Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Selasa, 13 September 2011

Pahit Manis Cinta (Chapter 2)



KIM SO EUN
“Nanti malam aku harus mengantar Ibu arisan. Padahal, langit semendung ini, aku takut akan turun hujan lebat,” Lee Donghae mengeluh.

“Pakailah mobilku,” Kim So Eun menyerahkan kuncinya.

Kim So Eun masih duduk di kelas dua SMA. Lee Donghae kakak kelasnya. Orang tua mereka bersahabat dan mendukung hubungan mereka.

Jika Lee Donghae kehabisan uang. Kim So Eun dengan senang hati meminjamkan uangnya, meskipun Lee Donghae tak pernah melunasinya. Kim So Eun juga lebih sering membayarinya makan ketimbang Lee Donghae yang mentraktirnya. Tapi, Kim So Eun tidak keberatan, ia senang menghabiskan waktu bersama Lee Donghae.

Lulus SMA, Lee Donghae mendapat beasiswa untuk kuliah di Amerika. Kim So Eun sempat berencana untuk menyusulnya tahun depan. Tapi, Lee Donghae berjanji akan rajin menulis surat, Kim So Eun tak perlu takut terlupakan. Ketika Lee Donghae direpotkan oleh segala birokrasi, Kim So Eun yang mengantarnya ke mana-mana, sering pula Kim So Eun merelakan Lee Donghae menggunakan mobilnya dan Kim So Eun mengalah naik kendaraan umum. ”Lee Donghae lebih butuh, supaya praktis,” begitu jawabnya, ketika teman-temannya memandang dengan heran melihatnya naik bus.

Sudah tiga bulan Lee Donghae di Amerika. Suratnya selalu datang dua minggu sekali. Kim So Eun senang, Lee Donghae tidak melupakannya. Setahun kemudian, Kim So Eun berhasil masuk fakultas psikologi di sebuah universitas swasta di Incheon, di sanalah ia bertemu Jung So Min pertama kali, di ruang klinik kampus karena sama-sama pingsan saat orientasi.

Sudah satu tahun Lee Donghae di Amerika. Tahun ini ia belum bisa pulang. Katanya, ia harus menghemat. Rentang waktu suratnya sudah lebih panjang. Katanya, ia harus menyesuaikan diri, banyak yang harus dikejarnya, supaya tidak drop out. Kim So Eun mengerti, bagaimana mungkin ia tidak mendukungnya.

Tahun kedua. Surat Lee Donghae berhenti sama sekali. Kim So Eun masih menulisinya surat, bertanya-tanya, barangkali Lee Donghae sakit atau terkena masalah. Suratnya tidak dikembalikan, tapi juga tak ada balasan. Kim So Eun mulai gelisah.

Ketika Kim So Eun pulang ke Busan saat liburan semester tiba, ia berkunjung ke rumah Lee Donghae. Ibu Lee Donghae terkejut melihatnya. Lalu, ibu Lee Donghae menangis. Kim So Eun heran, dan merasa jantungnya sudah jatuh ke perut, takut kalau-kalau Lee Donghae sudah meninggal dan tak ada yang berusaha memberi tahunya.

“Maafkan anak ibu, Kim So Eun. Kami tidak ingin kau sedih,” kata ibu Lee Donghae.

“Ada apa sebenarnya, Bibi?”

“Ah, rupanya dia tak berani memberi tahumu. Lee Donghae drop out dari kuliahnya. Ia harus bekerja di Amerika sekarang,” lanjut ibunya.

“Kenapa?” Kim So Eun tergagap, berdiri menegang, “Lee Donghae dapat beasiswa, ia pandai, tidak mungkin….”

“Lee Donghae,” ibunya menelan ludah, “menghamili kekasihnya. Ia harus mencari uang untuk biaya persalinan.”

“Kekasih? Kekasih yang mana?” Lee Donghae mengkhianatinya?

“Ia bilang kau hanya adik baginya. Aku beberapa kali melihatnya membawa gadis lain, menggunakan mobilmu, Kim So Eun,” sambung Go Ah Ra, adik Lee Donghae, sambil memandang takut-takut. “Yang hamil gadis itu. Ia menyusul Lee Donghae ke sana.”

Itulah kekeliruannya mencintai pria yang salah, yang pertama.


JUNG SO MIN
Lee Ki Kwang seorang pemuda Jepang polos dan pendiam. Ia masih tinggal dengan ibunya. Ia tak banyak bicara, kecuali jika sedang mengobrol dengan Jung So Min. Lee Ki Kwang bukan pria terpelajar, ia bekerja di sebuah toko roti. Tapi, Jung So Min mencintainya justru karena kesederhanaannya.

Lee Ki Kwang sudah pernah berkunjung ke Korea. Ayahnya berkomentar, Lee Ki Kwang terlalu naif dan tak bisa mengambil hati orang tua. Tapi, Jung So Min sangat menyayangi Lee Ki Kwang dan hubungan mereka serius. Buktinya, dengan jarak sejauh itu jalinan cinta mereka bertahan tiga tahun, sehingga ayahnya hanya pasrah.

Jung So Min sudah siap menikah. Kedua adiknya laki-laki dan sudah lebih dahulu menikah. Tentu saja ibunya sangat khawatir. Ibunya pantang betul merelakan anak perempuan tertua dan satu-satunya itu dilangkahi adiknya. Bahkan, ketika adik bungsunya menikah tahun lalu, ibunya nelangsa sekali.

Paman Song Seung Hun di Jepang malah sangat antipati pada Lee Ki Kwang. Menurutnya, keponakan tercintanya itu layak mendapatkan seseorang yang lebih baik. Jung So Min berusaha memenangkan hati pamannya. Setiap habis bertemu Lee Ki Kwang, Jung So Min selalu membawa oleh-oleh dan mengaku Lee Ki Kwang yang membelinya. Tapi, hati pamannya seolah membatu. Lee Ki Kwang semakin gemetar setiap kali datang menjemput Jung So Min.

Jung So Min mengalah. Mereka bertemu di luar atau Jung So Min datang ke rumah Lee Ki Kwang. Ibu Lee Ki Kwang sayang sekali padanya dan sudah sering membicarakan bagaimana rumah tangga mereka kelak. Jung So Min sedih, karena banyak sekali jurang yang harus dilompatinya. Tapi, Jung So Min tidak tega membuat wanita separuh baya berhati malaikat itu kecewa.

Suatu sore di musim gugur, mereka baru bertemu diam-diam seperti biasa. Lee Ki Kwang mengantarkannya sampai di depan pintu, ketika tiba-tiba hujan turun, lebat sekali. Jung So Min meminta Lee Ki Kwang masuk, sambil menunggu hujan reda. Paman Song Seung Hun dan Bibi Kim Tae Hee sedang menonton televisi di ruang tamu.

“Paman, aku minta Lee Ki Kwang menunggu di dalam sampai hujan reda.”

Paman Song Seung Hun tidak menjawab, menoleh pun tidak. Jung So Min mempersilakan Lee Ki Kwang duduk di ruang tamu, sementara ia menyiapkan teh panas. Ketika Jung So Min kembali, Lee Ki Kwang hanya sendiri di ruang tamu. Paman dan bibinya sudah menghilang ke dalam kamar, meninggalkan Lee Ki Kwang termangu-mangu. Hati Jung So Min bagai diiris, pria terkasihnya dilecehkan sedemikian rupa. Tapi, Lee Ki Kwang tersenyum dan tidak mengeluhkan apa-apa.

Hujan tidak mereda, malah semakin menggila, sementara malam mulai merangkak naik. Lee Ki Kwang gelisah. Ketika Paman Song Seung Hun muncul, Jung So Min mendengar Paman-nya mengatakan kalimat yang tidak pernah dikira akan didengarnya.

“Sudah selarut ini, apa ia mau menginap?”

Kata-kata itu membuat Lee Ki Kwang segera beranjak dari rumah itu.

“Bagaimana mungkin paman tega bicara seperti itu?!” Jung So Min menyambar mantel dan berlari menyusul Lee Ki Kwang.

Lee Ki Kwang tidak terlihat, cepat sekali ia berjalan. Jung So Min terseok-seok di malam yang pekat, curahan air mengaburkan pandangannya. Lampu jalan sangat temaram. Jung So Min memandang ke seluruh sudut. Lee Ki Kwang tidak ada. Lee Ki Kwang pasti belum jauh, mungkin ia berteduh di suatu tempat.

Jung So Min berjalan tanpa arah. Tiba-tiba ia melihat sosok Lee Ki Kwang di bangku taman. Jung So Min menghampirinya, memeluknya. Lee Ki Kwang memeluknya, erat sekali, tapi tidak berkata apa-apa. Jung So Min memandangnya, dan melihat mata Lee Ki Kwang memerah. Meskipun gelap dan hujan deras, Jung So Min tahu ada air mata yang mengalir dari kedua mata Lee Ki Kwang.

“Maafkan aku, Lee Ki Kwang, maafkan keluargaku,” bisiknya.

Lee Ki Kwang tidak berkata-kata, hanya mengelus rambut Jung So Min perlahan. Mereka kemudian naik kereta, pulang ke rumah Lee Ki Kwang. Sepanjang perjalanan mereka membisu, kedua tangan mereka bertautan. Jung So Min masih terisak, ia tahu tak akan ada yang bisa mengobati luka hati Lee Ki Kwang. Harga dirinya sudah dilumat habis. Malam itu Jung So Min menginap di rumah Lee Ki Kwang. Ini pertama kalinya Jung So Min melanggar adat, menginap di rumah seorang pria yang belum menjadi suaminya. Lee Ki Kwang pria sopan, selama ini ia tak pernah berusaha menjamahnya. Malam ini apa pun bisa terjadi, Jung So Min sudah pasrah, tapi Lee Ki Kwang tetap tidak berusaha mengambil keuntungan darinya.

Ketika esok paginya Jung So Min kembali ke rumah, Jung So Min langsung masuk ke kamarnya, membanting pintu dan menguncinya. Jung So Min mogok bicara dan mogok makan. Paman Song Seung Hun membujuknya setiap hari dari balik pintu.

Jung So Min tidak mendengarkan sepatah pun yang dikatakan pamannya. Ia berpikir. Aku tidak bisa membiarkan Lee Ki Kwang disakiti lagi. Memaksanya bersamaku akan membuatnya menderita. Aku tidak boleh egois. Lee Ki Kwang berhak bahagia.

Kemudian, ditulisnya surat untuk Lee Ki Kwang.

Lee Ki Kwang terkasih,

Waktu yang kita lewati bersama selama ini indah sekali. Aku menyayangimu sebagaimana adanya. Kau hal terbaik yang pernah hadir dalam hidupku. Tanpamu, hidupku tidak akan pernah lengkap. Tapi… jika aku terus mengikatmu untuk terus bersamaku, aku sangat egois, karena tidak memikirkan dirimu. Aku tidak ingin kau disakiti, karena kau tidak pernah menyakiti siapa-siapa. Kau harus bahagia. Betapapun aku tidak suka membayangkanmu bahagia bersama orang lain, aku harus melepaskanmu. Tapi, kau tahu Lee Ki Kwang, di sudut hatiku, kau akan selalu ada di sana, selalu….

Surat itu penuh noda air mata. Tapi, Jung So Min sudah membulatkan hati. Kemudian ia keluar kamar, turun dari loteng, dan menemui paman dan bibinya.

“Aku mau bicara. Tolong, sebelum aku selesai, jangan disela.”

Paman Song Seung Hun mengangguk. Bibi Kim Tae Hee memandanginya dengan terkejut. Tidak biasanya Jung So Min bicara sekeras itu. Jung So Min selalu menurut.

“Betulkah kalian menyayangiku? Kalau itu bentuk kasih sayang kalian, aku tidak berterima kasih karenanya. Usiaku sudah 30 tahun, tapi kalian memperlakukanku seperti anak kecil. Aku kecewa, karena tidak diizinkan memilih kebahagiaanku sendiri. Kalian sudah menghancurkan harga diri seseorang, hanya karena ia menyayangiku. Mulai sekarang, aku bukan lagi Jung So Min yang penurut, aku akan menentukan hidupku sendiri. Terserah kalian setuju atau tidak, aku hanya akan bertanggung jawab dan membuktikan bahwa pilihanku tidak keliru.”

“Maksudmu, kau akan tetap menikah dengan Lee Ki Kwang?”

Jung So Min menatap pamannya.

“Aku sudah melepaskannya. Hatinya terlalu disakiti. Itu kan yang Paman mau? Paman senang sekarang?”


PARK SHIN HYE
Usianya delapan belas, baru masuk Jurusan Sastra Tokyo. Park Shin Hye sangat aktif dan suka berorganisasi, ia langsung bergabung di senat, kelompok drama, dan klub pencinta alam. Jung Yong Hwa dikenalnya saat bersama naik gunung. Cinta mereka tumbuh karena kesamaan minat dan hobi.

Kedekatan mereka membahayakan. Tali pertunangan itu menyesatkan. Park Shin Hye kelimpungan saat mendapati dirinya hamil. Tak mungkin ia putus kuliah, dan menjadi ibu di usia semuda ini. Ia belum siap. Meskipun, ia merasa sudah sangat siap menjadi Nyonya Jung Yong Hwa.

Ia mendatangi ayahnya dengan wajah pucat pada suatu malam.

“Ayah… aku mau bicara.”

“Kenapa, Sayang? Wajahmu pucat sekali, kemarilah.”

“Ayah… Aku… Aku terlambat… terlambat menstruasi bulan ini.”

Ayahnya mendongakkan kepala, tapi berusaha menghilangkan ekspresi terkejut di wajahnya. Itulah ayahnya, selalu tenang di segala situasi.

“Terlambat adalah hal biasa,” katanya. “Terlambat berapa hari?”

“Emm… dua minggu,” Park Shin Hye menundukkan kepala.

“Kalau begitu, besok kita ke dokter.”

Park Shin Hye positif hamil.

“Kau sudah dewasa. Ayah serahkan keputusan pada dirimu sendiri. Kau mau cuti kuliah sampai bayinya lahir? Atau, Kau memikirkan keputusan lain? Atau, kau perlu bicara dulu dengan Jung Yong Hwa?”

Park Shin Hye tahu ia harus bertindak cepat, sebelum semuanya terlambat. Usia kandungannya sudah tujuh minggu.

“Kau yakin? Tidak akan menyesal?” tanya ayahnya.

Park Shin Hye mengangguk mantap. “Ayah jangan bilang siapa-siapa, jangan bilang Ibu, Jung Yong Hwa juga. Aku takut mereka marah.”

Ayahnya memeluknya. Park Shin Hye tahu ayahnya akan memegang rahasianya. Ayahnya adalah pahlawannya. Ia yang mengantar ke dokter untuk menggugurkan kandungannya, menungguinya, dan tidak meninggalkannya sedetik pun, ketika Park Shin Hye menangis semalaman.

Tetapi, torehan pisau operasi itu menjadi terasa dalam sekali, ketika di suatu malam Park Shin Hye dikejutkan oleh dering telepon, mengabarkan Jung Yong Hwa hilang di gunung. Dua malam sebelumnya, setelah wisuda kelulusannya, Jung Yong Hwa berangkat naik gunung, meskipun diramalkan ada badai dan kabut tebal. Katanya, ia harus merayakan kelulusannya dengan satu kali lagi naik gunung, sebelum waktunya dipenuhi dengan jadwal pekerjaan.

Mimpinya untuk bersanding dengan Jung Yong Hwa di pelaminan, mimpinya untuk membuai Jung Yong Hwa-Jung Yong Hwa kecil di pelukannya, pupus sudah. Park Shin Hye tak henti menyesali diri. Mengapa aku tidak punya firasat bayiku akan jadi peninggalan ayahnya? Kenangan yang akan tertinggal selamanya, bukti cinta kami berdua?

Jung Yong Hwa ditemukan tiga hari kemudian. Tubuhnya membengkak karena air. Park Shin Hye merasa ikut mati. Di surga nanti, Jung Yong Hwa akan bertemu anaknya, akan menyalahkanku karena tidak memberi mereka kesempatan bertemu di dunia.

Berkat ayahnya, Park Shin Hye tegar. Ia tidak membiarkan dirinya melamun. Dalam pertemuan antar senat fakultas, di suatu siang Park Shin Hye bertemu sahabat barunya, Kim So Eun dan Jung So Min dari fakultas psikologi.


BAEK SUZY
Baek Suzy baru saja tiba dari sekolah, ketika telinganya mendengar ibu dan ayahnya saling beradu kata. Karena sudah terbiasa, ia berlalu, menyimpan tasnya di kamar dan mengurung diri di sana. Baek Suzy masih kelas dua SMP. Ayahnya sangat suka mengatur, hidup Baek Suzy sangat disetir. Sebagai seorang pria yang merasa tidak mampu menguasai istrinya, ayahnya beralih mengatur hidupnya. Ibunya besar kepala, merasa sebagai pencari nafkah keluarganya, selalu mengatakan tidak pernah mencintai ayah Baek Suzy.

Kadang-kadang, Baek Suzy ingin kedua orang tuanya bercerai saja. Mana cinta yang katanya dasar untuk membangun rumah tangga. Baek Suzy tidak habis mengerti.

Masa kecil Baek Suzy tidak indah. Tak ada ingatan menyenangkan. Hampir setiap hari, di atas pukul satu siang, ibunya sudah menghilang, bergabung dengan teman-temannya untuk berjudi. Ibunya menguasai segala permainan judi. Ayahnya sering mengamuk, bahkan pernah mendobrak tempat ibunya berjudi, membalikkan mejanya. Tapi, judi sudah menjadi darah daging ibunya.

Ayahnya sering menjanjikan hal, yang pada akhirnya hanya khayalan, karena tak bisa memenuhinya. Ketika SD, Baek Suzy dijanjikan mendapat sepeda, jika ia bisa juara kelas. Saat Baek Suzy meraih prestasi itu, ayahnya belum punya uang. Begitu juga tahun-tahun selanjutnya. Sepeda itu kemudian hanya menjadi bunga mimpinya.

Masuk SMP, ayahnya berkata, “Kalau kau tetap berprestasi baik, Ayah akan menabung supaya kau bisa kuliah di luar negeri.”

Tapi, tabungan ayahnya tidak pernah cukup membiayainya kuliah ke luar negeri. Baek Suzy jadi kebal pada janji-janji ayahnya. Ia terus belajar dengan baik, hanya karena tak mau terjebak dalam kemiskinan selamanya.

Suara keributan itu belum juga reda. Kehidupan keras membuat kepala Baek Suzy membatu, tapi hatinya sebenarnya lembek seperti agar-agar. Baek Suzy merindukan kasih sayang yang tidak pernah dirasakannya. Baek Suzy pernah terbangun di tengah malam, melihat ayahnya tertidur letih di sofa. Baek Suzy menangis melihatnya. Ayahnya bukan tidak pernah berusaha, tapi apa mau dikata jika nasib belum berpihak padanya? Meskipun mengatur hidupnya, Baek Suzy tahu, ayahnya selalu menginginkan yang terbaik.

Ayahnya yang mengajarkannya untuk suka membaca, ayahnya pernah berkata, “Ayah tidak bisa memberi harta, maka Ayah akan berusaha memberi ilmu, supaya kau punya modal untuk mencari harta sendiri.”

Baek Suzy tidak pernah membenci ayahnya, meskipun tertekan karena harus selalu berusaha mematuhinya. Maka, ketika ayahnya menolak keinginannya untuk bekerja dan menyuruhnya meneruskan sekolah, Baek Suzy menurut. Bibi -nya yang kaya bersedia membantu biaya sekolahnya di Busan.

Baek Suzy berpikir, kelak ingin kuliah hukum pidana. Ia terobsesi memberantas perjudian, ingin memenjarakan teman berjudi ibunya.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...