Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Senin, 22 Agustus 2011

Winter Love (Chapter 8)




Kim So Eun melirik kalender di meja kerjanya. Tanggal 24 Desember. Ia mendesah pelan, lalu mengalihkan perhatiannya ke tumpukan buku yang baru dikembalikan hari ini. Ia harus mengembalikan semua buku itu ke rak masing-masing. Tetapi ia merasa tidak bertenaga. Padahal hari ini seharusnya ia merasa bersemangat. Nanti malam ia akan pergi makan malam dengan Jung Yong Hwa, lalu mereka akan pergi menonton pertunjukan balet yang sangat ingin ditontonnya. Ya, seharusnya hari ini ia merasa senang.

Semua ini gara-gara Kim Bum, pikir Kim So Eun geram. Ada di mana Kim Bum sekarang? Sudah tiga hari terakhir ini Kim So Eun tidak bertemu dengannya. Terakhir kali mereka bertemu adalah malam itu di apartemen Kim Bum, ketika Kim So Eun bercerita Jung Yong Hwa mengajaknya pergi menonton pertunjukan balet. Setelah itu Kim So Eun tidak melihatnya lagi.

Tentu saja Kim So Eun sudah berusaha menghubungi ponsel Kim Bum, tetapi benda itu ternyata tidak diaktifkan. Awalnya ia merasa kesal karena Kim Bum pergi tanpa berkata apa-apa. Kemudian kekesalannya berubah menjadi kecemasan. Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Kim Bum? Bagaimana kalau... Stop! Ia tidak sanggup berpikir jauh sampai pada kemungkinan kalau Kim Bum bisa terluka atau semacamnya.

Sebaiknya ia berpikir Kim Bum terlalu sibuk untuk meneleponnya. Ya, itu lebih baik.

Dengan tekad baru, Kim So Eun bangkit dan berjalan ke arah troli berisi buku-buku yang harus dikembalikan ke rak. Sebaiknya ia melakukan tugasnya sebelum atasannya memutuskan untuk memecatnya karena kedapatan melamun sepanjang hari. Setelah itu, ia akan pulang dan bersiap-siap untuk kencannya malam ini. Ia tidak akan memikirkan tetangganya yang menjengkelkan itu lagi selama sisa hari ini.

* * *

Kim Bum memperbaiki letak tali ransel yang meluncur dari bahu kanannya tanpa memperlambat langkah. Sesekali ia menghembuskan napas perlahan. Sebenarnya ia berencana melewatkan Hari Natal bersama kakeknya di Gwangju, tetapi ternyata kakeknya akan terbang ke New York malam ini. Lalu apa yang harus dilakukannya sekarang?

Kelihatannya ia memang harus melewatkan malam Natal sendirian. Menyedihkan sekali.

“Kim Bum.”

Mendengar namanya dipanggil, Kim Bum mendongak dan menoleh ke belakang.

Alisnya terangkat begitu melihat siapa yang memanggilnya. “Oh, Jung Yong Hwa.”

Jung Yong Hwa tersenyum cerah dan berhenti tepat di depan Kim Bum. “Kebetulan sekali bertemu denganmu di sini. Aku sudah berusaha meneleponmu berkali-kali.”

Ya, kebetulan sekali, pikir Kim Bum dalam hati. Kenapa ia harus kebetulan bertemu dengan Jung Yong Hwa di sini? Ia melihat berkeliling dan menyadari tempat ini tidak jauh dari rumah sakit tempat Jung Yong Hwa bekerja. “Maaf,” sahutnya. “Ponselku rusak. Ada apa kau mencariku?”

“Aku hanya ingin memberitahumu kalau reuni sekolah kita diadakan tanggal sepuluh Januari nanti,” kata Jung Yong Hwa. Ia melihat ransel besar Kim Bum dan bertanya, “Kau mau ke mana?”

Kim Bum melirik ranselnya dan tersenyum. “Ah, tidak. Aku justru baru kembali dari luar kota. Menjenguk kakekku,” jelasnya, lalu memandang pakaian santai temannya dan bertanya, “Kau sendiri tidak bekerja hari ini?”

“Shift-ku sudah selesai,” sahut Jung Yong Hwa sambil tersenyum lebar. “Sekarang aku akan pulang dan bersiap-siap untuk malam ini.”

Ah, benar juga... Jung Yong Hwa akan pergi dengan Kim So Eun malam ini. Pikiran itu membuat kening Kim Bum berkerut samar.

Tiba-tiba ponsel Jung Yong Hwa berdering. “Maaf,” katanya kepada Kim Bum sambil mengeluarkan ponsel dan berjalan menjauh dari Kim Bum.

Kim Bum masih sibuk dengan pikirannya. Bagaimana kalau ia pergi juga ke pertunjukan balet itu dan menemui mereka di sana? Kalau mereka bertanya kenapa ia ada di sana, ia bisa beralasan bahwa... Tidak, tidak. Kim So Eun sudah menantikan saat-saat seperti ini dengan Jung Yong Hwa dan Kim Bum tidak tega merusak kegembiraan gadis itu.

Jung Yong Hwa menghampirinya kembali, membuyarkan lamunannya. Ia menoleh menatap temannya yang sedang menarik napas panjang. “Ada masalah?” tanya Kim Bum.

“Itu tadi telepon dari rumah sakit,” sahut Jung Yong Hwa sambil menggeleng pelan dan menghembuskan napas keras. “Kim So Eun tidak akan suka ini.”

* * *

Kim So Eun menutup ponsel dan berkacak pinggang sambil memandangi pakaian yang berserakan di tempat tidurnya. Sepanjang sore ia sudah berusaha memilih pakaian yang akan dikenakannya malam ini, dan tepat ketika ia sudah memilih pakaian yang cocok, Jung Yong Hwa meneleponnya untuk membatalkan janji.

Ia kecewa, tentu saja, tapi ia tidak bisa menyalahkan laki-laki itu. Jung Yong Hwa tiba-tiba dipanggil kembali ke rumah sakit karena salah seorang pasiennya mendadak kritis dan harus segera menjalani operasi. Kim So Eun tidak mungkin menunjukkan kekecewaannya kepada Jung Yong Hwa kalau hidup dan mati seseorang sedang dipertaruhkan di sini.

Sambil mendesah berat, Kim So Eun mulai membereskan pakaian-pakaiannya. Apakah ini artinya ia akan melewatkan malam Natal ini sendirian? Aduh, menyedihkan sekali.

Yoon Eun Hye dan Lee Ki Kwang sudah pasti akan merayakan Natal bersama teman-teman mereka. Sedangkan Kim Bum menghilang entah ke mana. Memikirkan tetangganya itu lagi-lagi membuat Kim So Eun khawatir. Di mana Kim Bum?

* * *

Kim Bum hampir tidak mempercayai telinganya sendiri ketika Jung Yong Hwa memberitahunya bahwa ada seorang pasiennya tiba-tiba kritis sehingga ia harus kembali ke rumah sakit dan membatalkan kencannya malam ini. Kim Bum tiba-tiba tidak bisa menahan semangatnya. Ia meninggalkan Jung Yong Hwa ketika temannya itu sedang menelepon Kim So Eun untuk meminta maaf, dan cepat-cepat pulang.

Kini ia berdiri di depan pintu apartemen Kim So Eun. Napasnya agak terengah. Ia tidak tahu apakah gadis itu ada di rumah atau tidak. Rasanya aneh kalau sekarang ia tiba-tiba mengetuk pintu apartemen Kim So Eun. Ia memang sengaja pergi ke Gwangju begitu saja tanpa berkata apa-apa pada Kim So Eun. Waktu itu ia sedang kesal, tetapi kemudian ia agak menyesali sikapnya yang kekanak-kanakan. Ketika ia ingin menelepon Kim So Eun, ia mendapati kucing peliharaan kakeknya mendorong-dorong ponselnya sampai masuk ke kolam ikan.

Akhirnya setelah berpikir beberapa saat, Kim Bum mendapat idr. Ia mengeluarkan kunci apartemennya sendiri dari saku jaket dengan berisik, lalu berjalan ke pintu apartemen 201. Ia memasukkan kunci ke lubang kunci dan memutarnya dengan suara keras. Ia berhenti sejenak, memasang telinga. Terdengar bunyi samar dari balik pintu apartemen 202, bunyi langkah kaki tergesa-gesa yang semakin jelas. Kim Bum pun tersenyum. Satu detik kemudian terdengar bunyi pintu dibuka dan...

“Kim Bum?”

Sambil memasang wajah polos tak berdosa, Kim Bum menoleh dan melihat Kim So Eun berdiri di ambang pintu apartemennya. “Oh, Kim So Eun. Hai.”

Awalnya gadis itu diam saja, hanya menatap Kim Bum dengan matanya yang bulat.

Kim Bum berputar menatapnya ketika Kim So Eun tidak menjawab. “Kim So Eun, ada apa denganmu?”

Kali ini Kim So Eun mendengus. “Ada apa denganku?” ia balas bertanya dengan nada rendah. “Ada apa denganku?!”

Kim Bum mengangkat alis. O-oh, gadis itu marah.

“Kau masih berani bertanya ada apa denganku?” Suara Kim So Eun mulai meninggi. Ia berderap ke arah Kim Bum yang masih kebingungan dan berdiri tepat di hadapannya sambil berkacak pinggang. “Ke mana saja kau selama ini? Menghilang begitu saja tanpa bilang-bilang. Bahkan ponsel juga tidak bisa dihubungi. Kau tahu pikiranku suka melantur ke mana-mana. Aku mengira kau tergeletak tidak sadarkan diri di selokan entah di mana karena baru dirampok. Atau kau bisa saja mengalami kecelakaan lalu lintas dan sekarang sedang koma. Atau... atau... Kenapa senyum-senyum?”

Gadis itu mengkhawatirkannya, Kim Bum yakin akan hal itu. Karenanya ia tidak bisa menahan diri. “Kau tidak kedinginan?” tanyanya polos.

Kim So Eun menunduk memandangi sweternya dan berdeham. “Tidak juga,” balasnya sambil menyilangkan tangan di depan dada.

Kim Bum menggerakkan kepalanya sedikit ke arah apartemennya. “Masuklah,” katanya, “lalu kau boleh melanjutkan omelanmu. Bagaimana?”

Sambil menggerutu tidak jelas, Kim So Eun mengikuti Kim Bum masuk ke apartemennya dan mengenakan sandal Hello Kitty-nya seperti biasa. “Ke mana saja kau tiga hari ini?” tanya Kim So Eun lagi sementara Kim Bum melemparkan ranselnya ke sofa dan menyalakan pemanas ruangan.

“Gwangju,” sahut Kim Bum sambil berjalan ke kamar tidurnya. Suaranya terdengar samar ketika ia berbicara dari kamar. “Mengunjungi kakekku.”

“Gwangju?” tanya Kim So Eun ragu. Lalu bertanya lagi,” Kenapa ponselmu dimatikan?”

Kim Bum keluar dari kamar. Jaket tebal dan syalnya sudah dilepas. “Ponselku rusak. Sekarang sedang diperbaiki,” jawabnya singkat. Ia merebahkan dirinya ke sofa dan menyalakan televisi dengan remote control, kemudian ia menoleh ke arah Kim So Eun yang masih berdiri di samping sofa. “Kenapa meneleponku?”

“Tidak apa-apa,” sahut Kim So Eun cepat. “Untuk memastikan kau baik-baik saja.” Ia diam sesaat, lalu menambahkan, “Karena kau pergi tanpa bilang-bilang padaku.”

Kim Bum menatap gadis itu dengan alis terangkat. “Aku tidak tahu bahwa aku harus memberitahumu ke mana aku pergi. Sejak kapan kita pacaran?”

“Itu...” Kim So Eun membuka mulut, tapi cepat-cepat menutupnya kembali. Ia tidak bisa menemukan balasan yang tepat. Ia hanya bisa menatap Kim Bum yang tersenyum lebar dan mendecakkan lidah. “Lalu...,” ia berdeham, “kenapa kau pulang secepat ini? Kenapa tidak merayakan Natal bersama kakekmu?”

Kim Bum menghembuskan napas panjang dan memasang tampang sedih. “Aku juga ingin menghabiskan Natal di sana. Di sini sepi sekali, tidak ada yang menemaniku. Kau juga akan pergi kencan dengan dokter itu. Tapi ternyata kakekku akan berangkat ke New York malam ini.” Ia melirik Kim So Eun sekilas. “Ngomong-ngomong, kenapa kau belum bersiap-siap?” tanyanya, pura-pura tidak tahu-menahu soal kencan Kim So Eun yang dibatalkan.

“Kencannya batal,” gumam Kim So Eun dan menjatuhkan pantatnya di sofa di samping Kim Bum. Lengannya masih disilang di depan dada. Ia terlihat kesal. “Ada pasien yang sedang gawat, jadi dia harus tetap di rumah sakit.”

Kim Bum hanya bisa bergumam, “Oh...” dan mengangguk-angguk.

Kim So Eun menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan keras. “Ini akan menjadi Natal paling menyedihkan dalam hidupku,” keluhnya lesu. “Semua orang pergi dengan pacar mereka, bersenang-senang menyambut Natal. Lalu aku?” Ia mengerang kesal.

Kim Bum mengusap rahangnya, lalu berkata, “Kau mau pergi kencan denganku malam ini?”

Kepala Kim So Eun berputar cepat ke arah Kim Bum. “Apa?”

“Kau mau pergi kencan denganku malam ini?” ulang Kim Bum. “Bukankah kita sama-sama tidak punya acara?”

“Kencan?”

Kim Bum mengangkat bahu. “Ya. Kau tahu, pergi makan malam dan semacamnya. Itu dinamakan kencan, bukan?”

Kim So Eun tersenyum lebar. Setidaknya ia tidak perlu melewatkan malam Natal menonton televisi sendirian di apartemennya. “Baiklah!! Kita akan ke mana?” serunya penuh semangat.

“Ah, itu akan menjadi kejutan,” kata Kim Bum sambil menyunggingkan senyum lebar yang memikat itu. “Sekarang kau hanya perlu bersiap-siap. Satu jam lagi aku akan menjemputmu.”

Kim So Eun tertawa. “Menjemput,” katanya. “Kau membuatnya terdengar begitu romantis, padahal aku hanya tinggal di seberang apartemenmu. Kau hanya perlu berjalan lima langkah dari pintumu ke pintuku.” Ia berdiri dari sofa. “Tapi aku suka laki-laki yang sopan dan penuh perhatian seperti itu.”

“Kim So Eun.” Kim So Eun mendengar Kim Bum memanggilnya ketika ia mencapai pintu depan apartemen laki-laki itu.

Kim So Eun berputar. “Hm?”

Kim Bum berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana jinsnya. “Berhati-hatilah,” katanya dengan nada serius, namun matanya tersenyum.

“Hati-hati? Terhadap apa?” tanya Kim So Eun was-was.

Senyum lebar tersungging di bibir Kim Bum. “Setelah kencan ini, kau mungkin akan jatuh cinta padaku.”

Kim So Eun mengangkat alis. Jelas mengira Kim Bum hanya bercanda, akhirnya ia mendengus pelan dan berkata, “Tenang saja. Tidak akan terjadi.”

Bersambung…

Chapter 7
Chapter 6
Chapter 5
Chapter 4
Chapter 3
Chapter 2
Chapter 1

Prolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...