Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Selasa, 13 September 2011
Pahit Manis Cinta (Chapter 1)
KIM SO EUN
Bekerja sebagai kepala bagian personalia di perusahaan minyak asing, Kim So Eun punya kesempatan bertemu banyak pria mapan – para rekan kerjanya. Meski sebelumnya ia tak pernah berminat mencari pacar, pendamping hidup atau berpacaran dengan rekan kerja satu perusahaannya, suatu saat ia tersadar bahwa “Cinta itu ada karena terbiasa” ternyata benar adanya.
Dibesarkan di lingkungan keluarga besar dengan tujuh saudara, kedua orang tuanya mungkin sulit membagi kasih dengan adil, sehingga akhirnya perhatian dan kasih sayang mereka hanya tercurah pada adik bungsunya. Lagi pula, keluarga Kim So Eun sering berpindah kota, karena ayahnya seorang pegawai pemerintahan yang sering dipindah-tugaskan.
Kim So Eun yang cantik. Tetap terlihat cantik dengan rambutnya yang sebahu. Pekerja keras dan mempunyai kasih yang tak ada habisnya di hatinya. Kim So Eun bersedia mengulurkan tangan, tanpa pamrih. Temannya tak terhitung. Tapi, dalam cinta, ia tak seberuntung wanita lain. Menjelang tiga puluh lima, Kim So Eun sudah tiga kali jatuh cinta pada pria yang keliru. Semua pria yang dicintainya, hanya memanfaatkannya, lalu menikah dengan wanita lain.
Saat inilah ia sekarang, hidup bersama, berbagi hari dengan kekasihnya seorang pria keturunan Jepang-Korea. Hidupnya terasa lengkap. Hampir lengkap, hanya kurang status sebagai istri dan ibu.
Kim Bum sudah memiliki istri dan anak. Istrinya tinggal di Tokyo, bersama anaknya. Ia pendiam dan kaku. Jauh dari pria impian Kim So Eun semasa remaja. Ketika pertama kali bertemu, Kim So Eun bahkan tak pernah berpikir akan jatuh cinta padanya. Ia tahu Kim Bum sudah berkeluarga. Tapi, nasib bicara lain.
Hari itu hujan lebat turun di Seoul. Deras sekali, seolah langit sedang kebanjiran. Seperti biasanya, curahan air sebesar itu akan membuat Seoul macet. Kim So Eun berpikir menunggu sampai agak larut di kantor, daripada menambah panjang deretan mobil. Kim Bum bolak-balik di depan ruangannya, sesekali melongok ke dalam. Kelihatan sekali bahwa ia gelisah.
Kim So Eun sadar, sudah beberapa bulan ini Kim Bum lebih sering menyapanya, bahkan sering menatapnya diam-diam. Kim So Eun tahu, tapi tak berani terlalu bereaksi. Ia sadar, membalas perhatian pria itu, berarti mengundang sejuta masalah. Tapi, Kim So Eun juga sadar, degup jantungnya lebih kencang jika mereka berpapasan. Kim So Eun sangat sadar, aliran kimia di darahnya kian ditahan malah kian menggelegak. Dan, ia yakin telah jatuh cinta. Pada orang yang salah….
Malam ini, nyata sekali Kim Bum sengaja menunggunya. Kantor sangat sepi. Seluruh rekan kerjanya sudah lama bergabung di kemacetan kota. Kim So Eun mulai ketakutan. Takut akan perasaannya sendiri. Takut ia tak bisa menahan gejolak yang selama ini ditahannya.
Tiba-tiba Kim Bum sudah berdiri di depan mejanya. Kim So Eun kaget setengah mati dan jeritan kecil keluar dari mulutnya.
“Kau baik-baik saja?” tanya Kim Bum.
“Ya. Aku pikir, kau sudah pulang,” kata Kim So Eun.
“Tadinya begitu. Tapi, hujan sederas ini pasti Seoul macet. Ini sudah malam sekali. Kau tidak takut pulang sendiri?”
“Sudah biasa,” jawab Kim So Eun, sambil tersenyum, menutupi debar jantung yang rasanya hendak mendobrak dada. Ia mendongak. Mata mereka beradu.
Kim Bum tersenyum. “Ayo, aku temani pulang. Kalau masih macet, kita bisa mampir makan malam.”
Kim So Eun mengangguk dan mulai berbenah.
Jalan setapak berkerikil menuju rumah kontrakan Kim So Eun terasa licin karena basah. Kim So Eun gugup, karena terlalu keras berusaha menahan diri. Ia tergelincir. Kim Bum memeluknya. Di sanalah mereka, tengah malam di bawah langit Seoul yang masih gerimis, berpelukan lama sekali, tak ada yang berinisiatif melepaskannya lebih dahulu.
Keesokan harinya dan hari berikutnya lagi, terus dan terus, mereka berusaha mencari peluang bersama, tersembunyi dari mata rekan kerja.
Saat Kim So Eun berulang tahun, Kim Bum menyentuhnya pertama kali. Kim So Eun tak bisa teguh lagi memegang keyakinannya. Meleleh oleh keinginan akan kedekatan yang lebih, Kim So Eun menyerah. Mereka menghabiskan hari-hari bersama di Pulau Jeju.
Mereka berhasil merahasiakan hubungan terlarang itu dari semua mata. Tapi, Kim So Eun tidak sanggup jika tidak membagi kisah cintanya dengan ketiga sahabatnya Jung So Min, Park Shin Hye, dan Baek Suzy. Hanya mereka temannya berbagi, meskipun sekarang mereka terpencar di belahan lain dunia. Hanya ia dan Baek Suzy yang masih sama-sama di Seoul.
Asa yang ada kian menyesakkan. Kim So Eun tak mau lagi berbagi. Ia ingin memiliki Kim Bum, seutuhnya, hanya untuk dirinya. Cintanya kali ini ternyata lebih keliru dibanding cintanya yang lalu-lalu. Cintanya kali ini telah membutakan mata dan hatinya….
JUNG SO MIN
Ketika memutuskan nekat pergi ke negeri orang, Jung So Min tidak pernah berpikir hidupnya akan terasa sesempurna ini. Suaminya pria tampan yang dicintainya setengah mati, yang dikejarnya hampir separuh bumi, dan akhirnya jatuh ke pelukannya, jadi miliknya selamanya.
Tidak seperti ketiga sahabatnya yang lain, Jung So Min jarang sekali membiarkan seorang pria memasuki hatinya, seindah apa pun paras pria itu. Tapi, dengan mudah ia terjerat pada lelaki itu, bagai besi menempel di magnet. Meskipun, penampilan pria itu biasa-biasa saja.
Jung So Min. Rambutya tergerai melewati bahu, yang tetap dipertahankan berwarna hitam, meskipun seluruh dunia, pria dan wanita, ramai-ramai mengubah warna rambutnya. Ia dibesarkan di keluarga Korea, yang berpegang teguh pada adat. Hampir semua kerabat dari garis ayahnya menjadi perwira militer. Karena itu, kenekatannya berjuang mendapatkan cinta pria asing adalah perjalanan panjang yang melelahkan.
Hampir dipastikan, Jung So Min berangkat ke Jepang setiap tahun. Di sana ada Bibi Kim Tae Hee, adik ibunya, dan suaminya, Paman Song Seung Hun, yang tidak dikaruniai anak, sehingga Jung So Min dilimpahi kasih sayang lebih daripada anak sendiri.
Sudah kesekian kalinya Jung So Min berkunjung ke Jepang, ketika itu ia bertemu seorang nenek di sebuah kereta. Entah karena sangat terkesan oleh pembicaraan mereka, entah nenek itu berperan sebagai tenaga pemasaran bagi cucunya, ia menunjukkan foto pria berparas tampan pada Jung So Min. Katanya, pria itu adalah cucunya yang sedang mencari jodoh.
Pria di foto itu tinggi dan langsing. Rambut dan matanya berwarna cokelat. Konon, usianya 35 tahun. Usia sempurna, menurut Jung So Min. Jung So Min, dengan jiwa petualangan, berjanji pada nenek itu akan menelepon cucunya. Dan, janji Jung So Min bukan cuma basa basi.
Ia menelepon pria itu keesokan harinya. Nama lelaki itu Kim Hyun Joong. Rupanya, sang nenek juga telah memberi tahu Kim Hyun Joong, karena ia tidak terkejut menerima telepon Jung So Min. Mereka berjanji bertemu di akhir minggu, hanya untuk minum kopi. Awal yang bagus.
Ketika mereka bertemu, Jung So Min agak kecewa. Karena, kata awal pria itu adalah no commitment. Kim Hyun Joong selalu berjalan sendiri di depan, meninggalkannya beberapa langkah di belakang. Jung So Min agak tersinggung, karena Kim Hyun Joong seolah tak mau terlihat berjalan bersamanya. Dipanggilnya pria itu dengan enggan.
“Hei, kau sedang berjalan bersama seseorang.”
Kim Hyun Joong menoleh, tersenyum malu-malu. Jung So Min terkesima, senyumnya polos sekali. Jung So Min merasa sudah jatuh cinta padanya. Lalu, Kim Hyun Joong menunggunya dan berusaha berjalan dengan langkah lebih kecil, supaya mereka berdampingan. Mereka berjalan menuju barat, saat matahari sedang tenggelam, meninggalkan warna jingga di sepanjang garis langit. Jung So Min ingin menangis. Baginya, saat itu romantis sekali.
Dua minggu liburannya, diperpanjangnya menjadi satu bulan penuh. Jung So Min menelepon perusahaannya untuk mengambil habis cutinya tahun itu, ditambah hutang cuti tahun depan. Waktunya terlalu berharga di sini. Jung So Min tak mau kehilangan kesempatan untuk dekat dengan Kim Hyun Joong.
Kim Hyun Joong seorang pencinta seni. Profesinya adalah arsitek. Waktu satu bulan itu dipenuhi dengan acara mengobrol dan jalan-jalan sore di hampir setiap akhir pekan. Kim Hyun Joong memang menawan. Bahkan, sewaktu Kim Hyun Joong menjemputnya di rumah, paman dan bibinya langsung jatuh cinta juga padanya. Kim Hyun Joong pandai membawa diri. Jung So Min yakin, kali ini kisah cintanya akan berjalan mulus.
PARK SHIN HYE
Hidup di Hongkong, terasa damai bagi Park Shin Hye. Semua bermula dari keputusasaan saat sang ayah mendadak meninggalkannya selamanya. Kenangan akan kedekatannya dengan sang ayah membuatnya tak mampu menahan kepedihan. Ia berpikir, ia tak bisa membuat bangga siapa pun lagi, karena ayah yang sangat mencintai dan selalu mendorongnya telah tiada. Lalu, Park Shin Hye merantau ke Hongkong.
Park Shin Hye sangat berbeda di antara keempat sahabat itu, berkaca mata minus, tipe kutu buku sejati. Orang akan tertipu sebelum bicara dengannya, karena sesungguhnya ia sangat supel dan suka mengumpulkan teman, mengelompokkannya menurut minat, dan sering mengatur pertemuan dengan kelompok itu. Banyak yang akhirnya bertemu jodoh dari pertemuan-pertemuan yang diaturnya. Park Shin Hye senang membuat orang-orang bahagia.
Kakak-kakaknya sudah menikah. Hanya Park Shin Hye yang belum menikah, meski temannya ada di setiap belokan jalan. Park Shin Hye keturunan Cina, tetapi ayahnya sangat moderat, tak pernah mempermasalahkan perbedaan ras dan agama, bahkan aktif di organisasi pembauran. Park Shin Hye tidak dekat dengan ibunya, melainkan dengan sang ayah. Mereka biasa mengobrol lama dari hati ke hati tentang berbagai topik.
Ketika Park Shin Hye pertama kali masuk sekolah, ayahnya yang mengantar dan menungguinya. Ayahnya punya toko hasil bumi. Setiap pukul lima sore Park Shin Hye menunggui ayahnya pulang di halaman rumah. Ketika ayahnya muncul di ujung gang, ia berlari menuju ayahnya, kemudian ayahnya akan memanggulnya di bahu. Jika kiriman hasil bumi sedang datang dari para petani daerah, ayahnya pulang terlambat. Park Shin Hye terkadang ketiduran di ruang tamu, dan ayahnya akan menggendongnya, memindahkannya ke kamar tidur. Esok harinya Park Shin Hye mendapati oleh-oleh. Entah boneka, sekotak cokelat, atau jalan-jalan berdua untuk minum es krim. Atau, ayahnya akan menceritakan dongeng tentang peri baik hati sampai ia tertidur.
Dalam hati Park Shin Hye berpikir, tak ada peri baik hati. Yang ada hanya ayah baik hati.
Operator menyampaikan telepon untuknya. Park Shin Hye lang¬sung mengenali suara kakaknya yang sengau. Ayahnya meninggal! Bagaimana mungkin? Ayahnya tak pernah mengidap sakit apa pun. Tadi malam mereka masih mengobrol sampai larut, sampai Park Shin Hye memutuskan tidur di sofa ruang tamu karena malas pindah ke kamar tidur. Ayahnya juga memutuskan menemaninya, dan tidur di karpet. Tadi pagi waktu berangkat kerja, Park Shin Hye melihat ayahnya masih bernapas tenang.
Park Shin Hye limbung. Ia hampir tak bisa bicara sewaktu minta izin pulang. Suaranya basah bercampur tangis. Park Shin Hye serasa melangkah di awan. Bahkan, saat kehilangan Jung Yong Hwa, tunangannya dulu, ia tak merasa sekosong ini. Park Shin Hye masih membutuhkan Ayah. Park Shin Hye sudah berjanji akan membuat Ayah bangga. Tapi, kenapa Ayah meninggalkan Park Shin Hye, sebelum Park Shin Hye sempat mewujudkannya?
Park Shin Hye meratap dan pingsan berkali-kali. Bahkan, saat tanah ditaburkan di makam ayahnya, ia harus dipegangi erat-erat. Keluarganya takut ia akan ikut melompat ke liang kubur. Saat saudaranya mengundangnya ke Hongkong untuk menenangkan diri, Park Shin Hye malah tak ingin kembali ke Seoul.
Saat ini ia tak tahu apa yang diinginkannya. Ia hanya tahu, tak akan ada yang melindunginya lagi, tak akan ada yang memberinya senyum kebanggaan. Ia tak tahu, apa yang akan dibuktikannya atau ingin dicapainya. Bahkan, ia tak ingin lagi bersama teman-temannya, tempat ia biasa berbagi kebahagiaan.
BAEK SUZY
Sebagai pengacara sebuah perusahaan multinasional di Seoul, Baek Suzy paling sukses di antara mereka berempat. Semua orang memandang iri hidupnya yang lengkap. Tubuhnya yang langsing selalu dibalut pakaian keluaran butik ternama. Mobil mewah dan apartemen pribadi sudah dimilikinya, uang menumpuk di rekeningnya, separuh dunia sudah dikunjunginya.
Baek Suzy berkulit putih bersih, dengan kecantikan yang dingin. Baek Suzy skeptis terhadap perkawinan, dan memandang negatif segala bentuk hubungan romantis. Dengan jabatan dan mobilitasnya yang tinggi, namanya seolah menunjukkan siapa dirinya. Ia hampir tak pernah punya waktu untuk sekadar berleha-leha, kecuali saat tidur malam hari, yang maksimal hanya empat jam. Baek Suzy tak pernah tidur sebelum pukul satu malam, dan sudah terbangun pukul lima pagi. Waktunya hanya untuk mencari uang.
Tiga belas tahun lalu, Baek Suzy hampir menikah dengan Lee Hong Ki, yang tanpa putus asa mengejarnya. Saat itu Baek Suzy masih gadis sederhana. Ia sulit jatuh cinta. Tapi, perhatian Lee Hong Ki melumerkan hatinya.
Mereka sudah menabung bersama dan rajin mengunjungi pameran perumahan. Sebetulnya, ibu Baek Suzy kurang setuju. Sebagai anak gadis satu-satunya, cantik dan pintar, ibunya ingin Baek Suzy mendapatkan seorang pengusaha kaya, bukan karyawan bank seperti Lee Hong Ki. Kendaraannya pun hanya mobil tua. Bagaimana Baek Suzy akan menopang hidup orang tuanya, jika untuk mereka berdua saja masih harus berjuang?
Baek Suzy dilahirkan di sebuah kota kecil dalam keluarga sederhana. Ayahnya terus berganti pekerjaan, ibunya menerima jahitan di rumah. Biaya hidup sehari-hari lebih banyak ditopang oleh ibunya. Seharusnya, mereka bisa hidup berkecukupan. Sayang, ibunya suka berjudi, terpesona pada impian untuk kaya mendadak, sehingga sering meninggalkan langganannya menunggu.
Hanya, ayahnya mendorongnya tetap sekolah, sesulit apa pun keuangan mereka. Bahkan, ayahnya sering membuainya dalam mimpi, ”Kalau bisa terus jadi juara kelas, Ayah akan mengirimmu sekolah di luar negeri.” Sayang, itu hanya fatamorgana. Ayah-ibunya tak mampu mengirim Baek Suzy ke luar negeri. Tapi, Baek Suzy berhasil masuk universitas negeri.
Pernikahannya dengan Lee Hong Ki tinggal satu bulan lagi. Semua sudah diatur matang. Tak akan ada pesta besar, hanya pemberkatan di gereja. Yang diundang hanya kerabat dekat dan sahabat.
Baek Suzy teringat saat pertama bertemu Lee Hong Ki, mereka berbagi meja di kantin kantor. Mereka bekerja di gedung yang sama. Baek Suzy baru bekerja satu minggu. Jung So Min adalah penyelianya saat itu. Jung So Min pula yang memperkenalkannya kelak dengan Kim So Eun dan Park Shin Hye.
Hari itu mereka makan siang bersama. Kantin penuh sekali. Semua orang berbagi meja. Baek Suzy dan Jung So Min berbagi meja bersama dua pria menarik. Jung So Min kenal dengan keduanya. Pria pertama bernama Kim Soo Hyun. Sudah ada cincin melingkar di jari manisnya. Katanya, ia pengantin baru. Pria yang lain, Lee Hong Ki, baru putus cinta. Lee Hong Ki punya senyum seperti anak-anak, tampan, dan lucu.
Lee Hong Ki meminta nomor teleponnya hari itu. Esok harinya, dan berhari-hari kemudian, tidak kurang dari tiga kali sehari Lee Hong Ki meneleponnya. Semua orang di divisinya heran, karena tiba-tiba Baek Suzy sering mendapat telepon misterius.
Tak dinyana, rahasianya dibocorkan dari Shim Changmin, salah satu rekan kerjanya. Lee Hong Ki memang sering menitipkan sarapan melalui Shim Changmin. Hebohlah seluruh gedung, karena anak baru berhasil menggaet hati Lee Hong Ki. Tapi, Baek Suzy tidak langsung terpikat pada Lee Hong Ki. Ia sadar, pria yang baru putus cinta, rawan sekali terhadap hubungan baru. Namun, pria itu terang-terangan mendekatinya.
“Namanya juga usaha, ya, harus tekun dijalani, kata Lee Hong Ki.
“Tergantung, usahanya akan menghasilkan laba atau tidak,” jawab Baek Suzy.
“Laba atau rugi, yang penting diimani dengan hati.”
Kali lain... “Aku rindu. Aku ingin mendengar suaramu,” kata Lee Hong Ki.
“Seusia-mu sudah tak pantas bergombal-gombal,” jawab Baek Suzy.
Kemudian... “Kau dingin sekali. Aku punya api besar yang bisa membuang kedinginan itu,” kata Lee Hong Ki.
“Api yang terlalu besar berkobar di awal, akan mudah padam.”
“Api milikku abadi, akan berkobar dan membesar terus.”
Begitulah, Baek Suzy tidak pernah menang beradu argumen dengan Lee Hong Ki.
Suatu kali, yang diantarkan Shim Changmin bukan sarapan. Bungkusannya berbentuk kotak. Ketika Baek Suzy membukanya, isinya sebuah kaset dan buku harian. Rupanya, Just The Way You Are – Bruno Mars, lagu kesukaannya, diaransemen ulang oleh Lee Hong Ki. Di situ ada catatan kecil: ”Sementara ini aku hanya bisa merekamnya. Tapi, kalau kau bersedia, aku akan memainkannya live di hari pernikahan kita.”
Baek Suzy membuka buku harian itu. Ternyata, tidak kosong. Halaman-halamannya sudah terisi ribuan kata. Dilihatnya tanggal pada halaman pertama, itu hari pertama mereka bertemu. Rangkaian katanya sangat manis, dan lucu, khas Lee Hong Ki. Hati Baek Suzy mencair, seperti mentega ditaruh di bara api….
Hari perkawinannya tinggal tiga hari lagi. Baek Suzy sangat bahagia, sehingga melupakan gelisahnya. Sudah satu minggu Lee Hong Ki tak bisa dihubungi. Tapi, bukankah itu bagus, karena calon pengantin tak boleh berkomunikasi, apalagi bertemu. Itu akan mengundang bad luck.
Sore hari itu juga, Baek Suzy heran ketika tiba-tiba paman Lee Hong Ki datang dengan wajah pucat. Ia membawa kabar yang meruntuhkan dunia Baek Suzy. Lee Hong Ki menghilang! Sudah satu minggu ia terlihat gelisah. Pagi ini ada Email, mengatakan, ia pergi ke Kanada, bersama kekasih yang dulu diakuinya sudah putus. Mereka menikah di sana.
Tak ada penjelasan apa pun. Tak ada permintaan maaf. Tak sepatah kata untuk Baek Suzy, yang berdiri mematung bagai buta dan tuli. Esok harinya Baek Suzy mengundurkan diri dari tempatnya bekerja. Tak sanggup menerima perubahan tatapan orang-orang, yang semula iri jadi kasihan dan cemooh. Jung So Min mencoba membesarkan hatinya, tapi Baek Suzy tak bisa dibujuk. Baek Suzy tidak menangis, tapi tak henti-henti bertanya pada dirinya. Ibunya terus menyalahkannya dan mengatakannya telah salah pilih.
Itulah titik balik hidupnya. Hatinya dipenuhi kepahitan. Ia hijrah ke Incheon, membentengi dan mengunci pintu hatinya rapat-rapat. Tak seorang pun akan diizinkannya melukai hatinya lagi, bahkan tidak untuk sekadar mendekat. Jika terjadi lagi, Baek Suzy tak akan sanggup menanggungnya. Sekarang, hidupnya harus menjadi baik, ia harus berhasil. Sekarang, waktunya hanya untuk bekerja.
Suatu saat, menjelang perjalanannya ke luar negeri yang kesekian kali, Baek Suzy bertemu Lee Hong Ki di bandara. Baek Suzy ingin berlalu, tapi Lee Hong Ki menghampirinya. Istrinya memandangi dari jauh, sambil menggendong seorang gadis kecil.
“Aku hampir tidak mengenalmu. Kau sukses sekali, ya?”
Baek Suzy hanya tersenyum tipis.
“Kau sudah menikah?” kata Lee Hong Ki, sambil melirik jemarinya yang masih kosong, kemudian melanjutkan, “Aku harap bukan karena diriku.”
Baek Suzy meradang, berpikir untuk menyakiti Lee Hong Ki dengan kata-kata paling kejam yang bisa dipikirkannya. “Tentu saja, karena dirimu. Karena kau meninggalkan-ku di altar, aku bisa seperti ini. Aku rasa, aku harus berterima kasih. Jika aku menikah denganmu, aku pasti tidak sesukses ini dan hanya akan jadi ibu rumah tangga, pengasuh anak, seperti istrimu di sana.”
Lee Hong Ki pucat. “Kau boleh marah, aku tidak tahu harus mengatakan apa.”
Baek Suzy memandangnya, dengan sorot terdingin. Mintalah maaf, batinnya.
“Tidak usah mengatakan apa-apa, aku bersyukur kita tidak menikah. Maaf, aku harus check in,” katanya, ketus.
Baek Suzy melangkah, meninggalkan Lee Hong Ki yang terpaku. Merasa heran mengapa dulu ia terlena akan cinta lelaki itu, hanya karena sebuah buku harian dan aransemen lagu! Betapa dangkal cintanya. Tapi, Baek Suzy juga marah pada dirinya sendiri. Menyesali mengapa ia harus menyerang Lee Hong Ki? Jika Lee Hong Ki sangat tidak berarti, seharusnya ia bersikap elegan. Sekarang Lee Hong Ki tahu ia sangat sakit hati, dan pasti Lee Hong Ki juga tahu sakit hatinya. Karena, ia masih belum, tak bisa, tak kan pernah bisa, memaafkannya, melupakannya.
Itulah yang pertama dan terakhir kali Baek Suzy melihatnya, sejak Lee Hong Ki menghancurkan mimpi-mimpinya tanpa ampun. Semoga tidak ada pertemuan kebetulan lagi. Ia tak mau mempermalukan dirinya dua kali.
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar