Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Selasa, 23 Agustus 2011
Winter Love (Chapter 12)
“Kau masih belum mendapat kabar darinya?” tanya Yoon Eun Hye di ujung sana.
“Belum,” sahut Kim So Eun dengan nada cemas. Ia memindahkan ponsel dari telinga kiri ke telinga kanan. “Kalau Eonni? Eonni sempat bertemu dengannya sebelum Eonni berangkat ke Busan?”
“Tidak, aku tidak bertemu dengannya,” sahut Yoon Eun Hye. “Tunggu sebentar, biar kutanyakan pada Lee Ki Kwang.” Yoon Eun Hye menjauh dari telepon dan berseru memanggil adiknya. “Lee Ki Kwang, apakah kau bertemu dengan Kim Bum sebelum kita datang ke sini?”
Kim So Eun bisa mendengar suara Lee Ki Kwang di latar belakang, tetapi tidak bisa menangkap kata-katanya.
“Lee Ki Kwang juga tidak bertemu dengannya,” kata Yoon Eun Hye kepada Kim So Eun.
Kim So Eun menunduk menatap jari kakinya. “Oh, begitu.”
“Kau mengkhawatirkannya?” tanya Yoon Eun Hye tiba-tiba.
Kim So Eun menarik napas dan mengeluarkannya dengan perlahan. “Dia berjanji meneleponku begitu aku tiba di Incheon Hari Natal lalu,” sahut Kim So Eun. Suaranya terdengar agak frustrasi. “Sekarang sudah lewat seminggu, Eonni, dan dia masih belum meneleponku. Aku juga tidak bisa menghubungi ponselnya. Aku bahkan menelepon So Yi Hyun Eonni untuk bertanya mengenai Kim Bum.”
“Lalu apa kata So Yi Hyun Eonni?”
“So Yi Hyun Eonni sama sekali tidak bertemu dengannya lagi sejak Hari Natal, ketika Kim Bum mengantarku ke stasiun.” Kim So Eun menelan ludah, dan berkata dengan suara lirih, “Eonni, aku takut sesuatu yang buruk terjadi padanya.”
“Jangan berpikir sembarangan,” kata Yoon Eun Hye dengan nada riang, berusaha menenangkan Kim So Eun. “Aku yakin dia hanya sedang pergi berlibur ke suatu tempat. Mungkin pergi bermain ski. Sekarang ini musim liburan. Sudah tentu Kim Bum ingin bersenang-senang. Malah, dia mungkin terlalu bersenang-senang sampai sudah lupa padamu.”
Setelah apa yang dikatakannya pada Kim So Eun di stasiun waktu itu? Kim So Eun memaksakan tawa kecil. “Ya, mungkin juga.”
“Tenang saja,” kata Yoon Eun Hye lagi. “Katanya dia akan menjemputmu di stasiun besok, bukan?”
“Memang,” gumam Kim So Eun. “Kapan Eonni pulang ke Seoul?”
“Lusa,” sahut Yoon Eun Hye. “Kim So Eun, kau tidak perlu terlalu cemas.”
“Hmm.”
“Kau terdengar seperti istri muda cemas setengah mati karena suaminya belum pulang dari kantor.”
“Aku tidak begitu.”
“Ngomong-ngomong, kau belum bercerita padaku tentang kencan kalian malam Natal waktu itu. Nah, mulailah bercerita.”
Setengah jam kemudian Kim So Eun menutup ponsel dan kembali melamun. Ia tidak menyadari ibunya masuk ke kamarnya dengan membawa sepiring apel yang sudah dipotong.
“Kenapa melamun lagi?” tanya ibunya dalam bahasa Jepang.
Kim So Eun tersentak dan menoleh. “Oh, Ibu. Tidak ada apa-apa.” Ia juga berbicara dalam bahasa Jepang, seperti yang selalu dilakukannya dengan ibunya.
Ibunya meletakkan piring buah di meja di hadapan Kim So Eun dan duduk di ujung tempat tidur. “Temanmu belum menelepon?”
Kim So Eun menatap ibunya dengan alis terangkat. “Kenapa Ibu pikir aku sedang menunggu telepon?”
Ibunya balas menatap sambil tersenyum. “Kau anak Ibu. Sudah pasti Ibu tahu apa yang sedang kau pikirkan,” kata ibunya.
Kim So Eun tertawa pelan. Ibunya memang serba tahu, selalu begitu. Ia tidak pernah bisa menyembunyikan apa pun dari mata ibunya yang tajam.
“Jadi,” lanjut ibunya. “Laki-laki itu belum menelepon?”
Kim So Eun kembali menatap ibunya dengan kaget. Baiklah, ia tidak akan bertanya bagaimana ibunya bisa tahu ia sedang menunggu telepon dari seorang laki-laki. “Dia hanya... tetangga, Bu,” kata Kim So Eun pelan.
Ibunya mengangkat alis. “Ibu tidak bilang apa-apa,” kata ibu Kim So Eun lembut.
“Tetangga atau bukan, teman atau bukan, Ibu sama sekali tidak tahu. Tapi Ibu tahu anak Ibu selalu memikirkan orang ini.”
Kim So Eun menunduk. Ia menghela napas dalam-dalam. “Dia belum menelepon,” katanya. Lalu ia mengangkat wajah dan menatap ibunya. “Kedengarannya memang konyol, tapi aku khawatir. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku bisa merasa seperti ini. Seperti kata Yoon Eun Hye Eonni, mungkin saja dia sedang pergi berlibur ke tempat lain. Pergi main ski. Pada musim dingin seperti ini memang tidak aneh kan kalau pergi main ski?”
Ibunya mengangkat bahu. “Mungkin saja.”
Mata Kim So Eun menyipit menatap piring buahnya. Ia terdiam sejenak, lalu mendecakkan lidah dengan kesal. “Dasar orang bodoh itu! Kenapa membuat orang gelisah seperti ini? Merusak liburan orang saja.” Ia meraih garpu dan menusuk sepotong apel dengan ganas. “Lihat saja besok. Kalau Kim So Eun bertemu dengannya besok, dia pasti... Urgh! Membuatku kesal saja!”
* * *
Song Seung Hun berdiri diam menatap keponakannya yang terbaring tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Kim Bum sudah berbaring seperti itu selama seminggu, tidak bergerak dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera sadar. Song Seung Hun masih ingat hari ketika polisi meneleponnya dan mengatakan mobilnya ditemukan di salah satu jalan sempit. Mereka juga berkata seorang pemuda ditemukan tidak jauh dari mobil dalam keadaan pingsan, tergeletak di tanah dengan darah mengucur dari kepala. Song Seung Hun ingat bagaimana perasaannya melihat pemuda yang dimaksud adalah keponakannya sendiri.
Yang paling sulit adalah menelepon orangtua Kim Bum dan menjelaskan apa yang terjadi, karena Song Seung Hun sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Polisi menduga Kim Bum dirampok, tetapi kenapa perampok itu tidak mengambil dompet dan mobilnya? Tidak masuk akal. Sampai sekarang pihak kepolisian belum menemukan petunjuk apa pun yang bisa menjelaskan semua ini.
Mendengar putra bungsunya mengalami kecelakaan, Kim Tae Hee langsung terbang ke Seoul. Ia kini duduk di kursi yang ditempatkan di samping ranjang putranya, menggenggam tangan Kim Bum dan meremasnya, berharap anak malang itu segara membuka mata.
“Bagaimana keadaannya hari ini?” Song Seung Hun memecah keheningan di kamar itu dan menatap dokter yang baru selesai memeriksa Kim Bum.
Jung Yong Hwa menegakkan tubuh dan menatap paman dan ibu Kim Bum bergantian.
“Masih tetap sama,” katanya pelan. “Jangan khawatir. Semua organ vitalnya berfungsi dengan baik. Keadaannya stabil.”
“Lalu kenapa dia masih belum sadar?” tanya Kim Tae Hee cemas. “Kapan dia akan sadar?”
Jung Yong Hwa menatap Kim Bum yang terbaring diam dengan mata terpejam. “Kami juga tidak tahu,” akunya. “Tapi kalau melihat keadaannya sekarang, kami berharap dia akan segera sadar dalam beberapa hari ini. Bibi jangan terlalu cemas. Kim Bum pasti akan sadar.”
Kim Tae Hee menyunggingkan seulas senyum lemah. “Terima kasih banyak, Jung Yong Hwa. Bibi senang kau ada di sini untuk membantu Kim Bum.”
Jung Yong Hwa tersenyum. “Dia teman baikku sejak kecil,” katanya. “Tentu saja aku akan melakukan apa pun untuk membantunya.”
Setelah Jung Yong Hwa keluar dari kamar, Kim Tae Hee berkata kepada adiknya,
“Tadi kakak iparmu menelepon. Katanya dia akan datang ke sini kalau Kim Bum masih belum sadarkan diri dalam beberapa hari ini.”
Song Seung Hun tersenyum kecil. “Kurasa dia pasti ingin membawa Kim Bum pulang ke New York.”
Kim Tae Hee mendecakkan lidah dengan pelan. “Bagaimana kita bisa membawanya ke New York dalam keadaan seperti ini?” Ia meremas tangan anaknya lagi dan mendesah. “Aku berharap dia segera sadar dan menceritakan pada kita apa yang sebenarnya terjadi hari itu.”
* * *
Kepala Kim So Eun berputar ke kanan dan ke kiri. Matanya mencari-cari di antara kerumunan orang yang berlalu-lalang di stasiun. Tidak terlihat. Ia tidak melihat Kim Bum di mana-mana. Laki-laki itu tidak datang menjemputnya. Kim So Eun tidak tahu apakah ia harus merasa cemas atau kesal. Mungkinkah Kim Bum terlambat?
Sebaiknya ia duduk dan menunggu sebentar. Mungkin Kim Bum terjebak kemacetan.
Setengah jam kemudian masih belum terlihat batang hidung Kim Bum. Kim So Eun mengeluarkan ponsel dan memencet beberapa tombol. Ia menempelkan ponsel ke telinga dan menunggu sejenak. Tidak. Tetap tidak bisa tersambung. Ponsel Kim Bum tidak aktif. Kim So Eun menggigit bibir dan kembali memandang berkeliling. Ia akan menunggu sebentar lagi.
Setengah jam lagi berlalu. Kim So Eun menunduk menatap ujung sepatu botnya. Kim Bum belum muncul dan kemungkinan besar tidak akan muncul. Sebaiknya ia pulang sekarang. Kalau ternyata nanti Kim So Eun menemukan Kim Bum di apartemennya, lupa bahwa ia harus menjemput Kim So Eun hari ini, lihat saja apa akibatnya. Kim So Eun mendengus dan keluar dari stasiun sambil menjinjing tasnya.
* * *
“Song Chang Ui Oppa benar-benar belum bertemu dengannya?” tanya Kim So Eun agak kalut. Tadi ia sudah mengetuk pintu apartemen Kim Bum. Karena tidak mendapatkan jawaban, ia ke apartemen Song Chang Ui dan So Yi Hyun untuk bertanya.
Song Chang Ui berpikir. “Ya,” sahutnya yakin. “Aku sama sekali belum melihatnya sejak Hari Natal itu. Hari itu dia mengantarmu ke stasiun, bukan? Aku ingat dia mengucapkan selamat Hari Natal kepadaku. Setelah itu aku sama sekali tidak melihatnya.” Song Chang Ui terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Benar juga. Sepertinya dia juga tidak pulang sejak hari itu.”
“Tidak pulang?” gumam Kim So Eun pelan.
“Sepertinya begitu,” sahut Song Chang Ui, “karena aku tidak mendengar suaranya.”
Melihat raut wajah Kim So Eun yang cemas, Song Chang Ui cepat-cepat menambahkan,
“Tentu saja aku mungkin salah. Mungkin aku tidak mendengar ketika dia pulang dan naik ke apartemennya.”
Kim So Eun mengangguk sambil lalu.
“Kenapa, Kim So Eun? Ada masalah?”
“Apa?” Kim So Eun buru-buru menggeleng. “Tidak, tidak apa-apa. Aku yakin aku terlalu berlebihan. Terima kasih, Song Chang Ui Oppa.”
Ia tidak mungkin menjelaskan firasat yang dirasakannya kepada Song Chang Ui.
Pasti akan terdengar konyol. Semua orang tahu pikirannya memang suka melantur ke mana-mana dan tidak ada yang akan mengerti perasaan buruk yang menggerogotinya saat ini. Tetapi apa lagi yang bisa dilakukannya? Ia tidak tahu di mana Kim Bum berada.
Tidak tahu bagaimana cara menghubunginya. Laki-laki itu memang sudah pernah menghilang tanpa kabar seperti ini, seperti ketika ia pergi mengunjungi kakeknya di Gwangju tanpa berkata apa-apa. Mungkin kali ini juga sama. Ya, benar. Tidak lama lagi Kim Bum pasti akan muncul di depan pintu apartemen Kim So Eun. Dia akan berdiri di depan Kim So Eun dengan senyum lebarnya yang cerah dan tak berdosa itu, lalu mengejek Kim So Eun karena sudah merasa cemas setengah mati.
Ya. Ya, pasti begitu, pikir Kim So Eun meyakinkan diri sendiri. Kim Bum akan segera muncul di hadapannya.
* * *
Pagi itu Song Seung Hun memutuskan untuk mampir ke rumah sakit sebelum pergi ke kantor. Ia mendapati kakak perempuannya sedang mengelap wajah dan tangan Kim Bum dengan handuk basah. “Bagaimana keadaannya?” tanyanya.
Seperti yang kau lihat. Setidaknya dia tidak bertambah parah,” sahut Kim Tae Hee sambil tersenyum lemah. Ia menoleh ke arah adiknya. “Bisa tolong jaga dia sebentar? Aku ingin pergi mengambil air panas.”
“Biar aku saja mengambilnya,” Song Seung Hun menawarkan diri. “Noona di sini saja.”
Sepeninggal adiknya, Kim Tae Hee menatap anaknya yang terbaring di tempat tidur dengan sedih. Ia menghela napas panjang dan melanjutkan pekerjaannya mengelap tangan Kim Bum. Tiba-tiba tangan Kim Bum yang berada dalam genggamannya bergerak. Kim Tae Hee tersentak dan menatap wajah Kim Bum. Ia tidak bermimpi.
Tangan Kim Bum memang bergerak tadi. Ia tidak bermimpi. Lalu ia melihat mata Kim Bum bergerak pelan. Tidak salah lagi. Ia pun membelalak dan melompat berdiri.
“Kim Bum?” bisiknya pelan di dekat wajah Kim Bum. “Ini Ibu. Bukalah matamu.”
Perlahan-lahan kelopak mata Kim Bum terbuka. Lalu terpejam sesaat, dan terbuka lagi. Sejenak matanya menatap kosong, lalu bergerak ke wajah ibunya.
“Kim Bum, kau sudah sadar?” tanya Kim Tae Hee sambil membelai rambut anaknya dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Tuhan. Terima kasih.”
“Noona?”
Kim Tae Hee berbalik menatap Song Seung Hun yang ternyata sudah kembali ke kamar dengan membawa termos berisi air panas. “Dia sudah sadar, Song Seung Hun. Dia sudah sadar,” serunya dengan suara tercekat.
Mereka berdiri di kedua sisi ranjang Kim Bum, menatapnya dengan mata melebar gembira. Kim Bum berkerut samar, perlahan-lahan mengangkat tangan ke kepala, tetapi segera dihentikan ibunya.
“Jangan sentuh kepalamu dulu,” kata ibunya lembut. “Kepalamu terluka.”
“Sakit sekali,” bisik Kim Bum serak. Tetapi ia menjatuhkan tangannya kembali ke sisi tubuhnya karena ia merasa sangat lemah. “Di mana aku?”
“Di rumah sakit,” jawab ibunya. “Bagaimana perasaanmu?”
“Apa yang terjadi?” tanya Kim Bum sambil memejamkan mata sesaat.
“Justru itu yang ingin kami tanyakan padamu,” sela Song Seung Hun.
Kim Bum membuka mata dan menoleh ke arah pamannya, keningnya berkerut dan ia terlihat heran. “Paman?”
“Ya?”
“Sedang apa Paman di sini?”
Song Seung Hun tertawa. “Sedang apa? Tentu saja karena kau dirawat di sini. Aku datang menjengukmu.”
“Kapan Paman tiba di sini?”
“Baru saja.”
“Paman baru tiba di New York?”
“New York?” Song Seung Hun benar-benar bingung sekarang. Apa yang sedang diocehkan keponakannya ini? “Ini Seoul, Kim Bum?”
“Seoul?”
Kim Tae Hee membelai kepala Kim Bum. “Kim Bum, Ibu yang datang ke sini, ke Seoul, setelah mendengar kalau kau masuk rumah sakit.”
“Aku ada di Seoul?” tanya Kim Bum heran.
“Ya,” jawab Kim Tae Hee tegas, walaupun raut wajahnya kini berubah was-was.
Kim Bum terpekur, lalu menatap ibu dan pamannya bergantian. Dengan suara lirih dan bingung, ia bertanya, “Sejak kapan aku datang ke Seoul?”
Kim Tae Hee menegakkan tubuh dan berkata pelan, “Song Seung Hun, panggilkan dokter.”
Bersambung…
Chapter 10 ... Chapter 11
Chapter 9
Chapter 8
Chapter 7
Chapter 6
Chapter 5
Chapter 4
Chapter 3
Chapter 2
Chapter 1
Prolog
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar