Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 10 September 2011

Akhir Cerita Cinta (Chapter 2)



Karena pagi ini Kim Bum berangkat lebih awal, aku bangun pagi–pagi sekali. Aku ingin membuatkan bekal untuknya, karena ia jarang sekali ingat bahwa ia butuh makan. Aku menyetel alarm ponselku, agar bisa bangun sebelum Kim Bum bangun.

Jujur saja, aku suka Kim Bum, secara umum. Ia orang yang tidak banyak bicara, tidak banyak mengeluh. Ia akan memakan segala makanan yang kubuat (jika aku membuatnya) atau ia akan mendengarkan apa pun yang ingin kuutarakan dan biasanya yang berhubungan dengan rumah kami ini. Karena kami sama–sama tinggal di satu rumah dengan tujuan yang sama, yaitu mendapatkan ketenangan, maka sebisa mungkin kami saling membantu.

Ia menghargai setiap makanan yang kubuatkan untuknya. Ia meminum kopi yang kubuat untuknya. Aneh bahwa ia tidak menyukai teh, sungguh aneh... apalagi ia berasal dari campuran dua negara yang punya tradisi sangat kental tentang teh. Aku belum pernah menanyakan hal itu padanya. Melihat bahwa ia tidak banyak bertanya padaku, maka aku pun tidak mau menginterogasi.

Ia juga sering sekali memakai kaus atau kemeja berlengan panjang, yang sangat tidak kumengerti. Ketika pergi bekerja, ketika duduk di kursi dekat jendela hanya untuk bersantai, ketika malam tiba, bahkan ketika cuaca di luar sangat panas, ia tidak pernah sekali pun menggunakan lengan pendek ataupun baju tanpa lengan. Aku penasaran ingin bertanya, namun lagi–lagi mengingat bahwa ia tidak banyak berkomentar tentangku, maka aku mengurungkan niat tersebut.

“Aku pergi dulu kalau begitu,” Kim Bum berbicara pelan, namun matanya tertuju pada tas hitam dan map biru yang akan ia bawa.

Aku menunggunya menatapku, sebelum memberikan bekal tersebut padanya. Rasanya ia tidak menyadari kehadiranku sampai ia melihat bungkusan bekal berwarna biru tua yang kupegang. Matanya menatap bungkusan itu dan kemudian menatapku. “Itu apa?” tanyanya, bingung.

“Bekal,” jawabku singkat.

“Untukku?” tanyanya lagi. Kali ini aku cuma mengangguk.

Ia yang tadinya sudah berada pada anak tangga pertama sebelum turun, akhirnya kembali lagi mendekatiku dan mengambil bekal tersebut dari tanganku. “Terima kasih,” ucapnya begitu cepat dan singkat.

Kemudian, suara langkah dari anak tangga menuju lantai pertama pun terdengar. Suara pintu yang tertutup juga terdengar beberapa detik kemudian. Aku mengintip dari jendela atas dan melihatnya keluar rumah menuju mobil BMW-nya. Desingan mobilnya terdengar dari atas dan perlahan menghilang dari tangkapan telingaku. Ia sudah pergi.

“Kim So Eun Noona! Noonaaa!” Ok Taecyeon datang setelah mobil Kim Bum menghilang. Ia membuka helm dan nyengir seperti orang bodoh menyapaku. Ok Taecyeon sudah kuanggap sebagai adikku sendiri, apalagi karena ia masih terlalu muda. Umurnya baru 20 tahun dan ia telah bekerja di kedaiku sejak setahun yang lalu. Ia mengetuk–ketuk pintu kaca kedaiku kencang sekali, seperti hampir mau pecah.

“Sabar sedikit, Ok Taecyeon! Pintunya kan tidak dikunci!”

Ok Taecyeon segera masuk sambil membawa satu tas berisi buku–buku besar.

“Kau dan Kim Bum, kenapa hobi sekali membawa banyak buku? Untuk apa buku-buku itu? Tidak berat?”

“Ini Noona... Kim Bum-san bilang, katanya dia mau membuat perpustakaan di kedai ini,” ucap Ok Taecyeon kemudian.

Kim Bum-san... Kim Bum-san... entah kenapa Ok Taecyeon lebih suka memanggil Kim Bum dengan akhiran –san dibanding awalan ’Hyung’ (Panggilan adik laki-laki pada kakak laki-laki). Pernah sekali aku tanya, katanya karena wajahnya yang imut itu membuat Kim Bum tidak cocok dipanggil Hyung.

“Dia, kenapa, tidak bilang padaku, ya?”

“Memangnya Noona tidak tahu, ya?”

“Tidak.”

“Aduhhh... aku jadi tidak enak. Mungkin Kim Bum-san mau membuat kejutan untukmu. Makanya, dia tidak bilang apa–apa,” Ok Taecyeon buru–buru membenarkan penjelasannya dan meluruskan pikiranku yang mulai menceng.

“Mungkin...,“ tanpa pikir panjang aku cuma mengatakan ‘mungkin’ pada Ok Taecyeon. Memang mungkin saja. Mungkin saja ia tidak mau memberi tahuku... mungkin saja ia tidak perlu memberi tahuku, karena, toh, bangunan ini sudah dibeli dengan uangnya. Mungkin juga aku tidak perlu tahu. Banyak sekali kemungkinan dan aku kelewat memikirkan hal tersebut. Aku dan Kim Bum, toh, cuma teman satu rumah. Jadi, kenapa aku harus merasa terganggu kalau dia juga mau melakukan sesuatu untuk rumahnya ini?

“Ayo, kita beres–beres!” kututup pikiran anehku dengan pekerjaan. Aku pun meninggalkan Ok Taecyeon di meja depan untuk pergi ke dapur dan menyiapkan kedai untuk dibuka.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...