Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Senin, 22 Agustus 2011

Winter Love (Chapter 7)



“Reuni SMP?” Kim Bum memindahkan ponsel ke telinga kanan dan mendongak menatap lampu lalu lintas, menunggunya berubah warna. “Maksudmu, reuni satu sekolah? Bukan hanya kelas kita atau angkatan kita?”

“Bukan hanya angkatan kita,” sahut Jung Yong Hwa di ujung sana. “Semua alumni boleh datang. Malah undangan untuk para alumni sudah disebarkan satu bulan sebelumnya. Kau tidak menerimanya?”

“Tidak.”

“Ya, mungkin karena kau sudah pindah ke luar negeri sebelum tahun ajaran selesai,” tebak Jung Yong Hwa. “Karena itu mereka tidak tahu bagaimana cara menghubungimu.”

Lampu lalu lintas berubah warna dan Kim Bum cepat-cepat menyeberang jalan bersama rombongan pejalan kaki lainnya. “Tapi memangnya aku boleh ikut? Maksudku, aku kan tidak menerima undangannya.”

“Ah, kau tidak perlu cemas soal itu,” kata Jung Yong Hwa ringan. “Biar aku saja yang mengurusnya. Kau hanya perlu hadir.”

“Kapan reuninya?”

“Kira-kira satu minggu setelah Tahun Baru. Aku lupa tanggal pastinya. Nanti akan kukabari lagi.”

“Baiklah. Tapi ngomong-ngomong apakah kita harus hadir sendiri atau...”

“Ah, maksudmu apakah kau boleh mengajak pasangan? Tentu saja. Kau tahu, banyak teman kita yang akan mengajak suami atau istri mereka.” Jung Yong Hwa terdiam sejenak, lalu bertanya dengan nada bergurau, “Kenapa? Ada seseorang yang ingin kauajak ke acara itu?”

Kim Bum tersenyum. “Mungkin.”

Jung Yong Hwa mendesah. “Tidak mau bercerita rupanya. Tidak apa-apa. Tapi kuharap kau bisa mengajaknya dan mengenalkannya padaku.”

“Baiklah,” sahut Kim Bum, tertawa.

“Mungkin aku juga akan mengajak seseorang,” kata Jung Yong Hwa tiba-tiba.

“Tunggu dulu. Beberapa hari yang lalu sewaktu kita makan siang bersama, kaubilang kau belum punya pacar. Tepatnya, kaubilang kau tidak punya waktu untuk pacaran.” Kim Bum berjalan menyusuri Beemart, salah satu jalan di Crossline Road yang sempit, panjang, dan dipadati pejalan kaki yang kebanyakan adalah remaja. Berbagai butik, kafe, restoran siap saji, dan toko-toko kecil lainnya yang ditargetkan untuk kawula muda berjejer di sepanjang jalan. Kim Bum menyenggol bahu seseorang dan ia menggumamkan kata maaf tanpa berhenti berjalan.

“Memang. Tapi bukankah hidup memang aneh?” Suara Jung Yong Hwa terdengar ceria.

“Aku bertemu dengannya tepat setelah aku makan siang denganmu hari itu. Sejak itu kami sempat bertemu beberapa kali untuk urusan pekerjaan dan aku sempat mengajaknya makan siang atau minum kopi sesekali. Aku tidak tahu apakah dia mau kalau aku benar-benar mengajaknya kencan.”

“Salah seorang perawat baru yang cantik?” tebak Kim Bum.

“Aku memang bertemu dengannya di rumah sakit, tapi dia bukan perawat,” kata Jung Yong Hwa, masih dengan nada ceria. “Tenang saja, kau akan bertemu dengannya nanti saat reuni.”

Kim Bum menutup ponsel dan masuk ke salah satu toko foto di sebelah kanannya dan tersenyum kepada penjaga toko yang menyambutnya. “Pesanan atas nama Kim Bum sudah jadi?” tanyanya.

Gadis penjaga toko berwajah cantik itu tersenyum lebar. “Ah, tentu saja. Harap tunggu sebentar.”

Tak lama kemudian gadis ramah itu kembali membawa sebuah kantong kertas dan menyerahkannya kepada Kim Bum.

Kim Bum mengeluarkan beberapa lembar foto yang cukup besar dari dalam kantong kertas itu dan memeriksa setiap lembarnya. Semua foto itu adalah hasil jepretannya sejak ia menginjakkan kaki di Seoul. Pemandangan kota Seoul, para pejalan kaki di jalanan Syracuse Street, Dan Kim So Eun.

Kim Bum memegang salah satu foto Kim So Eun yang diambilnya ketika ia melihat gadis itu duduk sendirian di salah satu kafe di Crossline Road. Ia sudah sering memotret Kim So Eun dan kebanyakan dari foto itu diambil tanpa sepengetahuan gadis itu. Kalau Kim So Eun tahu Kim Bum memotretnya, ia akan mengomel panjang-lebar tentang dirinya yang bukan fotomodel dan tidak berniat menjadi fotomodel.

“Semuanya sudah lengkap, bukan?” tanya si penjaga toko.

Kim Bum mengangkat wajah dan tersenyum lebar. “Ya,” sahutnya. “Terima kasih banyak.”

Memandangi foto-foto Kim So Eun yang ada dalam genggamannya, Kim Bum teringat sesuatu. Sebelum ia mengajak gadis itu ke acara reuni sekolahnya, ada hal lain yang ingin dikatakannya kepada Kim So Eun. Ia merogoh saku bagian dalam jaketnya dan mengeluarkan dua lembar tiket pertunjukan balet. Swan Lake, salah satu pertunjukan yang sangat laris dan sangat ingin ditonton Kim So Eun. Tanggal pertunjukan yang tercetak pada tiket itu adalah 24 Desember, jadi Kim Bum berharap Kim So Eun tidak punya acara penting pada hari itu.

* * *

Kim So Eun berjongkok merapikan buku-buku yang ada di rak bagian bawah sambil bersenandung lirih. Perpustakaan sedang sepi saat itu. Hanya ada beberapa orang yang membaca buku di meja-meja yang tersedia. Kim So Eun sangat suka suasana sepi perpustakaan. Begitu damai. Ia berdiri, menegakkan tubuh, dan memandang ke luar jendela. Natal tinggal beberapa lagi. Ia berharap salju akan turun pada Hari Natal.

Kim So Eun mendesah pelan dan melirik jam tangan. Sebentar lagi waktunya pulang.

Tiba-tiba lagu Love Love Love - FT Island terdengar nyaring. Terperanjat. Kim So Eun buru-buru mengeluarkan ponselnya. “Hallo?” bisiknya. Wajahnya terasa panas ketika ia melihat beberapa orang menoleh ke arahnya. Ia cepat-cepat meninggalkan deretan rak buku dan kembali ke meja kerjanya.

“Kim So Eun.”

Mendengar suara Jung Yong Hwa di ujung sana, Kim So Eun langsung memperlambat langkah karena kaget. “Jung Yong Hwa?”

“Bagaimana kakimu?” tanya Jung Yong Hwa. “Tidak ada masalah, bukan?”

Otomatis Kim So Eun menatap kaki kirinya yang tidak lagi diperban. Perbannya memang sudah dibuka kemarin. “Tidak masalah. Sudah sembuh sama sekali,” sahutnya sambil tersenyum. “Kau masih di rumah sakit?”

“Ya, tapi sebentar lagi pulang. Kau ada acara malam ini?”

“Mmm... Tidak ada acara penting. Ada apa?”

“Bagaimana kalau kita pergi makan malam?”

Kim So Eun tidak butuh waktu lama untuk menjawab. “Tentu saja.”

* * *

Sibuk.

Kim Bum menutup ponselnya. Sudah tiga kali ia mencoba menghubungi Kim So Eun tetapi ponsel gadis itu sibuk terus. Tidak apa-apa. Ia akan pergi menemui gadis itu di perpustakaan tempatnya bekerja. Kim Bum melirik jam tangan. Masih ada waktu.

Kemungkinan besar ia bisa sampai di sana sebelum gadis itu pulang. Lalu ia bisa sekalian mengajak Kim So Eun makan malam.

Tapi ternyata Kim So Eun tidak ada di perpustakaan. Menurut salah seorang rekan kerjanya Kim So Eun pulang lebih cepat hari ini. Kim Bum melirik jam tangan. Kalau begitu ia akan menemui Kim So Eun di rumah saja.

* * *

Seharusnya ia memakai sarung tangan. Kim Bum menggigil dan menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku mantel begitu keluar dari stasiun kereta bawah tanah. Uap putih keluar dari hidung dan mulutnya seiring dengan setiap hembusan napas. Dingin sekali. Sepertinya tidak lama lagi akan turun salju.

“Hyung!”

Kim Bum menoleh ke arah suara dan melihat Lee Ki Kwang berlari menghampirinya.

“Oh, Lee Ki Kwang.”

“Dingin... Dingin...” Lee Ki Kwang menggigil dengan berlebihan dan menggosok-gosok kedua telapak tangannya. “Hyung mau pulang? Ayo, kita jalan sama-sama.”

Kedua laki-laki itu berjalan cepat menyusuri jalan menanjak yang mengarah ke gedung apartemen mereka.

“Jadi bagaimana?” tanya Lee Ki Kwang tiba-tiba.

“Bagaimana apa?” Kim Bum balik bertanya.

“Tentang malam Natal.”

“Hm?”

“Kau sudah mengajaknya, Hyung?”

“Siapa?”

Lee Ki Kwang berhenti melangkah. “Bukankah waktu itu Kau bilang kau mau menghabiskan Natal bersama seseorang? Tapi waktu itu kau belum mengajaknya. Jadi apakah kau sudah mengajaknya sekarang?”

Kim Bum juga menghentikan langkah. Ia menatap Lee Ki Kwang sejenak, lalu tersenyum.

“Oh, itu.” Kemudian ia kembali melanjutkan langkah.

Lee Ki Kwang menyusulnya. “Ya, yang itu. Jadi?”

“Aku akan mengajaknya malam ini.”

“Kau masih belum mengajaknya?”

“Sudah kubilang, aku akan bertanya padanya malam ini.”

“Kau sudah lupa kata-kataku tentang bergerak cepat?”

“Astaga, anak ini! Bukankah sudah kubilang...”

“Eh, itu mobil siapa?”

Kim Bum menahan omelannya dan memandang lurus ke depan. Sebuah mobil hitam berhenti di depan gedung apartemen mereka, tidak begitu jauh dari mereka. Pintu di sisi pengemudi terbuka dan seorang laki-laki yang mengenakan jaket cokelat panjang keluar.

Alis Kim Bum terangkat. Oh? Bukankah itu Jung Yong Hwa, pikirnya sambil menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas. Ada apa temannya itu datang mencarinya?

Kim Bum baru akan mempercepat langkah ketika pintu sisi penumpang terbuka dan seorang gadis melangkah keluar. Kim Bum berhenti melangkah dan mengerjapkan mata ketika mengenali gadis itu.

Kim So Eun?

“Oh? Bukankah itu Kim So Eun Eonni?” Kim Bum mendengar Lee Ki Kwang bertanya. “Lalu siapa orang yang bersamanya itu?”

Kim Bum tidak menjawab. Ia sendiri juga heran. Kim So Eun dan Jung Yong Hwa?

“Jangan-jangan dia si dokter itu,” sela Lee Ki Kwang tiba-tiba.

Kim Bum menoleh ke arah Lee Ki Kwang di sampingnya. “Siapa?”

“Cinta pertama Kim So Eun Eonni. Yang meneleponnya ketika kita semua sedang makan Sup Tahu di rumah Song Chang Ui Hyung.”

Kepala Kim Bum berputar kembali menatap Kim So Eun dan Jung Yong Hwa yang berdiri berhadapan. Mereka sedang asyik membicarakan sesuatu, lalu tertawa.

Benar juga. Kim So Eun pernah memberitahunya nama cinta pertamanya adalah Jung Yong Hwa dan berprofesi sebagai dokter. Mungkinkah Jung Yong Hwa yang menjadi cinta pertama Kim So Eun adalah orang yang sama dengan Jung Yong Hwa yang adalah teman lama Kim Bum? Ditambah lagi, tadi Jung Yong Hwa menyebut-nyebut tentang wanita yang baru dikenalnya. Apakah wanita yang dimaksudnya itu Kim So Eun?

Lee Ki Kwang kembali bersuara. “Kelihatannya hubungan mereka sudah dekat. Hyung, menurutmu apakah mereka pa...”

“Lee Ki Kwang,” sela Kim Bum tiba-tiba.

“Ya?”

“Ayo, kutraktir minum.”

Kim Bum sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia butuh waktu untuk mencerna apa yang dilihatnya tadi. Ia berharap sedikit Soju bisa membantu menjernihkan pikirannya.

* * *

“Lee Ki Kwang, kau baik-baik saja?” tanya Kim Bum pada Lee Ki Kwang yang berjalan dengan ceria di sampingnya. Mereka tidak berlama-lama di kedai minum karena Kim Bum tidak mau berjalan pulang sambil menggendong Lee Ki Kwang. Baru setengah jam di kedai itu Lee Ki Kwang sudah harus berpegangan pada meja supaya tidak jatuh dari kursi. Anak itu benar-benar tidak kuat minum.

Lee Ki Kwang tersenyum lebar. Terlalu lebar dan mengangguk berkali-kali. “Ah, tentu saja. Tentu saja. Aku sangat baik. Memangnya kenapa?”

Kim Bum memandangi Lee Ki Kwang, lalu mendesah, “Kakakmu pasti akan menggantungku kalau melihatmu mabuk begitu.”

Lee Ki Kwang tertawa. “Kim Bum Hyung, aku tidak mabuk. Lihat, aku masih bisa berjalan lurus. Lihat? Lihat?” Ia merentangkan kedua tangan ke samping dan berjalan lurus dengan langkah lebar di jalanan yang sepi itu untuk membuktikan kata-katanya.

“Ya, ya, ya. Tapi hati-hati dengan tiang lampu di depanmu,” kata Kim Bum.

Lee Ki Kwang berhenti tepat pada waktunya sebelum hidungnya yang mancung menabrak tiang lampu. Ia menoleh ke arah Kim Bum dan tertawa. “Aku melihatnya.”

Kim Bum hanya menggeleng-geleng pasrah. Ia kembali berjalan dan Lee Ki Kwang menyusulnya dari belakang.

“Paman ini apa-apaan?”

Kim Bum dan Lee Ki Kwang serentak menoleh ke arah suara wanita bernada tinggi itu.

Tidak jauh di depan mereka terlihat seorang wanita dan seorang pria sedang bertengkar. Si pria berusaha menarik tangan si wanita sementara si wanita memberontak.

Sedetik kemudian Lee Ki Kwang berseru, “Noona!” dan langsung berlari ke arah kedua orang itu sebelum Kim Bum sempat mencegahnya.

Noona? Kim Bum segera menyadari kalau wanita yang sedang ditarik-tarik itu adalah Yoon Eun Hye. Yoon Eun Hye terlihat sedang berusaha membebaskan diri dari cengkeraman si pria tak dikenal. Dalam sekejap Lee Ki Kwang sudah tiba di samping mereka dan berseru, “Lepaskan tanganmu!”

Segalanya terjadi begitu cepat di depan mata Kim Bum. Bersamaan dengan teriakan itu, Lee Ki Kwang juga melayangkan tinjunya ke rahang pria yang menarik-narik kakaknya.

Namun pria itu tidak tersungkur seperti yang diharapkan Lee Ki Kwang. Pria itu masih tetap berdiri, malah ia menggeram dan balas melayangkan tinju. Lee Ki Kwang pun terjatuh ke tanah diikuti pekikan kakaknya.

“Jangan ikut campur, anak ingusan!” seru pria itu serak.

“Astaga,” gumam Kim Bum, dan langsung berlari ke arah mereka. Ia berhasil mencapai ketiga orang itu tepat ketika si pria tak dikenal bermaksud menendang Lee Ki Kwang yang masih terkapar di tanah. Kim Bum langsung menahan dada pria itu dan mendorongnya ke belakang.

“Siapa lagi kau?” seru pria itu marah. “Cari mati ya?”

Kim Bum menoleh ke arah Yoon Eun Hye yang berlutut di samping adiknya. “Yoon Eun Hye Noona, kau tidak apa-apa?”

“Kim Bum,” bisik Yoon Eun Hye dengan mata terbelalak, lalu melanjutkan dengan cepat,

“Ya, aku baik-baik saja. Orang gila ini bersikap kurang ajar terhadapku dan dia tadi meninju Lee Ki Kwang.”

“Sebaiknya kau minggir. Urusi urusanmu sendiri,” ancam pria itu dengan rahang terkatup. Ia menatap Kim Bum dengan mata disipitkan.

Kini Kim Bum bisa melihat dengan jelas wajah pria itu. Usianya mungkin sekitar pertengahan sampai akhir tiga. Kim Bum memperhatikan penampilan pria itu: pakaiannya bagus, sepatunya bagus, ada beberapa cincin emas melingkari jari-jari tangannya. Mata Kim Bum terangkat ke wajah pria itu.

Wajahnya agak seram karena penuh kerutan marah. Alis matanya lebat, berlawanan dengan rambutnya yang terlihat tipis di puncak kepalanya, membuatnya terlihat lebih tua daripada usia sebenarnya dan matanya kecil, hidungnya agak bengkok, bibirnya tipis dan berkerut.

Dia mabuk, pikir Kim Bum ketika melihat pria itu melangkah agak terhuyung-huyung mendekatinya.

“Tapi ini teman-temanku, jadi ini juga urusanku,” kata Kim Bum tenang. Ia menatap lurus ke dalam mata pria itu.

“Hah!” Pria itu mendengus keras. Ia menunjuk Lee Ki Kwang yang masih mengerang pelan di tanah. “Dia menyerangku, aku hanya membalasnya.” Ia beralih menunjuk hidung Yoon Eun Hye. “Dan tentang perempuan jalang ini, dia yang menggodaku lebih dulu.”

“Hei, Paman mimpi ya?” sela Yoon Eun Hye galak dengan dagu terangkat tinggi.

“Seharusnya Paman becermin dulu. Mana mungkin aku menggodamu?”

Pria itu mengangkat tangan kanannya. “Dasar perempuan...”

Kim Bum bergerak ingin menghalanginya, tetapi telapak tangan pria itu malah mendarat di pipinya.

“Kim Bum!” pekik Yoon Eun Hye.

Kim Bum memegangi pipinya dan mengernyit. Ia bisa merasakan darah di lidahnya.

Sialan, pukulan orang itu kuat juga. Untung giginya tidak patah. Kim Bum menegakkan tubuh dan menatap pria di depannya.

Pria itu mengangkat hidungnya tinggi-tinggi dan menantang. “Apa? Mau lagi? Mau lagi? Ayo ke sini kalau mau.”

Orang itu mabuk, kesal, dan tidak bisa berpikir jernih. Ia tidak mungkin bisa diajak bicara baik-baik. Kim Bum mendesah. Kalau begitu hanya ada satu cara.

* * *

Kim So Eun menonton televisi di ruang duduk apartemennya tanpa minat. Ia baru saja pulang dari makan malam bersama Jung Yong Hwa. Acara mereka memang terputus karena Jung Yong Hwa mendapat panggilan dari rumah sakit, tapi Kim So Eun tetap merasa kebersamaan mereka yang singkat itu sangat menyenangkan. Ia ingin mencari teman berbagi cerita.

Masalahnya apartemen Yoon Eun Hye kosong. Bahkan Kim Bum juga tidak ada di rumah.

Biasanya jam-jam segini Yoon Eun Hye sudah ada di apartemennya, menyiapkan makan malam untuk adiknya. Ke mana mereka semua?

Kemudian Kim So Eun mendengar suara-suara di luar. Ia segera mematikan televisi dan bangkit dari lantai. Mungkin itu Yoon Eun Hye sudah pulang. Atau mungkin Kim Bum? Kim So Eun membuka pintu dan melongokkan kepala ke luar.

“Kau mau masuk, Kim Bum?” Kim So Eun mendengar suara Yoon Eun Hye di lantai bawah.

“Tidak perlu. Aku naik saja.” Kali ini suara Kim Bum.

“Tapi itu...”

“Ah, ini? Tidak apa-apa. Tidak usah dipikirkan,” sela Kim Bum, lalu tertawa kecil.

“Kelihatannya justru Lee Ki Kwang yang harus diurus.”

“Aku tidak apa-apa,” Lee Ki Kwang membantah.

“Apanya yang tidak apa-apa?” potong Yoon Eun Hye. “Lihat pipimu memar begitu. Tapi Kim Bum, kau juga berdarah.”

Berdarah? Mendengar itu Kim So Eun langsung keluar dari apartemennya dan bergegas menuruni tangga ke lantai bawah.

“Oh, Kim So Eun,” kata Yoon Eun Hye yang melihat Kim So Eun lebih dulu, lalu yang lain ikut menoleh.

“Ada apa, Eooni?” tanya Kim So Eun sambil memandang mereka bertiga bergantian, lalu terkesiap pelan ketika melihat wajah Lee Ki Kwang dan Kim Bum. “Kalian berdua kenapa?”

“Tadi ada orang sinting yang menggangguku di jalan,” Yoon Eun Hye yang menjawab dengan nada berapi-api. “Seenaknya saja dia menarik-narik aku seolah-olah aku ini wanita gampangan. Untung saja mereka berdua muncul.” Ia menunjuk Kim Bum dan adiknya. “Lee Ki Kwang langsung meninju orang itu setelah berteriak, …“Jangan sakiti kakakku!”…”

“Aku tidak bilang begitu,” protes Lee Ki Kwang salah tingkah. “Aku hanya bilang, “Lepaskan tanganmu.””

“Tapi aku tahu maksud hatimu yang sebenarnya,” balas Yoon Eun Hye sambil mengacak-acak rambut adiknya. Lalu ia kembali menatap Kim So Eun. “Tapi orang itu balas memukul Lee Ki Kwang dan Lee Ki Kwang langsung terkapar. Saat itulah Kim Bum beraksi.”

Kim So Eun berpaling ke arah Kim Bum. Sudut bibir laki-laki itu terluka. “Kau juga dipukul?” tanya Kim So Eun khawatir.

“Cuma sekali,” sela Yoon Eun Hye bahkan sebelum Kim Bum sempat membuka mulut.

“Lalu Kim Bum membuat orang itu lari terbirit-birit.”

Kim So Eun menatap Kim Bum lagi. “Bagaimana bisa?”

Masih Yoon Eun Hye yang menjawab, “Sabuk hitam karate.”

Alis Kim So Eun terangkat. Kim Bum menatapnya dan tersenyum lebar, lalu ia menggeleng.

“Tidak juga. Hanya sedikit-sedikit.”

“Tapi orang itu sempat mengancam Kim Bum Hyung sebelum dia pergi,” kata Lee Ki Kwang.

“Sebaiknya kau cepat masuk dan kompres pipimu,” sela Kim Bum.

“Benar. Ayo, masuk,” kata Yoon Eun Hye sambil mendorong adiknya masuk ke apartemen mereka.

Kim So Eun membuka mulut. “Tapi...”

“Kau mau naik atau tidak?” panggil Kim Bum yang sudah mulai menaiki tangga.

Kim So Eun menatap Kim Bum, lalu ke arah Yoon Eun Hye dan Lee Ki Kwang, lalu kembali ke Kim Bum.

Akhirnya ia menyerah dan mengikuti Kim Bum ke atas.

* * *

Kim Bum menyentuh pipinya dan meringis pelan. Pipinya pasti bengkak besok. Ck, malam ini benar-benar kacau. Ketika ia berhenti di depan pintu apartemennya dan mengeluarkan kunci ia mendengar Kim So Eun bertanya dengan nada khawatir, “Apa maksud Lee Ki Kwang tadi?”

“Apanya?” Kim Bum balik bertanya. Ia masuk ke apartemennya dan Kim So Eun mengikutinya dari belakang.

“Katanya orang itu mengancammu.” Kim So Eun melepas sepatunya dan mengenakan sandal Hello Kitty-nya sebelum memasuki apartemen Kim Bum.

“Hanya gertakan kosong,” gumam Kim Bum sambil melepas syal, jaket, dan topinya.

Ia berbalik menghadap Kim So Eun. “Tidak usah dipikirkan.”

Ia melihat Kim So Eun menatapnya dengan kening berkerut.

“Kenapa?” tanya Kim Bum. “Ada sesuatu di wajahku?”

“Sudut bibirmu mulai membiru,” gumam Kim So Eun muram. “Biar kuambilkan obat.”

Ketika gadis itu hendak berjalan ke pintu, Kim Bum meraih pergelangan tangannya.

“Tidak perlu repot-repot,” katanya lelah. “Aku juga punya obat. Kepalaku sakit kalau kau mondar-mandir. Duduk saja yang manis.”

Kim So Eun menurut. Ia duduk di samping Kim Bum di sofa dan menatap wajahnya untuk mencari luka lain. “Kau terluka di mana lagi?” tanyanya. “Kepala? Kaubilang kepalamu sakit.”

“Kepalaku tidak terluka. Hanya pusing sedikit.”

“Tangan?”

“Tidak.”

“Kaki?”

“Tidak.”

“Badanmu?”

Kim Bum tertawa pendek. “Kim So Eun, aku baik-baik saja.” Melihat kening Kim So Eun yang berkerut tidak percaya, ia melanjutkan, “Sungguh! Atau kau mau aku membuka baju untuk meyakinkanmu?”

Kim So Eun mendengus, lalu bertanya, “Kau sudah makan?”

Kim Bum tidak langsung menjawab. Ia menatap Kim So Eun sejenak, lalu memalingkan wajah dan mendesah. “Tadinya aku mau mengajakmu makan.”

“Ah, aku pergi makan dengan Dokter,” kata Kim So Eun langsung tanpa ditanya.

Senyumnya mengembang.

“Dokter?”

Kim So Eun menegakkan punggung dan menatap Kim Bum dengan mata berbinar-binar.

“Aku sudah pernah bercerita padamu tentang dia, bukan? Cinta pertamaku? Namanya Jung Yong Hwa.”

Mendengar nama itu Kim Bum mendesah pelan. Ia mengangguk-angguk pelan dengan pandangan kosong dan bergumam tidak jelas.

“Dulu, sewaktu aku pertama akali bertemu dengannya tiga belas tahun yang lalu, aku sama sekali tidak tahu dia orang yang seperti apa,” Kim So Eun melanjutkan sambil melamun.

“Hm.”

“Tapi sekarang aku tahu dia orang yang menyenangkan.”

“Hm.”

“Juga pintar.”

“Aku haus,” sela Kim Bum tiba-tiba.

Kim So Eun terdiam sejenak, lalu berkata, “Biar kuambilkan air.”

Sebelum gadis itu sempat bangkit dari sofa, Kim Bum sudah mendahuluinya dan berjalan ke dapur. Ia kesal. Bagaimana gadis itu bisa membicarakan Jung Yong Hwa di depannya seperti itu? Tapi, tentu saja, Kim So Eun sama sekali tidak tahu bagaimana perasaan Kim Bum.

Merasa agak bersalah karena telah memotong cerita Kim So Eun, Kim Bum menoleh ke arahnya dan bergumam, “Bisa kulihat kau sangat gembira. Aku juga ikut senang.”

Kim So Eun tersenyum. “Ya, memang.”

Kim Bum mengisi gelas dengan air keran dan langsung meneguknya sampai habis.

“Sebentar lagi Natal,” kata Kim So Eun tiba-tiba.

Kim Bum menoleh ke arah Kim So Eun. Karena tidak tahu apa yang harus dikatakannya, ia hanya menunggu gadis itu melanjutkan.

“Jung Yong Hwa mengajakku menonton pertunjukan balet pada malam Natal nanti,” kata Kim So Eun sambil menatap Kim Bum. “Swan Lake.”

Kim Bum mengerang dalam hati. Tidak, jangan lagi. Kim Bum mengerutkan kening.

“Swan Lake?” ulangnya sambil meletakkan gelas ke meja.

Kim So Eun mengangguk dan Kim Bum menyumpah dalam hati.

“Kau ada rencana apa untuk malam Natal nanti, Kim Bum?” tanya Kim So Eun.

Untuk apa mengatakan pada Kim So Eun bahwa ia juga punya tiket pertunjukan balet yang sangat ingin ditonton gadis itu? Akhirnya Kim Bum hanya berkata singkat, “Pergi jalan-jalan.”

Alis Kim So Eun terangkat heran. “Ke mana?”

Kim Bum memaksakan seulas senyum. “Aku belum tahu,” katanya sambil mengangkat bahu. “Kuharap kau bersenang-senang nanti.”

Kim So Eun hanya menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan.

Kim Bum menghela napas dalam-dalam dan menunduk. “Aku capek,” katanya. “Sepertinya aku ingin tidur sekarang.”

“Kalau begitu, istirahatlah,” kata Kim So Eun sambil berdiri dari sofa. Ia tersenyum lebar dan mengangkat sebelah tangannya. “Sampai jumpa besok.”

Kim Bum melihat gadis itu keluar dari apartemennya dan menutup pintu. Sekali lagi ia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia sudah terlambat.

Terlambat. Seharusnya ia tidak menunggu selama ini untuk mengajak gadis itu keluar.

Tetapi waktu itu ia berpikir sebaiknya ia mendapatkan tiket pertunjukan itu terlebih dahulu sebelum mengatakannya pada Kim So Eun. Sekarang ia harus menerima hasil dari keputusannya yang bodoh.

Gadis itu akan pergi dengan Jung Yong Hwa. Kenyataan bahwa Jung Yong Hwa adalah teman baiknya malah membuat Kim Bum semakin kesal.

Sepertinya sejarah terulang kembali.

Ia tertarik pada gadis yang justru tertarik pada teman baiknya.

Bersambung…

Chapter 6
Chapter 5
Chapter 4
Chapter 3
Chapter 2
Chapter 1

Prolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...