Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Sabtu, 27 Agustus 2011
Crazy Love (Chapter 7)
“Kenapa aku menstruasi lagi?!"
Suara Kim So Eun begitu kecewa. Seolah-olah kedatangan tamu tak diundang di tengah-tengah kemesraan bulan madu kedua mereka itu melenyapkan sebagian kebahagiaan yang tengah mereka reguk.
"Tidak apa-apa," sahut Kim Bum santai. Meskipun dalam hati dia juga agak kecewa. Masih terbayang jelas kemesraan yang telah mereka nikmati dalam dua malam terakhir ini. Rasanya masih belum puas. Masih ingin menikmati malam-malam selanjutnya. Tapi dia tidak ingin menambah kekecewaan istrinya. "Masih untung bukan kemarin, kan."
"Apa kau tidak merasa kecewa?" desak Kim So Eun dari dalam kamar mandi di kamar hotel mereka di Macau.
"Tidak," Kim Bum melemparkan koran pagi yang sedang dibacanya di ruang duduk. "Yang penting kan kita selalu bersama. Setiap jam. Setiap menit. Setiap detik. Kecuali..." senyum mengembang di bibirnya, "kalau kau sedang shopping."
"Atau kau sedang berjudi." Kim So Eun menyeringai masam.
Kim Bum menghampiri istrinya di kamar mandi. Tepat pada saat Kim So Eun sedang melepaskan bajunya hendak mandi. Dan melihat kemolekan tubuh istrinya, gairah Kim Bum meledak lagi. Diraihnya tubuh Kim So Eun ke dalam pelukannya. Diciuminya lehernya dari belakang. Dan dalam sekejap mereka sama-sama terbakar api yang panas menggelegak.
"Katanya tadi tidak apa-apa," keluh Kim So Eun penuh penyesalan. Menyesal karena tidak dapat menikmati kebersamaan yang begitu mereka dambakan. Tapi lebih menyesal lagi karena tidak dapat memuaskan suaminya.
"Memang tidak apa-apa," Kim Bum memutar tubuh istrinya dalam pelukannya. Lalu mengecup dan mengulum bibirnya dengan mesra. "Begini juga boleh kan."
"Sudah, jangan diteruskan Kim Bum," Kim So Eun berusaha melepaskan dirinya. "Nanti tidak selesai tidak enak."
“Siapa bilang tidak enak?" Kim Bum mencium istrinya sekali lagi. "Berani bilang yang ini tidak enak?"
"Enak," Kim So Eun membalas ciuman suaminya dengan hangat. "Tapi jangan kebanyakan. Sampai sini dulu. Aku mau mandi."
"Aku juga mau mandi."
"Aku mau keramas, Kim Bum!"
"Kebetulan." Kim Bum membawa istrinya ke bawah pancuran. Dibukanya keran air sebesar-besarnya tanpa menghiraukan protes-protes Kim So Eun. Sesudah basah kuyup Kim Bum baru ingat, dia masih memakai baju.
* * *
Kim Bum sudah biasa mengeramasi rambut istrinya. Tetapi entah mengapa, kali ini rasanya, dia tidak ingin menyudahinya. Sampai Kim So Eun yang memintanya.
"Sudah cukup, Kim Bum? Rasanya sebentar lagi aku bersin."
"Kedinginan?" Kim Bum tertawa geli, "Atau takut semua rambutmu rontok di tanganku?"
Kim Bum membelai rambut istrinya yang basah kuyup. Meremas-remasnya dengan penuh kekaguman.
"Rambutmu indah sekali, Sayang," bisiknya sambil mengecup leher istrinya. Tidak peduli busa shampoo bercampur air yang membasahi leher Kim So Eun melekat di bibirnya. "Rasanya aku begitu mencintai rambutmu. Mahkotamu."
"Cuma rambutku?" Kim So Eun pura-pura merajuk. "Kalau aku botak, kasih sayangmu juga ikut luntur?"
"Aku mencintai setiap inci tubuhmu, Kim So Eun," Kim Bum memeluk istrinya dengan mesra. "Setiap inci tubuhmu adalah milikku."
Ketika Kim Bum semakin bergairah mencumbunya, Kim So Eun mengelak sambil tertawa lembut.
"Kim Bum, aku boleh minta time-out?"
Tiba-tiba saja Kim Bum sadar. Mereka sedang di kamar mandi. Bukan di kamar tidur.
"Dingin?" bisiknya lembut.
Kim So Eun mengangguk. Karena dia tidak mampu lagi membuka mulutnya. Bibir Kim Bum telah melekat erat di bibirnya. Sementara air masih mengucur deras ke atas kepala mereka.
* * *
Selesai keramas, Kim Bum juga yang mengeringkan rambut Kim So Eun. Bahkan menyisirinya. Dan menggunting beberapa helai rambut yang mencelat keluar.
Sudah sepuluh tahun mereka melakukannya. Dan mereka sangat menikmatinya. Tetapi pada saat-saat bulan madu seperti ini, saat-saat itu terasa lebih indah.
"Katanya kalau lagi menstruasi tidak boleh keramas ya?" cetus Kim So Eun ketika suaminya sedang menyisiri rambutnya dengan penuh perasaan, seperti pelukis yang sedang menggoreskan kuasnya di atas kanvas.
"Ah, siapa bilang?"
"Nenekku."
"Yang benar saja!" Kim Bum tertawa geli. "Dokter gigi masih percaya yang seperti itu! Belajar fisiologi tidak?"
*) Fisiologi adalah turunan biologi yang mempelajari bagaimana kehidupan berfungsi secara fisik dan kimiawi. Istilah ini dibentuk dari kata Yunani Kuna φύσις, physis, "asal-usul" atau "hakikat", dan λογία, logia, "kajian". Fisiologi menggunakan berbagai metode ilmiah untuk mempelajari biomolekul, sel, jaringan, organ, sistem organ, dan organisme secara keseluruhan menjalankan fungsi fisik dan kimiawinya untuk mendukung kehidupan.
Berdasarkan objek kajiannya dikenal fisiologi manusia, fisiologi tumbuhan, dan fisiologi hewan, meskipun prinsip fisiologi bersifat universal, tidak bergantung pada jenis organisme yang dipelajari. Sebagai contoh, apa yang dipelajari pada fisiologi sel khamir dapat pula diterapkan sebagian atau seluruhnya pada sel manusia.
Fisiologi hewan bermula dari metode dan peralatan yang digunakan dalam pembelajaran fisiologi manusia yang kemudian meluas pada spesies hewan selain manusia. Fisiologi tumbuhan banyak menggunakan teknik dari kedua bidang ini.
Cakupan subjek dari fisiologi hewan adalah semua makhluk hidup. Banyaknya subjek menyebabkan penelitian di bidang fisiologi hewan lebih terkonsentrasi pada pemahaman bagaimana ciri fisiologis berubah sepanjang sejarah evolusi hewan.
Ilmu-ilmu lain telah berkembang dari fisiologi mengingat ilmu ini sudah cukup tua. Beberapa turunan yang penting adalah biokimia, biofisika, biomekanika, genetika sel, farmakologi, dan ekofisiologi. Perkembangan biologi molekuler memengaruhi arah kajian fisiologi.
"Dulu aku paling benci pelajaran itu."
"Kenapa? Dosennya killer? Ngomongnya cadel jadi kuliahnya tidak jelas?"
"Aku paling takut disuruh memotong kodok. Kelinci. Kera."
Kim Bum tertawa geli.
"Seharusnya dari dulu kau kenal aku! Biar aku yang-jadi tukang jagalnya!"
"Tapi belum terlambat mengenalmu sekarang juga, kan?" Kim So Eun memutar kepalanya dan menengadah. Matanya yang bersinar-sinar memancarkan kebahagiaan menatap suaminya dengan penuh kasih sayang.
"Tidak ada kata terlambat," Kim Bum menunduk dan mengecup bibir istrinya. "Karena waktu sekarang milik kita."
Ketika Kim So Eun merasa kecupan suaminya semakin kerap dan panas, disingkirkannya bibirnya sambil tertawa lembut. Teruskan menyisirnya saja ya," pintanya separuh bergurau. "Atau aku harus cari kapster lain. Karena yang ini ganas sekali!"
* * *
Ketika tegak di antara bumi dan langit di tepi tebing terjal Grand Canyon of Twilight, Kim So Eun kelihatan begitu terbius oleh kemegahan alam yang tengah disaksikannya. Meskipun bukan baru pertama kali berada di sana, dia Selalu terpesona menikmati panorama yang demikian menggetarkan sukma.
"Mahabesar Tuhan yang menciptakan suguhan alam yang sedahsyat ini," bisiknya dalam balutan kekaguman yang khidmat.
Kim Bum tidak menanggapi cetusan kekaguman istrinya. Tidak menyangkal. Tidak juga mengiyakan.
Meskipun dalam hati dia berujar sendiri, Yang mengikis tebing sampai terbentuk jurang yang begini mengagumkan adalah Sungai Twilight yang mengalir di bawah sana, Kim So Eun! Kepada sungai itulah kekagumanmu harus kau tumpahkan! Dialah ahli pahat yang mengagumkan itu. Yang selama jutaan tahun memahat dinding jurang ini.
Tetapi Kim Bum memang tidak pernah membantah kepercayaan Kim So Eun yang demikian dalam kepada Tuhan-nya. Sejak sebelum menikah pun dia sudah tahu, Kim So Eun teramat religius. "Dia bukan gadis yang cocok untukmu!" kata Jung So Min dulu. "Dia alim. Religius. Tempatnya bukan di tong sampah dunia seperti kau, Kim Bum!"
Tentu saja Jung So Min kenal sekali akhlak sahabatnya. Dibesarkan dalam keluarga yang berantakan, ibunya kabur dengan lelaki lain, ayahnya seperti menikah lagi dengan pekerjaannya, Kim Bum tumbuh menjadi pemuda yang liar. Dia mengecap kebebasan seperti mengecap rokoknya yang pertama, yang diisapnya waktu berumur dua belas tahun.
Seperti ayahnya yang tidak pernah awet dengan seorang wanita pun, Kim Bum juga tidak betah dengan seorang gadis saja. Seperti kumbang, dia terbang dari satu kelopak bunga ke kelopak yang lain.
Bedanya, Kim Bum mendadak jadi jinak setelah bertemu dengan Kim So Eun. Sementara ayahnya masih sibuk keluar-masuk hutan. Tidak peduli usianya sudah merambah ke kepala lima. Dia masih tetap seliar tiga puluh tahun yang lalu. Memangsa semua yang lewat di depannya. Dan meninggalkannya untuk memburu yang lain.
Tidak heran kalau Kim Bum tidak percaya pada apa yang disebut Kim So Eun "Tuhan". Semenjak kecil tidak ada yang mengajarinya agama. Tidak ada yang menyuruhnya berdoa.
Buat apa bicara dengan sesuatu yang tidak kelihatan, katanya waktu itu. Waktu Kim So Eun mengajarinya berdoa.
Sepuluh tahun menikah, Kim So Eun selalu berusaha mendidik suaminya untuk lebih mengenal Tuhan. Tetapi meskipun tidak pernah membantah, Kim Bum tahu, dia belum berubah.
Jauh di dalam hatinya, masih bertengger sebaris tanya, benarkah Tuhan ada? Benarkah Dia bukan cuma ilusi manusia yang selalu mencari jawab atas semua misteri yang belum diketahuinya? Benarkah Tuhan bukan sekadar kotak ajaib tempat semua surat permohonan diposkan?
"Suatu hari nanti aku ingin melayang seperti burung, Kim Bum," desah Kim So Eun sambil menatap jauh ke dasar jurang. "Terbang di antara celah-celah tebing yang curam, melayang menyusun sungai yang mengalir berkelok-kelok..."
"Tidak usah menunggu lama-lama," potong Kim Bum. Entah mengapa secercah perasaan tidak enak mendadak menerpa hatinya. Rasanya dia tidak ingin mendengar lagi kelanjutan kata-kata Kim So Eun "Sekarang juga kubawa kau terbang."
Hari itu Kim Bum memang membawa istrinya terbang dengan pesawat kecil yang melayang-layang bagai burung di atas Grand Canyon of Twilight. Dia juga membawa Kim So Eun menonton film tiga dimensi yang menyuguhkan kemegahan alam yang demikian mempesona. Menonton film itu seperti membiarkan diri mereka ikut merasakan ganasnya Sungai Twilight tatkala rafting dalam sebuah sampan. Ikut melayang seperti burung ketika pesawat mereka berkelok-kelok tajam terbang menyusuri lekuk sempit di antara terjalnya tebing. Bahkan turut mencicipi nuansa menegangkan ketika mereka serasa ikut mendaki jalan setapak yang licin dan curam menuju ke bibir jurang.
Beberapa kali karena ngerinya Kim So Eun mendesah sambil memeluk suaminya. Kim Bum merangkul bahu istrinya sambil sekali-sekali mengelus dan meremas punggungnya. Sementara tangannya yang lain menggenggam tangan Kim So Eun. Tangan itu terasa dingin dan basah berkeringat.
"Menyeramkan, kan?" ejek Kim Bum setengah bergurau ketika mereka keluar dari teater yang menyuguhkan film itu. "Siapa suruh mau jadi burung!"
Hari yang melelahkan itu menjadi hari yang sangat berkesan bagi mereka. Begitu banyak kenangan indah yang melekat di sanubari. Duduk-duduk di tepi tebing sambil menunggu matahari terbenam. Bercanda sambil saling colek. Berpelukan sambil melangkah. Kadang-kadang berhenti untuk saling melekatkan bibir.
"Sekalian minta lipgios-mu supaya bibirku tidak kering," gurau Kim Bum setiap kali dia mencium istrinya.
"Dasar!" Kim So Eun pura-pura mengeluh. "Disuruh pakai sendiri tidak mau!"
"Untuk apa?" Kim Bum tersenyum lebar. "Aku tahu cara yang lebih asyik!"
Ketika sedang melangkah sambil bergandengan tangan di jalan setapak di bibir tebing, tiba-tiba Kim So Eun membungkuk. Memungut sebuah batu hitam sebesar kelereng. Dibersihkannya batu itu dengan bajunya. Digosoknya sampai mengkilat.
"Lihat, Kim Bum," cetusnya gembira. Seperti anak kecil menemukan mainan baru. "Batu ini bagus ya! Mungkin umurnya sudah ribuan tahun."
"Aku tahu batu yang lebih bagus," sahur Kim Bum sambil tersenyum, "Umurnya juga sudah ribuan tahun."
Keesokan harinya di Macau, Kim Bum membelikan istrinya seuntai kalung emas dengan bandul berlian. Dikenakannya kalung itu di leher istrinya. Kemudian dikecupnya lehernya dengan penuh kasih sayang..
"Benar kan kataku," gurau Kim Bum di telinga istrinya. "Aku bisa memberimu batu yang jauh lebih bagus?"
"Terima kasih, Kim Bun." Kim So Eun menggeliat sambil memutar tubuhnya. Dan membalas ciuman suaminya yang tegak di belakangnya. "Kalung ini sangat bagus. Tapi aku boleh menyimpan batu hitam itu, ya? Kenang-kenangan kalau salah seorang dari kita sudah tidak ada."
"Kau ini bicara apa!" tukas Kim Bum sambil mencubit pipi istrinya dengan gemas. "Awas kalau berani bicara seperti itu lagi! Ku-cubit pantatmu!"
Kim So Eun tertawa geli menyambuti kelakar suaminya.
"Maaf, aku kelepasan! Seperti ada yang menggoyangkan lidahku! Kata-katanya meluncur begitu saja!"
"Bohong! Kau cari alasan saja supaya boleh menyimpan batu kali itu!"
Mereka masih bergurau terus. Tetapi sampai mereka masuk ke kamar pun, perasaan tidak enak itu masih juga tersisa di sudut hati Kim Bum. Dari Macau Kim Bum membawa istrinya ke Guang Zhou. Mereka bisa naik pesawat terbang. Tetapi Kim Bum memilih naik bus umum. Karena alat transportasi itulah yang mereka pilih sepuluh tahun yang lalu. Mereka begitu gembira ketika setelah berpanas-panas menunggu bus di halaman sebuah hotel, mereka dapat duduk berduaan di dalam bus yang sejuk ber-AC. Hampir lima jam terguncang-guncang di jalanan membuat perjalanan mereka semakin mengasyikkan.
Lebih-lebih ketika bus itu berhenti di kedai cepat saji dan Kim Bum membeli sebuah hotdog yang mereka santap berdua. Persis seperti dulu. Nikmat. Hangat. Mesra.
"Aku ingin menikmati saat-saat seperti ini sepuluh tahun lagi," desah Kim So Eun ketika Kim Bum menyeka sisa-sisa mustard yang menodai sudut bibirnya.
"Baiklah," Kim Bum menyeringai lebar sambil menjilati sisa mustard di ujung jarinya. "Begitu pulang aku pesan tiket perjalanan untuk sepuluh tahun yang akan datang! Sekalian bayar lunas. Siapa tahu sepuluh tahun lagi sudah tidak ada orang sakit!"
"Kau janji kita akan ke sini lagi pada ulang tahun perkawinan kita yang kedua puluh?"
"Aku janji kita akan kemari setiap tahun!"
"Benarkah?" Kim So Eun menatap suaminya sambil tersenyum.
Kim Bum membalas tatapan istrinya dengan hangat. Bukan main indahnya mata wanita yang sudah sepuluh tahun menjadi belahan jiwanya ini. Setiap kali menatap mata itu, Kim Bum begitu mengaguminya seperti menatap indahnya bintang-bintang di langit. Mata itu bening dan teduh menyejukkan seperti air kolam yang baru dikuras. Memang. Dalam usia tiga puluh lima tahun, Kim So Eun masih menyuguhkan kecantikan yang luar biasa. Kecantikan yang terasa abadi biarpun dua belas tahun telah berlalu sejak Kim Bum pertama kali melihatnya.
Hidungnya masih sebagus dulu. Pipinya masih semulus bayi. Bahkan bibirnya yang melekuk manis masih membangkitkan keinginan Kim Bum untuk memagutnya setiap ada kesempatan.
“Aku mencintaimu, Sayang," bisik Kim Bum sambil memeluk dan mencium bibir istrinya, “Rasanya… rasa cintaku semakin bertambah setiap detik. Setiap menit. Setiap jam. Setiap hari...." Dan mereka hampir ketinggalan bus.
* * *
Cyanblue Land sudah jauh berubah dibandingkan ketika mereka pertama kali ke sana sepuluh tahun yang lalu. Hampir tak ada tempat yang membangkitkan nostalgia. Semuanya sudah berubah. Tempat-tempatnya. Atraksi-atraksinya.
Mula-mula tentu saja mereka kecewa. Tetapi semakin siang, kekecewaan itu semakin pupus. Begitu banyak atraksi baru yang lucu dan menegangkan. Rasanya tidak bosan-bosannya mereka keluar-masuk studio. Bahkan ketika sore itu mereka basah kuyup disemprot slang air tatkala menikmati pertunjukan air, semua kekecewaan itu lenyap seketika.
Kim Bum dan Kim So Eun dapat menikmati wisata yang sangat berkesan sehari penuh walaupun mereka terpaksa membeli T-shirt karena baju mereka basah kuyup.
"Kim Bum, yang basah bukan cuma bajuku saja..." keluh Kim So Eun setelah mengenakan Tshirt barunya. "Basahnya sampai ke dalam...."
"Buka saja," sahut Kim Bum seenaknya. "Di sini tidak ada yang peduli kau pakai Bra atau tidak."
"Kau rela orang-orang melihat..."
"Tidak apa," potong Kim Bum sambil menyeringai bangga. "Masih bagus kan. Tidak membuat malu yang punya."
"Dasar kau ini!" Kim So Eun memukul bahu suaminya dengan gemas. "Porno!"
"Siapa yang porno?" Kim Bum tertawa geli. "Siapa yang..."
"Sudah! Jangan mengejek terus!"
"Kau semakin cantik kalau ngambek seperti itu!" Kim Bum mencolek pipi istrinya. "Sering-sering ngambek ya? Agar suamimu ini semakin saying padamu!"
Kim So Eun pura-pura menampar pipi suaminya sambil tersenyum manis.
"Kalau aku tahu kau jahat seperti ini..."
"Kau mau mencari penggantinya?"
"Boleh?"
"Pernah lihat rahang patah?”
"Kau lupa aku dokter gigi?"
"Kau lupa aku karateka ban hitam?"
Mereka sama-sama tertawa renyah. Udara yang panas menyengat tak terasa menyiksa. Lebih-lebih ketika percikan air membasahi mereka di sana-sini.
"Rasanya aku ingin semuanya ini tidak pernah berakhir, Kim Bum," desah Kim So Eun manja.
"Aku janji cinta kita tidak pernah berakhir, Kim So Eun," sahut Kim Bum mantap. "Dia hadir di setiap helaan napas kita."
Bersambung…
Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
AQ kument yg ini duluuuuu...
BalasHapusHmmmmmmmm...kereeeeeeeennn..Rada yadong jg..hahahhaha
Uiiiiiiii..Kok perasaan ku ikuD gak enaK ya???
AuthoooooooRRR dikaw mau buat Dead Character yoH???
aaaaaaaaaaaa Tidaaaaaaaax,, air mata-Q bisa kemarau gara2 pemborosan..
AuThoooooor...Cinta gilax laH
kak, ktanya mw ada post baru tgl 5, kok skrg blm ada.. aku tunggu loh kak...
BalasHapus_febi_