telepon di atas pukul sepuluh? Kalau aku bilang jangan, berarti selamanya jangan, sampai aku mengubah aturan. Kau tidak mengerti perintah sederhana itu? Dasar bodoh.”

Kim So Eun kaget, tapi mengerti kemarahan Kim Bum. Kim So Eun berpikir, Kim Bum marah karena panik. Jika semuanya terbuka, Kim Bum harus kehilangan dirinya. Kim So Eun bahagia memikirkan itu, merasa sudah memenangkan hati Kim Bum.

Keesokan harinya, Kim Bum memberinya kado yang indah. Gelang berliontin malaikat-malaikat kecil. Malam itu mereka bercinta berkali-kali. Kim So Eun merasa dunia hanya miliknya.

Satu bulan kemudian, Kim So Eun menemukan hasil pemeriksaan kesehatan di file Kim Bum. Sebagai kepala personalia, semua data karyawan akan masuk data banknya. Kim So Eun terpaku. Kim Bum baru melaksanakan pemeriksakan bebas AIDS.

Mengapa harus memeriksakan bebas AIDS jika tidak ada keluhan atau kecurigaan? Setahunya, Kim Bum tidak pernah jadi donor Darah, apalagi menggunakan obat terlarang. Jadi, satu-satunya kemungkinan….

“Aku lihat kau periksa AIDS. Ada keluhan?” tanya Kim So Eun.

Kim Bum menoleh. “Kau mengaduk-aduk fileku?”

“Aku kebetulan melihatnya. Aku khawatir. Jika kau sakit, kita bisa bicara, bukan?” Kim So Eun mencoba mendinginkan hatinya.

“Alasannya bukan itu. Pasti kau curiga! Kau tidak berhak curiga! Hidupku adalah milikku sendiri. Seharusnya, kau senang karena aku bersih. Berarti, kau tidak perlu mempermasalahkan itu lagi.”

Dua hari kemudian, Kim Bum membawakannya vas kristal yang sudah lama diincarnya, lengkap dengan rangkaian bunga mawar superbesar yang hampir memenuhi ruang tidur mereka. Kim So Eun merasa hidupnya sudah lengkap.

Suatu pagi, Kim So Eun menyadari ia kehabisan pil. Kim Bum sangat tegas soal satu itu. Kim So Eun harus disiplin dan tidak boleh kebobolan. Ketika Kim So Eun bercerita padanya, Kim Bum marah besar.

“Aku sudah bilang, kau harus hati-hati. Kebodohan sebesar itu yang akan menghancurkan hidup keluargaku. Kau harus tahu, aku tidak akan melepaskan keluargaku. Aku tidak akan menceraikan istriku, dan tidak akan kehilangan anakku.”

Seperti biasa, seminggu kemudian Kim Bum membawanya pesiar dan belanja di Singapura. Ketika berjalan di samping Kim Bum di sepanjang Orchard Road, Kim So Eun tidak menginginkan apa-apa lagi. Betapa sempurna dunianya.

Kim So Eun tidak sadar, itu suatu bentuk pelecehan mental. Malah, setiap kali Kim Bum mengecamnya, Kim So Eun merasa memang dirinyalah yang salah. Kim So Eun bersyukur karena Kim Bum selalu memaafkannya, mau menerima kekurangannya, bahkan membanjirinya dengan hadiah. Kim So Eun kian takut kehilangan Kim Bum.


PARK SHIN HYE
Hidup di negeri orang, apalagi dengan visa turis, tidak seindah di negeri sendiri. Park Shin Hye benar-benar harus berjuang dari bawah, kembali ke titik nol. Ia mulai dengan menjadi waitress di coffee shop, staf housekeeping kontrak di hotel saat musim liburan datang, sampai menjadi pengantar brosur ke rumah-rumah. Ia, seorang sarjana, seharusnya ia bisa bekerja kantoran di gedung tinggi, sekarang ia malah harus berjuang mengais uang dari kerja yang dihitung per jam. Di Korea ia bisa naik-turun mobil, di sini ia berjalan kaki.

Tapi, Park Shin Hye tidak menyesal, ia merasa inilah saatnya mencari makna hidup, justru saat sedang sendiri, tanpa bahu siapa pun untuk disandarinya. Park Shin Hye tidak mengeluh. Ini adalah jalan pilihannya.

Hari ini cerah sekali, musim gugur sudah lewat, musim dingin baru saja mulai. Hari ini para pekerja mendapat gaji mingguannya. Akan banyak pengunjung memesan espresso panas, demi melawan hawa dingin malam. Park Shin Hye harus siap berdiri sepanjang hari.

Park Shin Hye pernah berkencan dengan Wu Chun. Sayang, cerita romantis mereka tidak berlanjut karena Wu Chun kemudian pindah ke Macau. Ia juga pernah merajut kasih dengan Wilber Pan, pria yang bekerja sebagai Bartender. Namun, Wilber Pan meninggalkannya untuk seorang gadis lain. Ada lagi Wang Lee Hom. Tapi, tak berlanjut karena Wang Lee Hom kembali ke Taiwan karena sudah lulus kuliah.

Park Shin Hye haus akan cinta. Hidup sendiri di negara asing, meskipun sudah ditekadinya kuat-kuat, tetap terasa sangat berat tanpa bahu tempat bersandar, dan Park Shin Hye terus mencari-cari kasih sayang sejati. Hari menunjukkan pukul enam sore. Sudah ada pengunjung memasuki coffee shop. Sebentar lagi coffee shop akan penuh dan Park Shin Hye tidak punya waktu, bahkan untuk menekuk kakinya sebentar.

“Hi, one espresso, please.”

Park Shin Hye melihat seorang pria memandangnya. Kelihatannya juga orang Asia, mungkin Thailand atau Filipina. Matanya indah dan dalam, perawakannya tinggi, senyumnya simpatik sekali. Kaki Park Shin Hye sudah lemas dibuatnya. Beginilah kalau haus cinta. Aku mudah sekali takluk pada setiap pria yang kutemui, keluhnya dalam hati.

“Pakai gula?” kata Park Shin Hye, sambil berusaha memalingkan wajahnya.

“Tidak usah.”

Ketika Park Shin Hye meletakkan cangkir di hadapannya, pria itu bertanya, “Dari Asia? Jepang?”

“Korea Selatan, Seoul.”

“Wah, kalau begitu sama,” katanya, sambil tertawa.

Park Shin Hye kaget, lalu ikut tertawa. Tapi, Park Shin Hye harus meninggalkan pria itu sebelum tahu namanya. Pengunjung sudah ramai dan ia harus melayani semuanya. Tapi, alangkah terkejutnya Park Shin Hye, ketika coffee shop sudah tutup dan ia bersiap pulang, pria itu masih bersandar di dinding samping coffee shop.

“Aku Jang Geun Suk. Kau tinggal di mana? Aku antar, ya?”

“Aku Park Shin Hye. Rumahku tidak jauh. Terima kasih.”

“Jangan begitu, aku kan perlu tahu rumahmu, bagaimana bisa aku berkunjung ke rumahmu, kalau alamatmu saja aku tidak tahu,” katanya, sambil nyengir. “Ngomong-ngomong, kau punya pacar?”

Park Shin Hye tersipu, pria ini menarik sekali. Mirip Jung Yong Hwa.

“Tidak, tidak ada pacar.”

“Kalau begitu, aku boleh datang kan minggu ini, minggu depan, minggu depan lagi?” Jang Geun Suk memandangnya dengan sorot harap.

Park Shin Hye mengangguk resah. Belum pernah ia dibuat tersipu-sipu begini. Hari-hari sesudah itu, tiada kata kelabu di hati Park Shin Hye. Rasanya, pencarian dan kehausan jiwanya sudah terpuaskan.


JUNG SO MIN
Jung So Min tertidur lelap sekali, dadanya naik-turun dengan napas teratur. Paman Song Seung Hun memandanginya di sisi tempat tidur, lama sekali. Jung So Min berhak mendapat yang lebih daripada Lee Ki Kwang, karena ia wanita istimewa. Dari tahun ke tahun, Paman Song Seung Hun melihatnya tumbuh. Dari seorang gadis kecil yang lucu, beranjak menjadi remaja tomboy yang tidak menarik karena keranjingan olahraga, menjelma menjadi kupu-kupu kecil, dan kini wanita matang yang menawan.

Paman Song Seung Hun duduk di tepi ranjang, membelai anak rambut di dahi Jung So Min. Menundukkan kepalanya, dan mencium bibirnya.


BAEK SUZY
Baek Suzy punya kekasih. Sebuah kesalahan fatal yang dilakukannya karena terdorong hati kecilnya yang ingin memberontak. Pria itu putus sekolah, suka berkelahi dan mabuk-mabukan. Baek Suzy tahu bahwa dia juga suka memakai obat-obatan terlarang. Pria itu, Ok Taecyeon, sangat terobsesi padanya. Mereka dikenalkan pada sebuah pesta ulang tahun, oleh teman Baek Suzy yang juga teman Ok Taecyeon. Semula Baek Suzy takut melihatnya. Tapi, di balik kekasarannya, Ok Taecyeon juga bisa romantis. Sebuah kombinasi yang dirindukan Baek Suzy, pemberontakan dan kehangatan cinta.

Ibu Ok Taecyeon langsung jatuh hati pada Baek Suzy. Apalagi, kemudian tingkah laku Ok Taecyeon berubah menjadi lebih baik. Ibu Ok Taecyeon berpikir, Baek Suzy membawa pengaruh positif untuk putranya yang liar, sehingga ibunya ikut terobsesi ingin menjadikan Baek Suzy menantunya.

Siapa menyangka bahwa perubahan sikap Ok Taecyeon itu hanya untuk menjerat hati Baek Suzy. Ketika mereka ribut besar, bahkan Ok Taecyeon sempat menyakiti Baek Suzy secara fisik, keesokan harinya Ok Taecyeon datang meminta maaf, sambil membawa bunga, terkadang malah bersujud di kakinya.

Kelulusan adalah alasan paling tepat untuk menyudahi hubungan. Namun, Baek Suzy tak ingin mengatakannya secara langsung karena akan ada sujud lagi, bahkan derai air mata dari ibu Ok Taecyeon. Baek Suzy mengirim surat putus dari kota asalnya.

Reaksi Ok Taecyeon bisa diduga. Ia menelepon Baek Suzy di apartemennya, bahkan mengunjunginya ke kantornya. Baek Suzy tidak bersedia menemuinya. Namun, Baek Suzy tidak yakin Ok Taecyeon akan menyerah begitu saja. Entah dengan cara apa ia harus menyampaikan padanya. Apa pun yang terjadi, ia tak akan pernah kembali. Perasaannya sudah lama mati dan tak mungkin tumbuh lagi.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...