Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 20 Agustus 2011

Winter Love (Chapter 1)



Musim dingin sudah tiba dan menyelimuti kota Seoul. Angin bertiup agak kencang malam ini. Kim So Eun mengibaskan rambut panjangnya ke belakang agar tidak menghalangi pandangan sementara ia bergegas menyusuri jalan kecil dan sepi yang mengarah ke gedung apartemennya. Ia menggigil karena rasa dingin mulai menembus jaket dan sweter tebalnya. Ia ingin cepat-cepat sampai di rumah, minum secangkir cokelat panas, dan makan ramen. Memikirkannya saja sudah membuat perut keroncongan. Dingni-dingin begini memang paling enak...

“Hei!”

Kim So Eun terlompat kaget dan berputar cepat. Matanya terbelalak menatap wanita dengan rambut pendek yang sudah berdiri di sampingnya. Begitu mengenali wanita itu sebagai Yoon Eun Hye, tetangganya yang tinggal di apartemen lantai bawah, Kim So Eun menghembuskan napas lega.

“Yoon Eun Hye Eonni,” Kim So Eun mendesah sambil memegang dada. “Eonni membuatku terkejut setengah mati.”

Yoon Eun Hye mendecakkan lidah dan tersenyum lebar. “Kau terlalu gampang terkejut.”

“Eonni kan tahu aku selalu merasa was-was kalau berjalan sendirian di jalan sepi,” kata Kim So Eun. “Dan aku punya alasan bagus untuk itu.”

“Baiklah, baiklah. Aku minta maaf. Ayo, cepat. Aku sudah hampir beku,” kata Yoon Eun Hye sambil menggandeng lengan Kim So Eun. “Kelihatannya barang bawaanmu banyak sekali. Kau bawa buku lagi hari ini?”

Kim So Eun mengeluarkan dua buku dari tas tangannya yang superbesar. Dua-duanya buku klasik terkenal. “Dua buku ini baru masuk hari ini, jadi aku orang pertama yang membacanya.”

Ia bekerja di sebuah perpustakaan umum di St.Ponds dan ia sangat menyukai pekerjaannya. Sejak kecil ia memang sangat gemar membaca buku dan impiannya adalah bekerja di perpustakaan, tempat ia bisa membaca buku sepuas hatinya, tanpa gangguan, dan tanpa perlu mengeluarkan uang.

“Kau mau membacanya, Eonni?” tanyanya pada Yoon Eun Hye yang menatap kedua buku itu dengan kening berkerut. “Akan kupinjamkan kalau aku sudah selesai.”

Alis Yoon Eun Hye terangkat tinggi dan ia melotot ke arah Kim So Eun. “Buku bahasa Inggris? Yang benar saja,” katanya. “Kau tahu benar bahasa Inggris-ku sekadar yes, no, thank you, I love you. Terlebih lagi, aku tidak suka membaca buku. Otakku yang sederhana ini hanya bisa memahami Komik.”

Kim So Eun tertawa, lalu mengalihkan pembicaraan. “Hari ini Kau pulang terlambat, Eonni.” katanya.

Yoon Eun Hye mengangguk. “Ya, tadi ada janji dengan teman,” sahutnya ringan. “Oh, Lee Ki Kwang pasti hampir mati kelaparan sekarang. Dia sudah meneleponku sejak tadi dan bertanya kapan aku pulang. Entah kapan anak itu bisa dewasa dan berhenti merecoki kakaknya ini. Aku sudah tidak sabar menunggunya lulus kuliah dan menjadi pengacara. Saat itu aku yang akan merecokinya.”

Beberapa menit kemudian mereka tiba di depan gedung apartemen mereka.

Sebenarnya bangunan yang disebut-sebut sebagai gedung apartemen itu tidak benar-benar mirip gedung apartemen dalam bayangan kebanyakan orang. Gedung itu hanya bangunan tua tingkat dua berukuran kecil. Setiap lantainya memiliki dua apartemen yang berhadapan. Tidak ada lift, hanya ada tangga yang tidak terlalu lebar.

Di lantai dasar, apartemen 101 ditempati oleh sepasang suami-istri bernama Song Chang Ui dan So Yi Hyun, yang sekaligus merupakan penanggung jawab gedung. Apartemen di seberang mereka, nomor 102 ditempati oleh kakak-beradik Yoon Eun Hye dan Lee Ki Kwang. Yoon Eun Hye berumur 28 tahun. Tiga tahun lebih tua daripada Kim So Eun dan bekerja sebagai penata rambut di Beauty & Spa Salon, sedangkan adik laki-lakinya, Lee Ki Kwang, adalah mahasiswa jurusan hukum.

Kim So Eun sendiri menempati apartemen 202 di lantai dua. Apartemen 201 saat ini kosong. Saat Kim So Eun pertama kali pindah ke gedung apartemen ini lima tahun yang lalu, penghuni apartemen 201 adalah seorang arsitek muda yang sudah cukup lama tinggal di sana, kemudian tahun lalu sepasang suami-istri muda menggantikan si arsitek.

Pasangan suami-istri itu menempati apartemen di seberang apartemen Kim So Eun selama setahun dan bulan lalu mereka memutuskan untuk membeli rumah kecil kemudian pindah.

Walaupun gedung itu sudah tua, kondisi apartemen di sana sama sekali tidak buruk. Ruangannya cukup luas kalau dibandingkan dengan apartemen lain pada umumnya, fasilitasnya memadai, dan biaya sewanya termasuk murah. Tidak mungkin menemukan apartemen seperti itu di pusat kota Seoul.

Setiap apartemen di sana memiliki susunan yang sama: dapur, ruang duduk yang mengarah ke balkon sempit yang berfungsi sebagai tempat menjemur pakaian, satu bilik kecil khusus untuk kloset, satu kamar mandi kecil yang dilengkapi dengan mesin pemanas air, dan dua kamar tidur yang juga berukuran kecil. Apartemen 101 dan 201 memiliki balkon menghadap ke utara, sedangkan balkon apartemen 102 dan 202 menghadap ke selatan. Selain itu semua penghuni apartemen di sana adalah orang-orang yang menyenangkan dan Kim So Eun sudah menganggap mereka seperti keluarga sendiri.

Ketika mereka tiba di depan pintu apartemen 102, Yoon Eun Hye berbalik menghadap Kim So Eun. “Oh ya, apakah kau sudah tahu penyewa baru apartemen 201 sudah datang?”

Mata Kim So Eun melebar. “Benarkah?”

Yoon Eun Hye mengangguk. “Aku sendiri belum pernah melihat orang baru itu, tapi Lee Ki Kwang melihatnya tadi pagi.”

“Laki-laki?” tanya Kim So Eun.

Yoon Eun Hye mengangguk lagi. “Kata Lee Ki Kwang, orang itu datang sendirian dan langsung masuk ke apartemen 201. Tidak keluar lagi sejak saat itu. Aneh, bukan?”

Kening Kim So Eun berkerut samar. “Bukankah Lee Ki Kwang-kun pergi kuliah pagi tadi? Bagaimana dia bisa tahu orang itu keluar lagi atau tidak?”

Yoon Eun Hye menggeleng dan mengibas-ngibaskan tangan. “Lee Ki Kwang memang pergi kuliah, tapi So Yi Hyun Eonni masih ada di rumah saat itu,” katanya, merujuk pada So Yi Hyun yang tinggal di seberang apartemennya. “So Yi Hyun Eonni juga tahu ada orang yang masuk ke apartemen 201 tadi pagi dan sepanjang hari So Yi Hyun Eonni sudah memasang mata dan telinga. Orang itu tidak keluar-keluar sampai sekarang.”

“Benarkah?” gumam Kim So Eun sambil merenung. “Mungkin Song Chang Ui Oppa tahu siapa yang menyewa apartemen itu.”

“Kurasa tidak,” sahut Yoon Eun Hye. “Kata So Yi Hyun Eonni, orang yang sejak awal datang untuk melihat keadaan apartemen dan mengurus semua tentang masalah sewa-menyewa bukan laki-laki itu. Mungkin dia memakai jasa agen atau semacam itu.”

“Oh...”

Yoon Eun Hye mengeluarkan kunci pintu dari tas tangannya dan tersenyum. “Baiklah, aku harus masuk dan memberi makan adikku yang manja itu. Selamat malam, Kim So Eun.”

“Selamat malam.” Kim So Eun melambaikan tangan dan bergegas menaiki tangga sambil menggosok-gosok kedua tangannya yang terasa dingin walaupun sudah terbungkus sarung tangan.

Ketika mencapai pintu apartemennya, ia berhenti lalu menoleh dan menatap pintu apartemen 201. Keningnya berkerut. Ia sama sekali tidak mendengar suara apa pun dari balik pintu. Benarkah sudah ada yang menyewa apartemen itu? Kenapa tidak ada suara? Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa ada orang di dalam.

Tiba-tiba pikiran buruk melintas dalam benak Kim So Eun. Bagaimana kalau penyewa baru itu jatuh sakit? Kim So Eun cepat-cepat menggeleng untuk mengenyahkan Ide itu.

Jangan berpikir yang aneh-aneh. Mungkin saja orang itu sedang tidak ada di rumah.

Bisa saja orang itu keluar rumah ketika So Yi Hyun Eonni sedang tidak memperhatikan.

Tapi tetap saja ada kemungkinan penyewa baru itu benar-benar belum keluar sejak pagi. Bagaimana kalau orang itu sakit dan terlalu lemah untuk bangun dari tempat tidur? Bagaimana kalau orang itu tidak punya siapa-siapa untuk dimintai tolong?

Bagaimana kalau orang itu menderita penyakit jantung dan sekarang sedang kesakitan?

Bagaimana kalau ia jatuh pingsan di dalam sana? Bagaimana kalau ia sedang sekarat?!

Kim So Eun menggigil memikirkan kemungkinan itu. Kemudian ia menepuk pelan kepalanya yang tertutup topi rajutan putih. Ah, tidak mungkin. Jangan berpikiran buruk. Sejak kecil daya imajinasinya memang hebat karena terlalu banyak membaca buku. Mungkin seharusnya ia menjadi penulis buku fantasi. Tapi...

Kim So Eun maju selangkah mendekati pintu apartemen 201 dengan ragu-ragu. Ia menyapu poninya yang terpotong rapi dari kening dan menarik napas panjang.

Kemudian setelah membulatkan tekad, ia menempelkan telinga kanannya ke pintu dengan hati-hati. Tidak terdengar apa-apa. Ia memutar kepalanya dan kali ini telinga kirinya yang ditempelkan ke pintu. Masih tetap sunyi senyap di dalam sana.

Apakah ia harus memanggil Song Chang Ui Oppa? Rasanya tidak enak mengganggu Song Chang Ui Oppa malam-malam begini. Tapi...

Kim So Eun masih sibuk menimbang-nimbang apa yang harus dilakukan ketika pintu itu mendadak berayun terbuka dengan satu gerakan cepat, membuat kepalanya yang masih menempel di daun pintu kehilangan sandaran dan tubuhnya jatuh ke depan. Ia sempat memekik kaget sebelum jatuh terduduk di lantai batu yang dingin.

“Aduh, aduh, aduh... Kepalaku, aduh, pantatku...” Kim So Eun mengerang sambil mengusap sisi kepalanya, sama sekali tidak sadar bahwa ia mengerang dalam bahasa ibunya.

Dua-tiga detik kemudian, Kim So Eun tersadar kembali dan langsung mendongak.

Matanya terbelalak kaget, terpaku pada sosok yang berdiri di ambang pintu apartemen 201 yang terbuka. Awalnya Kim So Eun tidak bisa melihat dengan jelas sosok yang berdiri di sana karena bagian dalam apartemen itu gelap gulita. Namun kemudian ia bisa melihat lebih jelas ketika sosok itu maju selangkah dan sinar lampu di koridor meneranginya.

Laki-laki bertubuh tinggi yang berdiri di sana terlihat berantakan. Rambutnya yang awut-awutan, sweter hitam dan celana jins yang dikenakannya juga kelihatan lusuh. Kim So Eun tidak bisa menebak umur laki-laki itu karena penampilannya sungguh kacau dan sepertinya ia belum bercukur hari ini. Kim So Eun juga tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan orang itu. Terkejut? Heran? Marah?

Beberapa saat kemudian laki-laki itu berkata dengan nada rendah dan serak. “Kau tidak apa-apa?”

Kim So Eun tidak sempat menjawab, karena mendadak saja suasana menjadi heboh.

* * *

Kim Bum terbangun dengan kepala pusing dan badan kaku. Hal pertama yang disadarinya adalah keadaan kamarnya yang gelap gulita. Ia melirik ke luar jendela. Langit di luar gelap. Sudah malamkah? Jam berapa ini? Ia mengerang, lalu memejamkan mata sejenak. Ia masih lelah sekali. Badannya menolak untuk bergerak.

Pelipisnya berdenyut-denyut. Penerbangan dari New York ke Seoul menguras tenaganya dan membuatnya jet-lag. Ia memang tidak pernah suka melakukan penerbangan jauh.

Tenggorokannya kering. Ia harus minum sebelum tubuhnya dehidrasi. Kapan terakhir kali ia minum? Ia tidak ingat. Mungkin sewaktu di pesawat.

Kim Bum memaksa dirinya bangun dan duduk di tepi ranjang. Ia mengusap wajah dengan kedua tangan untuk sedikit menyadarkan diri. Lalu perlahan ia bangkit dan menyeret kakinya yang berkaus kaki tebal keluar dari kamar.

Sinar bulan dan lampu jalan yang masuk lewat pintu kaca balkon menerangi ruang duduk. Penerangan remang-remang itu sudah cukup bagi Kim Bum. Ia tidak mau menyalakan lampu karena matanya bahkan belum terbiasa dengan penerangan samara yang ada, apalagi sinar lampu yang terang benderang.

Ia haus dan ia baru menyadari bahwa perutnya juga lapar. Kapan terakhir kali ia makan? Sewaktu di pesawat? Ia ingat ia hanya makan sedikit di pesawat karena sama sekali tidak berselera. Pantas saja sekarang ia kelaparan.

Kim Bum baru akan berjalan ke dapur ketika mendengar bunyi gemeresik samar di luar pintu apartemennya. Ia menoleh dan melihat bayangan gelap terpantul dari bawah celah pintu. Matanya menyipit. Ada orang di luar pintunya. Bayangan di bawah celah pintu itu bergerak-gerak. Niat awalnya mencari minuman batal. Ia berbalik, menghampiri pintu, dan memasang telinga.

Tidak terdengar suara orang berbicara, tapi sudah jelas ada orang yang berdiri di luar sana. Tangannya terangkat ke pegangan pintu, lalu dengan satu sentakan cepat, ia menarik pintu itu membuka. Pintu itu membentur sesuatu, yang disusul pekikan seorang wanita.

Kim Bum membuka pintunya lebar-lebar dan mengerjapkan mata, silau karena dihadapkan pada terangnya lampu di koridor. Kemudian ia melihat seorang gadis berambut hitam panjang tersungkur di lantai di hadapannya sambil merintih pelan.

Sepertinya sentakannya membuka pintu membuat gadis itu terjatuh. Dan sudah pasti gadis itulah yang memekik tadi. Kini gadis itu mengucapkan serentetan kata yang tidak dipahaminya.

Tiba-tiba gadis itu mendongak dan menatap Kim Bum. Mata gadis itu terbelalak kaget. Sesaat Kim Bum merasa gadis itu bukan orang Korea. Tadi gadis itu mengatakan sesuatu dalam bahasa yang sudah jelas bukan bahasa Korea. Kim Bum bingung. Otaknya masih bekerja lebih lambat daripada biasanya.

“Kau tidak apa-apa?” Kim Bum mendapati dirinya bersuara. Suaranya terdengar serak di telinganya sendiri. Dan ia mengatakannya dalam bahasa Korea. Apakah gadis itu mengerti?

Ia tidak sempat mendengar jawaban gadis itu, karena mendadak keadaan sekelilingnya menjadi riuh. Bunyi pintu-pintu membuka, lalu berbagai seruan yang terdengar tumpang-tindih.

“Ada apa? Apa yang terjadi?”

“Suara apa itu?”

“Siapa yang berteriak?”

“Ada pencuri? Pencuri?”

“Kim So Eun? Kaukah itu?”

“Kim So Eun Noona?”

“Lee Ki Kwang! Ayo, kita naik.”

“Mana tongkat bisbolku?”

“Pakai dulu jaketmu.”

“Jaketku?”

“Bu, kau tunggu di sini saja.”

“Hati-hati!”

Dalam sekejap mata, tiga orang bermunculan di depan Kim Bum. Ia hanya bisa mengerjap-ngerjapkan mata memandang dua pria dan satu wanita yang menyerbu koridor sempit di lantai dua itu. Mereka balas menatapnya dengan heran. Kini, selain gadis yang masih terduduk di lantai, ada seorang pemuda yang megacungkan tongkat bisbol, seorang wanita berambut pendek, lalu seorang pria yang lebih tua darinya.

“Kim So Eun, apa yang terjadi?” pekik si wanita berambut pendek sambil menghampiri gadis yang terduduk di lantai. “Kau baik-baik saja?”

Gadis yang dipanggil Kim So Eun itu melongo sesaat, lalu cepat-cepat menjawab, “Oh, Yoon Eun Hye Eonni. Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja.”

Oke, gadis bernama Kim So Eun itu bisa berbahasa Korea, pikir Kim Bum tanpa sadar. Sepertinya dia memang orang Korea.

Si pemuda yang lebih muda membantu Kim So Eun berdiri dengan sebelah tangan, sementara tangannya yang lain masih mencengkeram tongkat bisbol dengan erat. Ia menatap Kim Bum yang masih tertegun. “Anda siapa? Kim So Eun Noona, apakah orang ini macam-macam padamu?”

Kim Bum terkejut. Nah, tunggu sebentar! Macam-macam? Tunggu dulu...

“Sabar, Lee Ki Kwang,” sela si pria yang berdiri di samping si pemuda yang mengacungkan tongkat bisbol. Song Chang Ui menatap Kim Bum dengan mata disipitkan, lalu berkata pendek, “Tolong perkenalkan dirimu, Anak muda.”


Kim Bum menelan ludah. Tenggorokannya sakit dan ia ingat tadi ia belum sempat minum. Ia berdeham sejenak, lalu berkata datar, “Nama saya Kim Bum. Saya baru pindah ke apartemen ini.”

“Oh? Si orang baru?” tanya pemuda yang tadi dipanggil Lee Ki Kwang. “Tadi pagi aku melihatmu datang.”

Kim Bum melihat tongkat bisbol yang tadinya terangkat tinggi itu kini diturunkan. Ia berkata, “Saya baru tiba di Seoul dengan pesawat pagi tadi. Karena tidak enak badan saya langsung tertidur begitu tiba di apartemen. Saya minta maaf karena tidak sempat memperkenalkan diri lebih awal.”

“Sudah kubilang orang baru itu tidak keluar-keluar sejak masuk tadi pagi,” kata wanita berambut pendek yang berdiri di samping Kim So Eun. Wanita itu bertanya lagi dengan nada curiga, “Lalu sejak tadi pagi kau tidur terus di dalam?”

“Benar,” sahut Kim Bum.

“Lalu apa yang terjadi di sini?” Si Pria kembali bertanya sambil memandang Kim Bum dan Kim So Eun bergantian.

Perhatian Kim Bum kembali terarah kepada Kim So Eun yang terlihat serba salah. Gadis itu bersedekap dan mengangkat bahu dengan salah tingkah. “Song Chang Ui Oppa, itu... Itu, ehm... Maksudku, aku hanya khawatir,” katanya terbata-bata. Ia melihat ke sekeliling dan menyadari orang-orang di sana masih menunggu penjelasannya, karena itu ia melanjutkan, “Aku dengar dari Yoon Eun Hye Eonni,” ia menatap wanita berambut pendek itu sekilas, “sudah ada yang menempati apartemen 201 dan orang itu belum keluar dari kamar sejak pagi. Dan aku tidak mendengar suara apa pun dari dalam. Jadi kupikir...,” suaranya semakin lirih dan ia tersenyum kikuk, “...mungkin orang itu sakit, atau, eh jatuh pingsan.”

Kim Bum berusaha menahan senyum mendengar penjelasan gadis itu.

“Lalu ketika aku sedang mencoba mendengarkan suara dari balik pintu, orang…eh, Kim Bum tiba-tiba membuka pintu dan membuatku terkejut. Dan aku terjatuh.”

Kim So Eun berdeham di akhir penjelasannya. “Begitulah.”

Seketika itu juga suasana tegang di koridor lantai dua mencair.

“Ya ampun, Kim So Eun. Kau membuat kami kaget sekali tadi,” kata wanita berambut pendek yang bernama Yoon Eun Hye sambil mengguncang lengan Kim So Eun.

“Maafkan aku,” gumam Kim So Eun lirih sambil membungkuk beberapa kali, lalu melirik Kim Bum sekilas dan membungkuk badan lagi.

“Sebaiknya kita saling memperkenalkan diri,” kata Lee Ki Kwang sambil memandang Kim Bum. “Namaku Lee Ki Kwang dan ini kakakku, Yoon Eun Hye.” Ia menunjuk wanita berambut pendek yang kini tersenyum manis kepada Kim Bum.

“Kami tinggal di bawah, di apartemen 102,” Yoon Eun Hye menambahkan.

Kim Bum membungkuk dan menyambut uluran tangan kakak-beradik Yoon Eun Hye dan Lee Ki Kwang. “Mohon bantuannya.”

“Namaku Song Chang Ui,” si Pria memperkenalkan diri sambil tersenyum lebar. “Aku tinggal bersama istriku di bawah.”

Setelah itu pandangan semua orang terarah kepada Kim So Eun yang tetap diam. Kim So Euntersadar dan buru-buru membungkuk dalam-dalam, lalu berkata dengan agak tergagap,

“Namaku Kim So Eun. Salam kenal. Aku minta maaf soal... soal kejadian tadi.”

Kim Bum tersenyum. “Tidak usah dipikirkan. Aku juga minta maaf karena membuatmu terkejut.”

“Selamat bergabung bersama kami, Kim Bum,” kata Song Chang Ui sambil menepuk bahu Kim Bum. “Jika ada yang bisa kami bantu, jangan ragu-ragu untuk mengatakannya.”

Inilah pertama kali Kim Bum menginjakkan kaki kembali di Seoul setelah pindah ke New York bersama keluarganya bertahun-tahun yang lalu. Kali ini ia kembali bukan karena rindu pada kampung halaman. Ia hanya ingin pergi jauh dari New York untuk sementara waktu. Dan Seoul adalah kota pertama yang terlintas dalam benaknya.

Kini Kim Bum memandang orang-orang yang berdiri mengelilinginya dan yang balas memandangnya dengan tatapan penuh minat dan senyum ramah. Tiba-tiba saja ia sadar ia takkan bisa mendapat ketenangan yang diinginkannya. Tetapi entah kenapa ia merasa hidupnya takkan pernah sama lagi.

Bersambung…

Prolog

1 komentar:

  1. mantaaaaaaaaaaaaapH..
    Part 1 dah buat puas en nAgiH,,
    >>(=,=) KAPAN JG ENGGAKNya????ahahaha
    SEruuuuu en rAmE kayaknya yeh..
    Yg iniiiiiiiii...CocoK dengan saya..
    >> Terlebih lagi, aku tidak suka membaca buku. Otakku yang sederhana ini hanya bisa memahami Komik.”
    Bravooooooo Yoon Eun Hye, AQ pun Juga..KOlektor kOMIk oNE pIEcE SEjAtiii..hahahaha
    Lanjuuuuud..Next

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...