Chapter 4
Gagal Kabur
Malam itu Kim Bum masih harus mempertahankan gaya hidup lamanya menjadi "gelandangan". Ia tidur di emperan toko. Makanya, ia terkejut ketika pagi-pagi sekali dibangunkan oleh seorang tukang parkir.
Untuk menghangatkan tenggorokannya, ia menuju ke sebuah kedai kopi yang mulai ramai pengunjung. Ia memesan segelas kopi kental dan roti bakar yang masih hangat. Sambil sesekali mengisap rokoknya, pikirannya terus berputar mencari jalan untuk segera meninggalkan Pulau ini.
Akhirnya, ia memilih Gwangju sebagai tempat yang ideal untuk bersembunyi. Setelah menyeruput habis sisa kopinya, Kim Bum segera beranjak menuju ke Pelabuhan Jirisan dengan naik Bus. Ia merasa lebih aman naik Kapal ketimbang naik pesawat untuk mencapai Gwangju.
Menurut perhitungannya, berbagai urusan di bandara bisa menyulitkannya. Bukan tidak mungkin hal itu justru membawa dia masuk ke perangkap para pemburu hadiah.
Sesampai di Pelabuhan Jirisan, sebuah kapal baru saja meninggalkan dermaga menuju Pelabuhan Seongnam, Gwangju. Mau tak mau ia harus menunggu Kapal berikutnya.
Selama menunggu keberangkatan, hati Kim Bum terus dihantui rasa was-was.
Ia tak sabar ingin segera meninggalkan Pulau Jeju itu.
Untuk membunuh waktu, ia berjalan-jalan di sepanjang pantai. Hamparan air laut yang biru kehijauan, semilir angin pantai, dan panorama alam Pulau Guang Dong yang tampak malu-malu di balik kabut mengurangi ketegangan perasaannya.
Di lidah pantai yang paling menjorok ke laut, ia melihat seseorang sedang asyik memancing. Sesekali pancingnya berhasil menggaet ikan yang lumayan besar.
Seorang pengemis menadahkan tangan, membuyarkan konsentrasi Kim Bum. Tanpa banyak pikir, ia mencabut dua lembar uang 100 Ribu. Pengemis itu sejenak melongo sebelum menerima pemberiannya. Setelah berulang kali mengucapkan terima kasih, peminta-minta itu pun pergi meninggalkan Kim Bum.
Sambil mengisap rokoknya, Kim Bum mengarahkan pandangannya kembali pada pemancing itu. Saat mengganti umpan dan menoleh kepada Kim Bum, ia menyapa dengan senyuman.
Saat itu seorang lelaki bertopi dan berkacamata hitam berjalan mendekati Kim Bum. Tampaknya, ia juga sedang menikmati suasana pantai pagi itu.
"Di sini tenang, ya?" sapa lelaki itu.
Kim Bum menoleh pada lawan bicaranya. "Ya," jawabnya pendek. Setelah menawari permen karet, lelaki itu meninggalkan Kim Bum bersama sang pemancing.
"Banyak ikannya?" iseng-iseng Kim Bum menegur.
"Lumayan! Di tempat ini jarang ada orang memancing, padahal cukup banyak ikannya."
Kapal yang ditunggu-tunggu masih melaju di tengah laut lepas. Rasa bosan bercampur was-was semakin membelitnya. Kim Bum lalu berjalan menuju ke deretan Kedai di depan pintu masuk halaman pelabuhan untuk sarapan.
Ia menyusuri jalan sepanjang pantai. Beberapa perahu nelayan yang sedang ditambatkan tampak bergoyang-goyang dipermainkan ombak tepi pantai.
Ketika hendak menyulut rokok di bibirnya, seseorang tiba-tiba mendekat. Kim Bum terkejut. Rupanya, lelaki itu hanya mau meminjam korek api untuk merokok juga.
Namun, saat ia menyodorkan korek api, tiba-tiba orang tak dikenal itu dengan cepat meringkus tangannya.
"Ada apa ini?"
Lelaki itu diam saja. Sebuah benda keras menekan perutnya.
"Jangan berteriak, kalau tak ingin perutmu ditembus peluru!"
Kim Bum tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali patuh pada perintah lelaki itu. Ia menurut saja ketika didorong masuk ke dalam mobil yang - entah kapan datangnya - tiba-tiba sudah ada di dekatnya.
Setelah masuk ke dalam mobil, lagi-lagi Kim Bum terhenyak. Lelaki bertopi dan berkacamata hitam - yang tadi memberinya permen karet - sudah ada di jok belakang.
Perlahan-lahan lelaki itu melepas topi dan kacamatanya. Sama sekali dia tak menduga, di hadapannya kini muncul seseorang yang selama ini selalu menghantuinya. Lelaki itu Kim Sang Bum.
"Kau tentu sudah tahu siapa aku. Benar 'kan?" tegur Kim Sang Bum asli ramah. Namun, pistol di tangannya bukan pertanda ia punya niat baik.
"Seperti rencana kita 'kan, Bos?" kata lelaki di balik kemudi sembari menoleh ke belakang.
Sekali lagi Kim Bum terkejut, lelaki itu rupanya si tukang mancing di pantai itu.
"Ya, di sana aman."
Kim Bum merasa dirinya bak kelinci, yang dengan mudah terperangkap masuk dalam jebakan pemburu. Nyawanya kini di ujung tanduk. Tak sampai satu jam kemudian, dalam perjalanan menuju entah ke mana, mobil yang membawa Kim Bum menyusuri jalan yang membelah hutan. "Daripada mati konyol, aku harus berbuat sesuatu," katanya dalam hati. Nyalinya yang mulai mengembang menciut seketika, manakala sebuah kendaraan lain menyusul mobil yang ditumpanginya. "Itu pasti komplotan mereka," pikirnya.
Di sebuah jalan yang tampak semakin sepi, Kim Sang Bum memperketat tali yang mengikat kedua tangan Kim Bum. Seperti dikomando, si pengemudi membawa mobil menerobos semak belukar. Kim Bum tampak pasrah dengan moncong pistol yang sepertinya siap menyalak.
Kim Sang Bum tersenyum. Namun, senyuman itu bagi Kim Bum lebih mirip seringai serigala lapar.
"Aku tak mau ada yang mengaku-ngaku sebagai diriku!" hardik Kim Sang Bum sambil menarik picu senjata apinya.
Terdengar suara ledakan memecah keheningan. "Matilah aku!" pikir Kim Bum. Namun, anehnya, ia tidak merasakan apa-apa. Dalam keadaan setengah sadar, ia melihat pistol di tangan Kim Sang Bum terlempar. Rupanya, sebutir timah panas menembus lengan kanan Kim Sang Bum. Dengan lengan yang berdarah, Kim Sang Bum masih mencoba menguasai dirinya.
Tapi, Kim Bum berhasil melepaskan diri.
Sebaliknya, sepucuk moncong pistol lain kini menempel di pelipis Kim Sang Bum. Aparat rupanya sudah merencanakan semuanya.
Sewaktu kawanan Kim Sang Bum digiring ke mobil polisi, kembali Kim Bum dibuat terkejut. Baek Suzy, salah satu pelayan Kim So Eun ada di mobil itu.
"Jadi?" kata Kim Bum terbata-bata.
"Ya, saya Baek Suzy. Cuma sekarang saya sudah kembali ke pekerjaan semula."
"Jadi, Anda ini Polisi?"
Baek Suzy mengangguk.
“Sebenarnya siapa Kim Sang Bum dan Kim So Eun ini??”
“Kim Sang Bum dan Kim So Eun adalah kakak beradik pewaris tahta Shinhwa Group – Perusahaan Elektronik terbesar di Korea. Setelah meninggalnya kedua orang tua Kim Sang Bum dan Kim So Eun dalam kecelakaan pesawat terbang, Kim So Eun lah yang mengurus bisnis keluarga. Kim So Eun sang adik yang mulai sakit-sakitan akhir-akhir ini sudah tak sanggup lagi mengurus Shinhwa Group. Ia ingin sang kakak lah – Kim Sang Bum yang meneruskan usaha keluarga. Tetapi Kim Sang Bum malah memilih dunia hitam, Ia terlibat dalam sindikat penjualan obat terlarang dan senjata api rakitan dengan Mafia Jepang yang membuatnya menjadi buronan Polisi.”
Tamat
Copyright Sweety Qliquers
Copyright Sweety Qliquers
Oh gitu *angguk2
BalasHapuskenapa aku jadi tegang sendiri baca ni FF
Tapi yg jelass aku suka ma ni FF, membuatku terkecoh^^
Author emang daebak!