Kim Bum pulang tepat sebelum senja. Aku membuat kopi panas. Ia selalu suka kopi yang masih panas. Jika sudah mulai mendingin, tak akan ia sentuh. Karena itulah, aku selalu membuatkan kopi setiap kali desingan suara mesin mobilnya terdengar.
Kebiasaan ini sudah kuketahui sejak ia menjadi pelanggan setia di kedaiku. Ia biasanya memesan kopi yang panas dan saat kuantar kopi tersebut ke mejanya, ia selalu langsung meminumnya tanpa harus membuka koran atau laptop-nya dan menunggu kopinya mendingin. Ia memang berbeda.
Langkah Kim Bum terdengar semakin dekat menuju lantai dua. Ok Taecyeon dan beberapa karyawan kedai berada di bawah untuk melayani para pelanggan. Pada jam–jam Kim Bum pulang, aku selalu menyempatkan diri untuk berada di rumah kami, lantai dua, untuk memberikan senyuman pada pandangannya yang tetap tak berubah: seperti tak hidup di dunia ini.
Cangkir kopi Merah Maroon favoritnya selalu kuletakkan di depan meja TV. Setiap kali ia beranjak ke atas, wajah yang selalu ia lihat adalah wajahku. Memang begini kenyataannya, karena kami punya tujuan yang sama dalam menikah, maka kami pun setidaknya harus bisa saling berteman dengan baik.
“Maaf, terlambat,” Kim Bum sedikit menundukkan kepalanya dan menatapku, kemudian menatap cangkir kopi.
Kadang–kadang ia segera masuk kamar hanya untuk mengganti pakaiannya dan kembali lagi ke ruang TV dengan kaus lengan panjang dan celana pendeknya. Tapi, kali ini ia langsung duduk sambil mencari remote.
“Tidak mandi dulu?” aku mendekatinya, masih memakai celemek berwarna Hitam khas kedaiku.
Kim Bum melirik sebentar, kemudian kembali lagi menatap TV. Aku lalu beranjak dari sofa menuju tangga. Bukanlah hal yang bagus sebenarnya, kalau mengajak Kim Bum berbicara. Rasanya ia sudah pendiam dari sana-nya, jadi aku tidak perlu lagi merasa sakit hati, setiap kali pertanyaanku tidak ia jawab.
“Mau ke mana?” tiba–tiba Kim Bum bertanya ketika aku telah turun satu tangga menuju kedai.
“Membantu Ok Taecyeon.”
“Oke,“ ucap Kim Bum lagi. Kali ini tangan kanannya sedang memegang cangkir kopi.
“Sudah makan belum?” tanyaku akhirnya, mengetahui bahwa ia punya selera makan yang kurang begitu bagus.
“Nanti aku turun setelah mandi.”
“Baiklah!” Aku kembali melangkahkan kakiku ke tangga berikutnya. Namun, di tangga ketiga, Kim Bum meneriaki namaku. Kontan aku diam dan segera menoleh ke arahnya, “Kenapa?”
“Bento*)-mu tadi pagi... eh... hmm... enak!” ucapnya, ragu–ragu. Suaranya berubah sangat pelan, mungkin ia malu pada kata–kata yang ia lontarkan. Aku hanya tersenyum membalasnya dan kembali turun ke kedai. Tidak yakin apa yang sedang kurasakan, namun aku ingin tersenyum lebar.
Bento
*) Bentō (弁当 atau べんとう?) atau o-bentō adalah istilah bahasa Jepang untuk makanan bekal berupa nasi berikut lauk-pauk dalam kemasan praktis yang bisa dibawa-bawa dan dimakan di tempat lain. Seperti halnya nasi bungkus, bentō bisa dimakan sebagai makan siang, makan malam, atau bekal piknik.
Bentō biasanya dikemas untuk porsi satu orang, walaupun dalam arti luas bisa berarti makanan bekal untuk kelompok atau keluarga. Bento dibeli atau disiapkan sendiri di rumah. Ketika dibeli, bentō sudah dilengkapi dengan sumpit sekali pakai, berikut penyedap rasa yang disesuaikan dengan lauk, seperti kecap asin atau saus uster dalam kemasan mini.
Ciri khas bentō adalah pengaturan jenis lauk dan warna agar sedap dipandang serta mengundang selera. Kemasan bento selalu memiliki tutup, dan wadah bentō bisa berupa kotak atau nampan segi empat dari plastik, kotak roti, atau kotak kayu kerajinan tangan yang dipernis. Ibu rumah tangga di Jepang dianggap perlu terampil menyiapkan bentō, walaupun bentō bisa dibeli di mana-mana. Di Indonesia, hidangan ala bento mulai dipopulerkan jaringan restoran siap saji Hoka-Hoka Bento sejak tahun 1985.
“Noona? Noona?” aku seperti mendengar suara Ok Taecyeon di telingaku. Aku belum menyadari apa pun, sampai Ok Taecyeon mencoba menepukku ringan dengan nampan.
Cepat–cepat kuambil nampan tersebut dari tangannya dan kulemparkan pukulan ringan ke punggungnya. Ok Taecyeon berteriak meledekku, sementara aku kesal karena dia menggodaku.
“Ok Taecyeon, aku kan sedang serius konsentrasi. Kenapa, kau ganggu.”
“Konsentrasi apa?” ledek Ok Taecyeon.
Anak ini sering sekali membuatku tersipu malu atau kadang–kadang bertingkah aneh. Mungkin karena aku memang tidak punya saudara di rumah, berhubung aku anak tunggal, keberadaan Ok Taecyeon sangat membuat hatiku kembali muda. Kekonyolannya dan hal–hal bodoh yang ia lakukan sejujurnya membuatku senang.
“Kau sudah makan?” Aku menoleh ke arah Ok Taecyeon. Kali ini ia sedang membuatkan secangkir ice cappuccino dengan sepiring kecil croissant. Ok Taecyeon mengangguk ke arahku. Aku bermaksud mengajak Ok Taecyeon bergabung untuk makan bersama dengan Kim Bum, jika ia belum makan. Tapi, karena Ok Taecyeon sudah makan, aku segera meninggalkannya menuju satu ruangan paling spesial yang Kim Bum dan aku pakai sebagai ruang makan kami.
Aku berjalan melewati lorong di belakang kedai ke satu ruangan yang di belakangnya ditumbuhi tanaman–tanaman hijau dan beberapa bunga berwarna mencolok. Pintu ruangan tersebut langsung menuju halaman belakang. Sebenarnya ruangan ini baru dibuat Kim Bum seminggu setelah kami menikah, enam bulan yang lalu. Ia menginginkan suasana yang sedikit bergaya Jepang kemudian membuat tatami*) kecil dengan bantalan duduk, meja persegi yang lebar dan berkaki pendek. Pemandangan halaman belakang yang asri serasa menyapa kami di sebelah kanan ruangan yang dibuka.
Tatami
*) Tatami (畳 tatami?) (secara harafiah berarti "lipat dan tumpuk") adalah semacam tikar yang berasal dari Jepang yang dibuat secara tradisional, Tatami dibuat dari jerami yang sudah ditenun, namun saat ini banyak Tatami dibuat dari styrofoam. Tatami mempunyai bentuk dan ukuran yang beragam, dan sekelilingnya dijahit dengan kain brokade atau kain hijau yang polos.
Pada mulanya, Tatami adalah barang mewah yang dapat dimiliki orang kaya. Saat itu kebanyakan rumah orang miskin tidak memiliki lantai, melainkan tikar. Tatami kemudian menjadi populer diabad ke-17.
Kim Bum sudah duduk di bantalan tersebut. Pandangannya tertuju pada kebun belakang. Begitu mendengar aku masuk, pandangannya teralihkan. Rambut hitam Kim Bum yang panjang tapi tidak gondrong itu terlihat basah. Ia wangi sekali. Ia selalu begitu.
“Maaf, ya, kedai sedang ramai,” aku membuka percakapan. Lalu, kuletakkan lauk-pauk yang aku hangatkan beberapa menit yang lalu dengan semangkuk sayur bayam kesukaannya. (di korea ada sayur bayam nggak ya?)
“Kau tidak perlu seperti itu setiap hari,” ucap Kim Bum tiba–tiba.
Aku tidak mengerti perkataannya.
“Kau tidak harus melayaniku setiap hari, Kim So Eun. Aku bisa melakukannya sendiri.”
“Kau kan tinggal bersamaku di sini. Aku tidak bisa mengabaikanmu begitu saja,” jawabku apa adanya.
“Aku tidak mau merepotkan.”
“Tidak ada yang direpotkan. Aku biasa melakukan ini. Bahkan, jauh sebelum kau datang, aku memang kebagian jadi seksi masak-memasak di acara kumpul–kumpul,” aku berusaha menghilangkan kekakuan dengan melucu. Jelas sekali aku kehilangan bakat humorku belakangan ini. Kim Bum tidak tertawa sama sekali.
Sejak kejadian menyakitkan itu, entah kenapa, aku sering menarik diri dari teman–temanku. Dan kalau bisa, menjauhkan diri dari banyak orang yang mengenalku, tapi tidak benar–benar mengenalku. Mungkin kejadian menyakitkan itu bisa dengan mudah kulupakan, namun sakit hati dan malu yang kurasakan tidak juga hilang. Hingga saat ini. Bahkan, ketika Kim Bum duduk di sampingku dan mengucapkan janji pernikahan. Aku tetap tidak bisa melupakan rasa sakit ini.
Harusnya aku sudah menikmati keluarga yang bahagia, jika Kim Hyun Joong memang benar–benar ingin menikahiku. Harusnya aku sudah mendambakan seorang anak darinya, jika ia memang telah menjadi suamiku. Entah kenapa, aku begitu memercayai semua hal yang pernah ia katakan. Aku sangat mencintainya... dulu.
“Aku tidak suka melihatmu melamun!” suara Kim Bum terdengar, bagai tanda bagiku untuk kembali ke dunia nyata.
“Aku tidak melamun,” tangkisku.
Kami berdua pun akhirnya diam dan menikmati makan malam kami penuh keheningan. Setelah selesai makan, Kim Bum beranjak dari tatami dan berjalan ke luar ruangan. Aku membereskan piring–piring kotor dalam diam. Udara terasa sangat dingin bagiku, walau keadaan yang sesungguhnya sangatlah berbeda.
Namun, tiba-tiba ada kehangatan kurasakan menjalar di pergelangan tanganku. Ketika aku menoleh, Kim Bum telah memegang tanganku. Ia menatapku, tapi aku tidak pernah merasakan tatapannya hadir di dalam hatiku. Aku sangat terkejut pada sikap Kim Bum yang seperti itu. Aku pikir ia telah beranjak dari ruangan ini.
“Jangan pikirkan dia lagi...,” akhirnya ia berbicara, pelan.
Aku hanya bisa mengangguk. Diam-diam, ada ketenangan mengalir di dadaku.
Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar